Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

10 Kenapa Negara Arab Tidak Membantu Palestina atau Bersatu Melawan Israel? Internasional

10
                    
                        Kenapa Negara Arab Tidak Membantu Palestina atau Bersatu Melawan Israel?
                        Internasional

Kenapa Negara Arab Tidak Membantu Palestina atau Bersatu Melawan Israel?
Tim Redaksi
GAZA, KOMPAS.com
– “Di mana orang-orang Arab?! Di mana orang-orang Arab?!”
Pertanyaan itu dilontarkan seseorang yang muncul dari puing-puing seraya menggendong anak-anak yang sudah meninggal. Dia berteriak tanpa daya ke arah kamera yang menyorotnya.
Pertanyaan ini terus diulang oleh warga Gaza yang keheranan mengapa orang-orang di negara kawasan Arab tidak melindungi mereka dari pengeboman Israel.
Setelah serangan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober 2023 menewaskan 1.200 warga Israel terbunuh dan 250 orang lainnya diculik, semua mata langsung tertuju pada Timur Tengah.
Seberapa jauh pembalasan yang akan dilakukan Israel? Bagaimana penduduk dan pemerintah Arab menanggapi guncangan kemanusiaan yang terjadi di wilayah tersebut?
Pertanyaan pertama masih belum terjawab: Pengeboman Israel telah menghancurkan Jalur Gaza, merenggut nyawa lebih dari 42.500 warga Palestina, tetapi belum ada titik terang.
Yang kedua adalah benar: Jika ada orang yang mengharapkan adanya protes besar di ibu kota utama dunia Arab, mereka akan kecewa.
Adapun pemerintah negara-negara itu, “tanggapannya suam-suam kuku atau tidak sama sekali,” menurut Walid Kazziha, profesor ilmu politik di American University in Cairo (AUC), kepada
BBC Mundo
.
Di luar kritik retoris terhadap Israel atau peran mediasi yang diadopsi oleh pemerintah seperti Qatar atau Mesir yang “murni sebagai perantara dan tidak mendukung Palestina,” kata Kazziha, tak satu pun negara-negara Arab memutuskan hubungan dengan Israel atau melakukan tindakan diplomatik dan tekanan ekonomi apa pun untuk mengakhiri perang.
Mengapa perjuangan Palestina kehilangan relevansinya di antara pemerintah-pemerintah Arab di wilayah ini? Seperti hampir semua hal di Timur Tengah, jawabannya cukup rumit.
Wilayah Timur Tengah tidak pernah benar-benar menjadi blok yang utuh dan homogen.
Sepanjang sejarah, masyarakat Arab telah berbagi rasa identitas, bahasa, dan sebagian besar agama, serta kekhawatiran yang timbul dari pengaruh kolonial Eropa di wilayah tersebut.
Namun, kepentingan pemerintah mereka terkadang berseberangan.
Hubungan antara Palestina dan negara-negara Arab juga tidak mudah, terutama dengan negara-negara yang menerima sejumlah besar pengungsi setelah proklamasi Negara Israel pada 1948.
Namun, perjuangan Palestina juga merupakan faktor pemersatu negara-negara Arab selama beberapa dekade.
Selama periode ini, negara Israel dipandang “sebagai perpanjangan tangan dari kekuatan kolonial sebelumnya, yang telah menarik diri dari Timur Tengah,” menurut profesor kebijakan publik di Institut Pascasarjana Doha, Tamer Qarmout.
“Israel sengaja ditempatkan di sana sebagai agen untuk melindungi kepentingan mereka, yang sebelumnya merupakan kepentingan Inggris dan Perancis, dan sekarang kepentingan Amerika Serikat,” ujar Tamer Qarmout kepada
