TRIBUNNEWS.COM – Ribuan warga Turki turun ke jalan selama tiga hari berturut-turut untuk menuntut pembebasan Wali Kota Istanbul, Ekrem Imamoglu.
Demonstrasi yang berlangsung sejak Rabu (18/3/2025) ini, semakin meluas hingga mencakup 32 provinsi di Turki.
Pada Jumat (21/3/2025), sekitar 300.000 orang berunjuk rasa di Istanbul.
Pemimpin oposisi, Ozgur Ozel, mengonfirmasi jumlah tersebut, di hadapan massa di depan Balai Kota.
“Kami berjumlah 300.000 orang,” ujar Ozel, dikutip dari Al Jazeera.
Di antara para demonstran, banyak yang berasal dari kalangan mahasiswa.
Mereka memprotes keputusan Universitas Istanbul yang mencabut ijazah Imamoglu setelah penangkapannya.
Jurnalis Al Jazeera, Aksel Zaimovic, melaporkan bahwa mahasiswa menolak pencabutan ijazah dan menentang penangkapan Imamoglu sebagai bentuk ketidakadilan sistemik.
Para pengunjuk rasa membawa berbagai spanduk dengan slogan seperti “Jangan takut, rakyat ada di sini” dan “Hak, hukum, keadilan.”
Mereka menegaskan, aksi ini bukan untuk mendukung satu partai politik, melainkan untuk melawan ketidakadilan.
Aksi damai ini tak sepenuhnya berjalan tanpa insiden.
Sejumlah demonstran bentrok dengan polisi saat mencoba menuju Lapangan Taksim.
Menurut laporan Al-Arabiya, aparat keamanan merespons dengan menembakkan peluru karet dan gas air mata untuk membubarkan massa.
Sejak awal demonstrasi, media Turki melaporkan bahwa 88 orang telah ditangkap.
Selain itu, 54 orang lainnya ditahan karena unggahan daring yang dianggap sebagai ‘ujaran kebencian’.
Erdogan: Tidak Akan Toleransi Protes Jalanan
Presiden Recep Tayyip Erdogan mengecam aksi protes ini.
Pada Jumat (21/3/2025), ia menegaskan bahwa pemerintahannya tidak akan menoleransi demonstrasi yang mengganggu ketertiban umum.
Erdogan juga menuduh Partai Rakyat Republik (CHP), partai oposisi yang dipimpin Imamoglu, memiliki agenda tersembunyi di balik aksi protes ini.
“Operasi antikorupsi di Istanbul digunakan sebagai alasan untuk menimbulkan kerusuhan di jalan-jalan kita,” ujar Erdogan.
“Kita tidak akan membiarkan segelintir oportunis menimbulkan kekacauan di Turki hanya untuk melindungi rencana penjarahan mereka,” ungkapnya.
Pemilu 2028
Imamoglu, yang memenangkan masa jabatan kedua sebagai Wali Kota Istanbul tahun lalu, merupakan ancaman serius bagi dominasi Erdogan.
Dalam pemilu lokal sebelumnya, partai CHP juga berhasil merebut kemenangan di Ankara, yang menandai kekalahan signifikan bagi partai yang dipimpin Erdogan.
Pemilihan calon presiden CHP akan berlangsung pada hari Minggu, di mana Imamoglu menjadi satu-satunya kandidat.
Partai tersebut, juga menggelar pemungutan suara simbolis di berbagai distrik untuk mengukur dukungan publik terhadap Imamoglu.
Erdogan, yang telah berkuasa selama 22 tahun, tidak dapat mencalonkan diri kembali pada 2028 kecuali ia mengubah konstitusi.
Oposisi melihat Imamoglu sebagai figur kuat yang berpotensi menantang kekuasaan Erdogan dalam pemilu mendatang.
Kronologi Penangkapan Wali Kota Istanbul, Ekrem Imamoglu
Pada Rabu (20/3/2025), Wali Kota Istanbul, Ekrem Imamoglu, ditangkap oleh polisi Turki dalam sebuah operasi besar.
Ratusan polisi menggerebek kediamannya pada dini hari.
Sebelum ditangkap, Imamoglu mengunggah video di media sosial X, menyatakan bahwa dirinya “menyerahkan diri kepada rakyat.”
Kejaksaan Istanbul menuduhnya sebagai pemimpin “organisasi kriminal” dengan dakwaan pemerasan dan suap.
Selain itu, ia dituduh memiliki keterkaitan dengan Partai Pekerja Kurdistan (PKK), kelompok yang dilarang oleh pemerintah Turki.
Universitas Istanbul turut mencabut gelar akademik Imamoglu dengan tuduhan pemalsuan dokumen.
Penangkapan ini, memicu aksi protes besar-besaran di berbagai kota, termasuk Istanbul, Ankara, Izmir, dan Trabzon.
Ribuan pendukung turun ke jalan menuntut pembebasan Imamoglu.
Pada Jumat (21/3/2025), aksi protes memasuki hari ketiga, dengan sekitar 300 ribu orang berkumpul di Istanbul.
Ketua Partai Rakyat Republik (CHP), Ozgur Ozel, mengecam tindakan ini,
Dia menegaskan, Imamoglu tetap akan maju sebagai kandidat dalam pemilu presiden 2028.
Pemerintah Turki merespons dengan melarang demonstrasi hingga 23 Maret serta membatasi akses ke media sosial untuk mengendalikan penyebaran informasi terkait aksi protes.
(Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)