Jakarta, CNBC Indonesia – Pengusaha meminta penetapan upah minimum provinsi (UMP) tahun 2025 tetap mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) No 51/2023 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No 36/2021 tentang Pengupahan yang diterbitkan pada 10 November 2023. PP itu berlaku di tanggal yang sama.
Di dalam PP tersebut ditetapkan formula perhitungan Upah Minimum yang tercantum pada pasal 26. Formula itu mencakup 3 variabel yaitu Inflasi, Pertumbuhan Ekonomi, dan Indeks Tertentu (disimbolkan dalam bentuk α). Indeks tertentu berada dalam rentang nilai 0,10 sampai dengan 0,30. PP ini pun mendapat penolakan dari pekerja/ buruh.
Hasilnya, dengan menggunakan data-data ekonomi tahun 2023, formula itu memperhitungkan kenaikan UMP tahun 2024 sekitar 4%. Pada praktiknya, DKI Jakarta menetapkan UMP 2024 naik 3,6% atau Rp 165.583 menjadi Rp5.067.381. Sementara, UMP Maluku Utara naik 7,50% dan DI Yogyakarta naik 7,27%.
Sementara itu, pasal 28A PP No 51/2023 menetapkan, upah minimum provinsi (UMP) paling lambat diputuskan dengan Keputusan Gubernur dan diumumkan pada setiap tanggal 21 November tahun berjalan. Jika tanggal 21 November bertepatan dengan hari Minggu atau hari libur nasional, maka UMP harus diputuskan dan diumumkan sehari sebelum hari Minggu atau hari libur tersebut.
Ketua Bidang Ketenagakerjaan dan K3 Apindo DKI Jakarta Nurjaman mengatakan, meski MK telah menetapkan putusannya, pengusaha berharap penentuan UMP tahun 2025 tetap mengacu pada PP No 51/2024.
“Harapan kami penetapan UMP 2025 tetap mengacu pada PP No 51/2023. Lalu siapa tahu kan tahun 2025 kita tidak harus lagi menetapkan upah minimum. Selama belum ada regulasinya, penetapan upah minimum provinsi tetap mengacu pada PP No 51/2023,” kata Nurjaman kepada CNBC Indonesia, Jumat (1/11/2024).
“Putusan MK itu juga kan memerintahkan agar ada UU terpisah untuk ketenagakerjaan. Nah dalam penetapan upah ini kan tentu harus ada regulasinya. Jadi jangan putusan MK itu ditelan mentah-mentah,” ujarnya.
Apindo, kata Nurjaman, akan mengkaji setiap putusan MK tersebut.
“Kami menghormati proses hukum di MK. Kami sangat memahami pentingnya menjaga keseimbangan kepentingan pekerja dan dunia usaha,” ujarnya.
Hanya saja, menurut dia, putusan itu dapat memicu dampak tidak positif bagi Indonesia, yang dapat menyebabkan Indonesia tak lagi ramah investasi.
“Padahal investasi dibutuhkan untuk pertumbuhan ekonomi. Jangan sampai regulasi menimbulkan dampak tidak bagus. Sebab investasi membutuhkan iklim yang sehat, yang dibutuhkan untuk menstabilkan ekonomi agar bisa tumbuh bagus. Jika Indonesia tidak ramah investasi, target pertumbuhan ekonomi nasional bisa tidak tercapai. Ini bukan cuma tugas pengusaha, tapi juga pemerintah dan pekerja,” cetus Nurjaman.
‘Kami akan kaji, hitung dampak dari masing-masing putusan itu, yang mencakup sekitar 21 pasal itu. Kami akan ukur kembali dampaknya terhadap kondisi, perencanaan perusahaan, dan potensinya terhadap beban operasional. Terutama di kondisi saat ini di tengah dinamika turbulensi akibat efek global,” katanya.
Putusan MK
Seperti diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan mengabulkan sebagian besar permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 6/2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja).
Putusan tersebut atas perkara Nomor 168/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Partai Buruh, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), dan dua orang perseorangan, yaitu Mamun dan Ade Triwanto yang berprofesi sebagai buruh.
MK juga meminta pembentuk Undang-Undang (UU), dalam hal ini pemerintah, segera membentuk UU ketenagakerjaan yang baru. Dan memisahkan atau mengeluarkan dari yang diatur dalam UU Cipta Kerja. Demikian mengutip situs resmi MK, Jumat (1/11/2024).
Dalam keputusan itu, salah satu dalil yang ditetapkan menyangkut penetapan upah pekerja, yaitu atas pasal 88 UU Cipta Kerja.
MK menyatakan, Pasal 88 ayat (1) dalam Pasal 81 angka 27 Lampiran UU Ciptaker yang menyatakan “Setiap Pekerja/Buruh berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “termasuk penghasilan yang memenuhi penghidupan yang merupakan jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja/buruh dari hasil pekerjaannya sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua”.
Dan, menyatakan Pasal 88 ayat (2) dalam Pasal 81 angka 27 Lampiran UU Ciptaker yang menyatakan, “Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan pengupahan sebagai salah satu upaya mewujudkan hak pekerja/buruh atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai, “dengan melibatkan dewan pengupahan daerah yang di dalamnya terdapat unsur pemerintah daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan yang menjadi bahan bagi pemerintah pusat untuk penetapan kebijakan pengupahan.
Foto: Buruh melakukan sujud syukur saat aksi unjuk rasa di kawasan Patung Kuda, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Kamis (31/10/2024). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)
Buruh melakukan sujud syukur saat aksi unjuk rasa di kawasan Patung Kuda, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Kamis (31/10/2024). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)
Menyatakan frasa “dalam keadaan tertentu” dalam Pasal 88F dalam Pasal 81 angka 28 Lampiran UU Ciptaker bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “Yang dimaksud dengan “dalam keadaan tertentu” mencakup antara lain bencana alam atau non-alam, termasuk kondisi luar biasa perekonomian global dan/atau nasional yang ditetapkan oleh Presiden sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Menyatakan Pasal 90A dalam Pasal 81 angka 31 Lampiran UU Ciptaker yang menyatakan “Upah di atas upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Pengusaha dan Pekerja/Buruh di Perusahaan”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “Upah di atas Upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Pengusaha dan Pekerja/Buruh atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh di perusahaan”.
(dce/dce)