BBC Mundo
.
Perang yang dilancarkan terhadap Israel di masa lalu oleh negara-negara seperti Mesir, Suriah, dan Yordania tidak hanya untuk membela kepentingan nasional mereka, tetapi juga kepentingan Palestina, kata para analis.
Namun, perang tersebut kini telah berlalu. Mesir dan Yordania telah menandatangani perjanjian damai dengan Israel beberapa dekade yang lalu.
Maroko, Uni Emirat Arab dan Bahrain telah menormalisasi hubungan dengan Israel—negara yang hingga beberapa tahun lalu merupakan negara paria di wilayah tersebut.
Bahkan Arab Saudi pun hampir melakukan hal yang sama sebelum 7 Oktober dan serangan Hamas.
Bagi Dov Waxman, direktur Y&S Nazarian Center for Israel Studies di University of California, sejak awal konflik hingga hari ini, selama beberapa dekade terakhir, “masing-masing negara Arab mengikuti kepentingannya sendiri”.
“Mereka berbicara tentang mendukung Palestina dan solidaritas, dan bukan berarti perasaan itu tidak tulus, tetapi pada akhirnya mereka mengikuti kepentingan nasional mereka.”
“Ada banyak simpati terhadap bencana kemanusiaan yang dihadapi warga Gaza, dan mereka ingin pemerintah mereka berbuat lebih banyak. Mereka ingin hubungan diplomatik diputus. Mereka ingin para duta besar diusir, setidaknya ada tanggapan semacam itu,” ujar Fakhro.
Namun, hal ini tidak terjadi.
Menurut Imad K. Harb, direktur Riset dan Analisis di lembaga riset Arab Center di Washington, DC, “Pemerintah Arab telah lama meninggalkan Palestina.”
Bagi Tamer Qarmout, ada sebuah titik balik yang telah mengubah seluruh dinamika di kawasan ini: pemberontakan rakyat yang mengguncang Timur Tengah dan Afrika Utara antara tahun 2010 dan 2012, yang dikenal dengan sebutan Kebangkitan Arab
(Arab Spring).
“Sejak saat itu, gelombang telah berubah sepenuhnya dan kegagalan pemberontakan ini telah membuat kawasan ini berada dalam ketidakpastian: banyak negara yang masih terbenam dalam konflik sipil, seperti Yaman, Suriah, atau Irak,” kata profesor dari universitas di Qatar ini.
“Dua negara terakhir, yang merupakan negara sentral dan kuat dengan ide-ide politik yang dapat menantang AS, telah lenyap.”
Di tengah keadaan krisis permamen ini, kendati bersimpati kepada Palestina, masyarakat Arab “merasa tak berdaya”, menurut Qarmout.
“Mereka sendiri hidup di bawah tirani, otokrasi, dan kediktatoran. Dunia Arab berada dalam kondisi yang menyedihkan, orang-orang tidak memiliki kebebasan atau kemampuan dan aspirasi untuk hidup bermartabat,” kecam Qarmout.
Meski begitu, respons sosial jauh lebih kuat daripada respons pemerintah, meskipun hal ini berkembang terutama di media sosial.
Sejak
Arab Spring
, jalan-jalan di banyak negara di kawasan ini, seperti Mesir, menjadi terlarang bagi aktivisme.
Jika dulu pemerintah otoriter mengizinkan masyarakat untuk melampiaskan rasa frustasi mereka dalam aksi demonstrasi membela Palestina, kini mereka khawatir protes semacam itu akan berujung pada hal yang lebih besar.
Namun, itu bukan satu-satunya hal yang berubah dalam tahun-tahun penuh gejolak ini, ketika jutaan orang Arab turun ke jalan di negara-negara seperti Tunisia, Mesir, Libya, Suriah, Bahrain, dan Maroko untuk menuntut demokrasi dan hak-hak sosial.

