Topik: volatilitas

  • AS Ikut Perang Israel-Iran, Pemerintah Perlu Jaga Rupiah & Harga Minyak

    AS Ikut Perang Israel-Iran, Pemerintah Perlu Jaga Rupiah & Harga Minyak

    Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom menyoroti perlunya langkah darurat dan sigap dari pemerintah untuk menghadapi potensi volatilitas rupiah dan kenaikan harga minyak usai Amerika Serikat terjun ke medan perang Israel—Iran.

    Ekonom Universitas Andalas Syafruddin Karimi mengungkapkan perang terbuka antara Israel dan Iran yang kini melibatkan langsung Amerika Serikat dan harus menjadi alarm serius bagi Indonesia. 

    Dirinya menekankan bahwa Indonesia tidak boleh menonton dalam diam. Ketika AS mengerahkan B-2 bomber untuk menghancurkan infrastruktur nuklir Iran, dampaknya tak hanya mengguncang Timur Tengah, tetapi juga menggoyang fondasi ekonomi dan geopolitik negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.

    “Pemerintah Indonesia harus segera bertindak, bukan sekadar membuat pernyataan normatif. Presiden dan jajarannya harus mempersiapkan langkah darurat menghadapi lonjakan harga minyak dunia,” ujarnya, Minggu (22/6/2025).  

    Syafruddin memandang ketergantungan Indonesia pada impor energi akan menjadi beban fiskal besar jika harga minyak menembus US$100 per barel. Dalam APBN 2025, pemerintah mengasumsikan harga minyak mentah Indonesia pada level US$82 per barel. 

    Per 20 Juni 2025, harga minyak mentah Indonesia berada di level US$65,29 per dolar AS. Mengacu data Bloomberg, harga minyak Brent telah mencapai puncaknya pada 19 Juni 2025 di angka US$78,85 per barel usai serangan Israel ke Iran. 

    Sementara Kementerian Keuangan telah mewaspadai konflik Israel dan Iran yang memburuk dapat mengganggu pasokan dan mendorong lonjakan harga minyak mentah Indonesia. Di samping harga minyak, Syafruddin menuturkan bahwa menunda revisi kebijakan subsidi energi hanya akan memperparah defisit APBN. 

    Selain itu, Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan harus memperkuat koordinasi stabilisasi rupiah. Dengan kondisi saat ini, potensi capital outflow akibat dapat menekan nilai tukar dan mengerek inflasi. Untuk itu, intervensi moneter harus disertai penajaman komunikasi kebijakan agar pasar tetap tenang.

    Terlebih pada pekan ini, Bank Indonesia melaporkan adanya aliran modal asing yang keluar dari pasar keuangan Tanah Air senilai Rp2,04 triliun untuk periode 16—19 Juni 2025 atau pekan ketiga Juni.

    Syafruddin melihat saat Presiden Trump mengonfirmasi serangan udara terhadap situs nuklir Iran, termasuk penghancuran fasilitas Fordow, eskalasi konflik berubah drastis dari serangan regional menjadi pertarungan terbuka antara kekuatan global. 

    Saat ini, pemerintah Indonesia Indonesia belum memberikan pernyataan secara khusus terkait langkah menghadapi aksi teranyar Presiden AS Donald Trump. 

    Pasukan militer Amerika Serikat (AS) telah menyerang tiga situs nuklir Iran, termasuk Fordow, Natanz, dan Esfahan, pada Sabtu (21/6/2025) malam.  

    Presiden AS Donald Trump mengatakan bahwa aksi tersebut merupakan serangan yang sangat sukses. Kini, seluruh awak pesawat yang membawa bom ke Iran telah berhasil keluar.  

    “Muatan penuh bom dijatuhkan di situs utama, Fordow. Semua pesawat dalam perjalanan pulang dengan selamat. Selamat kepada Prajurit Amerika kita yang hebat. Tidak ada militer lain di dunia yang bisa melakukan ini,” ujar Trump, dikutip dari akun resmi @WhiteHouse, Minggu (22/6/2025).   

    Lewat aksi ini, Trump disebut bertujuan untuk menghentikan perang yang terjadi dalam sepekan terakhir antara Iran dan Israel. 

  • Harga Minyak Meroket, Dolar Naik Tajam, Saham Goyah

    Harga Minyak Meroket, Dolar Naik Tajam, Saham Goyah

    PIKIRAN RAKYAT – Konflik bersenjata antara Iran dan Israel penjajah yang makin intens memicu ketidakpastian ekonomi global. Harga minyak dunia melonjak drastis, dolar AS menguat sementara pasar saham menunjukkan sinyal kekhawatiran meskipun belum mengalami guncangan signifikan.

    Lonjakan Harga Minyak: Sentimen Pasar Digerakkan oleh Ketakutan Gangguan Pasokan

    Ketegangan geopolitik di Timur Tengah telah mendorong harga minyak ke titik tertinggi dalam hampir lima bulan. Minyak mentah Brent naik hingga 79,04 dolar AS per barel (sekitar Rp1.287.648), naik 18% sejak 10 Juni.

    Lonjakan harga ini dipicu kekhawatiran gangguan pasokan akibat kemungkinan kerusakan terhadap infrastruktur migas Iran, termasuk potensi terhambatnya pengiriman di Selat Hormuz, jalur penting yang dilalui sekitar 20% pasokan minyak dunia.

    “Jika gangguan pasokan benar-benar terjadi, pasar akan sangat merespons. Saat ini harga belum mencerminkan potensi ancaman pasokan global,” ujar Art Hogan, Kepala Strategi Pasar di B Riley Wealth.

    Simulasi Oxford Economics: Harga Bisa Capai 130 dolar AS per Barel

    Oxford Economics merilis model skenario konflik, salah satunya jika produksi minyak Iran terhenti total dan Selat Hormuz ditutup. Dalam skenario paling ekstrem, harga minyak global diprediksi bisa melonjak ke 130 dolar AS per barel (sekitar Rp2.119.000).

    Inflasi di AS bisa terdorong naik hingga 6% pada akhir 2025. Hal ini akan mempersempit ruang pemangkasan suku bunga oleh The Fed dan menekan daya beli masyarakat.

    “Besarnya kenaikan inflasi dan efek beruntunnya bisa membuat bank sentral menunda pemangkasan suku bunga, atau bahkan menaikkannya lagi,” tutur Oxford dalam laporannya.

