Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

3 Putusan Terkini MK Terkait Pemilu, Termasuk Hapus Ambang Batas Capres

3 Putusan Terkini MK Terkait Pemilu, Termasuk Hapus Ambang Batas Capres

Jakarta

Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan sejumlah permohonan yang terkait dengan proses Pemilu. Setidaknya, ada tiga putusan penting MK yang bakal mempengaruhi aturan Pemilu.

Putusan-putusan krusial itu diketok MK dalam sidang yang digelar di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2025). Berikut tiga putusan terkini MK terkait Pemilu:

Hapus Ambang Batas Capres 20%

MK mengabulkan permohonan empat mahasiswa bernama Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq dan Tsalis Khoirul Fatna. Permohonan mereka itu terdaftar sebagai perkara nomor 62/PUU-XXII/2024.

Dalam petitumnya, para pemohon meminta MK untuk:

1. Mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya.

2. Menyatakan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

Atau Apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

Adapun isi pasal 222 UU Pemilu yang digugat itu ialah:

Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.

Para pemohon mengajukan gugatan karena menanggap presidential threshold yang didasarkan pada hasil Pemilu sebelumnya melanggar Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Mereka mengatakan penggunaan suara sah pemilu sebelumnya untuk mengajukan capres-cawapres tidak masuk akal.

“Presidential threshold yang mendasarkan syarat keterpenuhannya pada suara pemilu sebelumnya telah melanggar asas periodik dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Sebab, Pemohon memahami suara hanya digunakan untuk satu kali pemilu. Sehingga presidential threshold dengan minimal kursi dan suara sah pemilu DPR tidaklah logis karena pemilu serentak antara presiden dan legislatif (DPR, DPD, dan DPD) jika didasarkan pada penghitungan hasil Pemilu DPR 5 (lima) tahun sebelumnya. Tentunya Mahkamah harus merenungkan dan mempertimbangkan secara mendalam bahwa perhitungan suara yang didasarkan pada pemilu sebelumnya tidak memberikan jaminan pada penghormatan atau pemenuhan hak rakyat untuk memilih (right to vote) atau mendapatkan sebanyak-banyak pilihan alternatif pasangan calon presiden,” demikian pandangan pemohon sebagaimana dikutip dari putusan tersebut.

MK pun mengabulkan permohonan tersebut untuk seluruhnya. MK menyatakan pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat alias dihapus.

“Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ujar MK.

Pertimbangan MK Hapus PT 20%

Ilustrasi Sidang MK (Foto: Ari Saputra/detikcom)

Dalam pertimbangannya, MK menyatakan penerapan ambang batas itu tidak efektif menyederhanakan jumlah partai politik peserta Pemilu. Selain itu, MK menyebut penetapan ambang batas itu tidak didasarkan pada penghitungan yang jelas dan rasionalitas yang kuat.

“Satu hal yang dapat dipahami Mahkamah, penentuan besaran atau persentase tersebut lebih menguntungkan partai politik besar atau setidak-tidaknya memberi keuntungan bagi partai politik peserta pemilu yang memiliki kursi di DPR. Dalam konteks itu, sulit bagi partai politik yang merumuskan besaran atau persentase ambang batas untuk dinilai tidak memiliki benturan kepentingan (conflict of interest),” ujar MK.

MK pun menganggap ambang batas itu dipertahankan sebagai upaya membuat Pilpres hanya diikuti dua pasangan calon. Menurut MK, hal itu membuat masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi.

“Andaipun hendak mengatur persyaratan, substansi pengaturan tersebut tidak boleh bertentangan dengan syarat-syarat yang sudah diatur dalam UUD NRI Tahun 1945. Dalam hal ini, ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 secara expressis verbis menyatakan pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik sebelum pelaksanaan pemilihan umum. Artinya, sepanjang partai politik sudah dinyatakan sebagai peserta pemilihan umum pada periode yang bersangkutan atau saat penyelenggaraan pemilu berlangsung, partai politik dimaksud memiliki hak konstitusional untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden,” ujar MK.

MK pun meminta agar pembuat undang-undang melakukan rekayasa konstitusional usai PT 20% dihapus. Berikut panduan MK dalam rekayasa konstitusional itu:

1. Semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden;

2. Pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional;

3. Dalam mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, partai politik peserta pemilu dapat bergabung sepanjang gabungan partai politik peserta pemilu tersebut tidak menyebabkan dominasi partai politik atau gabungan partai politik sehingga menyebabkan terbatasnya pasangan calon presiden dan wakil presiden serta terbatasnya pilihan pemilih;

4. Partai politik peserta pemilu yang tidak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden dikenakan sanksi larangan mengikuti pemilu periode berikutnya; dan

5. Perumusan rekayasa konstitusional dimaksud termasuk perubahan UU 7/2017 melibatkan partisipasi semua pihak yang memiliki perhatian (concern) terhadap penyelenggaran pemilu termasuk partai politik yang tidak memperoleh kursi di DPR dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).

