Kasus Pengantin Pesanan, Korban Terikat Perjanjian Dinikahi Pria Cina
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Polisi mengungkapkan bahwa korban praktik
mail order bride
atau
pengantin pesanan
terikat pada sebuah perjanjian yang dibuat oleh para tersangka.
Dirreskrimum Polda Metro Jaya Kombes Wira Satya Triputra menyatakan bahwa isi perjanjian tersebut ditulis dalam bahasa asing, sehingga banyak korban tidak memahami isinya.
“Isi dari perjanjian itu pada intinya adalah menikahkan korban dengan pria asing,” ujar Wira Satya Triputra di Polda Metro Jaya, Jumat (6/12/2024).
Dalam kasus ini, polisi menangkap sembilan orang dari dua kelompok berbeda.
Kelompok pertama terdiri atas H alias CE (36) dan N alias A (56), yang ditangkap di Bandara Soekarno-Hatta, Kota Tangerang, Selasa (10/11/2024).
Kelompok kedua mencakup MW alias M (28), LA (31), Y alias I (44), BHS alias B (34), NH (60), AS alias E (31), dan RW alias CL (34).
Mereka ditangkap di berbagai lokasi pada Oktober 2024.
Dua kelompok ini memiliki tempat penampungan di wilayah Cengkareng, Jakarta Barat, dan Pejaten Barat, Jakarta Selatan.
“Dari dua lokasi tersebut, polisi mengamankan empat korban warga negara Indonesia (WNI) berjenis kelamin perempuan, salah satunya masih di bawah umur. Para korban berasal dari Jawa Barat dan Kalimantan Barat,” ucap Wira.
Praktik pengantin pesanan bermula ketika tersangka MW dan LA, yang sudah saling mengenal sejak bekerja sebagai tenaga kerja wanita (TKW) di China pada 2018, mulai menjalankan aksinya.
Pada Maret 2023, LA berkenalan dengan korban V (22) melalui Facebook.
Pertemanan itu berlanjut hingga komunikasi berpindah ke WhatsApp.
Saat itu, V bekerja di sebuah tempat hiburan di Batam.
Beberapa bulan kemudian, MW yang tinggal di China bersama suaminya diminta oleh tetangganya, ZJ, untuk mencarikan seorang istri asal Indonesia.
MW lalu meminta LA mencarikan wanita Indonesia untuk dinikahkan dengan ZJ, dengan imbalan Rp 5 juta.
LA kemudian menawarkan V melalui WhatsApp, membujuknya untuk menikah dengan pria Cina.
Setelah V setuju, komunikasi antara korban dan ZJ dilanjutkan melalui aplikasi WeChat selama tiga bulan.
ZJ kemudian melamar V, dengan mahar Rp 60 juta yang disetujui MW.
MW mengirim uang Rp 1,3 juta kepada LA untuk membeli tiket bagi V guna mempermudah pengurusan dokumen.
Selain V, LA dan MW juga saling menawarkan korban lain untuk dijadikan pengantin.
Tersangka Y, yang tinggal bersama LA, membantu mencarikan korban lain, yakni MN (16).
Namun, MN awalnya hanya ingin berpacaran sebelum menikah.
Pada Juli 2024, MN tiba di Jakarta dan tinggal di tempat yang sama dengan V.
Tersangka MW meminta LA mengumpulkan dokumen MN untuk pengurusan surat.
Saat itu, MN masih di bawah umur.
BHS dan NH membantu mengurus visa untuk V agar bisa menikah dengan ZJ di China, tetapi upaya tersebut gagal dua kali.
Para tersangka juga memalsukan dokumen MN, seperti surat keterangan lahir dan ijazah, untuk menyembunyikan statusnya yang masih di bawah umur.
Setelah dokumen selesai, MW dan ZJ bertolak dari China ke Indonesia untuk bertemu V dan menikah secara siri.
Sesampainya di Indonesia, MW menemui V dan MN di tempat penampungan, sedangkan ZJ menginap di hotel.
Di hari yang sama, polisi menangkap para tersangka, termasuk MW, LA, dan Y, serta saksi ZJ.
KTP dan KK MN yang telah dipalsukan dengan nama inisial MC juga berhasil disita.
“Pada 11 Oktober 2024, polisi menangkap BHS dan NH. Kemudian pada 30 Oktober, AS dan RW juga ditangkap,” ujar Wira.
Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.