Topik: Utang Pemerintah

  • Tekanan Tak Henti Trump ke The Fed: Suku Bunga Harus Turun 1%, Ancam Ganti Powell

    Tekanan Tak Henti Trump ke The Fed: Suku Bunga Harus Turun 1%, Ancam Ganti Powell

    Bisnis.com, JAKARTA — Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kembali meningkatkan tekanannya terhadap Ketua Federal Reserve Jerome Powell agar memangkas suku bunga sebesar satu poin persentase penuh.

    Melansir Bloomberg, Sabtu (7/6/2025), lewat unggahan di media sosial, Trump mengkritik kebijakan suku bunga The Fed. Bahkan dirinya menyebut Powell dengan julukan sinis “Terlambat Bertindak.”

    “Terlambat di The Fed adalah bencana! Meski dia ada, negara kita tetap hebat. Pangkas satu poin penuh, berikan bahan bakar roket!” ungkap Trump di media sosial.

    Meski permintaan Trump terhadap pemangkasan suku bunga bukan hal baru, ukuran desakannya kali ini sangat ekstrem.

    Presiden yang menunjuk Powell pada 2017 itu berulang kali menilai sang ketua terlalu berhati-hati dalam menurunkan biaya pinjaman. Bulan lalu, Trump bahkan secara langsung menekan Powell dalam pertemuan di Gedung Putih.

    Berbicara kepada wartawan di pesawat kepresidenan Air Force One, Trump mengungkapkan tengah mempertimbangkan calon pengganti Powell, yang masa jabatannya berakhir Mei 2026.

    “Akan diumumkan segera,” katanya, tanpa menyebut nama. Saat ditanya soal Kevin Warsh, mantan gubernur The Fed, Trump menjawab, “Ia sangat dihormati.”

    The Fed dijadwalkan menggelar pertemuan pada 17–18 Juni dan diperkirakan tetap mempertahankan suku bunga acuan. Para pejabat menyatakan ingin melihat dampak kebijakan ekonomi Trump—terutama soal tarif, pajak, dan imigrasi—sebelum mengubah arah kebijakan moneter.

    Pemangkasan suku bunga satu persen dalam satu pertemuan sangat jarang terjadi kecuali dalam situasi gawat. Kali terakhir langkah serupa diambil adalah Maret 2020, saat pandemi Covid-19 memicu resesi dalam dan lonjakan pengangguran.

    The Fed sendiri menargetkan inflasi 2% dan menyeimbangkan antara stabilitas harga dan lapangan kerja—dua mandat yang ditetapkan Kongres. Menurunkan suku bunga terlalu cepat berisiko memicu inflasi, sementara mempertahankannya terlalu tinggi bisa menahan pertumbuhan ekonomi.

    Trump menyampaikan desakan ini setelah data terbaru menunjukkan pertumbuhan lapangan kerja melambat di bulan Mei namun tetap solid, dengan tingkat pengangguran bertahan di 4,2%. Gedung Putih menyebut ekonomi tengah “melonjak”, ditopang pertumbuhan gaji dan inflasi yang mulai terkendali.

    Namun pejabat The Fed menilai kondisi pasar kerja masih cukup kuat untuk mempertahankan suku bunga. Mereka khawatir pelonggaran dini justru memperburuk tekanan inflasi yang belum sepenuhnya mereda.

    Dalam unggahan berikutnya, Trump menuduh Powell membuat negara “merugi besar” karena mempertahankan suku bunga tinggi, yang berdampak pada biaya bunga utang pemerintah.

    “Jika dia memotong, kita bisa turunkan bunga utang jangka pendek dan panjang. Inflasi tak ada. Kalau nanti muncul lagi, naikkan suku bunga. Sangat sederhana!!!” tulisnya.

    Sejak The Fed menaikkan suku bunga untuk meredam inflasi tinggi dalam beberapa tahun terakhir, biaya pinjaman AS melonjak. Rata-rata suku bunga obligasi pemerintah kini berada di kisaran 3,36%, jauh lebih tinggi dibanding era sebelum kenaikan suku bunga.

    Tahun fiskal lalu, pembayaran bunga utang setara 3,06% dari Produk Domestik Bruto (PDB) — tertinggi sejak 1996.

    Ironisnya, meski Trump dan Partai Republik berjanji menekan defisit, RUU pemotongan pajak yang tengah mereka dorong justru diperkirakan memperlebar defisit.

    Kantor Anggaran Kongres (CBO) memperkirakan RUU itu akan menambah beban bunga sebesar US$551 miliar selama satu dekade. Proyeksi ini belum mencakup dampak lain seperti potensi dorongan terhadap pertumbuhan ekonomi.

