2 Ironi Diplomasi Prabowo, antara Perdamaian Gaza dan Terkuburnya Solusi Dua Negara Nasional

2
                    
                        Ironi Diplomasi Prabowo, antara Perdamaian Gaza dan Terkuburnya Solusi Dua Negara
                        Nasional

Ironi Diplomasi Prabowo, antara Perdamaian Gaza dan Terkuburnya Solusi Dua Negara
Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.
KEHADIRAN
Presiden Prabowo Subianto di Sharm El-Sheikh, Mesir, dalam Konferensi Perdamaian Gaza (Gaza Peace Summit) menjadi salah satu momen penting dalam diplomasi luar negeri Indonesia.
Dalam forum internasional yang dihadiri puluhan pemimpin dunia tersebut, Prabowo tampil di panggung bersama tokoh-tokoh besar seperti Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi, Presiden Amerika Serikat Donald Trump, serta sejumlah pemimpin negara Timur Tengah lainnya.
Bagi publik dalam negeri, penampilan tersebut dipandang sebagai kelanjutan dari pidato tegasnya di Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) beberapa waktu lalu, ketika Prabowo menyerukan agar perdamaian di Gaza segera diwujudkan dan solusi dua negara dijadikan patokan utama penyelesaian konflik Israel-Palestina.
Namun, di balik kemeriahan diplomasi dan tepuk tangan di ruang konferensi Mesir tersebut, terdapat ironi yang cukup mendalam dan tragis.
“Gaza Peace Summit”, yang juga dikenal sebagai peluncuran resmi “Gaza Plan”, sebenarnya tidak sepenuhnya menjawab semangat yang terkandung dalam pidato Presiden Prabowo Subianto di New York.
Bahkan, jika ditelisik lebih jauh, rencana damai yang didorong Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya tersebut justru berpotensi menjauhkan cita-cita dua negara yang selama ini menjadi fondasi diplomasi Indonesia di dalam isu Palestina.
Pertemuan di Mesir menjadi bagian dari upaya besar Presiden Donald Trump untuk menegaskan kembali perannya sebagai “pembawa perdamaian” di Timur Tengah di satu sisi dan pembukaan pintuk masuk reintervensi Amerika di sana di sisi lain, yang dalam beberapa waktu belakangan mulai diragukan banyak pihak.
Dalam pidato pembukaannya, Trump memuji sejumlah pemimpin dunia yang hadir, termasuk Prabowo.
“He’s a tough man, a great leader from Indonesia,” ujar Trump di hadapan kamera, sebuah komentar yang segera menjadi tajuk utama media di Indonesia.
Dalam konteks diplomasi, sanjungan tersebut tentu memiliki nilai simbolik dan menandakan pengakuan terhadap peran Indonesia di panggung internasional.
Prabowo terlihat tersenyum dan tampak akrab berbincang dengan Trump, bahkan sempat terekam meminta kesempatan untuk bertemu dengan Eric Trump, putra mantan presiden AS tersebut.
Bagi sebagian pengamat, momen tersebut menggambarkan langkah Prabowo dalam membangun jejaring politik global, terutama dengan Amerika Serikat, yang masih menjadi aktor utama di dalam politik Timur Tengah.
Namun, di sisi lain, sanjungan Trump tidak otomatis berarti dukungan terhadap visi Indonesia mengenai Palestina.
Rencana damai yang diinisiasi Washington dan disetujui oleh Mesir, Uni Eropa, serta sejumlah negara Arab yang moderat tersebut lebih berfokus pada stabilisasi keamanan dan rekonstruksi fisik Gaza pasca-perang, ketimbang membicarakan masa depan politik rakyat Palestina.
Dalam dokumen yang dibahas di konferensi tersebut, disebutkan pembentukan “Board of Peace for Gaza”, semacam badan multinasional yang akan mengawasi proses rekonstruksi dan transisi pemerintahan sementara di wilayah itu.
Namun, baik Hamas maupun Otoritas Palestina (PA) praktis tidak memiliki peran signifikan dalam struktur baru tersebut. Jadi rencana ini sejatinya adalah pengambilalihan kekuasaan di wilayah Gaza dari Hamas maupun Otoritas Palestina.
