Topik: Utang Pemerintah

  • Pemerintah Sudah Bayar Bunga Utang Rp257,1 Triliun, Sisa Lebih Banyak pada Semester II

    Pemerintah Sudah Bayar Bunga Utang Rp257,1 Triliun, Sisa Lebih Banyak pada Semester II

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah telah merealisasikan pembayaran bunga utang Rp257,1 triliun hingga akhir Juni 2025 atau semester satu, dari rencana Rp552,9 triliun sepanjang tahun ini.

    Artinya, pemerintah masih harus menyiapkan anggaran senilai Rp295,8 triliun untuk melunaskan sisa pembayaran bunga utang hingga akhir tahun nanti. 

    Mengutip dokumen Laporan Pemerintah tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Semester Pertama Tahun Anggaran 2025, realisasi pembayaran bunga utang tersebut telah mencakup 46,5% dari pagu. 

    “Realisasi tersebut terdiri atas realisasi pembayaran bunga utang dalam negeri senilai Rp235,15 triliun atau 43,7% dari pagu,” tulis pemerintah dalam dokumen tersebut, dikutip pada Selasa (8/7/2025). 

    Selain itu, pemerintah juga melakukan pembayaran bunga utang luar negeri senilai Rp21,9 triliun atau 39,7% dari pagu APBN tahun ini. 

    Membandingkan dengan 2024, pembayaran bunga utang tahun ini memang lebih tinggi Rp55,6 triliun.

    Melihat perbandingan realisasi secara persentase, pembayaran bunga utang sampai dengan semester I/2025 lebih lambat dari periode yang sama tahun lalu yang sudah mencapai 48,3% dari pagu.

    Pemerintah dalam dokumen tersebut menjelaskan bahwa pada dasarnya, pembayaran bunga utang merupakan konsekuensi atas pengadaan utang untuk pembiayaan defisit APBN menjadi salah satu beban fiskal penting yang harus dikelola dengan cermat agar tidak mengganggu stabilitas keuangan negara.

    Dalam hal ini, bunga utang mencakup pembayaran kupon atas Surat Berharga Negara (SBN), bunga atas pinjaman, dan biaya-biaya lain yang timbul akibat program pengelolaan utang pemerintah.

    Besaran pembayaran bunga utang mengalami fluktuasi karena dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik internal maupun eksternal.

    Fluktuasi dalam besaran pembayaran ini menjadikan pemerintah senantiasa melakukan pengelolaan utang yang efektif dan efisien, serta menjaga keseimbangan antara kebutuhan pembiayaan dan kemampuan membayar bunga utang.

    Secara inheren, portfolio utang pemerintah mengandung risiko yang dapat memengaruhi jumlah pembayaran bunga, seperti volatilitas suku bunga dan fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing. 

    Beberapa faktor lainnya yang dapat memengaruhi pembayaran bunga utang di antaranya volume kebutuhan pembiayaan pemerintah dan sentimen pasar atas surat utang yang ditunjukkan melalui minat investor di pasar perdana SBN.

    Pembayaran Bunga Utang Naik dari Tahun ke Tahun

    Sebagai catatan, pada 2020 total pembayaran bunga utang mencapai Rp314,1 triliun, angka ini naik pada 2021 menjadi Rp343,5 triliun, lalu 2022 menjadi Rp386,3 triliun, 2023 menjadi Rp439,9 triliun, dan outlook realisasi pembayaran bunga utang tahun 2024 mencapai Rp499 triliun. 

    Alokasi anggaran pembayaran bunga utang senilai Rp552,9 triliun dalam APBN 2025 adalah yang tertinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

    Melihat porsinya, alokasi anggaran untuk pembayaran utang pemerintah tersebut menjelaskan 15,27% dari total rencana awal belanja negara yang senilai Rp3.621,3 triliun.

    Apabila anggaran untuk bayar bunga utang dialihkan untuk belanja lainnya, pemerintah tak perlu pusing efisiensi untuk membiayai program prioritas Prabowo, salah satunya Makan Bergizi Gratis (MBG) yang membutuhkan anggaran jumbo.

  • 4 Fakta UU Baru di AS Dikritik Habis-habisan, tapi Trump Cuek Aja

    4 Fakta UU Baru di AS Dikritik Habis-habisan, tapi Trump Cuek Aja

    Jakarta

    Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menandatangani undang-undang (UU) pemangkasan pajak dan anggaran yang diberi nama One Big Beautiful Bill Act. Paket kebijakan yang dianggap kontroversial itu tetap disetujui meskipun menuai kritik keras.

    Beberapa kalangan khawatir UU ini justru akan membebani keuangan Negeri Paman Sam. Namun, Trump mengklaim undang-undang terbaru yang dinantikan oleh banyak pihak.

    “Saya belum pernah melihat rakyat kita sebahagia ini. Banyak kelompok masyarakat yang merasa diperhatikan, dari kalangan militer, masyarakat sipil, hingga berbagai jenis pekerjaan,” ujar Trump saat upacara, dilansir dari Reuters, Sabtu (5/7/2025).sebahagia ini. Banyak kelompok masyarakat merasa diperhatikan, dari kalangan militer, masyarakat sipil, hingga berbagai jenis pekerjaan,” ujar Trump saat upacara, dilansir dari Reuters, Sabtu (5/7/2025).

