Topik: volatilitas

  • Harga Bitcoin Anjlok Usai Trump Ancam Mitra Dagang Rusia

    Harga Bitcoin Anjlok Usai Trump Ancam Mitra Dagang Rusia

    Jakarta

    Harga Bitcoin (BTC) sempat terkoreksi dan menyentuh level US$ 89.000 yang merupakan level terendah dalam tujuh bulan terakhir pada Selasa (18/11). Penurunan ini terjadi karena arus keluar dari ETF Bitcoin di Amerika Serikat (AS), serta kekhawatiran investor terhadap rencana tarif Presiden AS Donald Trump sebesar 500% kepada negara-negara yang masih melakukan perdagangan dengan Rusia.

    Selama empat hari berturut-turut, ETF Bitcoin di AS mencatat arus keluar dari total kepemilikan 441.000 BTC menjadi sekitar 271.000 BTC. Puncaknya, terjadi redemption lebih dari US$ 800 juta dalam satu hari. Situasi ini menambah tekanan jual, terutama setelah harga Bitcoin gagal bertahan di atas area US$ 92.000 dan turun melewati batas psikologis US$ 90.000.

    Meski begitu, pelemahan ini tidak disebabkan oleh penurunan fundamental aset kripto. Pada Rabu (19/11) Bitcoin mulai menunjukkan tanda penguatan seiring ekspektasi likuiditas yang membaik di AS, terutama setelah The Fed berencana menghentikan penurunan neracanya dan membuka opsi operasi repo yang bisa menambah cadangan dana ke sistem keuangan.

    Namun, tekanan makro masih menahan langkah Bitcoin untuk naik lebih jauh. Sentimen pasar tetap rapuh akibat inflasi yang belum jinak, sektor properti dan otomotif yang melemah, serta ketidakpastian menjelang keputusan suku bunga The Fed pada 10 Desember 2025 mendatang.

    Vice President Indodax, Antony Kusuma menekankan bahwa kondisi pasar seperti ini merupakan bagian dari dinamika alami siklus kripto. Ia mengatakan kondisi ini pun bersifat sementara.

    “Pergerakan harga yang terjadi saat ini lebih banyak dipengaruhi faktor teknis dan sentimen global dalam jangka pendek. Fundamental aset digital tetap kuat, dan di situasi seperti ini penting bagi investor untuk mengambil keputusan secara tenang dan terukur,” ujar Antony dalam keterangan tertulis, Kamis (20/11/2025).

    Antony melanjutkan bahwa volatilitas jangka pendek tidak mengubah pandangan jangka panjang para pelaku pasar berpengalaman. Ia juga yakin aset digital tetap kuat, meskipun harga sedang berada dalam tekanan.

    “Bagi investor jangka panjang, momen seperti ini sering dianggap sebagai peluang untuk menambah posisi secara bertahap,” tambah Antony.

    Di tengah volatilitas yang meningkat, pihaknya mengimbau seluruh investor untuk tetap mengutamakan manajemen risiko dan tidak melakukan keputusan emosional. Koreksi seperti ini dinilai wajar terjadi setelah Bitcoin sempat mencapai level tertinggi sepanjang masa pada awal Oktober 2025 lalu.

    Berdasarkan data CoinMarketCap, Bitcoin berada pada level US$ 92.381 pada pukul 11.00. Bitcoin mulai menguat sebanyak 0,67%.

    (acd/acd)

  • Risalah FOMC: The Fed Dorong Suku Bunga Stabil di Sisa 2025

    Risalah FOMC: The Fed Dorong Suku Bunga Stabil di Sisa 2025

    Bisnis.com, JAKARTA — Banyak pejabat Federal Reserve (The Fed) menilai suku bunga acuan sebaiknya dipertahankan stabil di sisa 2025.

    Hal tersebut terungkap melalui risalah rapat Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) pada 28—29 Oktober 2025 yang dirilis di Washington pada Rabu (19/1/2025) waktu setempat.

    Dokumen tersebut juga menunjukkan bahwa beberapa pembuat kebijakan menolak pemangkasan suku bunga acuan pada pertemuan tersebut.