    Dampak ke Pasar Saham: Sementara Stabil, Tapi Risiko Terus Mengintai

    Meski harga minyak naik tajam, S&P 500 belum menunjukkan penurunan berarti. Sejak serangan udara Israel penjajah, indeks ini relatif datar. Namun jika ketegangan meningkat dan AS memutuskan turut serta secara militer, pasar saham diperkirakan akan mengalami koreksi tajam dalam jangka pendek.

    “Pasar saham cenderung mengabaikan ketegangan geopolitik—sampai akhirnya situasi menjadi tak terkendali,” kata analis Citigroup.

    “Kunci volatilitas ekuitas ke depan bukan lagi suku bunga, tapi harga energi,” ucapnya menambahkan.

    Meski begitu, sejarah menunjukkan bahwa efek guncangan geopolitik terhadap pasar saham bisa bersifat sementara. Data Wedbush Securities menunjukkan bahwa dalam konflik Timur Tengah sebelumnya, S&P 500 rata-rata turun 0,3% dalam tiga minggu awal konflik, namun naik 2,3% dua bulan setelahnya.

    Dolar AS Naik, Tapi Tidak Menjanjikan dalam Jangka Panjang

    Ketika konflik meningkat, dolar AS mengalami penguatan signifikan karena statusnya sebagai aset aman. Namun, menurut Thierry Wizman, ahli strategi dari Macquarie Group, kekuatan dolar kemungkinan hanya bertahan sementara.

    “Trader akan lebih fokus pada dampak jangka pendek terhadap perdagangan Eropa, Jepang, dan Inggris, yang lebih rentan terhadap gejolak minyak,” ujarnya.

    “Namun, jika AS kembali masuk dalam fase perang panjang seperti di Irak atau Afghanistan, maka dolar bisa kembali tertekan,” tutur Thierry Wizman menambahkan.

    Wizman juga mengingatkan, setelah peristiwa 11 September 2001, nilai dolar sempat menguat, namun dalam jangka menengah melemah akibat beban fiskal dari keterlibatan militer jangka panjang.

    Energi Jadi Katalis Volatilitas Global

    Konflik Iran-Israel penjajah bukan hanya berdampak pada stabilitas regional, tapi berpotensi mengguncang ekonomi dunia. Harga minyak yang melonjak dapat menjadi pemicu inflasi global, memperketat kebijakan moneter, dan mengguncang pasar keuangan.

    Jika AS memutuskan untuk terlibat langsung dalam konflik, bukan hanya energi yang akan terdampak, tapi juga nilai tukar, suku bunga, dan strategi investasi global. Investor, pelaku usaha, dan pemerintah negara-negara pengimpor energi harus bersiap menghadapi kemungkinan gejolak jangka panjang.

    “Pasar saat ini hanya melihat sebagian dari risiko. Jika konflik makin luas, kita bisa melihat dampak besar terhadap konsumsi, produksi, dan stabilitas ekonomi global,” kata Hogan dari B Riley Wealth, dikutip Pikiran-Rakyat.com dari Reuters.***

  • Bitcoin Masih Tunjukkan Ketangguhan di Tengah Volatilitas Global

    Bitcoin Masih Tunjukkan Ketangguhan di Tengah Volatilitas Global

    PIKIRAN RAKYAT – Bitcoin (BTC) terus menunjukkan ketahanan yang luar biasa di tengah gejolak geopolitik dan ketidakpastian ekonomi global. Meskipun ketegangan antara Israel dan Iran meningkat, dan Federal Reserve (The Fed) AS kembali mempertahankan suku bunga, harga Bitcoin tetap stabil. Pada Jumat pukul 14.00 WIB, harga BTC berada di kisaran 104.670 dolar AS atau sekitar Rp1,71 miliar.

    Menurut Analis Tokocrypto, Fyqieh Fachrur, yang menyampaikan keterangannya di Jakarta, Jumat, 20 Juni 2025, pasar kripto saat ini berada dalam fase konsolidasi yang normal.

    “Bitcoin sedang menguji zona support di 104.000 dolar AS. Volume perdagangan menurun, ADX di level 16 menunjukkan belum ada tren kuat, dan RSI netral di angka 45. Ini adalah periode penantian untuk arah baru, baik dari kebijakan The Fed maupun perkembangan geopolitik,” jelas Fyqieh, dikutip PikiranRakyat.com dari Antara, Jumat, 20 Juni 2025.

    Bank Sentral AS, atau The Fed, telah mempertahankan suku bunga acuan di kisaran 4,25-4,50 persen. Keputusan ini didasarkan pada prospek ekonomi global yang masih belum pasti, meskipun inflasi menunjukkan tren penurunan. Pasar merespons keputusan ini sebagai langkah hati-hati dari otoritas moneter AS untuk menjaga stabilitas ekonomi.

    Meskipun belum ada tren kenaikan baru, Fyqieh meyakini struktur jangka panjang Bitcoin masih positif. “Jika The Fed di masa mendatang hingga Juli menjelang pertemuan FOMC selanjutnya dapat memberikan sinyal dovish, Bitcoin berpotensi menguat kembali menuju 110.000 dollar AS,” ujarnya.

    Fyqieh menambahkan, ketahanan Bitcoin di tengah konflik bersenjata bukanlah hal baru. Data historis menunjukkan bahwa BTC cenderung stabil bahkan menguat dalam berbagai konflik besar selama dekade terakhir. Sebagai contoh, setelah serangan rudal Israel ke Iran pada 13 Juni 2025, harga Bitcoin sempat terkoreksi namun pulih dalam hitungan hari.

    Prospek Jangka Panjang Aset Kripto, BTC

    Kepercayaan investor institusional juga menjadi faktor kunci. Misalnya, MicroStrategy, perusahaan milik Michael Saylor, mengakuisisi 10.001 Bitcoin senilai 1 miliar dolar AS pada 16 Juni 2025. Akuisisi ini menunjukkan keyakinan kuat terhadap prospek jangka panjang aset kripto ini.

    “Konflik geopolitik cenderung meningkatkan ekspektasi inflasi global melalui lonjakan belanja fiskal, gangguan rantai pasok, dan kenaikan harga komoditas. Dalam jangka panjang, faktor-faktor ini biasanya menguntungkan Bitcoin,” jelas Fyqieh.

    Namun, ia juga memperingatkan bahwa Bitcoin masih sensitif terhadap reaksi awal pasar terhadap konflik, yang mungkin memicu tekanan jual sesaat setelah pecahnya perang.

