40 Tahun BPPM Balairung UGM, Ketika Algoritma Menggeser Nalar Publik

40 Tahun BPPM Balairung UGM, Ketika Algoritma Menggeser Nalar Publik

Yogyakarta (beritajatim.com) – Peringatan 40 tahun BPPM Balairung Universitas Gadjah Mada (UGM) di Yogyakarta menjadi momentum refleksi kritis tentang bagaimana algoritma media digital dan disinformasi kini memengaruhi cara masyarakat memahami isu publik. Melalui seminar bertema “Disinformasi & Algoritma: Bagaimana Media Digital Membentuk Opini Publik”, berbagai tokoh pers, akademisi, dan jurnalis membedah perubahan besar dalam lanskap media yang semakin dikendalikan logika mesin.

Ketua Kagama Persma, Dia Mawesti, menegaskan bahwa algoritma media sosial kini tidak hanya menjadi alat penyebar informasi, tetapi juga telah berubah menjadi aktor yang menentukan isu apa yang dianggap penting oleh publik.

“Teknologi — khususnya algoritma — nggak hanya jadi alat, tetapi juga jadi ‘aktor’ yang sangat berperan dalam membentuk opini publik dan persepsi masyarakat, bahkan menentukan isu apa yang dianggap penting dan apa yang dilupakan,” ujarnya.

Dia menilai, tantangan dunia pers masa kini berbeda dari masa lalu. Jika dulu jurnalis menghadapi represi dan sensor fisik, kini tekanan bergeser ke ranah digital. Disinformasi, banjir informasi, dan bias algoritmik menciptakan medan baru yang menguji independensi dan etika jurnalistik.

“Kita tidak lagi hanya berhadapan dengan sensor dan tekanan fisik seperti yang dialami aktivis pers mahasiswa 30–40 tahun lalu. Sekarang, kita juga harus berhadapan dengan disinformasi, algoritma media sosial, dan bias digital yang membentuk cara masyarakat memahami realitas,” jelasnya.

Ia menekankan pentingnya memperkuat literasi digital, etika, dan independensi pers, agar kebebasan berekspresi tidak tergantikan oleh dominasi algoritma.

“Kita perlu menjaga etika, independensi, dan literasi digital agar kebebasan berekspresi tidak tergantikan oleh kebebasan algoritma,” tegasnya.

Dalam konteks perayaan empat dekade Balairung, Dia mengajak insan pers mahasiswa untuk kembali ke akar idealisme mereka sebagai penjaga nurani publik.

“Melalui seminar ini, saya berharap akan lahir gagasan-gagasan baru, jejaring kolaborasi yang lebih kuat, serta semangat untuk terus menghidupkan idealisme pers mahasiswa sebagai penjaga nurani, tak hanya bagi mahasiswa sendiri tapi juga bagi publik yang lebih luas,” pungkasnya.

Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Pengabdian Masyarakat, dan Alumni UGM, Arie Sujito, menilai peran pers mahasiswa masih sangat relevan di tengah era disinformasi dan kecerdasan artifisial (AI). Menurutnya, setiap generasi pers mahasiswa menghadapi tantangan zamannya masing-masing, namun nilai keberaniannya untuk bersuara tetap menjadi inspirasi.

“Persma menemukan babaknya masing-masing sesuai zamannya. Tetapi jauh lebih penting adalah apa yang sudah dikerjakan bisa menginspirasi generasi saat ini,” ujarnya.

Arie menegaskan, relevansi pers mahasiswa kini justru makin tinggi ketika ruang kebebasan semakin terbuka namun tidak selalu dapat dipertanggungjawabkan.

“Membicarakan kebebasan bersuara masih sangat relevan hingga saat ini. Tetapi makin terbuka ruang, kualitas dan strategi kita menjadi faktor penentu,” tegasnya.

Sementara itu, Asia Pacific Visual and Data Journalist BBC News, Aghnia Adzkia, menyoroti paradoks kemajuan teknologi AI dalam industri media. Di satu sisi, AI mempermudah kerja jurnalis; namun di sisi lain, mempercepat produksi disinformasi.

“AI memang sangat memudahkan dalam pekerjaan, namun juga membawa hal-hal yang mengkhawatirkan,” terangnya.

Aghnia memberi contoh bagaimana AI digunakan untuk membuat konten yang menyerupai fakta, seperti video tentang kehidupan di era Majapahit, yang bisa menyesatkan jika dikonsumsi tanpa konteks.

“Konten semacam ini jika dimaksudkan hanya untuk hiburan tentu tidak masalah, namun berbeda halnya jika digunakan untuk menyebarkan informasi,” ujarnya.

Ia mengingatkan bahwa disinformasi berbasis AI membutuhkan penanganan kolektif dari berbagai pihak, mengingat skalanya yang massif.

“Solusinya tidak bisa bergerak sendiri-sendiri,” katanya.

Dari perspektif industri media, Direktur Eksekutif Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Elin Y Kristanti menyoroti dampak digitalisasi yang justru menggerus kepercayaan publik terhadap media. Ia menyebut, tekanan algoritma membuat banyak media kehilangan orientasi dan mengubah fokus dari kebutuhan pembaca menjadi kebutuhan mesin.

“Saya sebagai wartawan tidak pernah berpikir menulis berita untuk mesin, tetapi kenyataan yang terjadi saat ini seperti itu,” ujarnya.

Menurut Elin, kehadiran AI memperparah kondisi karena model generatif menyedot konten media tanpa kompensasi yang adil.

“Laporan investigasi itu membutuhkan biaya besar, tetapi disedot oleh AI tanpa perlu membayar,” ungkapnya.

Ia menegaskan, keberadaan media tetap vital untuk menjaga agar demokrasi tidak dikendalikan oleh algoritma atau opini liar di media sosial.

“Media harus ada untuk mengawal demokrasi. Tidak bisa kita menyerahkan demokrasi kepada netizen,” tegas Elin.

Anggota Komite Independen Publisher Right, Fransiskus Surdiarsis, juga menyoroti ketimpangan antara platform AI dan media. Ia menyebut konten media sering dijadikan bahan pelatihan (feeding) bagi AI tanpa adanya tanggung jawab finansial dari platform tersebut.

“Konten media sering digunakan untuk feeding (memberi makan) AI tapi tanpa kompensasi,” terangnya.

Frans memperingatkan bahwa situasi ini berpotensi merusak ekosistem media dan mempercepat penyebaran disinformasi. “Makin ke sini, informasi yang beredar makin banyak mengandung unsur kebohongan,” ujarnya.

Sementara itu, Dosen Ilmu Komunikasi FISIP UGM, Abdul Gaffar Karim, menegaskan bahwa disinformasi telah menjadi faktor penting dalam penurunan kualitas demokrasi modern. Ia menjelaskan bahwa isu-isu yang melemahkan kepercayaan publik terhadap lembaga negara sering kali sengaja dipelihara oleh elite politik.

“Isu-isu soal rendahnya tingkat kepercayaan terhadap lembaga negara memang dibuat oleh aristokrat untuk melanggengkan kekuasaanya,” tegasnya.

Gaffar menutup dengan pesan kuat bahwa melawan disinformasi berarti melindungi demokrasi. “Karena disinformasi adalah perusak demokrasi modern,” ujarnya. [beq]