15 Tahun UU Masyarakat Adat tak Disahkan, Presiden dan DPR RI Digugat ke PTUN

15 March 2024, 23:15

Puluhan aktivis dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dengan menggunakan pakaian adat.(Dok.MI)

ALIANSI Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengajukan gugatan terhadap Presiden RI dan DPR RI ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Gugatan tersebut diajukan lantaran negara dianggap abai terhadap perlindungan masyarakat adat melalui UU Masyarakat Adat yang tidak kunjung ditetapkan sejak tahun 2009 atau 15 tahun yang lalu.
“Apa artinya situasi yang terjadi saat ini? Kami (masyarakat adat) terusir dan tersingkir dari tanah leluhur yang diwariskan ratusan bahkan ribuan tahun lalu, jauh sebelum negara ini terbentuk. Fakta tersebut tidak dipandang serius oleh negara, malah diperumit dengan persyaratan yang pada faktanya berimbas minimnya perlindungan dan pengakuan terhadap kami,” ujar Sekretaris Jenderal (Sekjen) AMAN Rukka Sombolinggi dalam konferensi pers, Jumat (15/3).
Rukka sebagai salah satu pihak penggugat selain 8 penggugat lainnya menegaskan bahwa proses gugatan masyarakat adat kepada DPR dan Presiden untuk segera membentuk UU Masyarakat Adat telah memasuki tahapan pembuktian. Untuk keperluan tahapan ini, dihadirkan bukti surat, saksi fakta dan juga keterangan ahli dari semua pihak untuk didengar oleh Majelis Hakim.
Baca juga : NasDem Terus Berupaya agar RUU Masyarakat Hukum Adat Disahkan
Sebagai pihak Penggugat, selain AMAN, permohonan gugatan berasal dari komunitas Masyarakat Adat Ngkiong di Kabupaten Manggarai, Masyarakat Adat Osing di Banyuwangi, dan Masyarakat Adat O Hongana Manyawa, Halmahera. Sedangkan saksi fakta berasal Masyarakat Adat Dayak Iban, Semunying Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat; perwakilan komunitas Dayak Tomun, Laman Kinipan Lamandau Kalimantan Tengah; Perwakilan Masyarakat Adat Rendubutowe, Nagekeo NTT; perwakilan Masyarakat Adat dari Manggarai, NTT; dan pendamping komunitas Masyarakat Adat O Hongana Manyawa Tobelo Dalam dari Maluku Utara.
“Apa yang kami alami, lihat, dengar dan ketahui sebagai saksi penting untuk didengar di muka persidangan serta publik agar semua pihak mengetahui dan memahami bahwa konteks masyarakat adat bukanlah perihal sederhana. Mengakui atau menghormati masyarakat adat bukan saja sekedar menghargai tarian, makanan, motif pakaian. Tidak juga dengan menggunakan pakaian-pakaian adat dalam upacara kenegaraan semata. Lebih dalam dari itu, yang kami tuntut dan yang seharusnya dilakukan negara adalah pengakuan dan perlindungan terhadap identitas budaya dan hak-hak kami sebagai masyarakat adat termasuk diantaranya hak atas wilayah adat, dan hak untuk mengatur diri kami sendiri. Pengakuan dan perlindungan ini tidak saja untuk keberlangsungan hidup kami sebagai masyarakat adat, tetapi juga menyangkut masa depan Indonesia yang beragam,” jelas Rukka.
Hermina Mawa atau yang akrab dipanggil Mama Mince, seorang perempuan pejuang hak masyarakat adat dari Rendubutowe, Nagekeo NTT, menceritakan bagaimana dirinya mengalami tindakan represif aparat dan sempat diborgol ketika dirinya dan puluhan perempuan adat mencoba mempertahankan hak ulayat atas wilayah adat yang diambil secara paksa karena alasan proyek strategis nasional berupa pembangunan waduk. Dirinya sama sekali tidak menolak inisiatif pembangunan pemerintah tersebut, akan tetapi lokasi pembangunan tidak pernah dibicarakan terlebih dahulu bersama masyarakat terutama menyangkut dampak dan kepastian hidup mereka. Baca juga : Desa Adat di Bali Perlu Bantuan dari APBN