    “Banyak peserta menyarankan bahwa berdasarkan proyeksi ekonomi mereka, rentang target suku bunga kemungkinan tetap tidak berubah sepanjang sisa tahun ini,” demikian kutipan isi risalah sebagaimana dilansir dari Bloomberg pada Kamis (20/11/2025).

    Meski demikian, sejumlah peserta menyatakan bahwa pemangkasan lanjutan pada Desember 2025 masih mungkin sesuai jika kondisi ekonomi berkembang seperti yang mereka perkirakan sebelum pertemuan berikutnya.

    Dalam hierarki istilah teknis yang digunakan dalam risalah The Fed, kata “many” berada di bawah “most/majority”. Artinya, kelompok yang menilai pemangkasan suku bunga Desember 2025 tidak perlu masih berada dalam posisi minoritas pada saat pertemuan Oktober 2025 berlangsung.

    Risalah tersebut menegaskan masih tingginya ketidakpastian mengenai peluang penurunan suku bunga bulan depan, seiring perbedaan pandangan internal The Fed terkait risiko terbesar bagi ekonomi AS—apakah inflasi atau pengangguran.

    Mayoritas panel pemungutan suara menyetujui pemangkasan suku bunga sebesar 25 basis poin untuk kedua kalinya secara beruntun, meski dua pejabat menyampaikan perbedaan pendapat (dissenting vote).

    Gubernur Stephen Miran, pejabat yang baru ditunjuk Presiden Donald Trump, memilih pemangkasan setengah poin. Adapun, Presiden Fed Kansas City Jeff Schmid mendukung penahanan suku bunga.

    Dalam konferensi pers usai pertemuan, Ketua The Fed Jerome Powell mengejutkan pasar dengan menegaskan bahwa pemangkasan Desember bukan sesuatu yang sudah pasti.

    Tiga minggu setelah pertemuan tersebut, pejabat Fed yang lebih khawatir terhadap inflasi—dan kurang mendukung penurunan suku bunga pada Desember—lebih mendominasi percakapan publik mengenai arah kebijakan moneter.

    Ekspektasi investor terhadap pemangkasan suku bunga pada Desember 2025 pun kini turun menjadi sekitar 30%, berdasarkan harga kontrak federal funds futures.

    Dalam pembahasan mengenai risiko stabilitas keuangan, sejumlah pejabat menyoroti penilaian aset yang terlalu tinggi di pasar keuangan. Beberapa di antaranya memperingatkan potensi penurunan tajam harga saham, terutama jika terjadi perubahan persepsi secara mendadak terhadap prospek teknologi berbasis artificial intelligence (AI).

    Risalah juga menunjukkan bahwa “hampir semua peserta” menilai tepat untuk menghentikan pengurangan neraca (balance sheet runoff) The Fed pada 1 Desember 2025, atau setidaknya mendukung keputusan tersebut. 

    The Fed telah mengurangi neracanya sejak pertengahan 2022 dan pada pertemuan Oktober sepakat untuk mengakhiri proses itu mulai bulan depan.

    Di sisi lain, sebagian pelaku pasar khawatir The Fed terlalu lama menunggu untuk menghentikan runoff, sehingga tekanan likuiditas berpotensi memicu volatilitas pada suku bunga pendanaan overnight.

  • Harga Emas Dunia Naik Usai 3 Hari Tertekan, Target Bullish Mengarah ke USD 4.109

    Harga Emas Dunia Naik Usai 3 Hari Tertekan, Target Bullish Mengarah ke USD 4.109

    Meski peluang kenaikan harga emas terbuka, pergerakan emas tetap dibayangi komentar hawkish sejumlah pejabat The Fed. Wakil Ketua The Fed, Philip Jefferson, menegaskan bahwa proses penurunan suku bunga harus dilakukan secara bertahap.

    Sementara itu, Presiden The Fed Atlanta Raphael Bostic dan Presiden The Fed Kansas City Jeffrey Schmid juga menyampaikan pandangan hati-hati mengenai inflasi.