    Berikut 4 fakta undang-undang baru buat warga AS itu:1. Diteken 4 Juli Disertai Perayaan Besar

    Penandatanganan undang-undang tersebut dilakukan Trump pada Jumat, (4/7/2025) atau bertepatan dengan perayaan Hari Kemerdekaan AS, 4 Juli. Acara penandatanganan diadakan di luar ruangan dan bernuansa seperti kampanye politik Trump.

    Para pendukung Trump hadir di sana serta menampilkan juga pertunjukan jet militer di langit. Rancangan undang-undang tersebut disahkan hanya sehari sebelumnya oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang menguasai Partai Republik, dengan perolehan suara tipis 218-214, setelah kejadian sengit di ruang sidang.

    Trump juga mengucapkan terima kasih kepada Ketua DPR Mike Johnson dan Pemimpin Mayoritas Senat John Thune yang memuluskan proses pengesahan di parlemen.Thune yang memuluskan proses pengesahan di parlemen.

    2. Isi Singkat

    Aturan ini akan memasukkan kebijakan keras Trump soal imigrasi, menjadikan pemotongan pajak tahun 2017 bersifat permanen, serta diperkirakan akan menyebabkan jutaan warga Amerika kehilangan asuransi kesehatan.

    Isi akhir RUU itu menetapkan pemotongan pajak 2017 menjadi permanen serta menambahkan berbagai insentif lainnya. Regulasi ini juga memberikan insentif pajak untuk penghasilan tip, gaji lembur, dan pinjaman mobil.

    Di sisi lain, pemotongan besar diberlakukan terhadap program sosial seperti Medicaid dan bantuan pangan, penghapusan insentif energi bersih, serta mengubah sistem pinjaman mahasiswa federal.

    Analisis dari Yale Budget Lab menyebutkan kebijakan ini bisa menguntungkan mereka yang memiliki tingkat kepuasan tinggi, tetapi justru menyulitkan warga berpendapat rendah yang bergantung pada Medicaid dan SNAP.

    Salah satu contoh kebijakannya adalah terkait ambang nilai yang tidak dikenakan pajak terkait warisan dan hadiah. Dalam aturan terbaru terakumulasi dari sebelumnya US$ 13,99 juta menjadi US$ 15 juta (lajang), serta dari US$ 27,98 juta menjadi US$ 30 juta (yang sudah berpasangan).kebijakannya adalah terkait ambang nilai yang tidak dikenakan pajak terkait warisan dan hadiah. Dalam aturan terbaru nilainya dinaikkan dari sebelumnya US$ 13,99 juta menjadi US$ 15 juta (lajang), serta dari US$ 27,98 juta menjadi US$ 30 juta (yang sudah berpasangan).

    Kemudian, ada potongan pajak sebesar US$ 6.000 bagi lansia berusia 65 tahun, berlaku tahun 2025-2028. Dengan catatan, kebijakan ini berlaku bagi tempat bermalam tak lebih dari US$ 75 ribu (pribadi) dan US$ 150 ribu (berpasangan).

    Lalu program asuransi kesehatan federal yang mencakup lebih dari 71 juta orang mengalami pemotongan anggaran. Berdasarkan estimasi dari Congressional Budget Office (CBO), undang-undang baru ini akan memangkas sekitar US$ 1 triliun dari Medicaid.

    Undang-undang ini juga memotong anggaran program bantuan pangan melalui Supplemental Nutrition Assistance Program (SNAP), yang sebelumnya dikenal sebagai food stamps. Menurut Center on Budget and Policy Priorities (CBPP), pemangkasan ini berpotensi mempengaruhi lebih dari 40 juta orang.

    Jumlah itu mencakup sekitar 16 juta anak-anak, 8 juta lansia, dan 4 juta penyandang disabilitas dewasa yang bukan lansia. Negara bagian akan diminta menanggung sebagian biaya untuk menutupi kekurangan pendanaan dari pemerintah pusat.

    Masih banyak aturan lain yang diatur dalam undang-undang tersebut, seperti batas pinjaman dan manfaat pinjaman bagi mahasiswa, potongan pajak terhadap tip, potongan pajak untuk lembur, hingga penghapusan insentif pajak untuk program kendaraan listrik.

    3. Diprediksi Nambah Utang Rp 53.000 Triliun

    Regulasi yang baru disahkan itu dianggap kontroversial karena bakal membebani keuangan AS. Analisis terbaru dari Congressional Budget Office (CBO) undang-undang itu akan memperburuk kondisi utang nasional dan membuat banyak warga kehilangan akses layanan kesehatan.

    Dilansir dari New York Times, Sabtu (5/7/2025), utang pemerintah AS diprediksi akan naik sebesar US$ 3,3 triliun atau Rp 53.460 triliun (kurs Rp 16.200). Saat ini utang nasional AS tercatat mencapai US$ 36,2 triliun.

    Bahkan, angka US$ 3,3 triliun dari CBO disebut belum mencakup biaya bunga tambahan atas utang baru, yang bisa membuat total penambahan utang mendekati US$ 4 triliun.

