Kesal dengan Bunyi “Tot Tot Wuk Wuk”, Warga: Kalau Mendesak, Berangkat Lebih Pagi
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Para pejabat diminta untuk dapat berangkat kerja lebih pagi, jika memang khawatir terlambat mengikuti rapat, alih-alih memakai sirene dan strobo untuk memecah kemacetan.
Fenomena pemakaian sirene dan strobo di jalan raya belakangan dikritik masyarakat karena suaranya yang mengganggu. Terlebih, bila keduanya dipakai bukan dalam kondisi darurat.
Tami (39), seorang karyawan swasta, mengaku heran dengan pejabat atau pengendara berpelat tertentu yang kerap menggunakan patwal dan sirene hanya untuk mengejar waktu rapat atau kegiatan rutin.
Menurutnya, hal itu seharusnya bisa diantisipasi dengan berangkat lebih pagi.
“Kan bisa berangkat lebih pagi, kalau mereka rapat jam 09.00 WIB di gedung A, ya harusnya bisa prediksi jarak tempuh. Kita yang masuk kerja jam 09.00 WIB saja berangkat dari rumah jam 06.00 WIB,” ujar Tami kepada
Kompas.com
, Minggu (21/9/2025).
“Kenapa mereka tidak begitu, enggak perlu pakai ‘tot tot’,” lanjutnya.
Menurut Tami, fasilitas negara yang digunakan untuk kepentingan pribadi justru menambah kekecewaan masyarakat.
“Harusnya lebih bijak. Kecuali ada event besar seperti KTT ASEAN, masih bisa dimaklumi. Tapi kalau cuma mau meeting di Senayan lalu menutup jalan, itu berlebihan,” tuturnya.
Sementara itu, Dwi (40), juga karyawan swasta, menilai penggunaan sirene oleh pejabat maupun kendaraan pengawalan berbayar sudah melampaui batas.
“Kadang mereka maksa minta jalan padahal kita sama-sama pekerja. Mereka buru-buru, kita juga. Di luar negeri, biasanya cuma presiden atau wakil yang boleh pakai begituan. Kita bisa mencontoh yang bagus,” kata Dwi.
Menurut dia, sirene tidak hanya mengganggu karena bunyinya, tetapi juga karena dipakai tidak sesuai konteks.
“Kalau ambulans itu beda cerita, semua pasti kasih jalan. Tapi kalau cuma pejabat atau bahkan acara pernikahan pakai patwal, itu bikin kesal. Rasanya pengen kempesin saja bannya,” ucap Dwi dengan nada kesal.
Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya menegaskan bahwa penggunaan strobo dan sirene hanya diperbolehkan untuk kendaraan prioritas.
Kasubdit Gakkum Ditlantas Polda Metro Jaya, AKBP Ojo Ruslani, menyebut kendaraan pribadi tidak termasuk dalam daftar itu.
“Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Pasal 135, hanya kendaraan tertentu yang mendapat hak prioritas. Kendaraan pribadi tidak termasuk,” kata Ojo, Jumat (19/9/2025).
Pelaku penyalahgunaan bisa dikenakan sanksi Pasal 287 Ayat 4 dengan ancaman kurungan satu bulan atau denda Rp 250.000.
Gerakan “Stop Tot Tot Wuk Wuk” pun ramai di media sosial.
Warganet menyuarakan keresahan dengan poster, meme, hingga stiker sindiran.
Salah satunya berbunyi: “Pajak kami ada di kendaraanmu. Stop berisik di jalan Tot Tot Wuk Wuk!”
Masyarakat berharap aparat lebih tegas menindak pelanggar aturan, sekaligus mendorong pejabat maupun pemilik kendaraan agar lebih bijak menggunakan fasilitas negara maupun jasa pengawalan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Transportasi: Ambulans
-
/data/photo/2019/05/13/4204185411.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Kesal dengan Bunyi “Tot Tot Wuk Wuk”, Warga: Kalau Mendesak, Berangkat Lebih Pagi Megapolitan 21 September 2025
-
/data/photo/2019/05/13/4204185411.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Kesal Bunyi Strobo di Jalan, Warga: Kalau Lewat, Pengin Kempesin Bannya Megapolitan 21 September 2025
Kesal Bunyi Strobo di Jalan, Warga: Kalau Lewat, Pengin Kempesin Bannya
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Sejumlah warga Jakarta mengungkap kekesalannya atas bunyi strobo dan sirene yang berasal dari kendaraan yang melintas ketika jalan raya macet.
