Trotoar Cikini Tak Lagi Ramah: Ruang Pejalan Kaki yang Terenggut di Jantung Jakarta
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Trotoar yang seharusnya menjadi ruang paling aman, demokratis, dan inklusif bagi pejalan kaki justru berubah menjadi arena perebutan ruang di tengah Kota Jakarta.
Pemandangan itu terlihat jelas pada Kamis (4/12/2025) siang di Jalan Raden Saleh Raya, Cikini, Jakarta Pusat.
Trotoar sepanjang sekitar 150 meter, dari kawasan RSCM Kintani hingga Masjid Al Ma’mur, nyaris tidak menyisakan ruang untuk dilalui.
Gerobak
pedagang kaki lima
(PKL), parkir motor, hingga deretan meja-kursi pembeli memenuhi jalur pejalan kaki. Guiding block kuning untuk difabel pun sebagian tertutup lapak makanan.
Melihat kondisi tersebut, sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Rakhmat Hidayat, mendorong pemerintah melakukan terobosan baru, termasuk melibatkan pemadam kebakaran (Damkar) untuk membantu menertibkan motor dan PKL yang menguasai trotoar.
Saat dihubungi
Kompas.com,
Rakhmat menilai persoalan trotoar di Jakarta sudah masuk kategori serius dan tidak bisa hanya ditangani Satpol PP. Diperlukan pendekatan tidak biasa agar efek jera muncul.
“Nah, menurut saya bisa juga salah satu solusi ya ini kita bisa coba misalnya dengan mengelibatkan Damkar. Damkar kan punya kendaraan yang lebih kecil, bisa masuk ke gang-gang,” ujar Rakhmat.
Ia menyebutkan, motor yang nekat melintas dan melawan arah di trotoar sebagai pelanggaran hak pejalan kaki. Hal ini marak terjadi terutama pada jam sibuk.
“Dengan melibatkan Damkar, bisa untuk menyemprotkan air terutama kalau jam-jam sibuk, motor suka lewat situ. Itu bisa jadi cara menertibkan,” ucapnya.
Selain motor, trotoar juga dipenuhi lapak yang mengambil hampir seluruh permukaan. Menurut Rakhmat, fenomena ini lazim di kota besar negara berkembang atau
global south
.
“Trotoar banyak yang dialihfungsikan. Harusnya untuk pejalan kaki, tapi digunakan untuk pedagang karena mereka melihat itu sebagai ruang gratis yang mudah diakses,” katanya.
Negara, lanjut dia, seolah turut “menguntungkan” PKL karena membiarkan kondisi itu berulang tanpa solusi jangka panjang. Pangkalan ojek, baik konvensional maupun daring, juga ikut memanfaatkan trotoar untuk menunggu penumpang.
“Itu melanggar hak pejalan kaki, melanggar hak warga kota,” tegasnya.
Rakhmat membandingkan dengan negara maju yang menyadari bahwa trotoar adalah ruang hidup masyarakat kota untuk berjalan aman bersama keluarga.
“Mereka sadar trotoar itu untuk pejalan kaki bagian dari kehidupan masyarakat perkotaan,” jelasnya.
Karena itu, ia mendorong kontrol sosial dari warga.
“Ada loh warga, ibu-ibu yang marah ketika trotoar dipakai ojek pangkalan atau lapak. Mereka merekam sebagai kontrol sosial. Itu penting sebagai edukasi,” ujarnya.
Meski mendukung terobosan seperti melibatkan Damkar, Rakhmat menegaskan, aktor utama penertiban tetap Satpol PP. Namun ia menilai ketegasan pemimpin daerah sangat menentukan.
“Kalau tidak tegas ya susah. Selalu berulang. Pimpinan kota harus lebih berani, meski pasti ada resistensi,” katanya.
Ia juga menilai
bollard
atau tiang pembatas belum efektif mencegah motor dan pedagang.
“Tetap motor naik, pedagang juga berkeliaran,” tuturnya.
Rakhmat Hidayat menilai masyarakat harus mulai bersuara.
“Warga kota harus protes. Itu hak kita, bagian dari edukasi kepada masyarakat perkotaan,” kata dia.
Ia percaya Jakarta bisa lebih manusiawi bila prioritas ruang tetap berpihak pada mereka yang paling rentan pejalan kaki.