    Hitungan itu jauh lebih tinggi dari yang sebelumnya dinyatakan oleh sebagian anggota Partai Republik yang dikenal konservatif soal anggaran. Hitungan itu lebih tinggi dari versi DPR AS yang sebesar US$ 2,4 triliun.

    Dari total utang nasional AS yang sebesar US$ 36,2 triliun, sebesar US$ 29 triliun di antaranya adalah jenis utang publik. Diproyeksi pemerintahan Trump akan meminjam tambahan US$ 21 triliun dalam dekade mendatang.

    Selain itu, dilansir dari AFP, sekitar 11,8 juta warga AS diprediksi akan kehilangan asuransi kesehatan pada 2034. Jumlah itu meningkat dari 10,9 juta dalam versi sebelumnya.

    4. Tuai Kritik Keras

    Mengutip NBC News, kritik tajam membanjiri undang-undang tersebut, terutama dari pihak oposisi. Hakeem Jeffries dari Partai Demokrat bahkan mencatatkan rekor orasi terlama dalam sejarah DPR AS saat mengkritik partai Republik yang mendukung undang-undang tersebut.

    Ia tercatat berpidato selama 8 jam 44 menit sambil melontarkan kritikan dan meminta pengesahan aturan tersebut ditunda. Pidatonya dimulai tepat sebelum pukul 5 pagi.

    Dalam orasi panjang tersebut, Jeffries membacakan catatan dari sejumlah warga AS yang menurutnya akan terdampak oleh pemangkasan program Medicaid dan bantuan pangan SNAP.

    Jeffries menyebut RUU tersebut hanya akan menguntungkan para miliarder. Ia juga menyebut puluhan ribu orang akan mati akibat pengurangan terhadap layanan kesehatan.Jeffries menyebut RUU tersebut hanya akan menguntungkan para miliarder. Ia juga menyebut puluhan ribu orang akan mati akibat pengurangan terhadap layanan kesehatan.

    “Orang-orang akan mati. Puluhan ribu, mungkin tahun demi tahun, sebagai akibat dari serangan Partai Republik terhadap layanan kesehatan rakyat Amerika,” tegas Jeffries.Jeffries.

    Jeffries mengakhiri pidatonya yang berlangsung selama 8 jam 44 menit tak lama setelah pukul 13.30 siang. Ia menutup dengan sambutan tepuk tangan meriah dari para anggota Demokrat yang mengenalnya dan memeluknya satu per satu.Jeffries mengakhiri pidatonya yang berlangsung selama 8 jam 44 menit tak lama setelah pukul 13.30 siang. Ia menutup dengan disambut tepuk tangan meriah dari para anggota Demokrat yang meneriakkan namanya dan memeluknya satu per satu.

    (ily/hns)

  • Utang AS Bakal Bertambah Rp 48.568 Triliun Gara-Gara Ketentuan Ini – Page 3

    Utang AS Bakal Bertambah Rp 48.568 Triliun Gara-Gara Ketentuan Ini – Page 3

    Jadi seperti apa trauma itu? Pilihan pertama adalah pengurangan drastis dalam pengeluaran pemerintah, peningkatan besar dalam pajak, dan keduanya.

    Ray Dalio mengusulkan pemotongan defisit anggaran dari 6% menjadi 3% segera dapat mencegah masalah di masa mendatang. RUU Anggaran Baru Trump memang memangkas sejumlah pengeluaran, tetapi juga memangkas pajak lebih banyak, sehingga lintasan politik saat ini bergerak ke arah sebaliknya.

    Kedua, seperti pada krisis sebelumnya, bank sentral AS dapat mencetak lebih banyak uang dan menggunakannya untuk membeli utang pemerintah – seperti yang kita lihat setelah krisis keuangan besar 2008.

    Namun, hal itu dapat memicu inflasi dan ketimpangan karena pemilik aset seperti rumah dan saham jauh lebih sejahtera daripada mereka yang bergantung pada nilai tenaga kerja.

    Yang ketiga adalah gagal bayar AS. Tidak dapat membayar, tidak akan membayar. Mengingat bahwa “kepercayaan penuh dan kredibilitas Departemen Keuangan AS” menopang seluruh sistem keuangan global, hal itu akan membuat krisis keuangan besar tampak seperti piknik.

    Ekonom Mohamed El-Erian mengatakan kepada BBC banyak yang mencoba mengurangi kepemilikan dolar AS.

    “Dolar AS kelebihan berat dan dunia mengetahuinya, itulah sebabnya kita melihat kenaikan harga emas, euro, dan pound, tetapi sulit untuk bergerak dalam skala besar sehingga hanya ada sedikit tempat untuk dituju”,” ujar dia.

  • 4 Fakta UU Baru di AS Dikritik Habis-habisan, tapi Trump Cuek Aja

    Trump Teken UU Baru, Utang AS Diprediksi Bengkak Rp 53.000 T

    Jakarta

    Paket undang-undang yang berisi pemangkasan pajak hingga anggaran Amerika Serikat (AS) atau One Big Beautiful Bill Act telah disahkan Presiden Donald Trump. Undang-undang itu ditandatangani Trump bertepatan dengan hari kemerdekaan AS pada Jumat, 4 Juli 2025.