    The Fed Makin Mantap Tahan Suku Bunga

    Di sisi lain, The Fed semakin mantap untuk mempertahankan suku bunga acuannya, setelah data ketenagakerjaan terbaru menunjukkan bahwa pasar tenaga kerja AS masih cukup kuat di tengah ketidakpastian akibat perubahan besar dalam kebijakan perdagangan.

    Laporan bulanan Departemen Tenaga Kerja AS yang dirilis Jumat (6/6) mencatat tingkat pengangguran tetap di 4,2% pada Mei. Meski penciptaan lapangan kerja tercatat sebanyak 139.000—lebih rendah dibandingkan rata-rata tahun lalu—revisi ke bawah pada data sebelumnya tetap mengindikasikan pelemahan yang bertahap, bukan mendadak.

    Para pengambil kebijakan di The Fed tetap berhati-hati. Presiden Fed Philadelphia Patrick Harker menyebut laporan ketenagakerjaan ini “solid” dan mengatakan saat ini adalah waktu untuk mempertahankan kebijakan.

    The Fed dijadwalkan menggelar pertemuan pada 17–18 Juni, dan diperkirakan tetap mempertahankan suku bunga. Pelaku pasar kini memprediksi pemangkasan pertama baru terjadi pada September, disusul satu kali lagi pada Desember.

    Setelah laporan ketenagakerjaan dirilis, ekspektasi terhadap kemungkinan pemangkasan ketiga tahun ini mulai berkurang.

    “Data ketenagakerjaan yang kuat memperkuat argumen The Fed untuk bersabar,” kata Scott Helfstein, Kepala Strategi Investasi Global X.

    Namun demikian, sejumlah analis memperkirakan pasar tenaga kerja akan terus melemah dalam beberapa bulan ke depan akibat tekanan dari tarif impor dan ketidakpastian kebijakan pemerintah.

    Laporan terbaru menunjukkan bahwa penambahan lapangan kerja hanya terjadi di sektor-sektor terbatas seperti layanan kesehatan, sementara manufaktur mencatat penurunan terbesar sejak Januari.

  • Ekonom Wanti-wanti Tantangan Pembiayaan Utang Pemerintah Rp800 Triliun

    Ekonom Wanti-wanti Tantangan Pembiayaan Utang Pemerintah Rp800 Triliun

    Bisnis.com, JAKARTA — Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. (BNLI) Josua Pardede mewanti-wanti sejumlah tantangan besar pemerintah dalam melunasi surat utang jatuh tempor sebesar Rp800,3 triliun pada tahun ini.

    Josua menjelaskan realisasi penarikan utang baru mencapai sekitar Rp304 triliun per akhir April. Artinya, masih terdapat kebutuhan pembiayaan lebih dari Rp496 triliun dalam waktu sekitar 8 bulan ke depan.

    “Tantangan-tantangan yang dihadapi bersifat struktural dan siklikal, baik dari sisi domestik maupun global,” jelas Josua kepada Bisnis, dikutip Jumat (6/6/2025).

    Dia pun mencatat setidaknya ada tiga tantangan utama. Pertama, ketidakpastian global yang ditandai dengan penurunan suku bunga acuan oleh bank sentral AS Federal Reserve alias The Fed dan meningkatkan tensi geopolitik global seperti perang dagang dan konflik kawasan.

    Josua menjelaskan ketidakpastian global menyebabkan volatilitas di pasar keuangan, baik di pasar obligasi maupun valuta asing sehingga berimbas pada naiknya imbal hasil surat utang pemerintah (yield SBN) dan menurunnya minat investor asing.

    Dia mencontohkan bahwa proporsi kepemilikan asing dalam SBN terus stagnan di kisaran 14%, jauh di bawah puncaknya yang pernah mencapai 38%.

    “Kondisi ini mempersempit ruang bagi pemerintah untuk mengandalkan investor asing dalam proses rollover utang atau pendanaan baru melalui lelang SUN dan SBSN,” ujar Josua.

    Kedua, tingginya kebutuhan fiskal jangka menengah di domestik. Josua menggarisbawahi bahwa selain untuk refinancing utang jatuh tempo tahun ini, penarikan utang baru oleh pemerintah bertujuan untuk pembiayaan program-program populis pascapemilu seperti makan bergizi gratis, subsidi pupuk, serta potensi pembengkakan belanja program prioritas lainnya.

    Akibatnya, tercipta persepsi risiko fiskal ke depan yang dapat mendorong investor meminta premi risiko yang lebih tinggi. Selain itu, sambung Josua, basis pembeli dalam negeri seperti perbankan dan dana pensiun memiliki keterbatasan dalam menyerap SBN tambahan secara berkelanjutan tanpa mengganggu intermediasi kredit.

    Ketiga, likuiditas pasar domestik yang relatif ketat. Josua mengungkap likuiditas yang ketat membatasi kemampuan pemerintah untuk agresif melakukan lelang dalam negeri.