Naufal (31), misalnya, yang mengaku bahwa raungan bunyi sirene justru membuat suasana panas.
“Kalau ada bunyi-bunyi gitu langsung tembak aja lah, matiin aja. Kalau bisa sih kempesin aja bannya,” ujar Naufal kepada
Kompas.com
, Minggu (21/9/2025).
Hal serupa datang dari Dwi (40), karyawan swasta yang mengaku sering terganggu oleh kendaraan berpelat merah maupun hitam yang berjalan dengan pengawalan.
“Kalau lihat yang maksa minta jalan itu pengin aku kempesin bannya. Karena kita sama-sama pekerja, sama-sama bayar pajak. Mereka buru-buru, kita juga buru-buru,” kata Dwi.
Keluhan lain datang dari Tami (39), karyawan swasta yang juga kerap bersinggungan dengan iring-iringan kendaraan pejabat di Jakarta.
Menurutnya, alasan “buru-buru rapat” tidak bisa dijadikan pembenaran untuk penggunaan kendaraan dinas yang dilengkapi strobo memaksa meminta jalan.
“Kalau rapat jam 9, ya berangkat lebih pagi dong. Kita pekerja juga begitu. Kalau mereka pakai sirene padahal cuma mau meeting di Senayan, itu mengganggu banget,” ujar Tami.
Ia berharap pejabat lebih bijak menggunakan fasilitas negara yang dibiayai oleh rakyat.
“Kecuali kalau ada event besar seperti KTT ASEAN, mungkin masih bisa dimaklumi. Tapi kalau hanya aktivitas harian, jangan,” tambahnya.
Fenomena ini bukan pertama kali dikeluhkan warga. Sebelumnya, gerakan “Stop Tot Tot Wuk Wuk” ramai di media sosial sebagai bentuk protes terhadap penyalahgunaan strobo dan sirene.
Kasubdit Gakkum Ditlantas Polda Metro Jaya AKBP Ojo Ruslani menyebut, hanya kendaraan prioritas seperti ambulans, pemadam kebakaran, mobil jenazah, tamu negara, dan konvoi tertentu yang boleh menggunakan strobo dan sirene.
“Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Pasal 135, kendaraan pribadi tidak termasuk dalam kategori itu,” kata Ojo.
Pelanggar, lanjutnya, bisa dijerat Pasal 287 Ayat 4 dengan ancaman kurungan satu bulan atau denda Rp250.000.
Naufal menilai, aturan yang sudah ada seharusnya ditegakkan lebih tegas.
“Kalau ASN atau pejabat biasa, ngapain juga dikasih jalan. Kita ini sama-sama bayar pajak,” ujarnya.
Sementara Dwi mengingatkan, justru pejabat yang membuat aturan harus memberi contoh.
“Bukan malah menyalahgunakan. Kalau semua orang bisa beli jalan dengan uang, ya lalu lintas kita makin semrawut,” katanya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Dibekukan Polri, Simak Lagi Aturan Pemakaian Sirine dan Rotator
Jakarta –
Kepala Korps Lalu Lintas (Kakorlantas) Polri Irjen Pol Agus Suryonugroho menghentikan sementara penggunaan sirine dan rotator (strobo) setelah timbul banyak penolakan dari masyarakat. Ini aturan penggunaan sirine dan rotator di mobil pengawal.
Penggunaan sirine dan rotator terkait dengan proses pengawalan kendaraan prioritas di jalan. Tertuang dalam pasal 134 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, kendaraan yang wajib didahulukan sesuai urutan adalah:
(a) Kendaraan pemadam kebakaran yang sedang melaksanakan tugas;
(b) Ambulans yang mengangkut orang sakit;
(c) Kendaraan untuk memberikan pertolongan pada kecelakaan lalu lintas;
(d) Kendaraan pimpinan Lembaga Negara Republik Indonesia;
(e) Kendaraan pimpinan dan pejabat negara asing serta lembaga internasional yang menjadi tamu negara;
(f) Iring-iringan pengantar jenazah; dan
(g) Konvoi dan/atau kendaraan untuk kepentingan tertentu menurut pertimbangan petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Aturan Penggunaan Sirine dan Rotator
Pasal 135 dalam Undang-undang yang sama, menyebutkan kendaraan yang mendapat hak utama harus dikawal oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau menggunakan isyarat lampu merah atau biru dan bunyi sirene.