    Namun, regulasi yang baru disahkan itu dianggap kontroversial karena bakal membebani keuangan AS. Analisis terbaru dari Congressional Budget Office (CBO) undang-undang itu akan memperburuk kondisi utang nasional dan membuat banyak warga kehilangan akses layanan kesehatan.

    Dilansir dari New York Times, Sabtu (5/7/2025), utang pemerintah AS diprediksi akan naik sebesar US$ 3,3 triliun atau Rp 53.460 triliun (kurs Rp 16.200). Saat ini utang nasional AS tercatat mencapai US$ 36,2 triliun.

    Bahkan, angka US$ 3,3 triliun dari CBO disebut belum mencakup biaya bunga tambahan atas utang baru, yang bisa membuat total penambahan utang mendekati US$ 4 triliun.

    Hitungan itu jauh lebih tinggi dari yang sebelumnya dinyatakan oleh sebagian anggota Partai Republik yang dikenal konservatif soal anggaran. Hitungan itu lebih tinggi dari versi DPR AS yang sebesar US$ 2,4 triliun.

    Dari total utang nasional AS yang sebesar US$ 36,2 triliun, sebesar US$ 29 triliun di antaranya adalah jenis utang publik. Diproyeksi pemerintahan Trump akan meminjam tambahan US$ 21 triliun dalam dekade mendatang.

    Selain itu, dilansir dari AFP, sekitar 11,8 juta warga AS diprediksi akan kehilangan asuransi kesehatan pada 2034. Jumlah itu meningkat dari 10,9 juta dalam versi sebelumnya.

    Angka ini sebenarnya menambah tekanan bagi para pemimpin Partai Republik yang mengusung Trump. Bahkan sebelum laporan CBO keluar, Partai Republik sudah terpecah. Beberapa anggota menolak pemangkasan dana Medicaid dan bantuan pangan, sementara yang lain menganggap pemangkasan itu belum cukup besar.

    Pemangkasan ini dimaksudkan untuk menutupi biaya perpanjangan pemotongan pajak senilai US$ 3,8 triliun dari era Trump. Namun, banyak anggota Republik meragukan proyeksi CBO, dan memilih menggunakan baseline anggaran alternatif.

    (ily/hns)

  • Awalil Rizky Paparkan Beberapa Definisi Utang Pemerintah: Mau Pakai yang Mana?

    Awalil Rizky Paparkan Beberapa Definisi Utang Pemerintah: Mau Pakai yang Mana?

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Ekonom Bright Institute, Awalil Rizky membeberkan beberapa definisi untuk utang Pemerintah.

    Awalil Rizky memberikan beberapa definisi berdasarkan dari angka dan juga rasio tentunya.

    Lewat cuitan di akun media sosial X pribadinya, ia membagikan pemahaman ini.

    “Posisi utang pemerintah pusat memiliki beberapa definisi, berbeda angka dan rasionya atas PDB,” tulisnya dikutip Jumat (4/7/2025).

    Mulai dari rasio per akhir 2024 lalu, ada versi publikasi resmi yang mencapai 39,81 persen.

    “Rasionya per akhir 2024 sbb: versi publikasi resmi (39,81%),” tuturnya.

    Kemudian ada juga untuk versi kewajiban neraca LKPP yang angkanya terbilang cukup tinggi yaitu 46,38 persen.

    “Versi kewajiban neraca LKPP (46,38%),” sebutnya.

    Dan yang terakhir ada kewajiban jangka panjang program pensiun.

    Dimana, untuk kewajiban jangka panjang program pensiun angka hingga 62,45 persen.

    “Versi termasuk kewajiban jangka panjang program pensiun (62,45%),” terangnya.

    “Mau pakai yg mana?,” pungkasnya. (Erfyansyah/fajar)

  • Trump Menang Lagi, Senat Loloskan RUU Kontroversial ‘Utang’ Rp53.000 T

    Trump Menang Lagi, Senat Loloskan RUU Kontroversial ‘Utang’ Rp53.000 T

    Jakarta, CNBC Indonesia – Senat Amerika Serikat meloloskan rancangan undang-undang (RUU) besar-besaran soal pajak dan belanja yang diusulkan Presiden Donald Trump pada Selasa (1/7/2025) dengan selisih suara tipis.

    RUU ini berpotensi mengubah lanskap fiskal dan sosial negara, dengan pemangkasan besar-besaran pada program bantuan sosial, perpanjangan pemotongan pajak, peningkatan belanja militer dan imigrasi, sekaligus menambah utang nasional sebesar US$3,3 triliun atau sekitar Rp53.000 triliun.

    RUU ini disahkan dengan suara 51-50 di Senat, setelah Wakil Presiden JD Vance menggunakan hak suaranya untuk memecah kebuntuan. Tiga senator Partai Republik-Thom Tillis (North Carolina), Susan Collins (Maine), dan Rand Paul (Kentucky)-bergabung dengan seluruh 47 senator Demokrat untuk menolak RUU tersebut.

    Setelah disahkan di Senat, RUU kini menuju DPR untuk disetujui secara final. Namun, sejumlah anggota DPR dari Partai Republik telah menyuarakan penolakan terhadap beberapa ketentuan dalam versi Senat.

    Presiden Trump menyatakan keinginannya untuk menandatangani RUU ini menjadi undang-undang sebelum Hari Kemerdekaan AS, 4 Juli. Ketua DPR Mike Johnson mengatakan pihaknya akan berupaya mengejar tenggat itu.