Dua hakim MK menyatakan pendapat berbeda atau dissenting opinion dalam putusan ini. Mereka ialah Anwar Usman dan Daniel Yusmic.

Wajib Cuti bagi Kepala Daerah Saat Kampanye dan Masa Tenang

Ilustrasi Pilkada (Foto: Freepik/freepik)

Selain menghapus PT 20%, MK juga membacakan putusan terkait kewajiban cuti bagi kepala daerah petahana saat masa kampanye Pemilu. Putusan perkara 154/PUU-XXII/2024 yang diajukan Edi Iswadi itu diketok pada Kamis (2/1/2025).

Dalam petitumnya, pemohon meminta MK mengubah isi pasal 70 ayat (3) UU Pilkada. Berikut isinya:

Menyatakan Pasal 70 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5898) bertentangan dengan UUD 1945 secara beryarat (Conditionally Unconstitutional) dan tidak memiliki kekuataan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai: Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota, yang mencalonkan kembali pada daerah yang sama, mulai masa kampanye sampai pemungutan suara, harus memenuhi ketentuan:

a. menjalani cuti di luar tanggungan negara; dan
b. dilarang menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya

Pemohon menganggap kepala daerah petahana yang maju lagi dalam Pilkada harus cuti untuk menjamin Pilkada berlangsung langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Dia juga menganggap masa tenang merupakan momen penting jelang Pilkada sehingga harus bebas dari kepentingan Pilkada oleh kepala daerah petahana.

MK pun mengabulkan gugatan pemohon. Berikut amar putusan MK:

1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian.

2. Menyatakan Pasal 70 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi UndangUndang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5898) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “cuti di luar tanggungan negara dan dilarang menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya bagi kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah petahana baik pada masa kampanye, masa tenang maupun pada hari pemungutan suara”.

3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

4. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya.

Dalam pertimbangannya, MK menyatakan peluang penyalahgunaan kewenangan dan fasilitas oleh kepala daerah petahana yang maju lagi di Pilkada sangat terbuka lebar sehingga dapat melanggar prinsip Pilkada. MK mengatakan permohonan agar kepala daerah petahana yang maju lagi di Pilkada cuti sejak kampanye hingga hari pemilihan adalah permohonan yang masuk akal.

“Menurut Mahkamah dalam upaya untuk menghadirkan pemilihan yang jujur dan adil, maka diperlukan penambahan atau perpanjangan waktu dalam menjalani cuti di luar tanggungan negara dan larangan menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan bagi kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah petahana tidak hanya hingga masa kampanye berakhir, namun juga pada waktu masa tenang dan pada hari pemungutan suara. Sebab, menurut Mahkamah, kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah baik petahana maupun bukan petahana seharusnya memiliki hak, kesempatan, keadilan, dan kesetaraan yang sama dalam perlakuan selama masa kampanye, masa tenang, hingga hari pemungutan suara,” ujar MK.

MK Perketat Aturan Penggunaan AI dalam Peserta Pemilu

Ilustrasi AI (Foto: Shutterstock)

Mahkamah Konstitusi (MK) juga mengabulkan sebagian gugatan terkait uji materi UU Pemilu dengan nomor perkara 166/PUU-XXI/2023. MK meminta peserta pemilu tidak menggunakan artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan secara berlebihan, sehingga tidak menampilkan citra diri sebenarnya.

“Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo.

“Menyatakan frasa ‘citra diri’ yang berkaitan dengan foto/gambar dalam Pasal 1 angka 35 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai foto/gambar tentang dirinya yang original dan terbaru serta tanpa direkayasa/dimanipulasi secara berlebihan dengan bantuan teknologi kecerdasan artifisial (artificial intelligence),” sambungnya.

Dalam pertimbangannya, MK mengatakan peserta Pemilu telah mengekplorasi teknologi dan teknik representasi citra diri demi memikat para pemilih. Salah satu yang digunakan ialah kecerdasan buatan atau AI.

MK mengatakan citra diri, dalam hal ini foto/gambar, yang dipoles berlebihan dengan AI dapat menghilangkan keaslian atau originalitas si calon yang hendak dipilih rakyat. Menurut MK, manipulasi berlebihan citra diri dengan AI malah menimbulkan ketidakpastian hukum dan bertentangan dengan asas Pemilu bebas, jujur dan adil.

“Artinya, rekayasa/manipulasi yang berlebihan dapat menyebabkan ekuitas merek kandidat dengan menaikkan pengetahuan, rasa suka, kualitas dan loyalitas pemilih terhadap kandidat. Informasi yang tidak benar dapat merusak kemampuan pemilih untuk mengambil keputusan secara berkualitas, sehingga hasil citra diri yang direkayasa/dimanipulasi secara berlebihan tidak hanya merugikan pemilih secara individual namun juga merusak kualitas demokrasi,” ujar MK.

Halaman 2 dari 4

(haf/imk)