Ada sanksi yang diberikan bagi setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan, melanggar ketentuan mengenai penggunaan atau hak utama bagi kendaraan bermotor yang menggunakan alat peringatan dengan bunyi dan sinar dapat dipidana kurungan maksimal satu bulan atau denda paling banyak Rp 250 ribu (pasal 287 ayat 4).
Dikatakan pengamat transportasi Djoko Setijowarno, sanksi yang diberikan terlalu rendah. “Jadi sudah seharusnya masuk dalam revisi Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Sanksi pidana dan denda harus ditinggikan, sehingga ada efek jera bagi yang melanggar aturan itu,” ungkap Djoko.
Untuk kepentingan tertentu, Kendaraan Bermotor dapat dilengkapi dengan lampu isyarat dan/atau sirene (pasal 59). Lampu isyarat terdiri atas warna merah; biru; dan kuning.
Lampu isyarat warna merah atau biru serta sirene berfungsi sebagai tanda kendaraan bermotor yang memiliki hak utama. Lampu isyarat warna kuning berfungsi sebagai tanda peringatan kepada pengguna jalan lain.
Penggunaan lampu isyarat dan sirene, seperti berikut ini:
(a) Lampu isyarat warna biru dan sirene digunakan untuk kendaraan bermotor petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia;
(b) Lampu isyarat warna merah dan sirene digunakan untuk kendaraan bermotor tahanan, pengawalan Tentara Nasional Indonesia, pemadam kebakaran, ambulans, palang merah, rescue, dan jenazah;
(c) Lampu isyarat warna kuning tanpa sirene digunakan untuk kendaraan bermotor patroli jalan tol, pengawasan sarana dan juga Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, perawatan dan pembersihan fasilitas umum, menderek kendaraan, dan angkutan barang khusus.
Menurut Djoko, pada dasarnya menggunakan sarana dan prasarana jalan untuk keperluan berlalu lintas adalah hak asasi setiap orang. Semua orang mempunyai hak yang sama untuk menggunakan jalan untuk berlalu lintas. “Tak ada seorang pun mempunyai hak untuk diutamakan, kecuali didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku,” terang Djoko.
Peraturan perundang-undangan yang ada memberi peluang bagi orang tertentu atau kendaraan yang digunakan bagi keperluan tertentu mendapatkan prioritas menggunakan jalan untuk berlalu lintas.
“Esensi dari pengawalan tidak lain memang memberikan pengamanan, baik terhadap kendaraan yang dikawal, maupun pengguna jalan lain yang berada di sekitar kendaraan yang dikawal. Karena menyangkut pengamanan, pihak yang paling berwenang adalah Polri. Karena pengamanan adalah bagian dari tugas pokok Polri,” sambungnya.
Patwal adalah unit kepolisian yang bertugas mengawal konvoi kendaraan VIP, iring-iringan bantuan kemanusiaan, atau kendaraan prioritas lainnya seperti pemadam kebakaran dan ambulans. Dengan kemampuan khusus, personel Patwal bertugas memastikan perjalanan bebas hambatan bagi kendaraan-kendaraan yang mereka kawal.
(lua/riar)
-
/data/photo/2019/05/13/4204185411.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Warga Keluhkan Bunyi Sirene "Tot Tot Wuk Wuk": Bikin Puyeng, Emosi! Megapolitan 21 September 2025
Warga Keluhkan Bunyi Sirene “Tot Tot Wuk Wuk”: Bikin Puyeng, Emosi!
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Keluhan warga terhadap penggunaan strobo dan sirene di jalan raya makin ramai terdengar.
Banyak pengendara menilai bunyi bising dari kendaraan pengawalan itu bukan hanya mengganggu, tetapi juga memicu emosi dan stres di tengah kemacetan.
Naufal (31), seorang pengusaha asal Jakarta Barat, mengaku kerap merasa jengkel setiap kali mendengar suara sirene di jalan.
“Kalau lagi panas-panas, macet, terus bunyi-bunyian itu kedengerannya puyeng banget, bikin emosi aja. Kita sama-sama bayar pajak, masa iya harus minggir buat pejabat yang cuma mau rapat atau urusan biasa?” ujarnya kepada
Kompas.com
, Minggu (21/9/2025).
Hal serupa disampaikan Dwi (40), karyawan swasta yang hampir setiap hari menggunakan transportasi umum di Jakarta.