    “Ini adalah RUU yang hebat. Semua pihak akan mendapat manfaat,” kata Trump dalam sebuah acara di Florida, dilansir Reuters. “Saya pikir RUU ini akan berjalan mulus di DPR.”

    RUU ini memperpanjang pemotongan pajak dari 2017, menambah insentif pajak baru untuk pendapatan dari uang tip dan lembur, dan meningkatkan anggaran untuk militer dan penegakan imigrasi.

    Namun, di sisi lain, RUU ini juga memangkas sekitar US$930 miliar dari anggaran Medicaid dan bantuan makanan bagi warga berpenghasilan rendah serta mencabut sebagian besar insentif energi hijau warisan Presiden Joe Biden.

    RUU tersebut juga menaikkan batas utang pemerintah federal sebesar US$5 triliun, suatu langkah yang dinilai penting agar negara tidak gagal bayar, namun menimbulkan kekhawatiran tentang arah kebijakan fiskal jangka panjang AS.

    Menurut Kantor Anggaran Kongres (CBO), versi Senat akan menambah sekitar US$800 miliar lebih banyak utang dibandingkan versi RUU yang sebelumnya disahkan di DPR pada Mei lalu dengan hanya dua suara kelebihan.

    Salah satu drama utama dalam pengesahan RUU ini terjadi saat Senator Lisa Murkowski (Alaska) menyatakan akan menolak jika tak ada perubahan signifikan. Untuk mengamankan suaranya, versi final RUU memasukkan dua ketentuan khusus: tambahan dana bantuan pangan untuk Alaska dan negara bagian lain, serta US$50 miliar untuk membantu rumah sakit pedesaan menghadapi dampak pemotongan Medicaid.

    “Ini adalah proses yang buruk – perlombaan panik untuk memenuhi tenggat buatan yang menguji semua batas lembaga ini,” kata Murkowski dalam pernyataannya. “RUU ini masih perlu banyak perbaikan lintas kamar dan belum siap untuk meja Presiden.”

    Namun, kelompok konservatif garis keras seperti House Freedom Caucus tetap menentang biaya besar dalam RUU ini.

    “Ada banyak yang khawatir,” ujar anggota DPR Chip Roy dari Texas. Kelompoknya menyoroti beban utang dan pemangkasan Medicaid sebagai titik keberatan utama.

    Sementara itu, anggota DPR dari negara bagian dengan pajak tinggi seperti New York, New Jersey, dan California juga mengancam akan menarik dukungan kecuali ketentuan pemotongan pajak lokal (SALT) diperbesar.

     

    (luc/luc)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Muak dengan Trump, Elon Musk Mau Bikin Parpol Sendiri

    Muak dengan Trump, Elon Musk Mau Bikin Parpol Sendiri

    Jakarta

    Hubungan Elon Musk dengan Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali memanas. Musk kembali mengkritik Trump dan mengumumkan niatnya untuk mendirikan partai politik baru di AS.

    Dalam postingannya di Twitter/X, Musk mengatakan ia akan mendirikan partai politik bernama ‘America Party’ jika rancangan undang-undang ‘Big Beautiful Bill’ yang dijagokan Trump berhasil diloloskan menjadi hukum.

    “Jika RUU pengeluaran ini lolos, Partai Amerika akan didirikan keesokan harinya,” tulis Musk dalam cuitannya di X, seperti dikutip dari Mashable, Selasa (1/7/2025).

    “Negara kita membutuhkan alternatif dari partai tunggal Demokrat-Republik agar rakyat benar-benar memiliki SUARA,” imbuhnya.

    Musk sebelumnya merupakan salah satu orang terdekat Trump setelah menyumbangkan lebih dari USD 250 juta untuk memenangkan pemilihan presiden AS. Namun dalam beberapa pekan terakhir, hubungan keduanya semakin tidak akur.

    Musk meninggalkan posisinya sebagai kepala Departemen Efisiensi Pemerintahannya (DOGE) pada akhir Mei, dan secara terangan-terangan mengkritik RUU ‘Big Beautiful Bill’. Pria berusia 54 tahun ini juga mengklaim nama Trump ada di ‘The Epstein Files’, namun ia kemudian menyesali postingan tersebut dan akhirnya dihapus.

    Dalam cuitan terpisah, Musk mengatakan jika RUU Big Beautiful Bill diloloskan maka utang pemerintah AS akan membengkak hingga USD 5 triliun dalam satu dekade ke depan. Ia juga akan mendanai kandidat penantang untuk melawan anggota Kongres AS yang menyetujui RUU ini.

    “Setiap anggota Kongres yang berkampanye untuk mengurangi pengeluaran pemerintah dan kemudian langsung memilih untuk penambahan utang terbesar dalam sejarah harusnya malu!” tulis Musk di X.

    “Dan mereka akan kalah di pemilihan primary tahun depan jika itu adalah hal terakhir yang saya lakukan di Bumi ini,” imbuhnya.

    Kalaupun Musk benar-benar mendirikan partai politik baru di AS, ia secara teknis tidak bisa mencalonkan diri menjadi presiden. Menurut Pasal II, bagian 1, Klausul 5 Konstitusi AS, hanya warga negara asli yang lahir di AS yang memenuhi syarat untuk jadi presiden.

