TRIBUNNEWS.COM – Seorang wartawan tanpa sengaja mengetahui rencana serangan Amerika Serikat (AS) terhadap kelompok Houthi di Yaman.
Ini terjadi setelah wartawan tersebut dimasukkan ke dalam grup chat yang berisi pejabat tinggi AS.
Gedung Putih telah mengakui kesalahan tersebut dan tengah melakukan penyelidikan lebih lanjut.
Simak rangkuman fakta-fakta mengenai insiden ini:
1. Wartawan Masuk Grup Chat Pejabat Tinggi AS
Wartawan yang dimaksud adalah Jeffrey Goldberg, pemimpin redaksi The Atlantic.
Dilansir dari Al Arabiya, insiden ini bermula ketika Goldberg secara tidak sengaja dimasukkan ke dalam grup chat Signal.
Grup chat tersebut berisi para pejabat tinggi AS, yang tergabung dalam tim keamanan nasional Presiden Donald Trump.
Grup chat bernama “Houthi PC small group” ini digunakan untuk membahas koordinasi tindakan terkait Houthi.
Goldberg menyebut bahwa ia dimasukkan ke grup pada 13 Maret oleh Penasihat Keamanan Nasional AS, Mike Waltz.
Pada Senin (24/3/2025), Goldberg mempublikasikan sebuah artikel yang menampilkan screenshot percakapan para pejabat AS dalam grup tersebut.
Percakapan itu berlangsung selama beberapa minggu dan membahas berbagai strategi militer.
2. Isi Percakapan Grup Chat: Rencana Serangan Terungkap
Dalam grup tersebut, terdapat 18 pejabat senior AS.
Di antaranya termasuk Wakil Presiden JD Vance, Menteri Luar Negeri Marco Rubio, Menteri Pertahanan Pete Hegseth, Utusan Khusus Trump untuk Timur Tengah Steve Witkoff, dan Direktur CIA John Ratcliffe.
Salah satu diskusi utama adalah operasi militer terhadap Houthi.
Hegseth dikabarkan mendesak agar tindakan dilakukan segera.
Pada 15 Maret, hari serangan udara dimulai, Goldberg menyebut bahwa Hegseth membagikan rincian operasional serangan, termasuk target, senjata yang digunakan, serta urutan serangan.
Gedung Putih mengonfirmasi keaslian screenshot yang dipublikasikan Goldberg dan menyatakan akan melakukan penyelidikan terkait kebocoran ini.
3. Respons Gedung Putih dan Trump
Presiden AS Donald Trump menanggapi kejadian ini dengan tetap mendukung tim keamanan nasionalnya.
Juru bicara Gedung Putih, Karoline Leavitt, menyatakan bahwa Trump memiliki kepercayaan penuh pada Penasihat Keamanan Nasional Mike Waltz dan timnya.
Gedung Putih juga menyatakan sedang menyelidiki bagaimana Goldberg bisa dimasukkan ke dalam grup chat tersebut.
Brian Hughes, juru bicara Dewan Keamanan Nasional AS, mengatakan bahwa pesan-pesan dalam grup chat menunjukkan koordinasi kebijakan yang matang dan operasi terhadap Houthi telah berhasil tanpa mengancam keamanan nasional AS.
4. Menteri Pertahanan AS Membantah Kebocoran Strategi
Menteri Pertahanan Pete Hegseth menolak tuduhan bahwa strategi perang telah bocor.
Ia mengklaim bahwa tidak ada rencana perang yang dibagikan dalam grup chat tersebut, meskipun Gedung Putih sudah mengonfirmasi kebocoran informasi.
Namun, Goldberg tetap berpegang pada laporannya.
Ia menyebut bahwa informasi yang ia peroleh dari grup tersebut terbukti akurat berdasarkan kejadian di lapangan di Yaman.
5. Kekhawatiran Keamanan dan Dampak Internasional
Kejadian ini menimbulkan kekhawatiran serius terkait keamanan komunikasi di pemerintahan AS.
Banyak pihak mempertanyakan bagaimana seorang wartawan bisa dimasukkan ke dalam grup chat yang membahas strategi militer rahasia.
Selain itu, diskusi dalam grup chat juga menunjukkan adanya perbedaan pendapat di kalangan pejabat AS.
Wakil Presiden JD Vance, misalnya, sempat menyatakan ketidaksukaannya terhadap keputusan AS yang dianggap “menyelamatkan Eropa lagi,” mengingat negara-negara Eropa lebih terdampak oleh serangan Houthi terhadap jalur perdagangan.
Gedung Putih berjanji akan meningkatkan langkah-langkah keamanan untuk mencegah insiden serupa terjadi di masa depan.
Insiden ini juga bisa berdampak pada hubungan antara AS dan sekutunya, terutama dalam hal koordinasi militer dan keamanan.
(Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)