TRIBUNNEWS.COM – Lebih dari 250 mantan pejabat badan intelijen Israel, Mossad mengajukan petisi yang berisi desakan diakhirinya perang di Gaza.
Adapun petisi ini ditandatangani oleh ratusan mantan pejabat intelijen, termasuk di antaranya 3 mantan kepala Mossad, yakni Danny Yatom, Ephraim Halevy dan Tamir Pardo.
“Surat tersebut, yang diprakarsai oleh mantan perwira senior Mossad Gail Shorsh, memuat tanda tangan dari tiga mantan kepala Mossad, serta puluhan kepala departemen dan wakil kepala departemen dalam badan tersebut,” jelas laporan media lokal Yedioth Ahronoth yang dikutip Anadolu.
Selain mendesak diakhirinya perang Israel di Gaza, mereka juga menuntut pemulangan sandera kelompok pejuang Palestina Hamas.
Petisi yang digagas 250 mantan pejabat intelijen Mossad dirilis sebagai bentuk protes kepada pemerintahan Netanyahu yang selama ini dituding telah menjadikan perang sebagai alat politik.
Pasca petisi ini mencuat, baik Knesset maupun Netanyahu belum memberikan komentar apapun.
Namun petisi tersebut adalah yang kedua dalam kurun waktu 24 jam yang ditandatangani oleh mantan atau anggota pasukan keamanan Israel saat ini.
Menambah gelombang perbedaan pendapat publik yang berkembang dalam lembaga keamanan Israel.
Mengingat sejak akhir pekan kemarin, setidaknya ada enam petisi yang telah ditandatangani oleh para prajurit cadangan, perwira pensiunan, dan veteran dari berbagai cabang militer Israel.
1.000 Tentara Israel Tolak Perang
Sebelumnya, pada pekan kemarin sekitar 1.000 tentara cadangan Angkatan Udara Israel menyerukan tuntutan agar PM Netanyahu mengakhiri serangan di Gaza.
Kemudian Minggu lalu, 2.000 akademisi Israel, 100 dokter militer ikut menandatangani petisi yang menuntut diakhirinya perang dan pengembalian para sandera yang ditawan di Gaza.
Dalam tuntutannya mereka meminta agar tawanan Israel “segera dipulangkan” dari Gaza.
Adapun saat ini masih ada 59 sandera yang ditahan di Gaza, dengan sedikitnya 22 diantaranya masih hidup.
Mereka diharapkan dibebaskan dalam tahap kedua gencatan senjata Gaza dan perjanjian pertukaran tahanan.
Namun secara mengejutkan Netanyahu melanggar gencatan senjata dengan kembali melancarkan serangan mematikan di Gaza pada 18 Maret.
Netanyahu berdalih serangan dilakukan untuk menekan Hamas, akan tetapi tentara cadangan Israel menuding bahwa serangan ke Gaza saat ini sedang berlangsung untuk kepentingan Netanyahu.
Menurut mereka perintah perang yang dirilis Netanyahu hanya membuat tentara Israel trauma lantaran dalam agresinya mereka dipaksa penggunaan taktik melanggar hukum internasional secara nyata.
Netanyahu Buronan ICC
Serangkaian tindakan kriminal yang dilakukan Netanyahu mendorong Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap PM israel itu pada akhir tahun 2024 silam.
Majelis Praperadilan I ICC, yang terdiri dari Hakim yang menangani situasi di Palestina, memutuskan untuk menangkap Netanyahu dan Mantan Menteri Pertahanan Gallant.
Keduanya ditetapkan sebagai buronan ICC setelah melakukan berbagai dugaan kejahatan kemanusiaan dan kejahatan perang di Jalur Gaza, Palestina.
Seperti diantaranya merampas hak-hak dasar sebagian besar penduduk sipil di Gaza, termasuk hak atas hidup dan kesehatan.
Oleh karena itu, orang-orang tersebut kini menjadi buronan ICC dan bakal ditangkap jika mereka kedapatan berkunjung ke negara-negara anggota mahkamah internasional tersebut.
(Tribunnews.com / Namira)