    Karena Musk lahir di Pretoria, Afrika Selatan, ia tidak memenuhi syarat untuk menjadi kandidat. Meski begitu, bukan tidak mungkin ia akan mencoba menggunakan kandidat proksi atau cara lain untuk mengakalinya.

    (vmp/vmp)

  • RUU Pajak & Belanja Trump Lolos, Potensi Tambah Utang AS US,5 Triliun

    RUU Pajak & Belanja Trump Lolos, Potensi Tambah Utang AS US$4,5 Triliun

    Bisnis.com, JAKARTA – Senat AS, yang dikuasai Partai Republik, secara tipis menyetujui pembukaan debat atas Rancangan Undang-Undang atau RUU mengenai pemotongan pajak dan belanja pemerintah usulan Presiden Donald Trump pada Sabtu (28/6) malam waktu setempat.

    Dilansir dari Reuters, Minggu (29/6/2025), pemungutan suara dipenuhi drama politik, perpecahan internal, dan penundaan panjang akibat. Hasilnya, 51 banding 49 untuk membuka debat atas RUU setebal 940 halaman tersebut.

    Dua senator dari Partai Republik ikut bergabung dengan kubu Demokrat dalam menolak pembukaan debat. RUU ini mencakup pendanaan untuk berbagai prioritas utama Trump, mulai dari kebijakan imigrasi, pengamanan perbatasan, pemangkasan pajak, hingga peningkatan belanja militer.

    Melalui media sosial, Donald Trump menyambut langkah ini sebagai “kemenangan besar” atas RUU yang ia sebut “besar, indah, dan luar biasa.”

    Penundaan dan Permintaan Baca Ulang

    Setelah berjam-jam tertunda, para pemimpin Partai Republik dan Wakil Presiden JD Vance melakukan lobi tertutup guna membujuk para senator yang masih ragu untuk mendukung RUU tersebut.

    Namun, demikian, kubu Partai Demokrat meminta agar seluruh isi RUU dibacakan di lantai Senat—langkah prosedural yang bisa menunda dimulainya debat hingga Minggu sore.

    Demokrat menilai pemotongan pajak dalam RUU ini lebih menguntungkan kalangan kaya dengan mengorbankan program sosial untuk warga berpenghasilan rendah.

    “Senator Republik tengah berlomba meloloskan RUU radikal yang dirilis ke publik di tengah malam, berharap rakyat Amerika tidak menyadari isinya,” kata Pemimpin Minoritas Senat dari Partai Demokrat Chuck Schumer.

    Setelah pembacaan selesai, Senat akan menjalani debat hingga 20 jam, dilanjutkan dengan sesi amandemen maraton atau vote-a-rama, sebelum akhirnya dilakukan pemungutan suara final. Proses ini ditargetkan selesai pada Senin.

    Penolakan Internal dan Tekanan Trump

    Dua senator Republik, Thom Tillis dan Rand Paul, menolak pembukaan debat. Penolakan tersebut sempat membuat peluang pengesahan terlihat goyah.

    Trump mengecam Tillis, yang menentang pemangkasan program Medicaid untuk warga miskin karena dinilai akan berdampak buruk bagi negara bagian asalnya, North Carolina. Tillis sendiri akan maju dalam pemilu ulang tahun depan.

    “Sudah banyak orang menyatakan ingin menantang Senator Thom Tillis di pemilu pendahuluan. Saya akan bertemu mereka dalam beberapa minggu ke depan,” tulis Trump di media sosial.

    Rand Paul juga menolak RUU tersebut karena dinilai akan menaikkan batas pinjaman federal sebesar US$5 triliun, memperparah utang AS yang sudah mencapai US$36,2 triliun.

    “Apakah Rand Paul kembali memilih ‘TIDAK’ malam ini? Ada apa dengan orang ini???” cuit Trump.

    Negosiasi Tertutup dan Dukungan Kelompok Garis Keras

    Pemungutan suara sempat berada dalam ketidakpastian selama berjam-jam saat JD Vance, pemimpin mayoritas John Thune, dan sejumlah tokoh Republik lainnya mencoba meyakinkan para penolak. Tidak diketahui pasti kesepakatan apa saja yang ditawarkan untuk menarik dukungan.

    Senator garis keras seperti Rick Scott, Mike Lee, dan Cynthia Lummis yang semula ingin pemangkasan anggaran lebih dalam akhirnya mendukung RUU ini. Senator Ron Johnson yang awalnya menolak, kemudian juga membalikkan suara menjadi mendukung.

    Menurut seorang pejabat Gedung Putih, Trump memantau jalannya pemungutan suara dari Oval Office hingga larut malam.

    RUU besar ini akan memperpanjang pemotongan pajak pada 2017—capaian utama Trump di masa jabatan pertamanya—serta memotong pajak lainnya dan meningkatkan anggaran pertahanan serta keamanan perbatasan.

    Berdasarkan analisis Komite Pajak Gabungan (Joint Tax Committee) independen, ketentuan pajak dalam RUU ini akan mengurangi pendapatan pemerintah sebesar US$4,5 triliun dalam 10 tahun ke depan, memperbesar beban utang nasional.