Ia menilai pejabat seharusnya bisa menahan diri dan hanya menggunakan pengawalan jika benar-benar penting.
“Kalau ambulans atau pemadam kebakaran itu beda cerita, kita paham itu darurat. Tapi kalau cuma rapat atau pulang kantor, ya jangan pakai sirene lah. Kita juga pekerja, sama-sama buru-buru. Masa haknya beda?” kata Dwi.
Menurutnya, praktik semacam itu kontras dengan aturan di negara lain yang hanya memperbolehkan kepala negara atau wakilnya menggunakan pengawalan khusus.
“Kalau di luar negeri, ya paling presiden dan wakilnya saja. Harusnya kita bisa meniru hal yang baik,” tuturnya.
Tami (39), warga lain, berharap aparat lebih tegas menindak penyalahgunaan strobo dan sirene, baik oleh pejabat maupun masyarakat umum.
“Kadang ada juga yang pakai buat acara nikahan, bahkan mobil pribadi pakai sirene. Itu kan jelas melanggar aturan. Harusnya polisi langsung tindak, jangan dibiarkan,” ujar Tami.
Ia menegaskan, fasilitas negara yang digunakan pejabat seharusnya dipakai secara bijak karena pembiayaannya berasal dari masyarakat.
“Kita kerja jungkir balik untuk membayar pajak dan gaji mereka. Jadi jangan semena-mena pakai fasilitas negara hanya buat meeting di Senayan atau main padel,” katanya.
Sebelumnya Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya sudah mengingatkan bahwa strobo dan sirene hanya boleh digunakan untuk kendaraan prioritas, seperti ambulans, pemadam kebakaran, mobil jenazah, dan tamu negara.
“Berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 2009 Pasal 135, hanya ada kendaraan tertentu yang mendapat hak prioritas. Kendaraan pribadi tidak termasuk,” kata Kasubdit Gakkum Ditlantas Polda Metro Jaya, AKBP Ojo Ruslani, Jumat (19/9/2025).
Ojo menambahkan, pelanggar bisa dijerat Pasal 287 Ayat 4 dengan ancaman kurungan satu bulan atau denda Rp250.000.
Masyarakat juga diminta melapor jika menemukan penyalahgunaan rotator maupun sirene di jalan raya.
Belakangan, muncul gerakan “Stop Tot Tot Wuk Wuk” di media sosial sebagai bentuk protes masyarakat.
Istilah itu merujuk pada suara sirene yang kerap muncul dari kendaraan pejabat maupun sipil.
Poster digital hingga stiker sindiran bermunculan, salah satunya bertuliskan: “Pajak kami ada di kendaraanmu. Stop berisik di jalan Tot Tot Wuk Wuk!”
Desakan warga makin kuat agar aparat bertindak tegas. Sebab, jika dibiarkan, penggunaan strobo dan sirene di luar kondisi darurat hanya akan menambah keresahan, sekaligus menciptakan ketidakadilan di jalan raya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/06/27/685e88fe70b4c.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Bekukan Sirine "Tot Tot Wuk Wuk", Kakorlantas Polri Evaluasi Internal Nasional 21 September 2025
Bekukan Sirine “Tot Tot Wuk Wuk”, Kakorlantas Polri Evaluasi Internal
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Kepala Korps Lalu Lintas (Kakorlantas) Polri Irjen Agus Suryonugroho mengatakan pihaknya telah membekukan penggunaan strobo dan sirene ‘tot tot wuk wuk’ untuk pengawalan kendaraan.
Agus menyatakan kepolisian tengah mengevaluasi penggunaan sirene tersebut.
“Sementara kami bekukan sambil kami evaluasi,” ujar Agus kepada
Kompas.com
, Minggu (21/9/2025).
Saat ditanya perihal bentuk evaluasi yang dilakukan apakah berupa pembatasan pengawalan dengan sirene, Agus tidak menjawab terang.
Dia hanya menyebut, mereka akan melakukan rapat koordinasi serta evaluasi internal terlebih dahulu.
“Nanti kami akan ada rapat koordinasi dan evaluasi internal,” imbuhnya.
Sebelumnya, media sosial diramaikan protes warga terhadap maraknya penggunaan strobo dan sirene.
Aksi penolakan muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari poster digital hingga stiker satire di kendaraan pribadi.
