Topik: Utang Pemerintah

  • Setumpuk PR Dirjen Pajak Baru Kejar Kekurangan Target Pajak Rp1.245,5 Triliun

    Setumpuk PR Dirjen Pajak Baru Kejar Kekurangan Target Pajak Rp1.245,5 Triliun

    Bisnis.com, JAKARTA — Kinerja penerimaan pajak yang masih belum sesuai ekspektasi menjadi pekerjaan utama Direktur Jenderal alias Dirjen Pajak Baru, Bimo Wijayanto. Apalagi realisasi penerimaan pajak pada semester 1/2025 lalu mencapai Rp831,27 triliun atau kurang dari Rp1.2456,3 triliun dari outlook yang tercatat sebesar Rp2.076,9 triliun. 

    Tidak tercapainya penerimaan pajak akan berimbas ke kinerja APBN secara keseluruhan, termasuk kemungkinan pelebaran defisit yang tahun ini memang sudah di-setting melebar ke angka 2,78%. 

    Namun demikian, untuk memenuhi kekurangan penerimaan pajak sebesar Rp1.245,63 triliun, bukan pekerjaan mudah. Tingginya restitusi telah memicu kontraksi penerimaan di jenis-jenis utama penerimaan pajak seperti PPN dan PPh.

    Sekadar ilustrasi, kalau merujuk kepada data Kementerian Keuangan, angka restitusi itu bisa ditelusuri melalui besaran jumlah pajak bruto dan pajak neto. Penerimaan PPN Bruto pada semester 1/2025 tercatat sebesar Rp443,93 triliun, sementara itu neto Rp267,27 triliun. Artinya jika selisih antara PPN bruto dan neto itu dianggap sebagai restitusi, maka nilainya akan mencapai Rp176,6 triliun. 

    Selain itu, ada kecenderungan ketidakelastisan antara penerimaan pajak dengan sektor-sektor produk domestik bruto (PDB). Sebagai contoh, pemerintah mengkaim bahwa daya beli pemerintah masih cukup terjaga. Klaim ini diperkuat oleh data Badan Pusat Statistik (BPS) yang memaparkan bahwa sepanjang semester 1/2025 lalu pertumbuhan konsumsi rumah tangga berada di angka 4,96% atau lebih tinggi dibandingkan dengan semester II/2024 yang tercatat sebesar 4,92%.

    Namun demikian, tren pertumbuhan konsumsi ini tidak sejalan dengan kinerja penerimaan pajak pertambahan nilai atau PPN. Data penerimaan pajak pada Semester 1/2025 mencatat realisasi PPN sebanyak Rp267,27 triliun atau terkontraksi sebesar 19,7% dibandingkan realisasi tahun lalu yang tercatat sebesar Rp332,81 triliun.

    Artinya ada ketidakelastisan antara kinerja konsumsi rumah tangga yang merepresentasikan daya beli masyarakat dengan penerimaan PPN. Kalau merujuk data BPS, secara kumulatif konsumsi rumah tangga mencapai Rp6.317,2 triliun pada semester 1/2025. Menariknya, jumlah PPN yang dipungut otoritas pajak hanya di angka Rp267,27 triliun atau sekitar 4,2% dari total aktivitas konsumsi masyarakat.

    Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat (P2 Humas) Ditjen Pajak Rosmauli menekankan bahwa linerja penerimaan pajak tidak semata-mata dipengaruhi oleh konsumsi dan sektor manufaktur, melainkan dipengaruhi oleh berbagai faktor lain secara keseluruhan. Meski demikian, Rosmauli mengakui bahwa penerimaan pajak tahun ini menghadapi banyak tantangan.

    “Saat ini, pengumpulan penerimaan pajak menghadapi sejumlah tantangan, antara lain penurunan harga komoditas yang disebabkan oleh gejolak perekonomian global dan ketidakstabilan geopolitik yang terjadi di sejumlah negara,” ujar Rosmauli kepada Bisnis, dikutip Senin (11/8/2025). 

    Rasio Pajak Stagnan, Rasio Utang Melonjak

    Realisasi penerimaan pajak semester 1/2025 tercatat di angka Rp831,3 triliun atau terkontraksi sebesar 7% dari realisasi semester 1/2024 yang tembus di angka Rp893,8 triliun. 

    Tren pelemahan dari sisi penerimaan pajak ini berisiko bagi stabilitas pengelolaan anggaran. Apalagi, pemerintah juga harus menghadapi potensi lonjakan utang untuk menutup celah fiskal yang ditimbulkan akibat shortfall penerimaan pajak.

    Dalam catatan Bisnis, pada tahun 2024 lalu total outstanding utang pemerintah mencapai Rp8.909,13 triliun atau 39,6% dari produk domestik bruto (PDB). Artinya jika mengacu data realisasi pembiayaan utang semester 1/2025, total utang pemerintah pusat telah menembus angka Rp9.224,5 triliun.

    Sementara itu, jika dihitung menggunakan outlook APBN 2025 yang mencapai Rp772,9 triliun, posisi utang pemerintah pusat (SBN dan pinjaman) kemungkinan menembus Rp9.682 triliun atau tumbuh 8,67% year on year (yoy). Dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 2025 di angka 5% atau sekitar Rp23.245,9 triliun, maka proyeksi rasio utang terhadap PDB pada 2025 berada di angka 41,6%. 

    Perbandingan Rasio Pajak Vs Rasio Utang

    Angka 41,6% menjadi yang tertinggi selama 9 tahun terakhir. Proyeksi ini bahkan melampaui realisasi rasio utang pada masa pandemi Covid-19 (2020-2021) yang bila berdasarkan data Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2024 berada di angka 39,4% – 41,1%.