    Menurut data CME FedWatch Tool, peluang penurunan suku bunga sebesar 25 basis poin pada Desember turun menjadi 46,6%, dari sebelumnya di atas 60% pada pekan lalu. Penguatan dolar AS turut membatasi kenaikan emas, dengan Indeks Dolar (DXY) naik tipis 0,10% ke posisi 99,63, sementara imbal hasil obligasi AS tenor 10 tahun stabil di 4,13%.

    Secara keseluruhan, kombinasi sinyal teknikal dan fundamental menempatkan harga emas pada posisi menarik. Peluang uji resistance USD 4.109 masih terbuka, namun volatilitas diperkirakan meningkat menjelang rilis data ekonomi utama AS.

  • IHSG Rabu Menanti Hasil RDG BI, Simak Rekomendasi Sahamnya

    IHSG Rabu Menanti Hasil RDG BI, Simak Rekomendasi Sahamnya

    JAKARTA – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menanti hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) pada hari ini, Rabu, 19 November.

    Adapun IHSG kemarin terkoreksi 0,65 persen atau 54,96 poin ke level 8.361,93. Phintraco Sekuritas dalam risetnya menyebut, koreksi IHSG ini terjadi seiring tekanan dari pelemahan bursa global dan regional yang mendorong aksi ambil untung di pasar domestik.

    Selain itu, depresiasi rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) turut memperberat sentimen.

    Saham sektor energi memimpin penurunan, sementara saham sektor properti menjadi satu-satunya sektor yang masih mencatatkan penguatan. Saham-saham terkait emas juga lanjut terkoreksi akibat penurunan harga emas global dan rencana penerapan bea ekspor emas sebesar 7,5 persen sampai 15 persen pada tahun 2026.

    Menjelang Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia, pasar cenderung berhati-hati. Konsensus memperkirakan BI akan menahan suku bunga acuan di level 4,5 persen.

    Dari eksternal, pelaku pasar turut mencermati rilis inflasi Inggris dan euro area yang diperkirakan melandai, serta notulen FOMC dari Amerika Serikat. Secara teknikal, analis melihat tekanan jual masih dominan.

    “MACD berpotensi mengalami death cross, sementara Stochastic RSI sudah terlebih dulu membentuk death cross di area overbought. IHSG juga ditutup di bawah MA5, sehingga ada potensi indeks menguji area support di kisaran 8.300 sampai 8.325,” jelas Phintraco Sekuritas.

    Area 8.400 saat ini menjadi titik pivot penting, sementara resistance terdekat berada di sekitar 8.450. Jika tekanan jual mereda dan sentimen RDG BI sesuai ekspektasi pasar, peluang pembalikan arah tetap terbuka.

    Untuk perdagangan hari ini, Phintraco Sekuritas menyarankan investor dapat mencermati saham-saham dengan fundamental solid di tengah volatilitas pasar, yakni TPIA, CPIN, ISAT, BBRI, dan ULTJ.

  • Penerimaan Seret, IMF Ramal Defisit APBN RI Melebar Dekati Batas Aman pada 2025-2026

    Penerimaan Seret, IMF Ramal Defisit APBN RI Melebar Dekati Batas Aman pada 2025-2026

    Bisnis.com, JAKARTA — Dana Moneter Internasional alias International Monetary Fund (IMF) memproyeksikan akan terjadi pelebaran defisit fiskal di Indonesia pada tahun ini dan tahun depan.

    Adapun, IMF telah menjalankan misi Konsultasi Pasal IV 2025 di Indonesia selama 3—12 November 2025. Pada saat itu, tim yang dipimpin Maria Gonzalez telah menemui jajaran pejabat di pemerintahan, Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan badan/lembaga terkait lainnya.

    Dalam laporan akhir, Maria mengungkapkan ekonomi Indonesia tetap menjadi salah satu “bright spot” global. Meski demikian, lembaga tersebut mengingatkan bahwa risiko dari ketidakpastian global dan potensi guncangan eksternal masih harus diantisipasi dengan kebijakan yang hati-hati dan disiplin fiskal yang kuat. 