    Konflik internal seperti perang Tigray di Ethiopia pada 2020 atau kudeta Myanmar pada 2021 tidak memberikan dampak signifikan pada harga Bitcoin. Hal ini mengindikasikan bahwa pengaruh terhadap harga lebih ditentukan oleh kedekatan geopolitik dan keterlibatan pasar keuangan global.

    Fyqieh juga menyoroti peningkatan adopsi institusional, yang membuat Bitcoin semakin terkorelasi dengan pasar keuangan global. Entitas besar seperti BlackRock, Coinbase, hingga pemerintah AS kini berperan sebagai pemegang atau pengelola aset kripto ini.

    “Bitcoin tidak lagi berdiri sendiri seperti satu dekade lalu. Faktor makroekonomi dan geopolitik kini memiliki pengaruh besar terhadap harga. Namun, justru inilah yang menjadikan BTC instrumen relevan untuk diversifikasi portofolio,” tambahnya.

    Secara teknis, Bitcoin saat ini menghadapi resistansi di level 106.500 dolar AS, kemudian zona 108.800–110.000 dollar AS, dengan resistansi kritis di 112.000 dolar AS. Sementara itu, dukungan terdekat berada pada kisaran 102.000-103.000 dolar AS, dan dukungan jangka panjang pada 93.200 dolar AS, yang bertepatan dengan EMA 200 hari.

    Dengan kapitalisasi pasar kripto global yang tetap bertahan di 3,25 triliun dolar AS dan arus masuk ETF yang masih positif, peluang pemulihan harga Bitcoin tetap terbuka lebar. Pasar kini menanti arah kebijakan The Fed berikutnya serta dinamika konflik global yang terus berkembang.***

  • Sisi baik menyimpan dolar di tengah memanasnya konflik Iran-Israel

    Sisi baik menyimpan dolar di tengah memanasnya konflik Iran-Israel

    Jakarta (ANTARA) – Nilai tukar sering kali dianggap sekadar angka yang dilaporkan media setiap pagi, tetapi dalam kenyataannya, nilai tukar merupakan salah satu aset paling strategis dalam pengelolaan kekayaan.

    Saat ini Indonesia secara umum sedang memasuki fase depresiasi rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD), setelah sebelumnya mengalami periode penguatan.

    Pergerakan ini bukan sekadar sinyal dari pasar valuta asing, melainkan cerminan kompleks dari dinamika ekonomi global dan nasional, yang harus dipahami dengan lebih jernih, terutama dalam menyusun strategi investasi.

    Depresiasi nilai tukar bukanlah tragedi jika disikapi secara cerdas. Dari sisi makroekonomi, apresiasi rupiah yang terlalu cepat pun sebenarnya tidak ideal.

    Keadaan ini bisa merugikan sektor ekspor, menekan pendapatan pelaku usaha domestik yang berorientasi ekspor, dan pada akhirnya merambat pada lapangan kerja.

    Maka, tren depresiasi ringan seperti yang diproyeksikan saat ini justru bisa menjadi penyeimbang, dengan asumsi tetap terkendali.

    Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI Bulan Juni 2025 memastikan Bank Indonesia terus memperkuat respons kebijakan stabilisasi, termasuk intervensi terukur di pasar off-shore Non-Deliverable Forward (NDF) dan strategi triple interventionpada transaksi spot, Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF), dan SBN di pasar sekunder.

    Seluruh instrumen moneter juga terus dioptimalkan, termasuk penguatan strategi operasi moneter pro-market melalui optimalisasi instrumen Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), Sekuritas Valuta Asing Bank Indonesia (SVBI), dan Sukuk Valuta Asing Bank Indonesia (SUVBI), untuk memperkuat efektivitas kebijakan dalam menarik aliran masuk investasi portofolio asing dan mendukung stabilitas nilai tukar rupiah.

    Meski begitu, dalam dua hingga tiga bulan ke depan, banyak yang memperkirakan nilai tukar akan menguji kisaran Rp16.500 hingga Rp16.600 per dolar AS. Ini membuka ruang refleksi dan aksi bagi setiap pelaku ekonomi, baik institusi maupun individu.

    Bagi investor ritel, termasuk masyarakat kelas menengah yang selama ini bergantung pada instrumen-instrumen investasi konvensional, momentum ini bisa menjadi kesempatan untuk memahami kembali pentingnya diversifikasi aset.

    Jika saat ini seseorang memegang USD dalam jumlah tertentu, misalnya USD100.000, dengan kurs Rp16.390, maka asetnya dalam rupiah setara dengan Rp1.639.000.000.

    Namun, jika tren pelemahan rupiah berlanjut hingga Rp16.600, nilai aset tersebut naik menjadi Rp1.660.000.000 tanpa perlu melakukan aktivitas investasi apa pun.

    Selisih Rp21.000.000 dalam hitungan minggu adalah cerminan dari kekuatan posisi mata uang sebagai aset pelindung nilai.

    Hal ini sering luput dari perhatian masyarakat yang terbiasa hanya melihat aset dalam bentuk fisik atau instrumen populer seperti saham.

    Volatilitas kurs

    Padahal, volatilitas kurs adalah realitas yang mempengaruhi hampir semua lini ekonomi, dari biaya impor bahan baku industri hingga nilai riil kekayaan pribadi.

    Contoh konkret bisa dilihat dalam skenario transaksi properti, jika seseorang hendak membeli properti senilai Rp10 miliar saat kurs Rp16.200, ia perlu mengkonversi sekitar USD617.284.

    Namun, jika pembayaran tertunda dan kurs bergerak ke Rp16.500, jumlah dolar yang dibutuhkan berkurang menjadi USD606.060. Ada selisih sebesar USD11.225, atau sekitar Rp180 juta dalam transaksi tunggal, hanya karena perubahan kurs.

    Fenomena seperti ini menegaskan bahwa memegang aset dalam USD bukan sekadar strategi menyimpan uang, melainkan bentuk lindung nilai terhadap depresiasi daya beli rupiah.

    Dalam banyak kasus, dolar berperan sebagai “safe haven” di tengah gejolak pasar. Ini juga yang menjelaskan mengapa dalam kondisi global seperti saat ini dengan pasar saham menurun, harga komoditas tidak stabil, dan geopolitik seperti konflik di Timur Tengah memanas, dolar menjadi pilihan rasional.