    Dia mencatat, bid-to-cover ratio atau rasio yang digunakan untuk mengukur permintaan akan surat utang pada masa penawaran dan lelang, SBN dan SBSN berada di kisaran moderat meskipun permintaan cukup tinggi (average incoming bid Rp72,4 triliun, yang dimenangkan hanya sekitar Rp28,2 triliun per lelang) yang menunjukkan sikap hati-hati pemerintah terhadap risiko yield tinggi.

    Josua pun melihat pemerintah mengandalkan empat kombinasi strategi untuk menjawab empat tantangan tersebut. Pertama, prefunding sejak akhir 2024, termasuk melalui global sukuk dolar AS dan euro.

    Kedua, diversifikasi sumber pembiayaan seperti pinjaman bilateral dan multilateral. Ketiga, koordinasi kebijakan dengan Bank Indonesia, termasuk penguatan instrumen pasar uang seperti SRBI/SVBI yang secara tak langsung menstabilkan permintaan SBN di pasar sekunder.

    Keempat, potensi penundaan atau rekalibrasi belanja non-prioritas jika pasar tidak mendukung ekspansi utang yang terlalu cepat.

    Hanya saja, Josua mengingatkan jika volatilitas global berlanjut dan pembiayaan melalui lelang tidak mencukupi maka risiko crowding-out effect terhadap sektor swasta meningkat.

    “Dalam jangka menengah, tekanan fiskal ini bisa mendorong pemerintah untuk mengkaji ulang kerangka belanja jangka menengah dan strategi utang secara keseluruhan agar tetap menjaga kredibilitas fiskal dan peringkat utang negara,” tutupnya.

  • Program MBG dan Koperasi Telan Rp 617 T, APBN 2026 Terancam Krisis

    Program MBG dan Koperasi Telan Rp 617 T, APBN 2026 Terancam Krisis

    Jakarta, Beritasatu.com – Sebanyak dua program unggulan Presiden Prabowo Subianto, makan bergizi gratis (MBG) dan Koperasi Merah Putih, disebut-sebut menjadi ancaman bagi keberlanjutan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026. Seknas Fitra menilai, keduanya belum menunjukkan hasil signifikan meski telah menyedot anggaran ratusan triliun rupiah.

    Peneliti Seknas Fitra Siska Barimbing mengungkapkan, beban utang pemerintah terus meningkat. Berdasarkan laporan terbaru dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, total utang per Januari 2025 mencapai Rp 8.909,14 triliun, naik 1,22% dibandingkan Desember 2024.

    Tak hanya itu, APBN 2025 pada triwulan I sudah mencatat defisit Rp 104 triliun atau sekitar 0,4% dari produk domestik bruto (PDB).

    “MBG yang dianggarkan Rp 217,8 triliun belum berdampak nyata. Sementara itu, program 80.000 Koperasi Merah Putih diperkirakan menyerap dana Rp 400 triliun,” jelas Siska dalam keterangannya, Kamis (29/5/2025).

    Ia menyebut, kedua program ini berisiko mempersempit ruang fiskal secara drastis. Hal ini bertentangan dengan semangat efisiensi yang digaungkan pemerintah melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2025.

    “Ini tidak sejalan dengan komitmen efisiensi anggaran pemerintah,” ujar Siska.

    Lebih mengkhawatirkan lagi, pendapatan negara juga mengalami penurunan tajam. Pada Maret 2025, realisasi pendapatan hanya Rp 516,1 triliun (17,2% dari target), jauh menurun dibandingkan April 2024 yang mencapai Rp 619 triliun. Penerimaan dari pajak penghasilan badan bahkan anjlok 18,1% sepanjang 2024.

    Untuk menutup defisit, pemerintah harus menarik utang baru senilai Rp 250 triliun hanya dalam sebulan pada Maret 2025. Siska meminta agar program MBG dan koperasi dievaluasi.

    “Jika diteruskan, sebaiknya ditargetkan untuk wilayah-wilayah dengan status gizi buruk dan tingkat kesehatan anak yang rendah,” tegas Siska.

    Sementara itu, pemerintah tetap menargetkan pertumbuhan ekonomi 5,2%-5,8% pada 2026. Namun, target ini dinilai terlalu ambisius di tengah kondisi keuangan negara yang sedang tertekan.

  • Rupiah menguat seiring kekhawatiran atas kesehatan fiskal AS

    Rupiah menguat seiring kekhawatiran atas kesehatan fiskal AS

    Pelemahan dolar pagi ini membalikkan semua kenaikan semalam yang dipicu oleh data ekonomi AS yang lebih kuat

    Jakarta (ANTARA) – Analis mata uang Doo Financial Futures Lukman Leong menganggap penguatan nilai tukar (kurs) rupiah seiring kekhawatiran investor atas kesehatan fiskal Amerika Serikat (AS).