Dengan kata lain, rakyat Palestina kembali menjadi objek dari proyek perdamaian yang disusun oleh pihak luar, bukan subyek yang menentukan nasibnya sendiri.
Gaza, dalam rancangan tersebut, akan dikelola oleh dewan internasional yang beranggotakan perwakilan dari Mesir, Amerika Serikat, Uni Eropa, dan beberapa negara lain yang selama ini dikenal bersahabat dengan Israel.
Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa “Board of Peace” pada akhirnya akan berfungsi sebagai perpanjangan tangan dari kepentingan Tel Aviv, mengingat sebagian besar anggota dewan adalah negara-negara yang memiliki hubungan diplomatik, bahkan hubungan strategis erat dengan Israel.
Masalahnya, Prabowo tampaknya melihat kehadirannya di Mesir sebagai bentuk kesinambungan dari pidato idealisnya di PBB.
Dalam pandangannya, partisipasi Indonesia di konferensi tersebut merupakan kesempatan untuk menunjukkan bahwa negeri ini siap berperan aktif dalam perdamaian global, terutama di dunia Islam.
Namun, yang tampak dalam dinamika forum tersebut adalah bahwa “Gaza Plan” tidak dibangun di atas prinsip keadilan politik bagi rakyat Palestina, melainkan atas dasar kompromi strategis antara kekuatan besar dunia untuk mengakhiri perang tanpa menyentuh akar masalahnya.
Amerika Serikat, bukan Indonesia dan bukan Prabowo Subianto, memanfaatkan momentum itu untuk memproyeksikan diri sebagai “pembawa perdamaian”. Sementara Mesir ingin memperkuat posisinya sebagai mediator utama kawasan.
Israel tampak sangat diuntungkan, karena dengan adanya Gaza Plan, Tel Aviv tidak perlu lagi berhadapan langsung dengan Hamas atau PA dalam negosiasi politik.
Dalam rancangan baru tersebut, keamanan di Gaza dijamin oleh pasukan internasional di bawah pengawasan
Board of Peace
, sedangkan pembangunan ekonomi dan sosialnya akan dibiayai oleh konsorsium donor Barat.
Di permukaan, semua ini tampak positif. Perang berakhir, bantuan mengalir, dan Gaza mulai dibangun kembali.
Namun secara fundamental, rencana tersebut justru berpotensi memperkuat realitas “solusi satu negara”, yakni situasi di mana Israel tetap menjadi kekuatan dominan, mengendalikan keamanan dan ruang gerak Palestina, sementara entitas Palestina hanya eksis dalam bentuk administratif dan ekonomi, tanpa kedaulatan politik yang nyata.
Inilah paradoks besar yang menyelimuti kehadiran Presiden Prabowo di Mesir. Di satu sisi, ia hadir untuk merayakan langkah menuju perdamaian. Di sisi lain, ‘tanpa disadarinya’, konferensi tersebut juga menjadi simbol terkuburnya impian yang selama ini ia justru gaungkan, yakni solusi dua negara yang hidup berdampingan secara damai dan setara di antara dua negara.
Perlu pula diingat bahwa gagasan dua negara bukan sekadar isu diplomatik, tetapi juga menyangkut legitimasi moral perjuangan rakyat Palestina.
Selama tujuh dekade, berbagai resolusi PBB telah menegaskan bahwa solusi dua negara merupakan jalan paling adil untuk menyelesaikan konflik di kawasan tersebut.
Namun, dengan realitas politik di lapangan, terus meluasnya permukiman ilegal Israel di Tepi Barat (West Bank), fragmentasi internal di tubuh Palestina, dan absennya kemauan politik dari pihak Israel, konsep tersebut sesungguhnya sudah semakin kehilangan pijakan.
“Gaza Plan” yang diusung dalam konferensi di Mesir hanya mempercepat proses tersebut. Gaza Plan menormalisasi keadaan pasca-perang tanpa memberikan kedaulatan sejati bagi rakyat Palestina.
Dalam konteks ini, pujian Donald Trump terhadap Prabowo sebagai “tough man” mungkin terdengar kontras dengan kenyataan diplomatik yang terjadi.