    Di sisi lain, pasar saham Indonesia, khususnya indeks harga saham gabungan (IHSG), menunjukkan tanda-tanda penurunan yang semakin nyata.

    Setelah menembus level support psikologis di 7.000, tren bearish diperkirakan akan membawa indeks menuju level 6.800.

    Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus memproyeksikan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berpotensi bergerak melemah pada perdagangan Jumat, dengan sentimen utama berasal dari tingkat global.

    Sentimen utama masih akan berasal dari ketegangan konflik antara Iran dan Israel di Timur Tengah, yang mana pelaku pasar mencermati sikap dari negara- negara lain terhadap konflik itu.

    Menurut dia, ketidakpastian merupakan musuh terbesar bagi pasar. Karenanya selama dua pekan ke depan, IHSG masih akan memiliki keraguan untuk menguat, dimana pasar obligasi akan mendampingi kegundahan itu meskipun penurunan harga obligasi akan jauh lebih terbatas karena memiliki risiko yang jauh lebih rendah. “Ruang penguatan terbuka, namun mungkin tipis setidaknya hingga ketidakpastian berkurang,” ujar Nico.

    Penurunan ini diperparah oleh aksi jual yang dilakukan institusi besar terhadap saham-saham sektor perbankan dan utilitas publik, seperti yang terlihat dari pelemahan saham blue chip dalam beberapa hari terakhir.

    Jika investor institusional sudah menarik dananya dari pasar saham, itu bukan sekadar aksi ambil untung, melainkan sinyal bahwa kepercayaan jangka pendek terhadap potensi pertumbuhan melemah.

    Oleh karena itu, saat banyak orang masih berharap pada “rebound” pasar saham, langkah yang lebih bijak adalah realokasi portofolio.

    Menjual saham di harga yang masih relatif tinggi adalah bentuk antisipasi untuk mencegah kerugian lebih lanjut, bukan tanda kepanikan.

    Bersikap objektif

    Dalam strategi investasi menyeluruh, timing adalah elemen vital. Dan dalam konteks seperti sekarang, menahan posisi terlalu lama hanya akan meningkatkan eksposur risiko.

    Satu hal yang patut digarisbawahi adalah pentingnya bersikap objektif dalam melihat realitas pasar. Investor yang terlalu terikat emosi pada satu jenis aset, misalnya saham, akan kesulitan beradaptasi saat pasar tidak bergerak sesuai harapan.

    Justru dalam kondisi fluktuatif seperti inilah, kesadaran akan pentingnya diversifikasi semakin krusial. Tidak hanya diversifikasi sektor dalam saham, tapi juga lintas instrumen dari properti, emas, obligasi, hingga aset mata uang asing seperti USD.

    Kebanyakan masyarakat Indonesia masih menjadikan rupiah sebagai satu-satunya tolok ukur kekayaan. Padahal, ketika nilai rupiah terus terdepresiasi, kekayaan nominal boleh jadi tetap, namun daya belinya menurun.

    Dalam banyak kasus, masyarakat tidak sadar bahwa kekayaannya diam-diam “tergerus” bukan karena harga naik, tapi karena rupiah lemah. Di sinilah USD atau aset berdenominasi dolar mengambil peran penting sebagai alat untuk menjaga kestabilan nilai kekayaan.

    Semua perlu menyadari bahwa dalam lanskap ekonomi global yang kian tak pasti, strategi bertahan bukan hanya tentang memilih aset paling menguntungkan, tapi juga tentang memitigasi risiko kehilangan daya beli.

    Melemahnya rupiah mungkin tidak terhindarkan, namun bukan berarti tidak bisa diantisipasi. Justru dengan pemahaman yang tepat, depresiasi ini bisa diubah menjadi momentum untuk menyusun kembali strategi keuangan yang lebih resilien.

    Ke depan, tren ini bisa saja bergulir cepat mengikuti arah kebijakan moneter AS, ketegangan geopolitik, dan respons pasar regional.

    Namun satu yang pasti bahwa mereka yang memahami nilai tukar sebagai aset, bukan sekadar angka, akan jauh lebih siap menghadapi dinamika ekonomi yang terus berubah.

    Dalam dunia yang terus bergerak, yang bertahan bukan yang paling kuat, tetapi yang paling adaptif. Dan adaptasi terbaik dimulai dari kesadaran bahwa mata uang adalah cermin dari kekuatan ekonomi dan alat lindung nilai yang sangat nyata.

    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Ekonomi dunia tak pasti, Indonesia harus pasti

    Ekonomi dunia tak pasti, Indonesia harus pasti

    Jakarta (ANTARA) – Gejolak ekonomi global kembali menunjukkan taringnya. Kenaikan tajam imbal hasil obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS) menandai kekhawatiran pasar atas ketidakseimbangan fiskal negeri adidaya tersebut.

    Dalam waktu kurang dari satu bulan, imbal hasil obligasi Treasury AS bertenor sepuluh tahun melonjak dari 4 persen menjadi 4,5 persen, sementara obligasi bertenor 30 tahun nyaris menyentuh 5 persen. Kenaikan ini bukan semata respons atas fluktuasi jangka pendek, melainkan sinyal pergeseran struktural mendalam dalam perekonomian global.

    Indonesia tidak bisa memandang gejolak ini dari kejauhan. Ketika negara-negara maju mengalami tekanan fiskal dan moneter, negara berkembang seperti Indonesia cenderung mengalami transmisi tekanan tersebut dalam bentuk pelemahan nilai tukar, keluarnya arus modal asing, serta kenaikan beban bunga utang luar negeri.

    Ada lima risiko struktural global dan implikasinya bagi Indonesia. Pertama, ketidakseimbangan fiskal Amerika Serikat telah mencapai titik kritis. Congressional Budget Office (CBO) memperkirakan defisit fiskal AS akan meningkat dari 6,2 persen PDB pada 2025 menjadi 7,3 persen pada 2055.

    Rasio utang terhadap PDB AS saat ini berada di angka 124,3 persen dan diproyeksikan melonjak menjadi 156 persen jika tren belanja fiskal agresif dan suku bunga tinggi terus berlanjut.

    Indonesia, dengan utang pemerintah sekitar Rp8.400 triliun per Mei 2025 atau 38 persen dari PDB, memang masih tergolong moderat. Namun, bila bunga global terus naik, beban pembayaran bunga utang Indonesia yang saat ini sudah menembus Rp500 triliun per tahun akan semakin memberatkan anggaran negara.