    “Rupiah dan mata uang Asia pada umumnya menguat terhadap dolar AS yang dimana indeks dolar AS terpantau turun cukup besar pagi ini oleh kekhawatiran akan kesehatan fiskal AS,” ujarnya kepada ANTARA di Jakarta, Jumat.

    Mengutip Xinhua, penurunan peringkat utang pemerintah AS dari Aaa menjadi Aa1 oleh Moody’s akan meningkatkan tekanan ekonomi AS yang tengah menghadapi risiko resesi di tengah peningkatan tarif dan ekspektasi inflasi.

    Moody’s menjadikan utang pemerintah dan pembayaran bunga AS sebagai alasan penurunan peringkat tersebut.

    Pemerintah dan Kongres AS dinilai gagal untuk membalikkan tren defisit fiskal tahunan yang besar dan kenaikan biaya bunga.

    Moody’s memprediksi defisit federal AS akan melebar hingga hampir 9 persen dari produk domestik bruto (PDB) pada 2035, naik dari 6,4 persen pada 2024.

    Adapun beban utang Federal akan meningkat menjadi 134 persen dari PDB pada 2035, dibandingkan dengan 98 persen pada 2024.

    Kekhawatiran atas kondisi fiskal itu semakin membuat prospek ekonomi jangka panjang negara tersebut menjadi kabur.

    Federal Reserve Bank of Philadelphia mengungkapkan prospek ekonomi AS tampak lebih suram sekarang dibandingkan tiga bulan lalu.

    Menurut 36 forecasters yang disurvei oleh bank tersebut, mereka memperkirakan ekonomi AS akan tumbuh pada tingkat 1,4 persen pada 2025, turun tajam dari perkiraan pertumbuhan 2,4 persen sebelum perang dagang berkobar.

    MarketWatch menilai angka tersebut merupakan kemungkinan capaian paling lambat dalam 16 tahun jika era pandemi COVID-19 dikecualikan.

    “Pelemahan dolar pagi ini membalikkan semua kenaikan semalam yang dipicu oleh data ekonomi AS yang lebih kuat seperti klaim pengangguran dan PMI (Purchasing Managers Index). Rupiah berpotensi kembali menguat, namun mungkin terbatas mengingat penguatan yang cukup besar pada rupiah dan kenaikan di pasar saham rentan aksi ambil untung,” ucap Lukman.

    Berdasarkan faktor-faktor tersebut, dia memprediksi kurs rupiah berkisar Rp16.300-Rp16.400 per dolar AS.

    Nilai tukar rupiah pada pembukaan perdagangan hari Jumat pagi di Jakarta menguat sebesar 8 poin atau 0,05 persen menjadi Rp16.320 per dolar AS dari sebelumnya Rp16.328 per dolar AS.

    Pewarta: M Baqir Idrus Alatas
    Editor: Kelik Dewanto
    Copyright © ANTARA 2025

  • Indonesia Makin Jor-joran Tarik Utang Baru, Bank Dunia Proyeksi Rasio Utang Bisa Tembus 40% pada 2025

    Indonesia Makin Jor-joran Tarik Utang Baru, Bank Dunia Proyeksi Rasio Utang Bisa Tembus 40% pada 2025

    Sementara dalam dokumen Laporan Kinerja DJPPR 2024, Kementerian Keuangan memastikan bahwa pemerintah akan terus mengambil kebijakan pengendalian rasio utang terhadap PDB pada level yang aman.

    Ditambah dengan pengelolaan yang baik seperti mempertimbangkan kemampuan membayar kembali, keserasian antara komposisi aset dan utang valas, serta parameter risiko keuangan negara lainnya.

    Adapun batas aman debt to GDP ratio yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pengendalian Jumlah Kumulatif Defisit APBN dan APBD tidak melebihi 60% dari PDB tahun yang bersangkutan.

    Defisit Fiskal Dikhawatirkan Melonjak

    Penarikan utang baru diproyeksikan untuk pembiayaan sejumlah program prioritas baru pemerintah. Pengeluaran negara yang terus membengkak di tengah seretnya penerimaan negara dikhawatirkan akan mendorong defisit fiskal melonjak 2,7 persen dari PDB.

    Di sisi lain, Undang-undang (UU) No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, mengamanatkan defisit anggaran harus di bawah 3 persen. Jika defisit anggaran melampaui 3 persen, pemerintah bisa disebut melanggar Undang-undang yang berisiko serius.

    Nah, untuk menekan defisit anggaran, salah satu caranya dengan makin jor-joran menerbitkan surat berharga negara (SBN). Namun, batas rasio utang pemerintah juga sudah ditetapkan maksimal 60 persen terhadap PDB.

    Meski rasio utang saat ini masih cukup jauh dari angka 60 persen, tetapi pemerintahan di masa mendatang akan terus menanggung beban utang serta bunganya.

