Bisnis.com, JAKARTA — Selama puluhan tahun, kawasan hutan di Indonesia hidup dalam paradoks. Di atas kertas, hutan merupakan milik negara dan dijaga oleh konstitusi. Namun, di lapangan secara de facto jutaan hektar hutan dikuasai secara ilegal, setengah ilegal, atau “abu-abu” oleh para pengusaha tambang dan perkebunan yang tidak sepenuhnya patuh taat hukum.
Bukan negara tidak tahu, tetapi keinginan untuk melakukan penertiban selalu saja berhenti pada tataran wacana semata karena tersangkut dalam sikap kompromi struktural yang diwariskan oleh rezim masa lalu.
Dalam masa kerja telah berjalan selama 1 tahun terakhir ini, Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) yang dibentuk melalui Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 telah menertibkan dan menguasai kembali 4,08 juta hektare kebun sawit dan tambang ilegal di kawasan hutan Indonesia.
Angka itu bukan sekadar statistik semata. Tapi luas kawasan hutan berhasil ditertibkan dan dikuasai kembali oleh negara tersebut setara dengan delapan kali luas Pulau Bali. Karena itu, boleh jadi ini merupakan operasi penertiban kawasan hutan terbesar dan tercepat dalam sejarah negara Indonesia modern.
Kalau melihat lebih jauh bagaimana desain Satgas PKH memang tampak jelas bila ia menandai perubahan cara negara untuk menertibkan dan menguasai kembali kawasan hutan. Lintas pemangku kepentingan (stakeholders) mulai dari Kejaksaan Agung, Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) hingga kementerian teknis disatukan dalam satu payung komando nasional.
Karena itu, upaya penertiban kali ini tidak lagi bersifat administratif dan sektoral semata, tapi menggabungkan daya paksa hukum, kontrol lapangan, dan konversi pelanggaran sekaligus untuk menjadi penerimaan negara. Hasil yang dituai pun jauh lebih konkret, sesuatu yang selama bertahun-tahun dianggap “mustahil” dapat terjadi dalam hitungan bulan saja.
Satu hal yang patut digarisbawahi juga sasaran operasi ini bukanlah rakyat kecil. Besaran Rp2,3 triliun denda pada tahun 2025 berasal dari 21 perusahaan serta potensi Rp142 triliun pada 2026, menunjukkan bila fokus satgas PKH adalah korporasi-korporasi besar yang melakukan pelanggaran struktural.
Realitas ini sekaligus mematahkan narasi yang berkembang selama ini bahwa penertiban kawasan hutan identik dengan kriminalisasi terhadap rakyat kecil. Justru sebaliknya negara akhirnya berani menyentuh para pelaku dengan daya rusak besar.
Dari sisi lingkungan, hasil yang diperoleh jauh dari sekadar simbolik semata. Sekitar 688.000 hektare kawasan hutan konservasi di sembilan provinsi saat ini telah dikembalikan untuk dilakukan rehabilitasi, termasuk kawasan kritis seperti Taman Nasional Tesso Nilo.
Selain itu, seluruh tambang ilegal di Geopark Raja Ampat dan lebih dari seribu tambang timah ilegal di Kepulauan Bangka Belitung telah ditertibkan. Capaian-capaian itu bukan “hijau dalam pidato”, tetapi restorasi ekologis yang nyata dan terukur.
Di luar isu lingkungan, makna terbesar dari operasi Satgas PKH ini terletak pada soal kedaulatan negara atas ruang.
Selama ini, berbagai permasalahan di kawasan hutan selalu dipandang sebagai beban lantaran sangat terkait dengan konflik sosial, biaya pengawasan, dan tekanan internasional. Namun, satgas PKH telah membalik paradigma itu. Lahan ilegal diubah menjadi aset negara, pelanggaran menjadi penerimaan negara, dan penertiban menjadi instrumen state-building.
Apakah dengan ini berarti Presiden Prabowo Subianto adalah seorang aktivis pegiat isu lingkungan? Mungkin tidak dalam terminologi pengertian umum selama ini, tapi justru di sana letak signifikansi.
Lingkungan dalam kebijakan Presiden Prabowo tidak diposisikan sebagai isu moral atau citra global, melainkan sebagai aset strategis nasional. Hutan dijaga bukan karena slogan, tetapi ia menopang kedaulatan pangan, energi, fiskal, dan teritorial Indonesia.
Pendekatan ini bisa disebut sebagai environmentalism berbasis kedaulatan negara. Ia keras terhadap pelanggaran besar, tidak sentimental, tidak antiekonomi, tetapi tegas menolak ekonomi ilegal dan predatorik.
Ke depan, konsistensi operasi ini akan diuji oleh waktu. Rehabilitasi harus nyata, penerimaan negara harus transparan, dan penegakan hukum tidak boleh melemah.
Satu hal sudah jelas di depan mata,tahun ini menandai momen di mana negara berhenti bernegosiasi dengan pelanggaran-pelanggaran lama untuk kembali berdiri sebagai penguasa sah atas hutan yang dimiliki. (*)
