3 Kala Menteri-menteri Prabowo “Disemprot” Aktivis Agraria di Rapat DPR Nasional

3
                    
                        Kala Menteri-menteri Prabowo “Disemprot” Aktivis Agraria di Rapat DPR
                        Nasional

Kala Menteri-menteri Prabowo “Disemprot” Aktivis Agraria di Rapat DPR
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Dua menteri kabinet Merah Putih kena “semprot” ketika pemerintah dan DPR RI pada peringatan Hari Tani Nasional.
Momentum ini terjadi di Ruang Rapat Komisi XIII, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (24/9/2025).
Pertemuan di ruang rapat dihadiri lima menteri, yaitu Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni, Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN) Nusron Wahid, dan Menteri Pariwisata Widiyanti Putri Wardhana.
Kemudian, Pelaksana Tugas (Plt) Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dony Oskaria, Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (Mendes PDTT) Yandri Susanto, serta Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Muhammad Qodari.
Dalam momen pertemuan itu, pemerintah, DPR, dan organisasi petani membahas sejumlah konflik agraria yang tidak kunjung selesai selama puluhan tahun dan merugikan petani.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, akhirnya menyemprot Menhut Raja Juli karena dinilai tidak bisa menyelesaikan konflik agraria yang berlangsung selama puluhan tahun.
Selama puluhan tahun itu, kata Dewi, masyarakat telah menyampaikan aduan dan persoalan yang mereka rasakan. Namun, persoalan ini tidak kunjung ditangani pemerintah.
Salah satunya adalah konflik agraria lahan pertanian dengan perusahaan BUMN, Perum Perhutani, di Desa Bulupayung, Kecamatan Kesugihan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.
“Di Kementerian Kehutanan, Bapak Raja Juli, akhirnya kita bisa bertemu lagi. Saya pernah mengajak Bapak Raja Juli itu ke salah satu Desa Bulupayung di Cilacap,” ujar Dewi di Ruang Rapat Komisi XIII, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu.
“Itu adalah konflik agraria puluhan tahun yang berkonflik dengan Perhutani,” lanjut Dewi.
Aktivis agaria ini menjelaskan bahwa 9.000 hektar lahan pertanian di Cilacap merupakan lumbung pangan nasional.
Saat bersama Raja Juli di daerah itu, kata Dewi, pihaknya sudah menunjukkan kejanggalan konflik lahan pertanian yang diklaim sebagai lahan Perhutani.
Misalnya, di lokasi itu tidak ada kawasan hutan, tetapi diklaim sebagai kawasan hutan.
“Mana ada hutan? Kenapa tanah-tanah pertanian produktif yang dikerjakan oleh kaum tani itu tidak kunjung dibebaskan dari klaim-klaim kawasan hutan? Tidak kunjung dilepaskan dari klaim Perhutani?” tanya Dewi.
Akibatnya, para petani tidak bisa mengangkut hasil panen, dan program-program pertanian tidak bisa masuk.
“Karena alasannya itu, ini adalah masih klaim Perhutani, masih PTPN (Perkebunan Nasional), masih kawasan hutan, masih di dalam HGU (Hak Guna Usaha),” tutur Dewi.
Menanggapi itu, Raja Juli mengakui pernah datang ke Cilacap melihat hamparan padi yang menguning.
Ia juga mengaku sudah berupaya melepaskan lahan pertanian itu dari kawasan hutan, namun terhambat.
“Karena memang ada macet di Perhutani. Jadi memang kehutanan Perhutani ini menjadi satu kunci penting,” tutur Raja Juli.
Nusron Wahid Tak Proses Data
Bukan cuma Raja Juli, Dewi juga menyemprot Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN) Nusron Wahid karena tidak pernah memproses data-data yang diberikan oleh KPA.
Dewi menyampaikan bahwa Kementerian ATR merupakan salah satu kementerian yang paling banyak diadukan terkait kasus-kasus pertanahan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Ombudsman RI.
“Ada banyak kanal pengaduan, di Kementerian Agraria, Kementerian Kehutanan, bahkan mungkin di DPR. Tapi hanya untuk tempat mengadu, tidak ada kanal penyelesaian,” ujar Dewi.
Padahal, KPA sudah berkali-kali menemui pihak ATR, bahkan bertemu langsung dengan Nusron Wahid untuk menyerahkan data yang dibutuhkan.
“Jadi ada problem, data-data kami itu ditumpuk, diarsipkan, tapi tidak dikerjakan,” tutur Dewi.
Nusron mengakui bahwa banyak data-data KPA yang diserahkan ke Kementerian ATR/BPN tetapi belum digarap.
Ia menyatakan sependapat dengan usul KPA mengenai prinsip keadilan dalam redistribusi tanah.
“Karena itu, sebagai bentuk komitmen kami mengamini data itu, kami sudah 10 bulan diangkat dipercaya menjadi Menteri ATR/BPN, kami belum tandatangani satupun perpanjangan dan pembaruan,” kata Nusron.
 