  • Perbandingan Rasio Utang Pemerintah RI Vs Asean, Indonesia Posisi Kelima Terendah

    Perbandingan Rasio Utang Pemerintah RI Vs Asean, Indonesia Posisi Kelima Terendah

    Bisnis.com, JAKARTA — Rasio utang pemerintahan Prabowo Subianto terhadap produk domestik bruto/PDB tercatat sebesar 39,7% per Januari 2025 dan diprediksi IMF mencapai 40,1% pada akhir tahun nanti. 

    Sejumlah lembaga internasional menyampaikan bahwa posisi utang yang saat ini berjumlah Rp8.909,14 triliun tersebut tergolong rendah. 

    Sementara mengacu ketentuan Undang-Undang (UU) No.1/2003 tentang Keuangan Negara, rasio utang pemerintah ditetapkan maksimal 60% dari PDB.

    Sejumlah ekonom mengingatkan, meski gap antara realisasi dan batas aman masih ada sekitar 20%, namun kekhawatiran tetap mengintai. Utamanya soal kemampuan bayar pemerintah, mengingat rasio penerimaan pajak tak bergerak naik. 

    Membandingkan rasio utang pemerintah Indonesia dengan negara satu kawasan Asean, benar adanya utang tersebut tercatat cukup rendah. 

    Dalam laporan World Bank Macro Poverty Outlook (MPO) for East Asia and Pacific edisi April 2025, rasio utang Indonesia lebih rendah dari negara tetangga Malaysia yang mencapai 64,6% pada 2024 maupun proyeksi 2025 yang mencapai 65%. 

    Vietnam, Kamboja, Timor Leste, dan Brunie Darussalam tercatat memiliki rasio utang yang lebih rendah dari Indonesia. 

    Masing-masing sebesar 37,5%, 27%, 14,3%, dan 2,29% pada 2024. Lalu, masing-masing sebesar 36,9%, 27,8%, 15,1%, dan 2,2% untuk proyeksi 2025. 

    Rasio utang tertinggi tercatat diduduki Singapura yang mencapai 174,3% dari PDB (2024) atau senilai SGD1,29 triliun. Tertinggi kedua ditempati Laos dengan rasio utang mencapai 112,2% terhadap PDB. 

    Secara umum meski terpantau lebih rendah, Ekonom senior dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengingatkan hal utama yang menjadi kekhawatiran adalah kemampuan bayar pemerintah yang ditunjukkan oleh besaran rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB). 

    “Ketika rasio penerimaan utang kita terhadap PDB relatif enggak naik-naik, maka sebenarnya penambahan utang baru itu sangat berisiko,” ujarnya kepada Bisnis, Minggu (27/4/2025). 

    Per 2024, rasio pajak terhadpa PDB atau tax to GDP ratio tercatat sebesar 10,08% atau turun dari pertumbuhan 10,31% pada 2023. 

    Tauhid menjelaskan risiko dari bertambahnya utang tanpa diikuti dengan peningkatan penerimaan pajak menimbulkan konsekuensi pembayaran utang menggunakan utang baru alias “gali lubang tutup lubang”.

    Adapun pada tahun ini, pemerintah merencananakan penarikan utang baru senilai Rp775,87 triliun untuk membiayai APBN 2025. Per akhir Maret 2025, pemerintah telah menarik utang senilai Rp270,4 triliun. 

    Debt to GDP Ratio 2024/2025 (%):

    Negara 
    2024 (estimasi)
    2025 (proyeksi)

    Brunei Darussalam*
     2,29
    2,2

    Timor Leste 

    14,3
    15,1

    Kamboja 
    27
    27,8

    Vietnam
    37,5

    36,9

    Indonesia 

    39,2

    40,1

    Filipina (national government debt)
    60,7
    60,2

    Myanmar (public sector debt)

    62,2
    62,4

    Thailand 
    63,3
    66

    Malaysia
     64,6
    65

    Laos
    112,2
    112,2

    Singapura*
    174,3
    174,94

    Sumber: Bank Dunia, IMF, diolah

    *data bersumber dari IMF mengacu General Government gross debt

  • Bank Dunia Proyeksi Rasio Utang Pemerintah Tembus 40,1% pada 2025

    Bank Dunia Proyeksi Rasio Utang Pemerintah Tembus 40,1% pada 2025

    Bisnis.com, JAKARTA — Bank Dunia atau World Bank memproyeksikan rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto/PDB akan meningkat ke level 40,1% pada akhir 2025, lebih rendah dari proyeksi Fitch Ratings yang sebesar 40,4%. 

    Rasio tersebut lebih tinggi 0,4% dari posisi akhir 2024 dengan rasio yang mencapai 39,7% terhadap PDB. 