    Kedua, meningkatnya biaya lindung risiko (hedging) terhadap gagal bayar AS melalui instrumen credit default swaps (CDS) menjadi sinyal penting. CDS AS kini diperdagangkan di atas CDS Inggris dan mendekati level CDS Yunani dan Italia. Biaya untuk mengasuransikan utang AS bahkan lebih tinggi dibandingkan China, meski China hanya berperingkat A1. Jika pasar menganggap obligasi pemerintah AS bukan lagi aset bebas risiko, maka imbasnya bisa berupa penurunan minat terhadap aset berdenominasi dolar—termasuk obligasi negara berkembang seperti Indonesia.

    Ketiga, pasar kredit swasta (private credit) yang tidak transparan semakin membesar. BlackRock memperkirakan aset private credit akan mencapai 4,5 triliun dolar AS pada 2030. Pasar ini tidak diawasi otoritas seperti pasar obligasi publik, sehingga risiko leverage tersembunyi meningkat.

    Bagi Indonesia yang tengah mendorong pembiayaan infrastruktur melalui skema KPBU dan dana swasta, dinamika ini harus diwaspadai. Keterlibatan investor swasta global dalam pembiayaan proyek-proyek strategis Indonesia bisa terdampak jika kepercayaan terhadap stabilitas sektor kredit menurun.

    Keempat, relasi antara dolar dan suku bunga yang berubah menambah lapisan ketidakpastian baru. Biasanya, suku bunga tinggi memperkuat dolar. Namun, sejak Maret, dolar justru melemah 6 persen terhadap euro walaupun imbal hasil obligasi AS naik. Ini menunjukkan bahwa investor global meminta premi lebih tinggi untuk memegang dolar AS.

    Jika tren ini berlanjut, Indonesia bisa menghadapi tekanan nilai tukar yang lebih kuat. Nilai tukar rupiah yang saat ini berkisar Rp16.200 per dolar AS bisa melampaui Rp17.000 bila terjadi penarikan dana asing dari pasar obligasi dan saham domestik.

    Kelima, ketergantungan rumah tangga Amerika pada pasar saham juga berisiko. Lebih dari 70 persen kekayaan keuangan rumah tangga AS terikat dalam saham. Jika terjadi koreksi besar di pasar saham AS, maka dampaknya bisa menyebar global melalui penurunan konsumsi dan investasi.

    Sementara itu, di Indonesia, jumlah investor pasar modal meningkat tajam, mencapai 13,4 juta investor di awal 2025. Bila volatilitas pasar global memicu aksi jual massal, pasar keuangan domestik pun bisa terguncang.

    Dalam teori makroekonomi modern, ketidakpastian ekonomi global mempengaruhi aktivitas domestik melalui beberapa saluran: nilai tukar, arus modal, suku bunga, dan ekspektasi bisnis. Menurut Bloom (2009) dalam “The Impact of Uncertainty Shocks,” lonjakan ketidakpastian global menyebabkan pelaku usaha menunda investasi dan perekrutan karena risiko menjadi tak terukur. Ini sejalan dengan kondisi saat ini: pelaku usaha Indonesia semakin berhati-hati dalam ekspansi, meskipun inflasi tetap rendah dan konsumsi membaik pasca pandemi.

    Sementara itu, Knightian uncertainty, yang membedakan antara risiko terukur dan ketidakpastian yang tak bisa diukur, semakin relevan. Di tengah fragmentasi geopolitik, perang dagang AS-China, dan konflik Ukraina, investor menghadapi skenario-skenario yang tidak bisa dimodelkan secara statistik. Indonesia harus memahami bahwa fondasi stabilitas ekonomi bukan hanya pada angka inflasi dan pertumbuhan, tetapi juga pada kemampuan merespons ketidakpastian.

    Dalam konteks Indonesia, data terbaru menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi kuartal I-2025 hanya mencapai 4,9 persen, sedikit di bawah ekspektasi 5,1 persen. Sektor ekspor menurun akibat pelemahan permintaan global, sementara beban utang dalam APBN semakin meningkat. Di sisi lain, konsumsi domestik masih menjadi penopang utama, menyumbang lebih dari 54 persen PDB.

    Tantangan lain adalah pelemahan nilai tukar yang memperbesar biaya impor dan subsidi energi. Bila harga minyak dunia bertahan di atas 85 dolar AS per barel, pemerintah harus menggelontorkan lebih dari Rp400 triliun subsidi BBM tahun ini yang menekan ruang fiskal untuk belanja produktif. Ketergantungan terhadap pembiayaan eksternal (utang luar negeri dan FDI) juga membuat Indonesia rentan terhadap perubahan sentimen investor global.

    Namun demikian, peluang tetap terbuka. Cadangan devisa Indonesia yang masih cukup kuat yakni 136 miliar dolar AS per Mei 2025 yang memberikan bantalan jika terjadi gejolak. Selain itu, kebijakan hilirisasi nikel dan bauksit bisa mendongkrak penerimaan ekspor dalam jangka menengah, meski harus diiringi dengan penguatan teknologi dan SDM industri.

    Situasi ini tentunya membawa implikasi bagi kebijakan Indonesia. Pertama, pemerintah perlu mengelola risiko fiskal dengan lebih disiplin. Ini bisa dilakukan melalui efisiensi belanja, reformasi subsidi energi, serta peningkatan rasio pajak yang saat ini masih di bawah 10persen PDB. Penerapan pajak karbon dan optimalisasi PPN dapat memperkuat basis pendapatan negara tanpa membebani sektor produktif.

    Kedua, stabilisasi nilai tukar dan pasar keuangan harus menjadi prioritas. Bank Indonesia perlu melanjutkan intervensi ganda dan memperkuat koordinasi dengan pemerintah dalam menjaga kepercayaan investor. Kebijakan suku bunga harus memperhitungkan sentimen global, namun tetap mendukung pertumbuhan domestik.

    Ketiga, diversifikasi pembiayaan infrastruktur perlu didorong. Ketergantungan pada utang luar negeri dan investor global dapat dikurangi melalui penguatan pasar modal domestik dan pembentukan dana abadi infrastruktur yang melibatkan BUMN, swasta, dan pemerintah daerah.

    Keempat, penguatan ketahanan pangan dan energi harus dipercepat agar tekanan global tidak mengganggu kestabilan sosial. Ketahanan nasional menjadi kunci dalam menghadapi ekonomi global yang semakin tak pasti dan terfragmentasi.

