Waruga, Makam Batu Para Leluhur Minahasa yang Menyimpan Jejak Sejarah dan Keagungan Budaya

Waruga, Makam Batu Para Leluhur Minahasa yang Menyimpan Jejak Sejarah dan Keagungan Budaya

Selain itu, keberadaan waruga juga menunjukkan tingginya rasa hormat masyarakat Minahasa terhadap leluhur mereka. Ritual-ritual penyucian dan penghormatan masih sering dilakukan di sekitar lokasi waruga, membuktikan bahwa hubungan antara dunia yang terlihat dan yang tak kasat mata masih erat dalam kehidupan masyarakat lokal.

Namun, di balik kemegahan dan nilai budaya tinggi yang dimiliki waruga, peninggalan ini juga sempat menghadapi masa-masa penuh tantangan. Pada masa kolonial dan setelah masuknya ajaran Kristen ke Minahasa, praktik pemakaman dengan waruga dianggap bertentangan dengan ajaran agama baru.

Pemerintah kolonial Hindia Belanda bahkan mengeluarkan larangan penggunaan waruga sebagai tempat penguburan pada awal abad ke-19, karena dianggap tidak higienis dan berpotensi menyebarkan penyakit.

Akibatnya, banyak waruga yang ditinggalkan, dirusak, atau dipindahkan dari lokasi aslinya. Meski begitu, semangat masyarakat Minahasa dalam melestarikan warisan leluhur mereka tidak pernah padam.

Kini, waruga-waruga yang tersisa menjadi situs sejarah yang dilindungi dan menjadi daya tarik budaya yang mengundang wisatawan, peneliti, hingga spiritualis dari berbagai penjuru dunia untuk menyaksikan langsung jejak peradaban kuno Minahasa yang tak ternilai harganya.

Keberadaan waruga yang tersebar di beberapa daerah seperti Sawangan, Airmadidi, dan Rap-Rap bukan hanya memperkaya narasi sejarah Indonesia, tetapi juga menegaskan bahwa setiap budaya lokal memiliki cara unik dan penuh makna dalam memaknai kehidupan dan kematian.

Dalam dunia yang semakin modern dan serba cepat ini, waruga hadir sebagai pengingat akan pentingnya menjaga warisan budaya dan mengenang akar sejarah yang membentuk jati diri bangsa. Karena pada akhirnya, sebagaimana jenazah dalam waruga yang kembali dalam posisi janin, manusia akan selalu kembali ke asalnya dan budaya adalah benang yang menyatukan perjalanan tersebut.

Penulis: Belvana Fasya Saad