Keracunan Massal MBG Berulang: Segera Moratorium, Evaluasi, dan Investigasi
Pemerhati masalah politik, pertahanan-keamanan, dan hubungan internasional. Dosen Hubungan Internasional, FISIP, Universitas Komputer Indonesia (UNIKOM), Bandung.
PROGRAM
Makan Bergizi Gratis (MBG) sejatinya dirancang sebagai ikon politik sekaligus kebijakan unggulan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Saat kampanye, program ini digadang-gadang sebagai jawaban atas problem klasik gizi buruk, stunting, serta ketidakmerataan akses pangan di kalangan anak sekolah.
Namun, beberapa bulan setelah implementasi, alih-alih menjadi kebanggaan, MBG justru berubah menjadi sumber krisis nasional.
Tagar
#MakanBeracunGratis
yang viral di media sosial menjadi simbol runtuhnya kepercayaan publik terhadap program ini.
Tidak ada yang meragukan besarnya skala dan niat baik program MBG. Dengan alokasi anggaran mencapai Rp 71 triliun, pemerintah berupaya memastikan jutaan pelajar Indonesia mendapat asupan gizi layak setiap hari.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan kontras yang tajam, di mana lebih dari 5.360 anak menjadi korban keracunan hingga September 2025. Beberapa kasus mencatat angka korban yang mencengangkan, seperti 569 pelajar di Garut dan 277 pelajar di Banggai Kepulauan.
Jika program dengan dana raksasa justru menghasilkan derita massal, pertanyaan mendasar harus diajukan; di mana letak kesalahannya?
Apakah pada strategi desain kebijakan, lemahnya implementasi, atau ada faktor sabotase yang sengaja dimainkan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab?
Analisis data menunjukkan bahwa akar persoalan dalam Program MBG bukan sekadar insiden teknis, melainkan kegagalan sistemik yang menyentuh hampir seluruh aspek tata kelola.
Kegagalan ini bisa dilihat dari empat dimensi utama yang saling berkaitan, yaitu kecepatan pelaksanaan, integritas kelembagaan, manajemen rantai pasok, serta krisis kepercayaan publik.
Pertama, pelaksanaan program dilakukan secara tergesa-gesa dalam skala nasional tanpa infrastruktur pengawasan memadai.
Orientasi pemerintah tampaknya lebih berat pada aspek kuantitas, seperti hanya menghitung berapa banyak dapur yang dibangun, dan berapa banyak anak yang terlayani.
Sementara dimensi kualitas pangan dan keamanan konsumsi terabaikan. Akibatnya, makanan yang seharusnya menjadi penopang gizi justru berulang kali memicu keracunan massal pada anak-anak, kelompok yang seharusnya paling dilindungi.
Kedua, terdapat masalah serius terkait dapur fiktif dan dugaan korupsi. DPR mengungkapkan adanya sekitar 5.000 dapur MBG yang ternyata tidak benar-benar ada.
Fakta ini membuka indikasi kuat bahwa sebagian dana program menguap tanpa manfaat nyata bagi masyarakat.
Jika temuan ini benar, maka persoalannya bukan sekadar kelalaian administratif, melainkan praktik korupsi terstruktur yang merampas hak anak-anak Indonesia untuk memperoleh makanan bergizi dengan aman.
Ketiga, kelemahan juga tampak dalam rantai pasok dan sistem logistik. Kasus keracunan massal akibat pergantian pemasok ikan menegaskan bahwa mekanisme verifikasi dan kontrol kualitas sangat rapuh.
Tidak hanya itu, laporan tentang makanan basi, menu berbelatung, hingga kontroversi penggunaan wadah makanan (
food tray
) yang dituding mengandung minyak babi memperburuk citra program di mata publik.
Masalah-masalah ini menunjukkan bahwa aspek teknis – mulai dari penyimpanan, distribusi, hingga standar kebersihan – tidak dikelola secara profesional.
Keempat, krisis semakin dalam akibat defisit kepercayaan publik. Alih-alih mengakui kesalahan dan membuka ruang transparansi, pemerintah justru menerbitkan surat pernyataan yang meminta orangtua murid untuk tidak menuntut apabila terjadi keracunan.
Langkah ini bukan hanya gagal meredakan keresahan, melainkan semakin memperkuat persepsi bahwa negara berupaya lepas dari tanggung jawab moral dan hukum.
Akibatnya, kepercayaan masyarakat terhadap program MBG kian merosot, bahkan berpotensi bergeser menjadi penolakan terbuka.
Dengan demikian, jelas bahwa masalah MBG tidak berhenti pada level teknis, melainkan mencerminkan cacat desain kebijakan dan lemahnya tata kelola.
Jika tidak segera diperbaiki melalui evaluasi menyeluruh dan investigasi transparan, program yang semula digadang-gadang sebagai ikon kepedulian sosial justru berisiko tercatat sebagai kegagalan monumental dalam sejarah kebijakan publik Indonesia.
Tidak sedikit yang menduga adanya unsur sabotase terhadap MBG. Dugaan ini muncul karena banyaknya insiden terjadi serentak di berbagai daerah dengan pola mirip, seperti keracunan massal, pasokan bahan pangan rusak, hingga isu sensitif soal halal.
Namun, tanpa bukti empiris yang kuat, asumsi ini masih spekulatif.