    Bank Dunia dalam laporan terbarunya, Macro Poverty Outlook (MPO) for East Asia and Pacific edisi April 2025, melihat rasio utang pemerintah akan stabil dan menuju kisaran 41% pada 2027 mendatang. 

    “Utang akan stabil di kisaran 41% dari PDB, dengan biaya pinjaman yang lebih tinggi yang mendorong pembayaran bunga menjadi 19% dari total pendapatan,” tulis Bank Dunia, dikutip pada Sabtu (26/4/2025). 

    Lembaga internasional tersebut melihat ketidakpastian atas kebijakan perdagangan global dan penurunan harga komoditas akan berdampak pada kondisi perdagangan Indonesia dan kepercayaan investor.

    Sebagaimana diketahui, Indonesia mengandalkan para investor untuk menarik utang baru  salah satunya melalui obligasi berupa Surat Berharga Negara (SBN).

    Dalam laporannya tersebut pula, Bank Dunia memproyeksikan pengeluaran untuk mengakomodasi program-program prioritas baru, meningkatkan defisit fiskal menjadi 2,7% terhadap PDB. 

    Pengeluaran akan bergeser lebih jauh ke arah belanja sosial, termasuk Program Makan Bergizi Gratis (MBG). 

    Sementara itu, ketidakpastian kebijakan perdagangan, melemahnya harga komoditas, dan ketidakpastian kebijakan dalam negeri dapat menjadi tantangan bagi pertumbuhan.

    Adapun, belum ada informasi mengenai posisi utang pemerintah terkini, mengingat Kementerian Keuangan belum menggelar konferensi pers APBN Kita edisi April 2025 maupun mempublikasikan buku APBN Kita sejak Januari 2025. 

    Dalam data terakhir yang sempat dipublikasikan namun kemudian dihapus tercatat posisi utang pemerintah pada akhir Januari 2025 mencapai Rp8.909,14 triliun, atau naik Rp108,05 triliun dari posisinya di akhir 2024.

    Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu Suminto menyampaikan meski mencatatkan kenaikan outstanding utang pemerintah pusat, namun secara rasio utang terhadap PDB masih terjaga di bawah 40%. 

    “Rasio utang masih relatif tetap. Desember 2024 sebesar 39,7%, Januari 2025 sebesar 39,6%,” ujarnya, Senin (10/3/2025). 

    Suminto menjelaskan bahwa outstanding utang tersebut menggunakan asumsi PDB Januari 2025 yang senilai Rp22.499 triliun.

    Sementara itu, penarikan utang terus meningkat seiring dengan kebutuhan pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025.

    Hingga akhir Maret 2025, pemerintah telah menarik utang baru senilai Rp270,4 triliun.  Angka tersebut jauh lebih tinggi dari realisasi akhir Maret 2024 yang hanya senilai Rp105,6 triliun atau meningkat Rp164,8 triliun. 

    Mengingat jatah penarikan utang baru pemerintah melalui penerbitan SBN senilai Rp642,6 triliun pada tahun ini. Per akhir Maret 2025, tersisa Rp360 triliun. 

    Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melaporkan penarikan utang yang dilakukan cukup besar pada awal tahun atau frontloading tersebut termasuk prefunding menjadi langkah antisipasi efek kebijakan Presiden AS Donald Trump.  

    “Memang menjadi kenaikan karena kita melakukan frontloading mengantisipasi bahwa Pak Trump akan membuat banyak disruption,” ujarnya dalam Sarasehan Ekonomi bersama Presiden RI, Selasa (8/4/2025). 

  • Bank Dunia dan IMF Kompak Pangkas Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi RI ke 4,7%

    Bank Dunia dan IMF Kompak Pangkas Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi RI ke 4,7%

    Bisnis.com, JAKARTA — Dua lembaga keuangan internasional, Bank Dunia dan IMF, kompak menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini.

    Bank Dunia (World Bank) dalam laporan terbaru bertajuk Macro Poverty Outlook edisi April 2025, memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2025 dari awalnya 5,1% menjadi 4,7%.

    Bank Dunia menilai bahwa ketidakpastian kebijakan perdagangan global dan penurunan harga komoditas akan berdampak negatif ke kinerja perekonomian Indonesia dan kepercayaan investor. 

    Hanya saja, Bank Dunia melihat stimulus fiskal hingga reformasi yang direncanakan untuk meningkatkan kapasitas ekonomi dapat mengimbangi dampak negatif dari tekanan eksternal. Sejalan dengan itu, investasi diharapkan meningkat secara bertahap seiring terbentuknya Danantara.

    “Pertumbuhan konsumsi swasta akan tetap tangguh, dengan sedikit moderasi karena kurangnya lapangan kerja yang berkualitas,” dikutip dari laporan proyeksi Bank Dunia tersebut pada Jumat (25/4/2025).