Kekuatan sejati seorang pemimpin bukan hanya terletak pada keberaniannya hadir di forum internasional, melainkan pada kemampuannya menjaga prinsip yang diyakininya di tengah tekanan geopolitik.
Presiden Prabowo memang tampil percaya diri di Mesir. Namun, di balik senyum diplomatik dan foto bersama, sulit menampik bahwa posisi Indonesia nyaris tidak memiliki ruang tawar dalam menentukan arah kebijakan perdamaian yang sesungguhnya.
Lebih jauh, euforia kehadiran Indonesia di konferensi tersebut berpotensi mengaburkan peran kritis yang seharusnya diambil, terutama sebagai penyeimbang moral yang mengingatkan dunia bahwa perdamaian sejati tidak mungkin lahir tanpa keadilan.
Ketika dunia bertepuk tangan menyambut gencatan senjata dan rencana rekonstruksi, siapa yang menjamin bahwa rakyat Gaza akan benar-benar merdeka menentukan masa depannya sendiri?
Siapa yang bisa memastikan bahwa mereka bukan hanya pekerja dalam proyek besar pembangunan yang dikendalikan oleh kekuatan asing?
Pertanyaan-pertanyaan ini harus dijawab dengan jujur, karena jika tidak, konferensi seperti yang telah berlangsung di Mesir itu hanya akan menambah daftar panjang diplomasi simbolik yang tidak menyentuh akar persoalan.
Perdamaian yang dibangun di atas ketimpangan politik akan tetap rapuh, dan cepat atau lambat, konflik baru akan muncul dalam bentuk lain.
Presiden Prabowo, sebagai pemimpin baru Indonesia, tentu memiliki ambisi besar untuk menjadikan negaranya pemain penting dalam percaturan global.
Namun dalam isu Palestina, ambisi tersebut seharusnya tidak menjauhkan Indonesia dari nilai-nilai dasar yang telah menjadi bagian dari politik luar negeri sejak era Presiden Soekarno, yakni menolak penjajahan dalam bentuk apa pun dan memperjuangkan hak bangsa-bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri.
Kehadiran Prabowo di Mesir memang memberi warna baru dalam diplomasi Indonesia, tetapi juga mengingatkan bahwa politik luar negeri yang aktif tidak boleh kehilangan arah moralnya.
Perdamaian bukan sekadar berhentinya perang, melainkan hadirnya keadilan. Dan keadilan, dalam konteks Palestina, hanya mungkin terwujud jika rakyatnya diberi hak penuh untuk membangun negaranya sendiri, bukan sekadar menjadi objek dari proyek-proyek damai yang ditentukan oleh orang lain.
Pendeknya, “Gaza Plan” yang hari ini dirayakan dunia, berpotensi bisa menjadi paradoks sejarah yang menandai berakhirnya perang di Gaza, tapi sekaligus menandai semakin jauhnya solusi dua negara dari kenyataan.
Dan di tengah gemuruh tepuk tangan di ruang konferensi Sharm El-Sheikh, mungkin hanya sedikit yang menyadari bahwa apa yang disebut sebagai perdamaian, sesungguhnya sedang mengubur cita-cita kemerdekaan Palestina secara perlahan dengan cara yang tampak damai, tapi secara moral menyesakkan.
Bahkan, yang paling berbahaya dari semua ini adalah jika “Gaza Plan” dan konferensi di Mesir hanya menjadi panggung unjuk peran personal bagi para pemimpin dunia untuk menaikkan reputasi politik masing-masing.
Jika Trump menjadikannya batu loncatan menuju legitimasi politik baru, jika Presiden el-Sisi menggunakannya untuk memperkuat citra Mesir sebagai penjaga stabilitas regional, dan jika Prabowo Subianto memaknainya sebagai bukti pengakuan dunia atas kepemimpinannya, maka yang dikorbankan bukan hanya prinsip keadilan, tetapi juga kedaulatan rakyat Palestina itu sendiri.
Padahal perdamaian sejati tidak boleh lahir dari ambisi pribadi dan diplomasi pencitraan, tapi harus tumbuh dari keberanian moral untuk memastikan bahwa rakyat Palestina menjadi subyek utama dari masa depan mereka sendiri, bukan sekadar latar belakang bagi reputasi global para pemimpin dunia, termasuk Presiden Prabowo.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.