    IMF menilai risiko bagi ekonomi Indonesia masih condong ke sisi negatif, terutama akibat tensi perdagangan global, ketidakpastian berkepanjangan, dan volatilitas pasar keuangan internasional. Di dalam negeri, perubahan kebijakan yang besar tanpa pengamanan yang memadai dikhawatirkan meningkatkan kerentanan.

    Di sisi lain, Indonesia diyakini juga bisa memanfaatkan risiko ketidakpastian global melalui reformasi struktural yang lebih ambisius dan peningkatan kerja sama dagang. 

    IMF pun memperkirakan defisit APBN berpotensi melebar menjadi 2,8% terhadap PDB pada 2025 dan 2,9% pada 2026. Proyeksi itu berada di atas target pemerintah yang menetapkan defisit 2,53% pada 2025 dan 2,7% untuk 2026.

    Adapun, proyeksi defisit APBN sebesar 2,8% pada tahun ini dan 2,9% pada tahun depan itu mendekati ambang batas yang telah ditetapkan UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara, sebesar 3% terhadap PDB.

    Menurut lembaga yang bermarkas di Washington DC, Amerika Serikat itu, pengelolaan belanja yang hati-hati tetap diperlukan untuk menjaga ruang fiskal dalam menghadapi kemungkinan risiko eksternal. Pun, IMF pun mengingatkan pentingnya memperkuat penerimaan negara.

    “Mobilisasi penerimaan yang lebih kuat, dengan fokus pada belanja berkualitas tinggi dan efisiensi belanja, akan semakin meningkatkan efektivitas kebijakan fiskal untuk mendukung pertumbuhan,” ujar Ketua Tim IMF Maria Gonzalez dalam laporannya, dikutip Selasa (18/11/2025).

    Lebih lanjut, IMF menilai inflasi Indonesia tetap berada dalam sasaran, sementara defisit transaksi berjalan diperkirakan tetap terkelola dan cadangan devisa berada pada level yang nyaman.

    Secara keseluruhan, lembaga tersebut memperkirakan pertumbuhan mencapai 5,0% pada 2025 dan 5,1% pada 2026, meskipun kondisi eksternal masih menantang. 

    “Ekonomi Indonesia menunjukkan resiliensi di tengah guncangan global. Inflasi stabil dan berada pada titik tengah target, sementara kebijakan fiskal dan moneter memberikan dukungan yang tepat,” rangkum Maria.

    Potensi Pelebaran Shortfall Pajak

    Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat realisasi penerimaan pajak sebesar Rp1.295,3 triliun atau baru setara 62,4% dari outlook sepanjang tahun (Rp2.076,9 triliun) hingga akhir September 2025.

    Artinya, Kemenkeu perlu mengumpulkan Rp781,9 triliun dalam tiga bulan terakhir 2025 agar outlook penerimaan pajak sepanjang tahun bisa tercapai.

    Dengan perkembangan tersebut, Kepala Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai APBN 2025 menghadapi risiko shortfall pajak yang besar atau pelebaran selisih target penerimaan dengan realisasi.

    Jika kinerja penerimaan pajak sampai akhir tahun hanya setara dengan capaian beberapa bulan terakhir maka dia memproyeksikan realisasi penerimaan pajak hanya mencapai 82,22% dari outlook sepanjang tahun atau shortfall sekitar Rp389,26 triliun.

    “Sekalipun ada extra effort seperti tahun lalu, penerimaan pajak hanya akan mencapai 85%—88%. Sangat sulit untuk mencapai outlook APBN yang ditetapkan 94%,” jelas Fajry kepada Bisnis, Minggu (19/10/2025).

    Masalahnya lagi, pada tahun depan atau dalam APBN 2026, penerimaan pajak ditargetkan naik 13,5% menjadi Rp2.357,7 triliun. Jika penerimaan pajak tahun ini hanya bisa terealisasi 85%—88% maka target penerimaan pajak 2026 harus naik hingga 28%—31%.

    Adapun, jika penerimaan pajak seret tanpa ada penyesuaian belanja pemerintah maka defisit APBN otomatis akan melebar.