Para petani di Desa Bulupayung yang sudah menggarap lahan pertanian sejak 1962, tetapi Perhutani mengeklaim kepemilikan Desa Bulupayung dan statusnya berubah menjadi bagian dari kawasan hutan.
Meski masih diperbolehkan tinggal dan menggarap lahan pertanian di tanah seluas 2.000 hektar, sebanyak 3.000 keluarga petani tidak memperoleh bantuan dari negara, seperti pembangunan jalan dan irigasi, serta subsidi pupuk.
Padahal, Desa Bulupayung termasuk sentra pertanian pangan di Cilacap.
“Mereka harus mengeluarkan
cost
yang lebih ekstra atau biaya produksi pertanian. Belum terkait jaringan pasar yang memang tidak menentu dan juga dampak-dampak diklaim sebagai kawasan hutan. Akhirnya, dengan konflik yang terjadi di kehutanan ini, semakin terhimpit nasib para petani itu,” ujar Benny dalam diskusi Polemik Harga Beras dan Kebijakan Pangan di Tengah Krisis Iklim di Jakarta, Selasa (16/9/2025).
Kedua, para petani dari desa-desa di Kecamatan Sukasari, Kabupaten Sumedang, juga bernasib sama seperti petani di Desa Bulupayung.
Petani Sukasari sudah menggarap lahan pertanian sejak 1965.
Namun, status desa-desa di Kecamatan Sukasari berubah menjadi kawasan hutan pada 1996.
Alhasil, para petani di Kecamatan Sukasari juga merasakan ketidakhadiran negara akibat diklaim sebagai kawasan hutan.
Mereka memprotes tidak adanya pembangunan infrastruktur seperti jalan dan irigasi di Kecamatan Sukasari.
Ketimpangan Penguasaan Tanah
Menurut data yang ada, satu persen kelompok elite menguasai 58 persen tanah, kekayaan alam, dan sumber produksi di Indonesia, sementara 99 persen penduduk harus berebut sisa lahan yang ada.
Dewi mengatakan, kondisi ini akhirnya semakin memperburuk ketimpangan ekonomi di sektor agraria.
“Ketimpangan ini mengarah pada meningkatnya jumlah konflik agraria yang terjadi di berbagai wilayah,” jelas Dewi.
Konflik-konflik agraria ini berdampak langsung pada 1,8 juta keluarga yang kehilangan tanah serta mata pencaharian mereka.
Dewi juga menyoroti bahwa proyek-proyek investasi besar seperti Proyek Strategis Nasional (PSN), food estate, kawasan ekonomi khusus, hingga militerisasi pangan terus meluas ke wilayah desa dan kampung, yang menyebabkan lahan petani dan wilayah adat semakin tergerus.
“Proyek-proyek besar ini merampas tanah petani dan wilayah adat, serta menutup akses mereka terhadap laut dan wilayah tangkapnya. Hal ini terjadi karena lahan sudah dikapling-kapling oleh pengusaha besar,” ungkap Dewi.
KPA mengingatkan bahwa kegagalan reforma agraria yang terjadi dalam 10 tahun terakhir harus menjadi pelajaran bagi pemerintah untuk segera bertindak.
“Berkaca pada kegagalan GTRA selama 10 tahun terakhir, kami mendesak Presiden Prabowo untuk segera membentuk Badan Pelaksana Reforma Agraria Nasional yang lebih otoritatif, yang berada langsung di bawah kendali Presiden,” kata Dewi mengakhiri pernyataan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.