    Indonesia tengah berada dalam pusaran ketidakpastian global yang kompleks. Pergeseran struktural ekonomi dunia menuntut ketahanan domestik yang kuat, respons kebijakan yang adaptif, dan koordinasi yang solid antara lembaga fiskal, moneter, dan sektor riil.

    Kita tak bisa mengendalikan arah angin global, tapi kita bisa memperkuat layar ekonomi nasional agar tetap melaju ke tujuan pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan.

    *) Dr. Aswin Rivai, SE., MM adalah Pengamat Ekonomi, Dosen FEB UPN Veteran Jakarta

    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • OJK imbau investor muda tidak FOMO jika ingin investasi kripto

    OJK imbau investor muda tidak FOMO jika ingin investasi kripto

    Ilustrasi logo Otoritas Jasa Keuangan (OJK). ANTARA/HO-OJK

    OJK imbau investor muda tidak FOMO jika ingin investasi kripto
    Dalam Negeri   
    Editor: Calista Aziza   
    Jumat, 20 Juni 2025 – 06:43 WIB

    Elshinta.com – Kepala Direktorat Pengawasan Aset Keuangan Digital dan Aset Kripto Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Uli Agustina minta investor muda untuk tidak berinvestasi pada aset kripto hanya karena ingin mengikuti tren (Fear of Missing Out/FOMO).

    “Untuk anak muda, (sebaiknya) tidak ikut-ikutan FOMO, lihat teman kiri-kanan, lalu ikut buka akun dan sebagainya. Pahami dulu (sebelum) akan melakukan transaksi ini, tentunya dengan pedagang yang sudah terdaftar di OJK,” kata Uli Agustina di Jakarta, Kamis.

    Ia juga minta investor untuk memahami aset kripto yang akan dibeli, dokumen informasi dan cetak biru pengembangan aset kripto (whitepaper), serta volatilitas harga aset.

    Selain itu, ia mengimbau masyarakat untuk berhati-hati saat mengakses platform investasi, terutama saat menggunakan jaringan internet atau WiFi publik karena rawan pencurian data pribadi.

    Uli juga mengingatkan investor muda agar tidak menggunakan uang yang telah dialokasikan untuk kebutuhan tertentu, misalnya untuk membayarkan biaya kuliah.

    “Saya beberapa kali dapat message (pesan) dari teman-teman yang menangis karena mereka pakai uang kuliahnya untuk membeli aset kripto yang tidak tahu asetnya itu seperti apa dan uangnya hilang (mengalami rugi). Jadi, memang harus pahami benar untuk berhati-hati dalam kondisi tersebut,” ujarnya.

    Senada dengan Uli Agustina, Direktur Strategi dan Kebijakan Pengawasan Ruang Digital Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemenkomdigi) Muchtarul Huda menekankan pentingnya literasi digital dan perlindungan data pribadi dalam berinvestasi kripto.

    “Yang pasti literasi digital itu harus tetap diutamakan. Kemudian perlu diinformasikan kepada masyarakat bahwa begitu pentingnya data pribadi yang dimiliki, sehingga penggunaan data pribadi harus sebijak mungkin,” ucapnya.

    Ia menyatakan bahwa penggunaan yang tidak bijak dan ketidakwaspadaan masyarakat dalam membagikan data pribadi dapat menimbulkan ancaman berupa potensi phishing dan kejahatan siber lainnya jika data tersebut jatuh ke tangan pihak yang tidak kredibel.

    Untuk mengantisipasi data pribadi digunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, Muchtarul menyarankan penggunaan fitur otentikasi verifikasi (authentication verification).

    Ia juga mengimbau masyarakat untuk memahami hak subjek data pribadi, yakni hak individu untuk mengakses, memperbaiki, menghapus, dan membatasi pemrosesan data pribadi mereka.

    “Khawatirnya, karena kita tidak tahu hak dan kewajiban pengendali, kita serahkan data kita begitu saja. Padahal di situ ada hal yang perlu kita pertimbangkan untuk kita jaga dan kewajiban pengendali juga untuk menjaga keamanan data kita,” tutur Muchtarul Huda.

    Sumber : Antara

  • Harga Emas Antam Hari Ini 20 Juni 2025 Merosot Tajam, Saat yang Tepat Untuk Beli?

    Harga Emas Antam Hari Ini 20 Juni 2025 Merosot Tajam, Saat yang Tepat Untuk Beli?

    PIKIRAN RAKYAT – Harga emas Antam hari ini, 20 Juni 2025 merosot per gramnya sama seperti harga emas perhiasan dan emas cukin, hal ini menyesuaikan harga pasar usai kembali terjadi perang antara Iran dan Israel.

    Kenaikan dan penurunan ini diprediksi karena adanya tekanan di beberapa sektor dan berdampak pada harga emas dunia. Selain emas, volatilitas uga terjadi pada mata uang EURUSD dan GBPUSD yang bergerak cukup agresif imbas perubahan sentiment investor terhadap kebijakan oneter The Fed.

    Meski kemarin Harga emas sempat drop, pergerakan Harga ini terus berubah. Pada Pukul 22.00 WIB tadi malam, grafik Harga emas global mulai Kembali hijau.

    Untuk ukuran emas batangan yang lebih besar, para investor memiliki beragam pilihan dari penyedia terkemuka seperti Galeri24, Antam, dan UBS. Perbedaan harga antar ketiga penyedia ini menjadi faktor penting dalam pengambilan keputusan investasi.Perbedaan harga ini dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk biaya produksi, kebijakan margin keuntungan, dan permintaan pasar terhadap produk masing-masing entitas.

    Data ini menunjukkan bahwa bagi investor dengan volume besar, selisih harga antar penyedia bisa sangat substansial. Investor disarankan untuk selalu membandingkan harga dari berbagai sumber sebelum melakukan transaksi.