Arab Spring
benar-benar merupakan guncangan dan mengubah dinamika dan prioritas banyak negara,” kata Qarmout.
“Beberapa rezim lama tidak ada lagi dan yang lainnya berpikir bahwa mereka akan tertinggal, sehingga mereka panik, melihat ke kiri dan ke kanan dan mencari perlindungan.”
“Banyak yang percaya pada gagasan yang dijual oleh Amerika Serikat bahwa Israel, sekutunya di kawasan itu, dapat melindungi mereka,” ujarnya.
Perjanjian itu menjadi kesepakatan hubungan Barhain dan Uni Emirat Arab dengan Israel—perjanjian ini kemudian diikuti oleh Maroko dan Sudan.
Lalu, dampak perjanjian ini kemudian datang. Washington, misalnya, mengakui kedaulatan Maroko atas Sahara Barat, yang membuat referendum penentuan nasib sendiri menjadi tidak mungkin.
“Ketika kita melihat hubungan yang telah dibangun oleh negara-negara ini dengan Israel, kita melihat bahwa pada dasarnya bermuara pada Israel yang menjual sistem untuk memata-matai penduduk mereka sendiri,” kata Walid Kazziha.
Dugaan kasus spionase menggunakan program Pegasus—yang dikembangkan oleh perusahaan Israel NSO Group—telah mempengaruhi Maroko, Uni Emirat Arab, Bahrain, dan bahkan Arab Saudi, meskipun tidak memiliki hubungan resmi dengan Israel.
Menurut
The New York Times
, Riyadh membeli program tersebut pada 2017 dan kehilangan akses ke program tersebut setelah pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi di konsulat Saudi di Istanbul pada tahun berikutnya.
Namun, Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman berhasil memulihkan layanan setelah menelepon Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu yang melakukan intervensi untuk mengizinkan Saudi menggunakan perangkat lunak itu lagi, demikian laporan surat kabar Amerika tersebut.
Hubungan Hamas dan Hizbullah dengan Iran juga menimbulkan kecurigaan di negara-negara Arab.
Bagi negara-negara Teluk, misalnya, Iran adalah ancaman yang lebih besar daripada Israel. Banyak pemerintah Arab “telah mengadopsi narasi Israel dan Amerika bahwa gerakan-gerakan ini adalah perpanjangan tangan Iran di wilayah tersebut, dan bahwa mereka diciptakan untuk menyabotase proyek perdamaian regional dengan mengabaikan Palestina,” kata Qarmout.
Ini adalah narasi yang didorong oleh sebagian besar media resmi di dunia Arab—sebuah wilayah di mana hampir tidak ada media independen, menurut para analis.
“Bagi media Saudi, misalnya, perhatian utama bukanlah Palestina, tetapi bagaimana Iran mendapatkan tempat,” Kazziha berpendapat.
Akan tetapi, negara-negara ini kemudian menjadi waspada terhadap kekuatan gerakan yang terus meningkat.
“Ketika pintu-pintu tertutup bagi mereka dan tidak ada yang mau memberi mereka senjata untuk melawan Israel, mereka bersedia membantu penjahat untuk mendapatkannya,” tambahnya.
Hal yang sama berlaku untuk Hizbullah dan kelompok-kelompok lain yang menerima dukungan dari Iran, tetapi juga ingin membela Palestina,
Menurut Kazziha, ketika Iran dikedepankan sebagai promotor, maka orang-orang Arab tidak lagi menjadi tokoh utama.
“Saya pikir ada beberapa gerakan Arab yang benar-benar tertarik untuk mendukung Palestina dan bahkan mati untuk mereka, seperti Hizbullah, Houthi di Yaman, dan beberapa gerakan Syiah di Irak,” ujar peneliti AUC tersebut.
Selain kepentingan geostrategis dan krisis di negara-negara Arab, perjuangan Palestina telah dilupakan seiring berlalunya waktu.
Konsep-konsep yang pernah membuat jantung Timur Tengah berdegup kencang, seperti pan-Arabisme, kini hanya menjadi gema masa lalu.
“Sebagian besar generasi muda di wilayah ini bersimpati kepada Palestina, tetapi mereka tidak mengetahui dinamika konflik karena hal-hal tersebut tidak lagi diajarkan di sekolah-sekolah,” jelas Qarmout.
“Pada 1960-an dan 1970-an, banyak negara Arab yang memiliki kurikulum sekolah yang lengkap tentang Palestina, namun saat ini masyarakat telah berubah dengan kekuatan globalisasi, bahkan identitas,” jelas Qarmout,” katanya.
Hal yang sama juga terjadi pada para pemimpin baru.
“Di negara-negara Teluk, misalnya, ada generasi pemimpin baru seperti Mohamed Bin Salman dari Arab Saudi, yang sebagian besar berpendidikan Barat, yang tidak pan-Arab dan tidak melihat Palestina sebagai sebuah isu,” jelas Qarmout.
“Prioritas mereka berbeda dan begitu pula ambisi mereka,” cetusnya.
Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.