  • Biang Kerok Harga Emas Antam Hari Ini Anjlok

    Biang Kerok Harga Emas Antam Hari Ini Anjlok

    Jakarta

    Pergerakan harga emas Antam nampak lesu hari ini. Harganya kembali jatuh cukup dalam usai kemarin sempat naik tipis. Harga emas Antam 24 karat turun hingga Rp 29.000 per gram menjadi Rp 2.322.000 per gram.

    Harga emas memang mengalami pergerakan fluktuatif pada perdagangan hari Senin kemarin. Menurut analisis Dupoin Futures Indonesia Andy Nugraha pelaku pasar semakin yakin bahwa Federal Reserve (Fed) akan mempertahankan suku bunga acuan pada pertemuan Desember mendatang.

    Meskipun ketidakpastian global masih membayangi, fokus utama investor kini tertuju pada serangkaian rilis data ekonomi Amerika Serikat yang akan dimulai pekan ini. Situasi ini mendorong volatilitas pada logam mulia, membuat harga emas sempat tertekan dan bergerak tidak stabil sepanjang sesi perdagangan.

    Memasuki perdagangan hari Selasa ini, harga emas kembali mengalami penurunan menuju kisaran US$ 4.030 per troy ounce, melanjutkan tekanan yang terjadi sejak akhir pekan. Pelemahan tersebut dipicu oleh merosotnya ekspektasi pasar terhadap kemungkinan penurunan suku bunga AS bulan depan.

    Para pedagang kini cenderung menunggu rilis data Nonfarm Payrolls (NFP) AS bulan September yang akan dirilis hari Kamis mendatang yang diyakini menjadi penentu arah kebijakan moneter berikutnya. Sentimen ini diperkuat oleh penguatan dolar AS yang berlanjut selama tiga hari berturut-turut, membuat emas semakin mahal bagi pemegang mata uang lainnya.

    Menurut analisis Andy Nugraha kombinasi candlestick dan indikator Moving Average menunjukkan tren bearish pada emas semakin menguat. Andy memproyeksikan bahwa jika tekanan jual terus berlanjut, harga berpotensi turun hingga mencapai level US$ 3.987 per troy ounce, yang menjadi support terdekat sekaligus area penting bagi buyer untuk mempertahankan momentum harga.

    Namun, apabila harga gagal melanjutkan penurunan dan terjadi koreksi, potensi kenaikan terdekat diperkirakan berada di sekitar US$ 4.050, yang kini menjadi resistance awal sebelum emas dapat melanjutkan pemulihan lebih lanjut.

    Secara fundamental, sentimen terhadap emas masih dipengaruhi oleh pernyataan bernada hawkish dari pejabat Federal Reserve. Presiden Fed Atlanta, Raphael Bostic, serta Presiden Fed Kansas City, Jeffrey Schmid, sama-sama menyoroti risiko inflasi dan menyatakan dukungan untuk mempertahankan suku bunga tetap stabil lebih lama.

    Pernyataan mereka memperkuat pandangan bahwa The Fed belum melihat urgensi untuk melonggarkan kebijakan dalam waktu dekat. Akibatnya, probabilitas pemangkasan suku bunga sebesar 25 basis poin pada Desember turun menjadi 45%, dari sebelumnya lebih dari 60% pada pekan lalu, berdasarkan perangkat CME FedWatch.

    Meski tekanan bearish cukup dominan, beberapa faktor mendukung potensi stabilisasi harga. Salah satunya adalah aktivitas pembelian emas oleh bank sentral Tiongkok, yang diperkirakan menambah sekitar 15 ton pada bulan September.

    Menurut analis Goldman Sachs, tren akumulasi emas oleh bank sentral global diperkirakan berlangsung bertahun-tahun sebagai bentuk diversifikasi cadangan dari risiko geopolitik maupun ketidakstabilan pasar keuangan. Aktivitas ini dianggap mampu memberikan lantai harga bagi emas dan mencegah penurunan lebih dalam.