Kompas.com
menelusuri trotoar Jalan Raden Saleh pada Kamis siang. Kondisi di lapangan memperlihatkan situasi yang dipaparkan Rakhmat.
Permukaan trotoar basah sisa hujan. Deru kendaraan tidak putus. Baru beberapa langkah dari RSCM Kintani, jalur pejalan kaki sudah berubah fungsi.
Sebuah gerobak camilan berdiri di depan ATM. Lapak mi ayam menaruh bangku plastik hingga membuat pejalan kaki harus menunduk.
Motor melaju pelan di atas trotoar, memanfaatkan celah di antara bollard. Kabel yang menjuntai rendah menambah risiko.
Di titik lain, meja makan menutup hampir seluruh lintasan. Pejalan kaki terpaksa menunggu atau turun ke jalan yang padat kendaraan.
Trotoar sebagai ruang paling demokratis itu berubah menjadi arena perebutan antara modernisasi, ekonomi informal, dan kebutuhan dasar warga untuk berjalan dengan aman. Pejalan kaki, sekali lagi, kalah.
Wulan (29), karyawan yang tinggal di kos sekitar Cikini, mengaku hampir setiap hari melewati kawasan ini namun jarang bisa menggunakan trotoar.
“Trotoarnya dipakai jualan dan parkir motor. Saya pernah hampir keserempet motor saat mereka mau parkir,” katanya.
Ia berharap pemerintah memberi solusi yang adil.
“Atur ruang PKL boleh saja. Tapi jangan sampai pejalan kaki kayak saya yang jadi korban,” ujarnya.
Kasatpol PP Jakarta Pusat, Purnama Hasudungan Panggabean, mengatakan penertiban di kawasan itu sudah berulang dilakukan.
“Sudah sering dilakukan, kucing-kucingan ya. Dihalau, diangkut juga. Jadi kuat-kuatan sama pedagang,” ujarnya.
Satpol PP juga memberi imbauan ke kecamatan dan kelurahan, tetapi PKL kembali berdagang.
“Mereka harus ada tempat jualan supaya tidak kucing-kucingan terus,” katanya.
Kepala Pusdatin Bina Marga DKI Jakarta Siti Dinarwenny menegaskan, tugas Bina Marga hanya menyediakan fasilitas trotoar.
Menurut dia, penertiban di Jalan Raden Saleh telah dilakukan Satpol PP Kecamatan Menteng dan Kota Jakarta Pusat pada 28 November lalu.
“Bina Marga bertanggung jawab menyediakan fasilitas trotoar, namun kewenangan penertiban berada pada Satpol PP,” ujarnya.
Beberapa PKL mengakui bahwa berjualan di trotoar melanggar aturan, tetapi mereka menyebut kebutuhan ekonomi sebagai alasan. Sofyan (40), penjual sate, sudah lima tahun menetap di trotoar Raden Saleh.
“Dulu saya keliling. Capek. Di sini ramai terus, ada kantor, kos, rumah sakit. Saya nekat sejak lima tahun lalu,” kata dia.
Menurut Sofyan, pilihan berjualan di trotoar jalan karena biaya kontrak kios yang terlalu mahal.
“Kalau PKL, enggak ada biaya sewa. Paling bayar ke orang parkiran saja uang keamanan,” ujarnya pelan.
Ia tahu aktivitasnya mengganggu pejalan kaki, tetapi tidak punya alternatif. Pendapatannya stabil untuk menghidupi keluarganya. Sofyan sadar kehadirannya mengganggu pejalan kaki, namun tetap berjualan di atas trotoar.
“Tahu sih, tapi kalau cuma dilarang tanpa solusi, gimana?” katanya.
Ridho (27), penjual minuman dan mantan pengemudi ojek
online
, juga menggantungkan hidupnya di lokasi itu. Saat menjadi pengemudi ojek online, penghasilannya bergantung cuaca dan keramaian. Ia sering terdampak penertiban, namun ia tak punya pilihan untuk pindah.
“Di sini rezekinya. Saya berharap pemerintah bikin tempat khusus PKL. Jangan semua dilarang,” ujar dia.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Trotoar Cikini Tak Lagi Ramah: Ruang Pejalan Kaki yang Terenggut di Jantung Jakarta Megapolitan 5 Desember 2025
/data/photo/2025/12/05/693289e1cb628.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)