Di dalam kitab tasawuf berjudul Nashoih al-Ibad karya Syaikh Nawawi al-Bantani terdapat hadits yang berbunyi:
خصلتان لاشيئ أفضل منهما الإيمان بالله والنفع للمسلمين
Artinya: “2 perkara yang memiliki keutamaan paling tinggi adalah percaya (iman) kepada Allah dan memberikan kemanfaatan bagi sesama muslim.”
Hadits di atas, secara implisit menerangkan bahwa sesuatu yang memiliki keutamaan sangatlah banyak, baik berupa peribadatan-peribadatan yang sifatnya wajib seperti shalat, puasa, zakat, berhaji, memberikan nafkah kepada keluarga, dan lain sebagainya, atau ibadah yang sifatnya sunnah seperti mengerjakan salat-salat sunah, tilawah Al-Qur’an, berzikir, dan lain sebagainya.
Akan tetapi, dari semuanya tersebut yang paling memiliki nilai keutamaan tertinggi adalah keimanan kepada Allah dan kebermanfaatan terhadap sesama.
Keimanan kepada Allah
Keimanan kepada Allah merupakan manifestasi penghambaan tertinggi yang memiliki efek ketaatan dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Dalam hal ini, kita menyebutnya dengan istilah taqwa yang merupakan buah dari keimanan (tsamrat al-iman) itu sendiri.
Selain itu, keimanan merupakan gerbang utama seorang hamba agar seluruh ibadah dan amal salih yang kita kerjakan mendapat legitimasi dari syari’at, sehingga kita akan dijanjikan adanya pahala dari ibadah maupun amal shalih yang kita kerjakan sebab keabsahan keimanan kita.
Keimanan seseorang terhadap Allah dan hal-hal lain yang wajib diimani tentu memiliki skala ukuran minimal yang harus diketahui dan diperhatikan, yaitu menjauhi segala hal yang berpotensi menjadikan seseorang menjadi musyrik (orang yang menyekutukan Allah). Dalam hal ini, musyrik terbagi menjadi tiga macam:
Musyrik sebab pola fikir (syirk i’tiqady), yaitu jika seseorang memiliki pemahaman dan keyakinan dengan sadar bahwa ada tuhan lain selain Allah, dan secara formal ia masih mendaku sebagai muslim.
Musyrik sebab ucapan perkataan (syirk qauly), yaitu jika seseorang dengan sengaja mengucapkan hal-hal yang bisa membuat syirik, seperti mengucapkan kata “tuhan itu banyak”, mengatakan sebagaimana yang diucapkan oleh pemeluk agama lain tentang ketuhanan, dan lain sebagainya.
Musyrik sebab perbuatan (syirk fi’ly), yaitu jika seseorang dengan sengaja melakukan perkara-perkara yang berpotensi syirik seperti menyembah sesembahan agama lain, turut serta dalam peribadatan agama lain, menggunakan simbol atau atribut agama tertentu, dan lain sebagainya.
Selain macam-macam syirik di atas, secara gradual syirik terbagi menjadi dua:
Syirik yang tidak terasa (syirk khafi), yaitu meyakini bahwa suatu hal memiliki sifat dan potensinya masing-masing secara mutlak, dan menafikan peran Allah. Perilaku syirik seperti ini masih belum sampai masuk pada wilayah kekufuran, seperti meyakini bahwa obat memiliki sifat menyembuhkan penyakit, api memiliki sifat membakar, pisau memiliki potensi memotong benda, dan lain sebagainya. Tingkatan syirik seperti ini menurut sebagian ulama adalah masuk kategori dosa besar yang tidak sampai menjadikan seseorang itu kufur.
Syirik yang jelas (syirk jaly), yaitu segala pola fikir (i’tiqady), perkataan (qauly), dan perbuatan (fi’ly) yang muncul dari kesadaran seseorang yang mengarah kepada tindakan syirik. Hal ini masuk kategori dosa besar yang mengarah kepada kekufuran.
Kebermanfaatan terhadap Sesama
Keutamaan yang sangat tinggi dalam ajaran Islam selanjutnya adalah memberi manfaat kepada sesama. Ini berarti seseorang menggunakan segala potensi yang dimilikinya untuk memberikan kebaikan dan manfaat bagi orang lain. Bentuk manfaat ini bisa bermacam-macam, baik berupa harta, tenaga, kedudukan, atau bahkan pengetahuan yang dimiliki seseorang. Dengan demikian, kebermanfaatan terhadap sesama sangat beragam dan dapat diwujudkan melalui berbagai cara yang sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa berinteraksi dan saling bergantung dengan orang lain. Dalam kehidupan sehari-hari, setiap aspek kehidupan manusia sering melibatkan peran orang lain. Karena itu, Islam sangat menekankan pentingnya hak dan kewajiban antar sesama individu.
Dalam bidang fikih, ada kajian yang luas mengenai hubungan sosial antarpribadi, yang mencakup hal-hal seperti akad atau perjanjian yang sah, peran positif dalam hubungan kemanusiaan yang disebut tabarru’ (sumbangan atau bantuan sukarela), serta berbagai bentuk interaksi lainnya yang disebut dengan muamalah.
Dari sinilah dapat dipahami bahwa penting bagi setiap individu untuk membangun hubungan yang baik dengan orang lain, khususnya dengan sesama umat Islam. Memelihara ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama Muslim) akan membuka lebih banyak kesempatan bagi seseorang untuk memberikan manfaat yang lebih besar.
Ketika hubungan antarumat Islam terjalin dengan baik, maka akan tercipta peluang yang lebih luas untuk saling membantu dan memberi manfaat, baik dalam konteks pribadi, keluarga, maupun masyarakat. Oleh karena itu, menjaga dan memperbaiki relasi antar sesama sangat penting agar kebermanfaatan kita kepada orang lain dapat terus berkembang dan memberikan dampak positif bagi kehidupan bersama.
Selain itu, masih dalam kategori bermanfaat terhadap orang lain adalah sikap tidak menyakiti atau berbuat sesuatu yang bisa menimbulkan kerugian orang lain, dan orang seperti inilah dikatakan sebagai muslim sesungguhnya. Rasulullah Muhammad Saw bersabda:
من اصبح لا ينوي الظلم على احد غفر له ما جن
Artinya: “Barangsiapa yang di waktu paginya memiliki niat untuk tidak berbuat dzalim kepada seseorang, maka dosa orang tersebut akan diampuni.”
المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده
Artinya: “Seorang muslim adalah ketika orang muslim lain selamat dari ucapan dan tindakan buruknya.”
Di dalam riwayat yang lain, banyak dijumpai muatan hadits yang menjelaskan tentang keutamaan memberikan kemanfaatan terhadap sesama, di antaranya adalah:
خير الناس أنفعهم للناس
Artinya: “Sebaik-baik manusia adalah yang bisa memberi manfaat kepada sesamanya.”
أحب العباد إلى الله تعالى أنفع الناس للناس
Artinya: “Orang yang paling dicintai Allah adalah orang yang paling bermanfaat terhadap sesama.”
Semoga kita bisa menghayati dan mengamalkan 2 perkara dari hadis utama di atas.
Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI)
