Daftar Isi
Jakarta, CNN Indonesia —
Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkap tsunami berpotensi menghantam wilayah Jakarta apabila segmen megathrust di Selat Sunda pecah. Masyarakat diminta waspada.
Peneliti Pusat Riset Kebencanaan Geologi BRIN Nuraini Rahma Hanifa mengatakan potensi bencana gempa megathrust di wilayah selatan Jawa bisa terjadi kapan saja dan dapat memicu tsunami dengan skala besar seperti yang terjadi di Aceh 20 tahun silam.
Rahma menjelaskan berdasarkan hasil risetnya, segmen megathrust di selatan Jawa, termasuk Selat Sunda, menyimpan energi tektonik yang signifikan dan berpotensi melepaskan gempa berkekuatan magnitudo 8,7 hingga 9,1.
“Potensi megathrust ini dapat memicu goncangan gempa yang besar dan tsunami, yang menjalar melalui Selat Sunda hingga ke Jakarta dengan waktu tiba sekitar 2,5 jam,” kata Rahma usai menghadiri acara peringatan 20 tahun tsunami Aceh di Banda Aceh, Kamis (26/12), mengutip laman resmi BRIN.
Dari hasil simulasi yang dilakukan BRIN dan tim peneliti berbagai institusi, tinggi gelombang tsunami imbas gempa megathrust Selat Sunda diperkirakan mencapai 20 meter di pesisir selatan Jawa, 3-15 meter di Selat Sunda, dan sekitar 1,8 meter di pesisir utara Jakarta.
Penelitian ini juga menunjukkan bahwa fenomena serupa pernah terjadi dalam sejarah, seperti tsunami Pangandaran 2006 yang dipicu oleh marine landslide di dekat Nusa Kambangan.
“Energi yang terkunci di zona subduksi selatan Jawa terus bertambah seiring waktu. Jika dilepaskan sekaligus, goncangan akan memicu tsunami tinggi yang bisa berdampak luas, tidak hanya di selatan Jawa tetapi juga di wilayah pesisir lainnya,” jelas Rahma.
Mitigasi megathrust
Rahma menekankan pentingnya mitigasi melalui pendekatan struktural dan non-struktural.
Pendekatan struktural mencakup pembangunan tanggul penahan tsunami, pemecah ombak, serta penataan ruang di kawasan pesisir dengan memperhatikan jarak aman 250 meter dari bibir pantai.
“Pembangunan hutan pesisir atau vegetasi alami seperti pandan laut dan mangrove juga menjadi solusi berbasis ekosistem untuk meredam energi gelombang tsunami,” ujar dia.
Sementara itu, pendekatan non-struktural melibatkan kesiapsiagaan masyarakat melalui edukasi mitigasi bencana, pelatihan simulasi evakuasi, serta penyediaan jalur dan lokasi evakuasi yang memadai.
Menurutnya, lembaga terkait dan pemerintah harus memastikan masyarakat memiliki pemahaman tentang potensi bahaya tsunami, sistem peringatan dini yang efektif, serta kemampuan merespons dengan cepat.
Menurut Rahma daerah perkotaan seperti Jakarta, yang memiliki kepadatan penduduk tinggi dan sedimen tanah yang rentan mengamplifikasi goncangan, upaya mitigasi juga harus mencakup retrofitting atau penguatan struktur bangunan.
“Retrofitting sangat penting, terutama untuk bangunan di kawasan padat penduduk, karena goncangan kuat berpotensi menyebabkan kerusakan masif dan korban jiwa,” tuturnya.
Sementara, untuk kawasan industri seperti Cilegon, potensi gempa juga dikhawatirkan dapat memicu kebakaran akibat kebocoran bahan bakar atau bahan kimia di pabrik-pabrik besar. Hal ini menjadi salah satu secondary hazard yang perlu diantisipasi melalui penerapan standar keamanan yang ketat.
Gempa berulang
Lewat penelitian paleotsunami, BRIN menemukan gempa megathrust di selatan Jawa memiliki periode berulang sekitar 400 hingga 600 tahun sekali. Dengan kejadian terakhir diperkirakan pada 1699, energi yang tersimpan saat ini telah mencapai titik kritis.
“Bencana seperti tsunami Aceh mengajarkan kita bahwa kesiapsiagaan dan mitigasi bencana adalah kunci untuk menyelamatkan nyawa,” ujar dia.
Sebagai upaya mitigasi kebencanaan, BRIN bekerja sama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan, BMKG, dan institusi terkait lainnya guna memperkuat sistem peringatan dini tsunami, khususnya di Selat Sunda dan wilayah selatan Jawa.
“Salah satu upaya yang dilakukan adalah pemasangan sensor deteksi perubahan muka air laut di kawasan rawan tsunami,” jelas Rahma.
Bisa ‘pecah’ kapan saja
BMKG mencatat saat ini ada dua zona megathrust yang masih jadi ancaman karena sudah lama tak melepaskan energi besarnya. Dua zona ini diprediksi dapat ‘meledak’ secara berulang dengan jeda hingga ratusan tahun.
Dua zona itu Megathrust Selat Sunda dan Megathrust Mentawai-Sibert. Kedua zona ini disebut seismic gap, yakni zona sumber gempa potensial tapi belum terjadi gempa besar dalam masa puluhan hingga ratusan tahun terakhir.
Daryono, Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, menuturkan dua zona megathrust ini “tinggal menunggu waktu” untuk pecah. Meski begitu, tidak diketahui pasti kapan zona megathrust ini bakal mengguncang daratan.
“Rilis gempa di kedua segmen megathrust ini boleh dikata ‘tinggal menunggu waktu’ karena kedua wilayah tersebut sudah ratusan tahun belum terjadi gempa besar,” kata Daryono dalam keterangan tertulisnya beberapa waktu lalu.
Megathrust Selat Sunda, yang punya panjang 280 km, lebar 200 km, dan pergeseran (slip rate) 4 cm per tahun, tercatat pernah ‘pecah’ pada 1699 dan 1780 dengan Magnitudo 8,5.
Sementara, Megathrust Mentawai-Siberut, dengan panjang 200 km dan lebar 200 km, sertaslip rate 4 cm per tahun, pernah gempa pada 1797 dengan M 8,7 dan pada 1833 dengan M8,9.
Fakta-fakta Tsunami Dahsyat Aceh 20 Tahun Lalu (Foto: Basith Subastian/CNNIndonesia) (tim/dmi)
[Gambas:Video CNN]