Keluhan masyarakat terutama diarahkan pada kendaraan pejabat yang menggunakan pengawalan meski tidak darurat, serta mobil berpelat sipil yang memasang strobo maupun sirene tanpa hak.
Polisi pun menegaskan kendaraan pribadi tidak berhak mendapat pengawalan.
“Kendaraan pribadi tidak termasuk yang berhak menggunakannya,” Kasubdit Gakkum Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya AKBP Ojo Ruslani, Jumat (19/9/2025).
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Pasal 135, hak penggunaan strobo hanya diberikan kepada pemadam kebakaran, pimpinan lembaga negara dan tamu negara atau pejabat asing.
Selain itu hal tersebut juga diberikan kepada ambulans, mobil jenazah, konvoi untuk kepentingan tertentu, serta kendaraan penolong kecelakaan.
Jika menemukan kendaraan sipil atau oknum aparat yang menyalahgunakan strobo maupun sirene, masyarakat disebut bisa melaporkannya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

4 Alasan Kenapa Mobil Pakai Sirine Rotator Ditolak Masyarakat
Jakarta –
Kepala Korps Lalu Lintas (Kakorlantas) Polri Irjen Pol Agus Suryonugroho membuat aturan tegas soal penggunaan sirine dan rotator (strobo) di jalan raya. Polisi menghentikan sementara pengawalan yang menggunakan sirine rotator sembari melakukan proses evaluasi komprehensif. Agus menerapkan kebijakan tersebut berangkat dari aspirasi masyarakat yang membuat gerakan penolakan sirine dan rotator di jalan raya. Ini empat alasan kenapa sirine dan rotator ditolak masyarakat.
“Kami menghentikan sementara penggunaan suara-suara itu sembari dievaluasi secara menyeluruh. Pengawalan tetap bisa berjalan, hanya saja untuk penggunaan sirene dan strobo sifatnya dievaluasi. Kalau memang tidak prioritas, sebaiknya tidak dibunyikan,” ujar Agus dikutip dari detikNews, Minggu (21/9/2025).
Menurut pengamat transportasi Djoko Setijowarno, sirene dan rotator, yang dikenal sebagai strobo, adalah alat yang dirancang untuk memberikan peringatan darurat. Namun, penggunaan yang tidak tepat seringkali membuat masyarakat menolaknya. Masyarakat pun sudah cukup gerah dengan kebisingan di jalanan.
“Pertama, penyalahgunaan dan hak istimewa yang tak tepat. Alasan paling mendasar adalah penyalahgunaan. Masyarakat sering melihat kendaraan pribadi atau pejabat yang bukan dalam keadaan darurat menggunakan strobo untuk menerobos kemacetan. Hal ini menimbulkan persepsi bahwa strobo adalah simbol hak istimewa, bukan alat untuk keselamatan publik. Penggunaan yang tidak pada tempatnya ini menciptakan rasa tidak adil dan memicu kemarahan,” ungkap Djoko dalam keterangannya.
Kedua, gangguan dan kebisingan. Suara sirene yang nyaring bisa sangat mengganggu, terutama di lingkungan padat penduduk atau saat kondisi tengah malam. Gangguan ini tidak hanya mengganggu kenyamanan, tetapi juga dapat menimbulkan stres, bahkan memicu kecemasan. Orang tua, orang sakit, atau mereka yang ingin beristirahat sering merasa terganggu oleh kebisingan yang berlebihan.
“Ketiga, regulasi yang kurang tegas. Meskipun sudah ada aturan yang mengatur siapa saja yang berhak menggunakan sirene dan strobo (seperti mobil ambulans, pemadam kebakaran, dan polisi), penegakan hukumnya sering kali dianggap lemah. Ketidaktegasan ini membuat banyak orang berani menggunakannya tanpa izin, memperburuk masalah penyalahgunaan,” sambung Djoko.
Keempat, mengurangi kepercayaan publik. Ketika strobo digunakan secara sembarangan, kepercayaan masyarakat terhadap sistem darurat bisa menurun. Ketika mendengar sirene, masyarakat tidak lagi yakin apakah itu benar-benar situasi darurat atau hanya kendaraan yang ingin mencari jalan pintas. “Akibatnya, ketika ada situasi darurat yang nyata, respons masyarakat untuk memberikan jalan mungkin tidak secepat atau setanggap seharusnya,” tukas Djoko.
(lua/riar)
-

Maaf Manusia Sok Penting, Strobo-Rotator Dibekukan Korlantas!