      Denominasi Galeri24 Antam UBS 0,5 gram Rp 1.007.000 Rp 1.048.000 Rp 1.048.000 1 gram Rp 1.918.000 Rp 1.992.000 Rp 1.938.000 2 gram Rp 3.780.000 Rp 3.921.000 Rp 3.845.000 25 gram Rp 46.652.000 Rp 48.355.000 Rp 47.161.000 50 gram Rp 93.230.000 Rp 96.627.000 Rp 94.126.000 100 gram Rp 186.369.000 Rp 193.174.000 Rp 188.178.000 250 gram Rp 465.692.000 Rp 482.662.000 Rp 470.304.000 500 gram Rp 930.924.000 Rp 965.107.000 Rp 939.501.000 1.000 gram Rp 1.861.847.000 Rp 1.930.173.000 – 5 gram Rp 9.379.000 – Rp 9.501.000 10 gram Rp 18.708.000 – Rp 18.901.000 Menjual Emas di Saat Harga Tinggi

    Keuntungan

    Keuntungan Maksimal: Jika Anda membeli emas saat harganya masih rendah, menjualnya saat harga tinggi tentu akan memberi keuntungan besar. Uang Tunai Langsung: Hasil penjualan bisa langsung dimanfaatkan untuk kebutuhan darurat, investasi lain, atau membayar utang. Tidak Ada Beban Bunga atau Biaya Tambahan: Menjual emas berarti Anda tidak perlu membayar bunga atau biaya administrasi seperti saat menggadaikannya.

    Kekurangan

    Kehilangan Aset: Setelah dijual, Anda tidak lagi memiliki emas tersebut sebagai cadangan kekayaan. Kesempatan Masa Depan Hilang: Jika harga emas terus naik, Anda kehilangan potensi keuntungan di masa depan. Terpengaruh Sentimen Pasar: Harga beli kembali (buyback) sering kali lebih rendah dari harga jual emas di pasaran. Baca Juga: Tips Investasi Emas untuk Pemula, Minim Risiko dan Dijamin Cuan Menggadaikan Emas di Pegadaian

    Keuntungan:

    Emas Tidak Hilang: Gadai bersifat sementara. Jika Anda menebusnya, emas kembali menjadi milik Anda. Cair Cepat: Proses gadai di Pegadaian cepat dan mudah, bisa langsung dapat uang tunai dengan jaminan emas. Nilai Gadai Mengikuti Harga Emas: Ketika harga emas tinggi, jumlah pinjaman yang bisa didapat pun lebih besar. Fleksibel: Bisa menebus sebagian atau memperpanjang masa gadai jika belum mampu membayar lunas.

    Kekurangan:

    Biaya Tambahan: Ada bunga atau biaya sewa modal yang harus dibayar per bulan sesuai nilai pinjaman. Risiko Emas Dilelang: Jika gagal menebus dalam waktu yang ditentukan, emas bisa dilelang dan Anda kehilangan aset. Nilai Pinjaman Tidak 100%: Umumnya Pegadaian hanya memberikan pinjaman sebesar 85–92% dari nilai emas. Mana yang Lebih Menguntungkan?

    Jika Anda benar-benar tidak memerlukan emas tersebut lagi, dan ingin memanfaatkan harga yang sedang tinggi, maka menjual emas atau melakukan buyback Antam bisa menjadi pilihan paling rasional.

    Namun, jika Anda hanya butuh dana cepat tapi masih ingin menyimpan emas sebagai aset jangka panjang, maka menggadaikannya di Pegadaian adalah opsi lebih bijak, dengan catatan Anda mampu menebusnya kembali.

    Apapun pilihan Anda, pertimbangkan kondisi keuangan dan tujuan jangka panjang. Jangan terburu-buru hanya karena harga emas sedang naik. Lebih baik rencanakan dan hitung matang agar emas benar-benar menjadi aset yang menguntungkan, bukan sekadar sumber dana darurat.***

  • 3 Risiko Jika Bank Indonesia Terus Tahan BI Rate – Page 3

    3 Risiko Jika Bank Indonesia Terus Tahan BI Rate – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Chief Economist Permata Bank, Josua Pardede, menilai keputusan Bank Indonesia (BI) untuk menahan suku bunga acuan saat ini memang memiliki pertimbangan tersendiri, terutama dalam konteks stabilitas dan momentum pemulihan ekonomi domestik.

    Namun, jika kebijakan suku bunga dipertahankan terlalu lama tanpa penyesuaian, ada beberapa risiko yang dapat timbul.

    “Pertama, nilai tukar rupiah dapat terus berada dalam tekanan, karena daya tarik aset domestik bisa berkurang dibandingkan negara-negara lain yang menawarkan imbal hasil lebih tinggi,” kata Josua kepada Liputan6.com, Kamis (19/6/2025).

    Kedua, pelemahan rupiah yang berkepanjangan dapat meningkatkan inflasi impor, khususnya melalui kenaikan harga energi dan komoditas impor lainnya, sehingga berpotensi mendorong inflasi domestik lebih tinggi dari target BI.

    Ketiga, investor asing bisa menjadi semakin berhati-hati atau bahkan menarik dana investasi portofolio mereka, sehingga meningkatkan volatilitas di pasar keuangan domestik.

    Bank Indonesia pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) 17-18 Juni 2025 memutuskan untuk mempertahankan BI Rate sebesar 5,50%, suku bunga Deposit Facility sebesar 4,75%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 6,25%.

    Keputusan ini sejalan dengan tetap terjaganya perkiraan inflasi 2025 dan 2026 dalam sasaran 2,5±1%, kestabilan nilai tukar Rupiah sesuai dengan fundamental di tengah ketidakpastian global yang masih tinggi, serta perlunya untuk tetap turut mendorong pertumbuhan ekonomi.

    Kendati demikian, Josua menyebut untuk saat ini keputusan Bank Indonesia pertahankan BI Rate secara umum tepat. Hal itu guna mempertahankan momentum pemulihan ekonomi dan menjaga keseimbangan antara stabilitas inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan nilai tukar.

  • Harga Emas Antam Hari Ini 19 Juni 2025 Turun Banyak, Saatnya Jual Kembali Atau Beli?

    Harga Emas Antam Hari Ini 19 Juni 2025 Turun Banyak, Saatnya Jual Kembali Atau Beli?

    PIKIRAN RAKYAT – Harga emas Antam hari ini, 19 Juni 2025 merosot per gramnya, hal ini menyesuaikan harga pasar usai kembali terjadi perang antara Iran dan Israel.

    Kenaikan dan penurunan ini diprediksi karena adanya tekanan di beberapa sektor dan berdampak pada harga emas dunia. Selain emas, volatilitas uga terjadi pada mata uang EURUSD dan GBPUSD yang bergerak cukup agresif imbas perubahan sentiment investor terhadap kebijakan oneter The Fed.

    Meski kemarin Harga emas sempat drop, pergerakan Harga ini terus berubah. Pada Pukul 22.00 WIB tadi malam, grafik Harga emas global mulai Kembali hijau.

