15 Pelajar Surabaya Positif Narkoba, Sosiolog UM Surabaya Sebut sebagai Krisis Struktural

15 Pelajar Surabaya Positif Narkoba, Sosiolog UM Surabaya Sebut sebagai Krisis Struktural

Surabaya (beritajatim.com) – Temuan 15 pelajar di Surabaya yang positif mengonsumsi narkoba menjadi alarm keras rapuhnya perlindungan anak di kawasan rawan peredaran, seperti di Jalan Kunti.

Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Jawa Timur mengungkap kasus ini setelah melakukan sampling tes terhadap 50 siswa di sekitar Jalan Kunti, salah satu titik merah narkotika di Surabaya.

Sosiolog Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya, Febriyanto Firman Wijaya menilai kasus ini bukan hanya persoalan penyalahgunaan narkoba, melainkan sinyal runtuhnya sistem pengamanan sosial remaja Surabaya.

“Kasus 15 siswa SMP positif narkoba di Jalan Kunti adalah alarm serius. Ini krisis struktural. Penyelesaiannya tidak cukup dengan moralitas, tapi kebijakan sosial radikal yang memperbaiki institusi dan lingkungan,” ujar Riyan, Minggu (16/11/2025).

Menurutnya, problem terbesar ada pada lingkungan sosial yang telah lama terpapar peredaran. Ia merujuk Teori Jendela Pecah (broken windows), bahwa normalisasi tindakan menyimpang membuat kontrol sosial keluarga melemah.

“Kehadiran bandar di kawasan Kunti menormalisasi penyalahgunaan. Modal sosial keluarga tergerus oleh stres struktural akibat kemiskinan. Peer group negatif akhirnya mengambil alih peran sosialisasi,” jelasnya.

Program edukasi berbasis model lama seperti D.A.R.E. dinilai tidak relevan dengan psikologi remaja digital.

“Remaja menghadapi anomie digital. Mereka mencari pelarian dari tekanan hidup dan cyberbullying. Kita butuh kurikulum Ketahanan Diri (Resilience Training), bukan kampanye bahaya narkoba satu arah,” ujarnya.

Di sisi lain, Riyan menegaskan bahwa stigma terhadap siswa justru memperburuk keadaan.

“Siswa adalah korban. Mereka tidak boleh dikeluarkan. Buat Kelas Dukungan Pemulihan dan status ‘Siswa dalam Program Pemulihan’ agar hak pendidikan terjamin,” katanya.

Ia menilai kasus di Jalan Kunti erat dengan ketimpangan sosial. Remaja dari keluarga berpenghasilan rendah lebih mudah dieksploitasi pengedar.

Guru BK, kata dia, tidak cukup hanya menjadi pemberi sanksi. Tapi, harus menjadi perantara sosial yang menghubungkan siswa dengan layanan rehabilitasi. Kepala sekolah pun harus menerapkan keadilan restoratif.

“Hukuman retributif seperti dikeluarkan hanya mendorong siswa kembali ke jalanan,” katanya.

Riyan menyebut penyelesaian harus berbasis sosial-ekologis, bukan razia sesaat. Ia pun memberikan sejumlah rekomendasi.

Pertama, revitalisasi infrastruktur sosial. Pemkot Surabaya perlu membangun Pusat Kegiatan Remaja di kawasan Kunti, lengkap program seni, olahraga, dan keterampilan gratis.

Kedua, integrasi outreach worker lokal. Yaitu, melibatkan tokoh masyarakat atau mantan pengguna sebagai petugas jangkauan resmi BNN agar pendekatan ke remaja lebih efektif.

Ketiga, pengawasan area sekolah. Pemkot Surabaya wajib memutus rantai peredaran di sekitar sekolah, termasuk warung-warung yang disinyalir menjadi titik transaksi. Artinya, sekolah harus menjadi zona aman.

Kasus Jalan Kunti, lanjut Riyan, hanya puncak gunung es. Jika Pemkot dan BNN tidak mengintervensi secara struktural, Surabaya berisiko menghadapi generasi remaja dengan kerentanan sosial yang makin dalam. [ipl/aje]