“Tanah adat kami dirampas secara paksa tanpa pembicaraan. Kami sebagai perempuan merasa dinodai martabat karena mereka tidak pernah paham makna tanah bagi kami. Tanah ulayat dibagi secara berkeadilan dan merata di dalam komunitas karena tanah tersebut dipastikan menjadi pusat kehidupan tiap-tiap orang,” ujar Mama Mince.
Serupa dengan Mama Mince, saksi fakta lainnya yaitu Effendi Buhing dari Laman Kinipan Lamandau Kalimantan Tengah, menceritakan bagaimana dirinya ditahan paksa dengan pengerahan pihak aparat secara berlebihan. Penahanan ini pun dilakukan dengan cara melawan prosedur penangkapan dan penahanan. Dirinya menjadi target penangkapan aparat atas dasar laporan perusahaan yang merasa terganggu oleh aksi penolakan warga. Kala itu dirinya menjabat sebagai kepala desa.
“Tanah merupakan Ibu bagi kami. Dia tidak boleh dirusak. Tapi ketiadaan perlindungan atas wilayah adat melalui undang-undang menyebabkan pihak luar seenaknya masuk, merambah dan mengusir kami yang sudah ratusan tahun telah hidup di situ. Apa salahnya kami menolak?,” tanya effendi Buhing. Baca juga : RUU Masyarakat Hukum Adat Mandek
Persoalan mendasar masyarakat adat sebenarnya menjadi perhatian AMAN sejak lama. AMAN sendiri dideklarasikan oleh perwakilan masyarakat adat dari seluruh nusantara pada tahun 1999, salah satunya dilatari oleh kegelisahan terhadap perampasan wilayah-wilayah adat yang luas dan disertai dengan kekerasan negara. Sejak lama pula disadari bahwa salah satu penyebab utama dari hal tersebut adalah ketiadaan payung hukum yang mengakui dan melindungi Masyarakat Adat secara menyeluruh.
“Desakan agar negara membentuk UU Masyarakat Adat bukanlah terjadi secara tiba-tiba. Sejak 1999 AMAN telah bersuara dan mencoba melakukan edukasi melalui berbagai dialog kepada institusi-institusi negara adan kepada publik. Yang terjadi justru janji politik yang tak kunjung ditepati,” ungkap Abdon Nababan, mantan Sekretaris Pelaksana AMAN periode 1999-2003 dan Sekretaris Jenderal AMAN periode 2007-2017.
Di dalam paparannya, Abdon menjelaskan bagaimana sejarah, latar belakang dan proses upaya legislasi agar undang-undang masyarakat adat nyata terbentuk. Proses dialog, lobi, penelitian dan bahkan uji publik, pengujian hukum dan masukan di dalam visi misi calon Presiden pada saat kontestasi Pilpres telah dilakukan untuk memperlihatkan bahwa ada kebutuhan mendesak agar undang-undang Masyarakat Adat segera dibentuk. Namun upaya tersebut selalu mandeg, atau dapat dikatakan gagal, karena sebagai rancangan undang-undang yang telah menjadi program legislasi nasional (Prolegnas) tidak pernah dibahas bersama antara DPR dan Presiden. Baca juga : Perjuangan Masyarakat Adat Belum Berakhir
“Kerugian yang dialami masyarakat adat tidak hanya terkait tanah dan ruang hidup, bahkan kadangkala berdampak terhadap hilangnya nyawa. Kami ada tapi seolah-olah tidak ada,” kata dia.
Fatiatulo Lazira dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) selaku kuasa hukum para penggugat menambahkan pentingnya membangun kesadaran bersama dalam memandang kompleksitas persoalan yang dihadapi masyarakat adat dan urgensi pembentukan UU Masyarakat Adat.
“Perampasan wilayah, kriminalisasi, diskriminasi serta hal lain yang dilarang oleh prinsip-prinsip hak asasi manusia namun terjadi pada masyarakat adat merupakan bentuk pengingkaran negara atas filosofi dasar terbentuknya sebuah negara, yaitu untuk mensejahterakan setiap warga negaranya. Kesejahteraan tidak harus selalu dipandang dari aspek ekonomi saja, lebih penting dari itu yaitu terpenuhinya hak bagi pengakuan dan perlindungan bagi mereka. Barulah dapat dikatakan bahwa Negara hadir bagi mereka,” pungkas Fati. (Van/Z-7)