    Sementara itu, Bank Dunia memproyeksikan tingkat kemiskinan akan turun ke 11,5% pada tahun 2027. Pada 2024, Bank Dunia mencatat tingkat kemiskinan di Indonesia mencapai 15,6%.

    Inflasi masih diperkirakan tetap berada dalam kisaran target Bank Indonesia yaitu 2,3% pada 2025.

    Defisit APBN 2025 diproyeksikan melebar ke 2,7% dari produk domestik bruto (PDB) akibat belanja untuk mengakomodasi program prioritas pemerintahan baru. Sebagai perbandingan, defisit fiskal sebesar 2,3% dari PDB pada tahun lalu.

    Sedangkan, utang pemerintah akan stabil di sekitar 40,1% dari PDB hingga 2027 berdasarkan proyeksi Bank Dunia, dengan biaya pinjaman yang lebih tinggi mendorong pembayaran bunga utang menjadi 19% dari total penerimaan negara. 

    “Di tengah kondisi keuangan global yang ketat dan langkah-langkah kebijakan perdagangan, defisit transaksi berjalan diproyeksikan akan melebar menjadi 1,7% dari PDB pada tahun 2027, di bawah tingkat sebelum pandemi,” lanjut laporan tersebut.

    Bank Dunia melihat investasi asing masih akan tetap menjadi sumber pendanaan utama, yang sebagian besar diarahkan untuk hilirisasi industri.

    Proyeksi ekonomi Indonesia 2025 dari World Bank, berdasarkan laporan East Asia and the Pacific Macro Poverty Oulook edisi April 2025. / dok. Bank Dunia

    Proyeksi IMF: Ekonomi Indonesia 2025 Tumbuh 4,7%

    Dalam laporan berbeda, International Monetary Fund (IMF) atau Dana Moneter Internasional juga merevisi ke bawah proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2025 menjadi 4,7%. 

    Dalam World Economic Outlook (WEO) edisi April 2025, revisi tersebut sejalan dengan penurunan pertumbuhan ekonomi di negara Asean 5 (Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand) dari 3,6% (2024) menjadi hanya 3% untuk 2025. 

    Terlebih, proyeksi pertumbuhan ekonomi global dari 3,3% pada 2024 menjadi 2,8% untuk keseluruhan tahun 2025, akibat implementasi tarif resiprokal Trump.

    Proyeksi untuk Indonesia tersebut juga jauh lebih rendah dari World Economic Outlook (WEO) edisi Januari 2025, di mana Indonesia sebelumnya diyakini mampu tumbuh sebesar 5,1%.

    Director Research Department IMF Pierre‑Olivier Gourinchas menyebutkan bahwa ketegangan perdagangan ini akan sangat berdampak pada perdagangan global.

    IMF memproyeksikan bahwa pertumbuhan perdagangan global akan terpangkas lebih dari setengahnya dari 3,8% tahun lalu menjadi 1,7% tahun ini.

    Sementara bagi mitra dagang, tarif sebagian besar bertindak sebagai guncangan permintaan eksternal yang negatif. Melemahkan aktivitas dan harga, meskipun beberapa negara bisa mendapatkan keuntungan dari pengalihan perdagangan.

    Kondisi tersebutlah yang membuat IMF merevisi ke bawah pertumbuhan ekonomi berbagai negara untuk 2025.

    Dirinya memandang bahwa semua negara terkena dampak negatif dari lonjakan ketidakpastian kebijakan perdagangan, karena bisnis memangkas pembelian dan investasi, sementara lembaga keuangan menilai kembali eksposur peminjam mereka.

    “Ketidakpastian juga meningkat karena gangguan sektoral yang kompleks akibat tarif yang dapat menyebabkan naik turunnya rantai pasokan, seperti yang kita lihat selama pandemic,” ujarnya dalam konferensi pers, dikutip pada Rabu (23/4/2025).

    Proyeksi pertumbuhan ekonomi global dari IMF, berdasarkan World Economic Outlook edisi April 2025. / dok IMF

  • Hari Ini Bank Indonesia Bakal Tahan Suku Bunga di Level 5,75 Persen, Ini Alasannya – Halaman all

    Hari Ini Bank Indonesia Bakal Tahan Suku Bunga di Level 5,75 Persen, Ini Alasannya – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira berpendapat, Bank Indonesia (BI) akan mempertahankan suku bunga BI-Rate di level 5,75 persen pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) April 2025.

    “Proyeksi masih dipertahankan BI 7 DDR di level 5,75 persen,” kata Bhima dalam keterangannya, Rabu (23/4/2025).

    “Faktornya pelemahan kurs rupiah sejauh ini masih bisa ditahan dengan cadangan devisa. Per maret 2025 cadev masih 157 miliar dolar AS, atau masih cukup untuk intervensi tanpa naikkan suku bunga,” imbuh dia.