    Di sisi lain, imbal hasil obligasi pemerintah AS mengalami fluktuasi. Imbal hasil Treasury 10 tahun tercatat turun 1,5 basis poin menjadi 4,133%, sementara imbal hasil riil turun hampir dua basis poin menjadi 1,852%. Meski penurunan ini biasanya mendukung emas, efek positifnya tertahan karena penguatan dolar masih dominan.

    Wakil Ketua The Fed, Philip Jefferson, menambahkan bahwa risiko inflasi kini mulai mereda meski pasar tenaga kerja tetap menjadi perhatian. Ia menilai kebijakan moneter saat ini sudah cukup restriktif, mengindikasikan The Fed kemungkinan besar mempertahankan sikap tunggu dan lihat.

    Secara keseluruhan, menurut Andy Nugraha arah pergerakan emas hari ini akan sangat bergantung pada kemampuan harga mempertahankan area US$ 3.987. Jika area ini ditembus, tren bearish diperkirakan berlanjut. Namun jika bertahan, emas masih memiliki peluang untuk terkoreksi menuju US$ 4.050 dalam jangka pendek.

    (hal/fdl)

  • Top 3: Dampak Shutdown AS Mulai Terasa, Pasar Emas Terguncang

    Top 3: Dampak Shutdown AS Mulai Terasa, Pasar Emas Terguncang

     

    Harga emas menutup pekan ini dengan posisi kurang menguntungkan setelah momentum bullish bertabrakan dengan tekanan jual teknikal yang cukup kuat. 

    Sepanjang pekan, pergerakan emas cenderung tidak memiliki arah yang jelas karena investor merespons dinamika ekonomi yang berubah cepat. Situasi ini membuat pasar sulit mempertahankan optimisme yang muncul di awal pekan.

    Dikutip dari Kitco.com, Minggu, 16 November 2025, emas sempat menyentuh level di atas USD 4.200, namun gagal mempertahankan posisinya. Sentimen pasar berubah ketika pelaku pasar mulai mengurangi ekspektasi mengenai kemungkinan pemangkasan suku bunga oleh Federal Reserve bulan depan. Kondisi ini memicu gelombang aksi ambil untung di berbagai instrumen, termasuk emas.

    Meskipun pada akhirnya emas menutup pekan dengan kenaikan sekitar 2%, harga komoditas itu tetap turun lebih dari 3% dari level tertinggi minggu ini. Pergerakan tajam tersebut menunjukkan tingginya volatilitas yang dipicu kombinasi faktor teknikal dan ketidakpastian kebijakan moneter. Para analis menilai, reli emas sebelumnya memang terlalu agresif.

    Namun, penurunan harga sebesar 3% hanya karena The Fed menahan diri untuk saat ini dinilai sebagian pelaku pasar sebagai reaksi berlebihan. Mereka menilai, fokus utama seharusnya tetap pada fundamental jangka panjang, bukan pada spekulasi jangka pendek terhadap keputusan satu pertemuan Federal Reserve.

    Dampak Penutupan Pemerintah AS Mulai Terasa

    Di sisi lain, pasar juga dibayangi oleh dampak penutupan pemerintah Amerika Serikat yang berlangsung selama 43 hari, terlama dalam sejarah negara tersebut. 

     

    Berita selengkapnya baca di sini

  • Dampak Shutdown AS Mulai Terasa, Pasar Emas Terguncang

    Dampak Shutdown AS Mulai Terasa, Pasar Emas Terguncang

    Liputan6.com, Jakarta – Harga emas menutup pekan ini dengan posisi kurang menguntungkan setelah momentum bullish bertabrakan dengan tekanan jual teknikal yang cukup kuat. 

    Sepanjang pekan, pergerakan emas cenderung tidak memiliki arah yang jelas karena investor merespons dinamika ekonomi yang berubah cepat. Situasi ini membuat pasar sulit mempertahankan optimisme yang muncul di awal pekan.

    Dikutip dari Kitco.com, Minggu (16/11/2025), emas sempat menyentuh level di atas USD 4.200, namun gagal mempertahankan posisinya. Sentimen pasar berubah ketika pelaku pasar mulai mengurangi ekspektasi mengenai kemungkinan pemangkasan suku bunga oleh Federal Reserve bulan depan. Kondisi ini memicu gelombang aksi ambil untung di berbagai instrumen, termasuk emas.