    Kendati demikian, Gedung Putih mengklaim RUU ini akan memangkas defisit tahunan sebesar US$1,4 triliun.

    Perubahan Medicaid dan Pajak Daerah

    Sejumlah senator Republik dari negara bagian dengan wilayah rural menolak pemangkasan dana Medicaid bagi penyedia layanan kesehatan di pedesaan, termasuk rumah sakit kecil. RUU ini akhirnya merevisi kebijakan tersebut dengan menunda pemotongan dan menambahkan dana sebesar US$25 miliar bagi penyedia Medicaid rural mulai 2028 hingga 2032.

    RUU ini juga menaikkan batas potongan pajak negara bagian dan lokal (SALT cap) menjadi US$40.000 dengan penyesuaian inflasi tahunan 1% hingga 2029. Setelah itu, batasnya akan kembali ke level saat ini, yakni US$10.000. Bagi individu berpenghasilan di atas US$500.000 per tahun, batas ini secara bertahap akan dikurangi.

    Ketentuan ini menjadi perhatian serius bagi anggota DPR dari Partai Republik yang berasal dari negara bagian pesisir seperti New York, New Jersey, dan California, yang peran mereka penting dalam menjaga mayoritas tipis partai di DPR.

    Mekanisme Legislasi Khusus dan Risiko Gagal Bayar

    Partai Republik menggunakan manuver legislasi khusus untuk melewati ambang 60 suara yang biasanya dibutuhkan untuk meloloskan RUU di Senat yang beranggotakan 100 orang.

    Sementara itu, Demokrat bersiap mengajukan berbagai amandemen untuk membatalkan pemotongan anggaran pada program bantuan kesehatan pemerintah untuk lansia, warga miskin, dan penyandang disabilitas, serta bantuan pangan bagi keluarga berpenghasilan rendah.

    RUU ini juga mencakup kenaikan plafon utang pemerintah federal dalam jumlah besar untuk menghindari risiko gagal bayar utang negara dalam beberapa bulan ke depan.

    Jika RUU ini disahkan oleh Senat maka akan dikembalikan ke DPR untuk disahkan secara final sebelum ditandatangani Trump menjadi undang-undang. Versi awal RUU ini sebelumnya telah disetujui DPR bulan lalu.

  • Keuangan Negara Era Prabowo Loyo? Utang Tembus Rp8.900 Triliun, Pajak Baru 11,9 Persen dari PDB

    Keuangan Negara Era Prabowo Loyo? Utang Tembus Rp8.900 Triliun, Pajak Baru 11,9 Persen dari PDB

    PIKIRAN RAKYAT – Kondisi keuangan negara di era awal pemerintahan Presiden Prabowo Subianto mulai menuai sorotan tajam. Di tengah tekanan global dan beban fiskal yang terus menggunung, utang pemerintah Indonesia dilaporkan telah menembus Rp8.900 triliun hingga Mei 2025.

    Di sisi lain, penerimaan pajak hanya mencapai 11,9 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), terendah di kawasan Asia Tenggara bahkan lebih buruk dibanding Timor Leste.

    Utang Naik Tajam, Defisit Kembali Menghantui

    Kementerian Keuangan melaporkan realisasi pembiayaan utang hingga 31 Mei 2025 telah mencapai Rp349,3 triliun, atau 45 persen dari target APBN sebesar Rp775,9 triliun. Angka ini menjadi yang tertinggi dalam lima tahun terakhir untuk periode yang sama, bahkan mendekati level saat pandemi Covid-19 melanda pada 2020.

    “Pembiayaan non-utang saya rasa perlu digarisbawahi bahwa tidak menambah utang,” ujar Wakil Menteri Keuangan Thomas Djiwandono dalam konferensi pers APBN KiTa Edisi Juni 2025 di Jakarta.

    Meskipun demikian, defisit fiskal sudah kembali terjadi. Setelah mencetak surplus Rp4,3 triliun pada April, APBN per Mei 2025 kembali defisit Rp21 triliun, setara 0,09 persen dari PDB. Belanja negara naik menjadi Rp1.016,3 triliun, sementara pendapatan negara baru menyentuh Rp995,3 triliun.

    Sektor perpajakan menunjukkan performa yang melemah. Penerimaan pajak per Mei 2025 tercatat Rp683,3 triliun, atau baru 31,2 persen dari target Rp2.189,3 triliun. Jika dibandingkan periode yang sama pada 2024 (Rp760,4 triliun), terjadi penurunan sebesar 10,13 persen secara tahunan (year-on-year).

    “Secara bruto masih positif. Memang netonya ada negatif karena ada kewajiban restitusi yang jatuh tempo,” ujar Wamenkeu Anggito Abimanyu.

    Dia menjelaskan bahwa nilai penerimaan neto tak sepenuhnya mencerminkan kinerja ekonomi.

    Penurunan tajam terjadi pada PPN dan PPnBM yang terkontraksi hingga 15,7 persen, serta PPh non-migas sebesar 5,4 persen. Hal ini disebut sebagai sinyal tekanan konsumsi dan penurunan aktivitas usaha di tengah ketidakpastian ekonomi global.