    Bhima menyebut, BI masih akan menjaga suku bunga sebagai stimulus di sektor riil agar tidak terjadi kenaikan beban bunga pinjaman baik kredit usaha maupun kredit konsumsi. 

    Meski begitu, menurutnya Bank Indonesia perlu memperhatikan nilai tukar rupiah yang masih berisiko tertekan. Terutama pada musim pembagian dividen karena ada repatriasi dana keluar negeri. 

    “Investor asing setelah mendapat dividen cenderung mentransfer kembali ke negara asalnya. Kemudian perlu diperhatikan puncak pembayaran utang pemerintah yang jatuh tempo rentan menurunkan cadangan devisa,” ungkap dia.

    Senada, Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede memproyeksikan BI akan menahan suku bunga acuan di level 5,75 persen.

    “BI diperkirakan akan mempertahankan BI-rate pada level 5,75 persen,” kata Josua dalam keterangannya.

    Menurut Josua, hal tersebut mengindikasikan kebijakan moneter yang pro-stability. Kemudian mempertimbangkan BI mengutamakan stabilitas nilai tukar di tengah ketidakpastian global yang tinggi akibat perang dagang, tekanan inflasi dari kebijakan tarif AS, serta volatilitas pasar keuangan internasional.

    “Dengan mempertahankan suku bunga tetap di level 5.75 persen, BI berupaya menjaga daya tarik aset dalam negeri, sehingga mencegah capital outflow yang berpotensi memperlemah Rupiah secara signifikan,” ucap dia.

    “Dalam jangka pendek dan menengah, ketidakpastian global masih cukup tinggi, sehingga mendorong investor untuk mengambil sikap menghindari risiko dan mengalihkan modal mereka ke aset-aset yang lebih aman (safe haven),” sambungnya.

    Selain itu, kondisi defisit transaksi berjalan (CAD) Indonesia yang berpotensi melebar karena agenda pemerintah yang pro-pertumbuhan dan peningkatan impor. 

    “Pemangkasan suku bunga berisiko memperbesar tekanan defisit transaksi berjalan dan melemahkan stabilitas eksternal, terutama ketika ekspor terancam melemah akibat perang tarif global,” ungkapnya.

  • Segini Utang Indonesia ke AS vs China, Lebih Banyak Mana?

    Segini Utang Indonesia ke AS vs China, Lebih Banyak Mana?

    Bisnis.com, JAKARTA — Amerika Serikat dan China termasuk dua dari tiga negara pemberi utang alias kreditur terbesar kepada Indonesia. 

    Per Februari 2025, posisi utang luar negeri (ULN) Indonesia senilai US$427,2 miliar atau setara dengan setara dengan Rp7.054,4 triliun bila menggunakan asumsi kurs JISDOR per 28 Februari 2025, yakni Rp16.513,15 per dolar AS. 

    Bank Indonesia (BI) menekankan bahwa peran ULN—yang totalnya hampir dua kali lipat dari anggaran belanja 2025 senilai Rp3.621,3 triliun—akan terus dioptimalkan untuk menopang pembiayaan pembangunan dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional yang berkelanjutan. 

    “Upaya tersebut dilakukan dengan meminimalkan risiko yang dapat memengaruhi stabilitas perekonomian,” ujar Kepala Departmene Komunikasi Bank Indonesia (BI) Ramdan Denny Prakoso, Kamis (17/4/2025). 

    Lantas, seberapa besar peran AS dan China dalam meminjamkan uangnya kepada Indonesia? 

    Mengutip dari laporan bulanan Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI) edisi April 2025, AS merupakan kreditur terbesar kedua dengan posisi ULN senilai US$27,68 miliar (6,48% dari total ULN). Setara dengan Rp457,03 triliun.

    Di mana US$414 juta merupakan utang pemerintah ke AS, dan sisanya merupakan utang pihak swasta. 

    Sementara ULN Indonesia ke China, tercatat senilai US$23,29 miliar (5,45% dari total ULN) atau setara Rp384,54 triliun atau berada di posisi ketiga terbesar negara pemberi utang kepada Indonesia. 

    Meski secara umum utang Indonesia ke China sedikit lebih rendah dari AS, namun ULN pemerintah ke China jauh lebih besar. 

    Hingga akhir Februari 2025, posisi ULN pemerintah menurut negara kreditur China, tercatat senilai US$1,36 miliar atau setara Rp22,5 triliun. Sementara sisanya merupakan utang pihak swasta. 

    Adapun, posisi pertama negara pemberi utang ke Indonesia bukanlah kedua negara yang tengah bersitegang tersebut. 

    Singapura merupakan negara kreditur utama bagi Indonesia. Per akhir Februari 2025, posisi ULN Indonesia dari Singapura senilai US$55,45 miliar.