    Meskipun pada akhirnya emas menutup pekan dengan kenaikan sekitar 2%, harga komoditas itu tetap turun lebih dari 3% dari level tertinggi minggu ini. Pergerakan tajam tersebut menunjukkan tingginya volatilitas yang dipicu kombinasi faktor teknikal dan ketidakpastian kebijakan moneter. Para analis menilai, reli emas sebelumnya memang terlalu agresif.

    Namun, penurunan harga sebesar 3% hanya karena The Fed menahan diri untuk saat ini dinilai sebagian pelaku pasar sebagai reaksi berlebihan. Mereka menilai, fokus utama seharusnya tetap pada fundamental jangka panjang, bukan pada spekulasi jangka pendek terhadap keputusan satu pertemuan Federal Reserve.

    Dampak Penutupan Pemerintah AS Mulai Terasa

    Di sisi lain, pasar juga dibayangi oleh dampak penutupan pemerintah Amerika Serikat yang berlangsung selama 43 hari, terlama dalam sejarah negara tersebut. 

    Penutupan ini menyebabkan sejumlah data ekonomi penting tidak terkumpul, termasuk inflasi konsumen (CPI) untuk bulan Oktober. Karena pengumpulan data dilakukan secara manual, sebagian data kini hilang secara permanen.

    Hilangnya data ekonomi tersebut menjadi tantangan besar bagi ekonom yang mengandalkan data historis untuk membuat model dan proyeksi ekonomi. Ketiadaan data yang semestinya menjadi indikator utama membuat analisis menjadi kurang akurat dalam beberapa bulan mendatang. Hal ini turut mempengaruhi sentimen pasar secara keseluruhan.

     

     

  • Harga Emas Perhiasan Hari Ini 16 November 2025: 24 Karat Sentuh Level Segini

    Harga Emas Perhiasan Hari Ini 16 November 2025: 24 Karat Sentuh Level Segini

    “Momentum emas sedang diuji tajam, dengan harga turun lebih dari 3% hari ini dan aksi jual yang lebih luas melanda pasar logam, ekuitas, dan kripto karena skeptisisme penurunan suku bunga semakin meningkat,” kata Head of Metals di Britannia Global Markets, Neil Welsh.

     “Hal ini menggambarkan betapa bergantungnya sentimen jangka pendek pada sinyal kebijakan bank sentral. Namun, dengan emas yang masih naik signifikan selama setahun terakhir, argumen struktural jangka panjang tetap utuh, didukung oleh risiko makro yang persisten, permintaan bank sentral, dan diversifikasi yang berkelanjutan meskipun volatilitas jangka pendek masih ada.” Ia menambahkan.

     

    Namun, tidak semua orang bersikap hati-hati, karena emas telah mencatat keuntungan signifikan dari aksi jual tajam pada Oktober. Head of Futures Strategies and Forex di Tastylive.com, Christopher Vecchio mengatakan kurangnya data ekonomi pada akhirnya akan berdampak kecil pada kebijakan moneter AS jangka panjang. Ia menambahkan, Pemerintahan Trump terus-menerus meremehkan kenaikan inflasi dan meningkatnya risiko ekonomi.

    “Gedung Putih yakin bahwa inflasi bukanlah masalah dan bahwa perekonomian baik-baik saja, sehingga mereka siap untuk menjalankan perekonomian dengan cepat,” ujar dia.

    “Waktu hampir habis untuk masa jabatan Powell, jadi satu pertemuan saja tidak akan mengubah pandangan The Fed. Ini bukan tentang perjalanan, melainkan satu pertemuan, dan lebih tentang tujuannya.”

    Vecchio memperkirakan emas mengalami aksi ambil untung jangka pendek pada level yang tinggi. Akan tetapi, ia masih ingin membeli saat harga sedang turun.

