Banyak penjual yang juga menghadirkan wedang ronde dengan variasi bahan, seperti menambahkan buah nangka atau cincau untuk memberikan sentuhan rasa dan tekstur yang berbeda.
Namun, meskipun ada berbagai variasi, rasa autentik wedang ronde khas Yogyakarta selalu berhasil mencuri perhatian para pecinta kuliner tradisional. Sejarah wedang ronde di Indonesia tidak lepas dari pengaruh budaya Tionghoa.
Bola ketan yang menjadi ikon wedang ronde sebenarnya memiliki kemiripan dengan tangyuan, sajian khas Tiongkok yang biasanya disajikan dalam perayaan tertentu seperti Festival Lampion.
Namun, wedang ronde mengalami adaptasi sesuai dengan budaya lokal, terutama dengan penggunaan jahe sebagai bahan utama kuahnya. Adaptasi ini menciptakan minuman yang khas Indonesia, dengan sentuhan rempah-rempah Nusantara yang kaya rasa.
Hingga kini, wedang ronde tetap menjadi salah satu minuman favorit masyarakat, baik sebagai penghangat di malam hari maupun sebagai simbol keakraban dan kebersamaan.
Minuman ini juga memiliki makna filosofis yang mendalam, terutama jika dikaitkan dengan budaya Jawa. Wedang ronde dianggap sebagai simbol kehangatan dan kebersamaan, di mana setiap unsur di dalamnya saling melengkapi untuk menciptakan rasa yang harmonis.
Bola-bola ketan yang melambangkan kebulatan tekad, kuah jahe yang menghangatkan, serta berbagai isian lainnya menunjukkan keberagaman yang tetap bisa bersatu.
Oleh karena itu, wedang ronde tidak hanya menjadi sekadar sajian kuliner, tetapi juga merepresentasikan nilai-nilai sosial yang ada dalam budaya Jawa.
Di setiap seruput wedang ronde, terselip rasa hangat yang membawa kita lebih dekat dengan akar tradisi sekaligus menghadirkan kenikmatan sederhana yang sulit dilupakan.
Penulis: Belvana Fasya Saad
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/2834701/original/013278100_1561180469-iStock-663898564.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)