Yang lebih nyata adalah indikasi inkompetensi dan tata kelola yang buruk. Jika Badan Gizi Nasional (BGN) gagal memverifikasi dapur, mengawasi rantai pasok, serta menjaga standar kebersihan, maka tanggung jawab utama tetap berada di pundak pemerintah.
Sabotase mungkin ada, tetapi kelemahan sistem yang membuka celah terjadinya sabotase itu.
Persoalannya, dampak krisis MBG melampaui aspek kesehatan. Ia kini menjelma menjadi liabilitas politik bagi pemerintahan Prabowo-Gibran.
Kegagalan dalam mengelola program unggulan bisa menjadi preseden buruk, yakni rakyat kehilangan kepercayaan pada janji-janji politik.
Situasi semakin sensitif karena korbannya adalah pelajar sekolah, mayoritas Generasi Z, kelompok yang sangat aktif di media sosial dan memiliki kemampuan mobilisasi opini.
Jika pemerintah tidak segera melakukan evaluasi fundamental, isu MBG bisa bergulir menjadi gerakan massa yang lebih besar, apalagi di tengah polarisasi politik pasca-pemilu.
Dalam situasi krisis seperti saat ini, langkah paling rasional yang dapat ditempuh pemerintah adalah moratorium sementara terhadap Program MBG, khususnya di daerah-daerah yang mencatat kasus keracunan massal dengan korban terbanyak.
Moratorium bukan berarti membatalkan niat mulia untuk memberi makan anak bangsa, melainkan langkah darurat untuk menghentikan jatuhnya korban baru sambil melakukan evaluasi mendalam.
Setelah moratorium, yang diperlukan adalah investigasi independen yang transparan. Tim investigasi ini idealnya melibatkan berbagai pihak, seperti Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Kementerian Kesehatan, akademisi, organisasi masyarakat sipil, serta perwakilan orangtua murid.
Dengan komposisi lintas sektor, investigasi diharapkan mampu menyentuh akar persoalan, bukan sekadar menutup permukaan masalah.
Fokus utama harus mencakup verifikasi ulang terhadap lebih dari 8.000 dapur MBG untuk memastikan apakah benar-benar ada atau fiktif; audit forensik alur anggaran guna mencegah kebocoran dana; uji laboratorium acak terhadap menu yang disajikan di sekolah; serta pemeriksaan menyeluruh atas rantai pasok bahan makanan, mulai dari pemasok hingga distribusi terakhir.
Langkah berikutnya adalah desain ulang mekanisme program. Pengalaman menunjukkan bahwa model yang terlalu sentralistik sangat rentan menimbulkan masalah.
Karena itu, desentralisasi menjadi pilihan logis dengan memberdayakan kantin sekolah dan UMKM katering lokal yang sudah terverifikasi.
Dengan memotong rantai distribusi, risiko makanan basi, rusak, atau terkontaminasi bisa ditekan secara signifikan.
Di sisi lain, desentralisasi juga membuka peluang pemberdayaan ekonomi masyarakat lokal sehingga manfaat program terasa lebih luas.
Pengawasan terhadap program pun perlu ditransformasikan secara partisipatif dan berbasis digital. Orangtua murid bisa dilibatkan melalui komite sekolah untuk memastikan kualitas makanan, sementara data distribusi, hasil uji sampel, serta laporan keluhan harus dipublikasikan secara transparan dalam
dashboard
daring
real-time
.
Dengan mekanisme ini, pengawasan publik tidak hanya menjadi formalitas, melainkan benar-benar hidup dan responsif.
Namun, semua reformasi itu akan kehilangan makna bila pemerintah kembali terjebak pada pola komunikasi lama yang defensif dan tertutup. Komunikasi krisis yang beradab menjadi kunci.
Membungkam keluhan publik atau menggulirkan narasi propagandis hanya akan memperburuk luka kepercayaan masyarakat. Sebaliknya, yang dibutuhkan adalah komunikasi yang jujur, terbuka, dan empatik.
Presiden Prabowo harus tampil di depan publik, tidak sekadar menyampaikan permintaan maaf, tetapi juga menunjukkan rencana konkret perbaikan dengan langkah yang terukur.
Dengan cara itu, kepercayaan masyarakat dapat dipulihkan, dan program MBG bisa kembali menempati posisi semula sebagai kebijakan pro-rakyat yang membanggakan.
Program MBG adalah kebijakan dengan niat luhur, tetapi implementasi yang buruk telah mengubahnya menjadi bencana politik dan sosial.
Oleh karena itu, dibutuhkan langkah drastis, yaitu moratorium, evaluasi menyeluruh, dan investigasi independen.
Jika reformasi dilakukan dengan transparan, MBG masih bisa diselamatkan sebagai program strategis yang membanggakan.
Namun, jika pemerintah memilih jalan pintas dengan retorika kosong dan perbaikan kosmetik, MBG berpotensi tercatat sebagai kegagalan monumental dalam sejarah kebijakan sosial Indonesia.
Dan bagi Presiden Prabowo, kegagalan ini bisa berbalik menjadi bom waktu politik yang merusak legitimasi kepemimpinannya sejak tahun pertama berkuasa.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
10 Keracunan Massal MBG Berulang: Segera Moratorium, Evaluasi, dan Investigasi Nasional
/data/photo/2025/08/27/68aef8c68b3ea.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)