    Di tengah sentimen harga emas dunia itu, bagaimana pergerakan harga emas perhiasan pada Minggu, 16 November 2025? Berikut adalah rincian Harga Emas Perhiasan Minggu, 16 November 2025 di Rajaemas untuk berbagai kadar:

  • Wall Street Melemah Tertekan Valuasi AI tetapi Nasdaq Menguat

    Wall Street Melemah Tertekan Valuasi AI tetapi Nasdaq Menguat

    Jakarta, Beritasatu.com – Mayoritas bursa saham Amerika Serikat (AS) Wall Street melemah pada penutupan perdagangan Jumat (14/11/2025). Namun, Nasdaq Composite justru bangkit setelah investor kembali memburu saham teknologi yang sehari sebelumnya menekan pasar ke koreksi terdalam dalam lebih dari sebulan.

    Mengutip CNBC, Sabtu (15/11/2025), Nasdaq yang sarat emiten teknologi naik 0,13% ke 22.900,59, memutus tren penurunan tiga hari berturut-turut. Sementara S&P 500 melemah tipis 0,05% ke 6.734,11 dan Dow Jones Industrial Average turun 309,74 poin (0,65%) ke 47.147,48.

    Ketiga indeks sempat jatuh dalam pada awal sesi. Nasdaq dan S&P 500 masing-masing anjlok hingga 1,9% dan 1,4%, sedangkan Dow Jones sempat merosot hampir 600 poin sebelum memangkas sebagian pelemahan.

    Pemulihan mulai terlihat ketika investor masuk kembali ke saham teknologi, terutama emiten berbasis artificial intelligence (AI), seperti Nvidia dan Oracle. Saham Palantir serta Tesla, yang sehari sebelumnya melemah lebih dari 6%, juga ikut bangkit. Sektor teknologi melalui ETF XLK menguat 0,5% setelah sehari sebelumnya terkoreksi 2%.

    Pada Kamis (13/11/2025), Wall Street mencatat pelemahan harian terdalam sejak 10 Oktober. Dow Jones merosot sekitar 800 poin, menghapus lonjakan sesi sebelumnya ketika sempat menyentuh 48.000. Nasdaq pun jatuh lebih dari 2% akibat aksi jual besar pada raksasa teknologi.

    “Kita sedang berada pada fase bolak-balik antara sentimen risk on dan risk off,” ujar Client Portfolio Manager Zacks Investment Management Brian Mulberry.

    Menurut Mulberry, investor saat ini sedang melakukan reposisi portofolio jelang akhir tahun di tengah tingginya konsentrasi pada saham-saham teknologi. Ia memperkirakan volatilitas 1%-2% masih akan terjadi hingga akhir 2025.

    Kekhawatiran pasar terhadap valuasi sektor teknologi kembali meningkat, terutama setelah kejatuhan saham Oracle. Investor menyoroti lonjakan valuasi AI, meningkatnya beban utang korporasi, serta kebutuhan belanja modal (capex) yang kian besar.

    “AI benar-benar sedang menguji batas kemampuan model perhitungan Wall Street,” ujar VP Portfolio Management Mercer Advisors David Krakauer.

    Krakauer menjelaskan ekspektasi pertumbuhan yang besar namun belum terukur membuat valuasi teknologi sangat sensitif terhadap perubahan kecil dalam proyeksi laba maupun suku bunga.

    Pada sisi lain, pasar juga mencermati prospek kebijakan moneter menjelang pertemuan The Fed pada Desember. Peluang pemangkasan suku bunga 25 bps kini turun menjadi di bawah 50%, dari 62,9% di awal pekan dan jauh dari 95,5% sebulan sebelumnya, menurut CME FedWatch Tool.

    Penutupan pemerintahan AS selama lebih dari enam minggu yang menjadi yang terpanjang dalam sejarah berakhir pada Rabu malam. 

    Namun, berakhirnya shutdown tidak otomatis menghadirkan kepastian. Sejumlah data ekonomi penting yang seharusnya dirilis selama periode tersebut kemungkinan tidak akan pernah dipublikasikan, menurut juru bicara Gedung Putih Karoline Leavitt.

    Kondisi ini menambah ketidakpastian pasar yang sudah tertekan oleh volatilitas sektor teknologi dan prospek suku bunga.