Jakarta, CNN Indonesia —
Pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra menjelaskan perbedaan antara Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) dan Dewan Pertimbangan Agung (DPA) sebagai lembaga negara yang pernah eksis di masa Orde Baru (Orba).
Hal itu disampaikan Yusril merespons rencana DPR untuk merevisi UU Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden. RUU Wantimpres kini telah menjadi usul inisiatif DPR untuk kemudian selanjutnya akan dibahas bersama pemerintah.
“Saya mendapat banyak pertanyaan dari berbagai pihak sehubungan dengan RUU hasil inisiatif DPR ini,” ucap Yusril dalam keterangannya, Selasa (16/7).
Yusril menilai RUU Wantimpres tidak substansial jika hanya dikaitkan dengan perubahan nomenklatur lembaga atau jumlah anggota. Menurut dia, hal penting dalam perubahan RUU tersebut adalah terkait dengan kedudukan lembaga itu dengan lembaga negara lainnya.
Menurut dia, dalam UUD 45 sebelum amendemen, DPA memang disebut sebagai nomenklatur dan tertuang dalam Bab tersendiri, yakni Bab IV dengan judul “Dewan Pertimbangan Agung” yang terdiri atas 2 ayat. Tugas DPA memberikan jawaban atas pertanyaan Presiden dan berhak mengajukan usul kepada pemerintah.
UUD 45 ketika itu menyebut DPA sebagai “Council of State” yang wajib memberikan pertimbangan kepada pemerintah. Karena itu, kata Yusril, dalam pelajaran hukum tatanegara sebelum amendemen UUD 45, DPA digolongkan sebagai lembaga tinggi negara.
Sementara, dalam UUD 45 hasil amendemen, Bab IV dengan judul “Dewan Pertimbangan Agung” dihapus. Namun, Pasal 16 yang mengatur tentang DPA dan berada di bawah Bab itu tetap ada. Hanya saja, klausulnya diubah sehingga berbunyi, “Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dengan undang-undang”.
Namun, terang Yusril, UUD hasil amendemen tidak mengatur nama lembaga pengganti DPA. Belakangan, dalam UU Nomor Tahun 2006 menamakannya Dewan Pertimbangan Presiden dan menempatkan lembaga itu di bawah Presiden.
“Itulah tafsir yang berkembang saat itu. Pemikirannya adalah karena DPA sebagai lembaga negara dihapuskan oleh amendemen, maka kedudukan Wantimpres ditempatkan berada di bawah Presiden sebagai lembaga pemerintah,” katanya.
Mantan Ketua Umum PBB itu memandang tak ada persoalan mendasar dalam poin usul perubahan di RUU Wantimpres terutama mengenai status DPA ke depan akan sejajar dengan lembaga negara lain. Malah, usul perubahan itu menurutnya mendekati maksud UUD 45 dibanding dengan penafsiran tahun 2006 ketika UU Wantimpres disahkan.
“Penafsiran sekarang ini lebih mendekati maksud UUD 45 dibandingkan dengan penafsiran tahun 2006 ketika UU Wantimpres dirumuskan oleh para pembentuknya, termasuk saya juga,” kata dia.
Sementara, lanjut Yusril, terkait status DPA di masa Orba yang pernah menjadi lembaga tinggi negara, kini statusnya tak lagi relevan. Sebab, sejak kedudukan MPR diubah lewat amendemen, para akademisi mulai menganggap lembaga tinggi negara tak lagi ada.
“Bahkan istilah lembaga tinggi negara pun dihindari penggunaannya, seiring dengan perubahan rumusan tentang pelaksana kedaulatan rakyat dalam UUD 45 hasil amendemen,” katanya.
(thr/gil)
[Gambas:Video CNN]