Jakarta –
Gelombang protes dan penolakan terhadap penggunaan strobo-rotator belakangan memenuhi media sosial. Sebab, dalam sejumlah kasus, perangkat tersebut disalahgunakan dan hanya dipakai manusia-manusia yang berlagak sok penting.
Setelah protes itu tersiar di mana-mana, Korps Lalu Lintas (Korlantas) kemudian membuat aturan tegas soal penggunaan strobo dan rotator di jalan raya. Mereka membekukan pemakaian dua perangkat tersebut, namun pengawalan khusus terhadap pejabat tertentu tetap dilaksanakan.
“Kami menghentikan sementara penggunaan suara-suara itu, sembari dievaluasi secara menyeluruh. Pengawalan tetap bisa berjalan, hanya saja untuk penggunaan sirene dan strobo sifatnya dievaluasi. Kalau memang tidak prioritas, sebaiknya tidak dibunyikan,” ujar Kepala Korps Lalu Lintas (Kakorlantas) Polri Irjen Pol Agus Suryonugroho, dikutip dari detikNews, Sabtu (20/9).
Kakorlantas Polri Irjen Agus Suryonugroho Foto: Kakorlantas Polri Irjen Agus Suryonugroho mengatakan pihaknya merespons positif aspirasi masyarakat dan sedang mengevaluasi penggunaan sirine dan rotator. (Rumondang/detikcom)
Lebih jauh, Agus menekankan, penggunaan sirene hanya boleh dilakukan pada kondisi tertentu yang benar-benar membutuhkan prioritas. Bukan asal-asalan demi mengejar kecepatan.
“Kalau pun digunakan, sirene itu untuk hal-hal khusus, tidak sembarangan. Sementara ini sifatnya imbauan agar tidak dipakai bila tidak mendesak,” tegasnya.
Keputusan bijak tersebut diambil sebagai bentuk respons positif atas aspirasi masyarakat yang merasa terganggu dengan penggunaan sirene dan strobo di jalan raya.
“Kami berterima kasih atas kepedulian publik. Semua masukan akan kami tindaklanjuti. Untuk sementara, mari bersama-sama menjaga ketertiban lalu lintas,” kata dia.
Saat ini, Korlantas Polri tengah menyusun ulang aturan penggunaan sirene dan rotator untuk mencegah penyalahgunaan. Hal ini merujuk pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) Pasal 59 ayat (5), yang dengan jelas mengatur siapa saja yang berhak menggunakan rotator dan sirene:
a. Lampu isyarat warna biru dan sirene digunakan untuk kendaraan bermotor petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
b. Lampu isyarat warna merah dan sirene digunakan untuk kendaraan bermotor tahanan, pengawalan TNI, pemadam kebakaran, ambulans, palang merah, rescue, dan jenazah.
c. Lampu isyarat warna kuning tanpa sirene digunakan untuk kendaraan bermotor patroli jalan tol, pengawasan sarana dan prasarana LLAJ, perawatan dan pembersihan fasilitas umum, penderek kendaraan, serta angkutan barang khusus.
(sfn/lth)
-
/data/photo/2025/07/28/6886f4de26fe9.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Kompolnas: Tot Tot Wuk Wuk di Jalan Sangat Ganggu Warga Megapolitan 20 September 2025
Kompolnas: Tot Tot Wuk Wuk di Jalan Sangat Ganggu Warga
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) menyebut Tot Tot Wuk Wuk atau penggunaan sirene strobo di jalan raya maupun jalan tol mengganggu warga.
“Ada baiknya memang enggak menggunakan. Karena, kayak di Jakarta yang sangat padat, itu menganggu sekali, secara psikologi, pengguna jalan jadi sangat-sangat terganggu. Sudah macet, kena suara seperti itu,” kata Komisioner Kompolnas Choirul Anam saat dihubungi, Sabtu (20/9/2025).
Choirul Anam juga mendukung gerakan “Stop Tot Tot Wuk Wuk” atau penggunaan sirene strobo.
“Itu menjadi refleksi kita, makanya kami Kompolnas setuju untuk menghentikan penggunaan itu kecuali kemanusiaan,” kata Anam.
Dia mengatakan strobo atau sirene boleh digunakan untuk kepentingan kemanusiaan seperti ambulans dan pemadam kebakaran.
“Kami mendukung untuk melarang penggunaan itu kecuali untuk kemanusiaan dan untuk sesuatu yang sifatnya urgent seperti kebakaran,” tegas dia.