    Laporan Bank Dunia turut mempertegas kelemahan struktural penerimaan Indonesia. Rasio penerimaan negara terhadap PDB atau revenue ratio Indonesia tahun 2025 hanya 11,9 persen, tertinggal dari semua negara ASEAN—bahkan lebih rendah dari Timor Leste yang mampu mencetak rasio 41,2 persen.

    “Rasio pendapatan terhadap PDB Indonesia merupakan yang terendah di antara negara-negara berpendapatan menengah,” ucap Bank Dunia dalam laporan Macro Poverty Outlook edisi April 2025.

    Ketimpangan Fiskal dan Ancaman Beban Bunga Utang

    Lead Economist Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor Leste, Habib Rab, mengingatkan bahwa meski rasio utang terhadap PDB Indonesia masih di bawah 40 persen, beban bunga utangnya tergolong tinggi.

    “Rasio bunga utang terhadap pendapatan di Indonesia sekitar 20 persen, jauh di atas rata-rata negara berpenghasilan menengah yang hanya 8,5 persen,” kata Habib dalam peluncuran Indonesia Economic Prospects di Jakarta.

    Ia menilai bahwa penerimaan negara yang rendah membuat pembayaran utang menjadi rawan, apalagi di tengah tren naiknya imbal hasil obligasi global akibat ketidakpastian geopolitik.

    Masalah lainnya adalah dangkalnya sistem keuangan domestik, yang membuka celah besar bagi praktik penghindaran pajak oleh korporasi. Ketidakoptimalan sistem perpajakan dinilai turut memperlemah kapasitas fiskal pemerintah dalam membiayai pembangunan dan menjaga stabilitas sosial.

    APBN Masih Punya “Napas Panjang” Meski Defisit

    Di tengah tekanan defisit, Kementerian Keuangan tetap menyoroti adanya surplus keseimbangan primer sebesar Rp192,1 triliun, naik dari Rp173,9 triliun pada April. Ini berarti bahwa dalam hitungan sebelum pembayaran bunga utang, kas negara masih mencatat surplus, yang memberi ruang untuk manuver fiskal jangka pendek.

    “Defisit APBN bertujuan untuk melakukan countercyclical, agar pelemahan ekonomi tidak berdampak signifikan terhadap masyarakat,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

    Namun, sejumlah ekonom menilai ruang fiskal semakin terbatas jika pendapatan negara tak kunjung membaik, sementara belanja dan kebutuhan pembiayaan utang tetap tinggi.

    Bank Dunia Puji Ketahanan Ekonomi, Tapi…

    Di sisi lain, Bank Dunia tetap memberi catatan positif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dinilai tangguh. Direktur Divisi Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor Leste, Carolyn Turk, menyebut ekonomi Indonesia tumbuh 4,9 persen pada kuartal I 2025, didukung oleh kebijakan makro yang relatif solid.

    “Performa ekonomi Indonesia mencerminkan fondasi yang kuat dan respons kebijakan yang baik,” ucap Carolyn.

    Namun, dia juga mengingatkan bahwa pertumbuhan belum merata, terutama pada kelompok masyarakat kelas menengah. Konsumsi rumah tangga dari segmen ini justru cenderung melambat, yang bisa berdampak pada basis penerimaan negara dalam jangka panjang.***

  • Said Didu Sebut Rezim Jokowi Makelar Utang: Beban Bunga dan Pokok Capai 40 Persen APBN

    Said Didu Sebut Rezim Jokowi Makelar Utang: Beban Bunga dan Pokok Capai 40 Persen APBN

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Mantan Sekretaris Kementerian BUMN, Muhammad Said Didu, kembali mengulik era pemerintahan Jokowi, yang ia sebut telah menjadi “makelar utang” negara.

    Dikatakan Said Didu, kebijakan utang selama masa kepemimpinan Jokowi menimbulkan beban fiskal yang sangat besar bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

    Pria kelahiran Pinrang ini menyoroti lonjakan utang pemerintah yang disebut telah meningkat hampir tiga kali lipat selama satu dekade terakhir.

    “Silakan simak. Hasil makelar utang rezim Jokowi. Utang naik sekitar tiga kali lipat,” ujar Said Didu di X @msaid_didu (24/6/2025).

    “Bunga utang lebih tinggi tiga kali dari bunga utang sebelumnya, dan dua sampai tiga kali lebih tinggi dari bunga tabungan,” Said Didu menambahkan.

    Ia juga mengungkapkan bahwa porsi pembayaran utang, baik pokok maupun bunga, telah menyedot anggaran negara secara signifikan.

    “Pembayaran utang (pokok dan bunga), sudah sekitar 35 sampai 40 persen dari APBN,” tandasnya.

    Sebelumnya, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan, secara terbuka menyebut bahwa data pertumbuhan ekonomi Indonesia di era pemerintahan Jokowi patut dicurigai.

    Ia menyebut, angka pertumbuhan yang stagnan di sekitar 5 persen selama bertahun-tahun sangat tidak wajar dan terindikasi hasil dari fabrikasi data.

    “Jangankan meroket, pertumbuhan ekonomi 2015 jeblok, hanya 4,88 persen. Ekonomi Indonesia sepanjang periode pertama Jokowi tidak mampu bangkit, hanya stabil di sekitar 5 persen saja,” ujar Anthony kepada fajar.co.id, Selasa (17/6/2025).