    Untuk ukuran emas batangan yang lebih besar, para investor memiliki beragam pilihan dari penyedia terkemuka seperti Galeri24, Antam, dan UBS. Perbedaan harga antar ketiga penyedia ini menjadi faktor penting dalam pengambilan keputusan investasi.Perbedaan harga ini dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk biaya produksi, kebijakan margin keuntungan, dan permintaan pasar terhadap produk masing-masing entitas.

    Data ini menunjukkan bahwa bagi investor dengan volume besar, selisih harga antar penyedia bisa sangat substansial. Investor disarankan untuk selalu membandingkan harga dari berbagai sumber sebelum melakukan transaksi.

    Denominasi Galeri24 Antam UBS 0,5 gram Rp 1.010.000 Rp 1.051.000 Rp 1.049.000 1 gram Rp 1.925.000 Rp 1.998.000 Rp 1.941.000 2 gram Rp 3.793.000 Rp 3.934.000 Rp 3.851.000 25 gram Rp 46.810.000 Rp 48.509.000 Rp 47.235.000 50 gram Rp 93.547.000 Rp 96.936.000 Rp 94.274.000 100 gram Rp 187.000.000 Rp 193.791.000 Rp 188.472.000 250 gram Rp 467.269.000 Rp 484.204.000 Rp 471.041.000 500 gram Rp 934.078.000 Rp 968.191.000 Rp 940.973.000 1.000 gram Rp 1.868.154.000 Rp 1.936.341.000 – 5 gram Rp 9.411.000 – Rp 9.516.000 10 gram Rp 18.771.000 – Rp 18.931.000 Menjual Emas di Saat Harga Tinggi

    Keuntungan

    Keuntungan Maksimal: Jika Anda membeli emas saat harganya masih rendah, menjualnya saat harga tinggi tentu akan memberi keuntungan besar. Uang Tunai Langsung: Hasil penjualan bisa langsung dimanfaatkan untuk kebutuhan darurat, investasi lain, atau membayar utang. Tidak Ada Beban Bunga atau Biaya Tambahan: Menjual emas berarti Anda tidak perlu membayar bunga atau biaya administrasi seperti saat menggadaikannya.

    Kekurangan

    Kehilangan Aset: Setelah dijual, Anda tidak lagi memiliki emas tersebut sebagai cadangan kekayaan. Kesempatan Masa Depan Hilang: Jika harga emas terus naik, Anda kehilangan potensi keuntungan di masa depan. Terpengaruh Sentimen Pasar: Harga beli kembali (buyback) sering kali lebih rendah dari harga jual emas di pasaran. Baca Juga: Tips Investasi Emas untuk Pemula, Minim Risiko dan Dijamin Cuan Menggadaikan Emas di Pegadaian

    Keuntungan:

    Emas Tidak Hilang: Gadai bersifat sementara. Jika Anda menebusnya, emas kembali menjadi milik Anda. Cair Cepat: Proses gadai di Pegadaian cepat dan mudah, bisa langsung dapat uang tunai dengan jaminan emas. Nilai Gadai Mengikuti Harga Emas: Ketika harga emas tinggi, jumlah pinjaman yang bisa didapat pun lebih besar. Fleksibel: Bisa menebus sebagian atau memperpanjang masa gadai jika belum mampu membayar lunas.

    Kekurangan:

    Biaya Tambahan: Ada bunga atau biaya sewa modal yang harus dibayar per bulan sesuai nilai pinjaman. Risiko Emas Dilelang: Jika gagal menebus dalam waktu yang ditentukan, emas bisa dilelang dan Anda kehilangan aset. Nilai Pinjaman Tidak 100%: Umumnya Pegadaian hanya memberikan pinjaman sebesar 85–92% dari nilai emas. Mana yang Lebih Menguntungkan?

    Jika Anda benar-benar tidak memerlukan emas tersebut lagi, dan ingin memanfaatkan harga yang sedang tinggi, maka menjual emas atau melakukan buyback Antam bisa menjadi pilihan paling rasional.

    Namun, jika Anda hanya butuh dana cepat tapi masih ingin menyimpan emas sebagai aset jangka panjang, maka menggadaikannya di Pegadaian adalah opsi lebih bijak, dengan catatan Anda mampu menebusnya kembali.

    Apapun pilihan Anda, pertimbangkan kondisi keuangan dan tujuan jangka panjang. Jangan terburu-buru hanya karena harga emas sedang naik. Lebih baik rencanakan dan hitung matang agar emas benar-benar menjadi aset yang menguntungkan, bukan sekadar sumber dana darurat.***

  • Harga Emas Hari Ini 18 Juni 2025 Stabil, Jadi Segini – Page 3

    Harga Emas Hari Ini 18 Juni 2025 Stabil, Jadi Segini – Page 3

    Kekacauan yang terus berlanjut di Timur Tengah, khususnya konflik antara Israel dan Iran, kembali meningkatkan permintaan terhadap emas sebagai aset aman.

    Hal ini menyebabkan harga emas melesat menembus USD3.400 per ons dan mencatatkan penutupan mingguan tertinggi sepanjang sejarah. Harga emas spot ditutup di level USD3.434,12 per ons, menguat 3,75% dibandingkan pekan sebelumnya.

    Meski begitu, para analis tetap berhati-hati. Kepala Strategi Komoditas Saxo Bank, Ole Hansen, menilai bahwa konflik geopolitik seperti ini cenderung hanya mendorong kenaikan harga sementara.

    “Tanpa eskalasi lebih lanjut, sulit bagi harga untuk terus naik jauh di atas USD3.400,” ujar Hansen, dikutipd ari Kitco, Minggu (15/6/2025).

    Volatilitas Mengintai, Emas Tetap dalam Tren Naik Jangka Panjang

    Kepala Strategi Pasar MarketGauge, Michele Schneider, memperingatkan potensi volatilitas dalam waktu dekat. Ia menilai para trader jangka pendek kemungkinan akan mengambil keuntungan dari reli saat ini, yang bisa menekan harga dalam jangka pendek. Namun secara keseluruhan, baik emas maupun perak masih menunjukkan tren naik jangka panjang yang solid.

    Sementara itu, dolar AS justru tertinggal. Indeks dolar tercatat turun 1% dalam sepekan terakhir, diperdagangkan di angka 98,13, memperkuat daya tarik emas sebagai alternatif safe haven.