Diberitakan sebelumnya, jagat media sosial diramaikan dengan protes warga terhadap penggunaan strobo dan sirene di jalan raya maupun jalan tol.
Penggunaan aksesori kendaraan itu dinilai tidak sesuai aturan dan mengganggu kenyamanan berkendara.
Bentuk protes muncul dalam berbagai cara, mulai dari poster digital yang tersebar di media sosial, hingga stiker sindiran yang ditempel pada kendaraan pribadi.
Adapun kata “Tot Tot Wuk Wuk” ini sendiri terdengar seperti onomatopoeia atau tiruan suara sirene atau bunyi strobo yang mengebut di jalan raya.
Keluhan masyarakat terutama diarahkan kepada kendaraan pejabat yang menggunakan pengawalan, meski tidak dalam situasi darurat.
Bahkan, tak sedikit kendaraan berpelat sipil yang memakai strobo maupun sirene.
Sementara Polri membekukan penggunaan sirene dengan suara Tot Tot Wuk Wuk yang meresahkan publik dalam pengawalan lalu lintas.
“Sementara kita bekukan. Semoga tidak usah harus pakai ‘tot tot’ lagilah. Setuju ya?” kata Kepala Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri, Irjen Agus Suryonugroho, di Markas Besar Polri, Jakarta Selatan, Jumat (19/9/2025).
Kebijakan pembekuan ini merupakan respons Polri atas penolakan masyarakat terhadap penggunaan sirene dan strobo yang mengganggu pengguna jalan.
“Saya bekukan untuk pengawalan menggunakan suara-suara itu karena ini juga masyarakat terganggu, apalagi (saat lalu lintas) padat,” ungkapnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Sirene ‘Tot Tot Wuk Wuk’ Dilarang Sementara, Kecuali untuk Kebutuhan Ini
Bisnis.com, JAKARTA — Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri telah membekukan penggunaan sirine dan rotator dalam mobil patroli pengawal (patwal).
Hal tersebut merupakan tanggapan Kakorlantas Polri, Irjen Agus Suryonugroho dalam menanggapi keluhan suara sirine “Tot tot Wuk Wuk” maupun lampu rotator patwal di jalanan.
“Saya bekukan untuk pengawalan menggunakan suara-suara itu,” ujarnya di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (19/9/2025).
Dia menambahkan, suara dari sirine dan rotator telah mengganggu pengguna kendaraan bermotor baik roda dua maupun roda empat saat di perjalanan.
Di samping itu, Agus menyatakan juga bahwa dirinya telah mengevaluasi ketentuan dalam penggunaan sirine dan rotator agar digunakan sebagaimana mestinya.
“Karena ini juga masyarakat terganggu, apalagi padat, ini kita evaluasi biarpun ada ketentuannya pada saat kapan menggunakan sirene termasuk tot tot,” pungkasnya.
Kendaraan yang Berhak Gunakan Rotator
Meskipun demikian, Kepala Korlantas Polri Inspektur Jenderal Polisi Agus Suryonugroh tetap mengizinkan penggunaan rotator pada kendaraan yang benar-benar membutuhkan prioritas.
“Kalau pun digunakan, sirene itu untuk hal-hal khusus, tidak sembarangan. Sementara ini sifatnya imbauan agar tidak dipakai bila tidak mendesak,” ujarnya, dilansir dari Antara.
Perlu diketahui, secara eksplisit dalam UU No.22/2009 tentang LLAJ telah diatur rotator maupun sirine bisa digunakan oleh sejumlah jenis kendaraan yang memiliki hak utama di jalanan.
Pada Pasal 134 beleid itu mengemukakan bahwa penggunaan rotator dan sirine melekat pada mobil pengawalan, pemadam kebakaran, pimpinan lembaga negara.
Kemudian, tamu negara, tamu pejabat negara asing, ambulance, mobil jenazah, konvoi kepentingan tertentu, dan kendaraan penolong kecelakaan.
Adapun, Pasal 135 penggunaan rotator biru atau merah dan sirine bisa digunakan oleh patwal untuk mengawal kendaraan yang berhak tersebut.
“Kendaraan yang mendapat hak utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 harus dikawal oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau menggunakan isyarat lampu merah atau biru dan bunyi sirene,” bunyi Pasal 135 UU No.22/2009 tentang LLAJ.
/data/photo/2025/01/10/67809f9e4f710.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)