    Persoalannya, tren lonjakan rasio utang yang nyaris mencetak rekor selama 9 tahun terakhir berbanding terbalik dengan kinerja rasio pajak yang justru stagnan bahkan cenderung menurun.

    Tahun ini, misalnya, pemerintah telah menetapkan bahwa outlook penerimaan pajak sebesar Rp2.076,9 triliun. Artinya dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 5%, maka rasio pajak pada tahun 2025 kemungkinan akan berada di angka 8,9%.

    Proyeksi tersebut menunjukkan bahwa rasio pajak, khususnya penerimaan pajak pusat yang dikelola Direktorat Jenderal Pajak, tidak pernah melonjak signifikan. Angka rasio pajak selalu terjebak di kisaran 8% selama 9 tahun terakhir. Angka pastinya di 7,5% – 8,9%. 

  • Trik Biar Ekonomi Indonesia Tumbuh Sesuai Target – Page 3

    Trik Biar Ekonomi Indonesia Tumbuh Sesuai Target – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta Target Pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di atas level 5-6 persen harus diiringi dengan penerapan strategi yang tepat agar bisa mengakselerasi sumber-sumber penopang pertumbuhan.

    Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan sumber penopang pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan itu masih dari faktor permintaan domestik (domestic demand) yaitu konsumsi, investasi atau Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB).

    Selebihnya, dari ekspor. Jika melihat data per Juni 2025, konsumsi termasuk konsumsi rumah tangga dan belanja Pemerintah berkontribusi 62,53 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) kemudian PMTB 27,83 persen.

    Dengan demikian, domestik demand sekitar 80-90 persen, sedangkan selebihnya adalah ekspor. “Kekuatan ekonomi Indonesia berasal dari besarnya domestik demand, sebab itu dua mesin yang menggerakkan potensi domestik itu harus dioptimalkan,” kata Purbaya. Menurut Purbaya, dalam dua dekade terakhir, perekonomian nasional tumbuh berkisar 5-6 persen.

    Di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), ketika harga komoditas booming, pertumbuhan ekonomi berada di level 6 persen. Saat itu, sektor swasta atau private sector lebih dominan perannya sebagai engine penggerak ekonomi.

    Hal itu yang menyebabkan utang Pemerintah saat itu cenderung turun. Sementara di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) di mana harga komoditas yang tinggi sudah berakhir ditambah masa pandemi Covid-19 selama beberapa tahun, mesin perekonomian lebih dominan digerakkan oleh Pemerintah termasuk untuk membangun infrastruktur.

    “Dalam dua puluh tahun terakhir ini, kita menyadari bahwa mesin ekonomi kita selalu timpang, satu mati, satu jalan, ke depan kita harus jalankan dua-duanya agar ekonomi bisa tumbuh lebih tinggi,” kata Purbaya.

     

  • Pertamina tembus Fortune Global 500, INDEF: Bukti GCG berjalan baik

    Pertamina tembus Fortune Global 500, INDEF: Bukti GCG berjalan baik

    Sumber foto: Supriyarto Rudatin/elshinta.com.

    Pertamina tembus Fortune Global 500, INDEF: Bukti GCG berjalan baik
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Rabu, 06 Agustus 2025 – 21:11 WIB

    Elshinta.com – Keberhasilan PT Pertamina (Persero) kembali masuk dalam daftar Fortune Global 500 tahun 2025 dinilai sebagai bukti nyata perusahaan pelat merah tersebut berhasil menerapkan tata kelola perusahaan yang baik atau Good Corporate Governance (GCG).

    Ekonom senior dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad mengatakan, penerapan prinsip transparansi dan akuntabilitas yang konsisten turut mendorong kinerja keuangan Pertamina tetap terjaga.

    “Ya, tentu saja (karena penerapan transformasi bisnis dan inovasi). Intinya GCG Pertamina sudah berjalan dengan baik,” kata Tauhid kepada wartawan, Rabu (6/8).

    Menurutnya, keberadaan Pertamina dalam daftar perusahaan terbesar dunia selama lebih dari satu dekade mencerminkan fundamental keuangan yang kuat. Selain itu, kinerja BUMN energi ini juga terus membaik seiring dengan transformasi dan digitalisasi yang dijalankan.

    “Pertamina selalu ada di posisi terbesar dan terdepan. Hal itu terlihat dari kontribusinya sebagai penyumbang dividen terbesar kepada negara. Sektor energi memang menjanjikan, selain perbankan dan telekomunikasi,” ujarnya.

    Tauhid menambahkan, pembayaran utang pemerintah kepada Pertamina pada 2024 untuk pengadaan BBM subsidi juga memberi dampak positif terhadap performa keuangan perusahaan.

    “Hal itu otomatis meningkatkan performance Pertamina,” ucapnya.

    Majalah Fortune dalam edisi terbaru merilis daftar Fortune Global 500, di mana Pertamina berhasil menempati peringkat ke-171 dunia. Sementara di kawasan Asia Tenggara, perusahaan portofolio Danantara Indonesia itu menempati posisi ketiga dalam daftar Fortune South East Asia 500.

    Capaian ini menempatkan Pertamina di atas sejumlah perusahaan energi global. Sebagai perbandingan, perusahaan migas asal Spanyol Repsol menempati posisi ke-260, sementara ConocoPhillips asal Amerika Serikat berada di peringkat ke-245.

    Di tingkat regional, Pertamina juga unggul jauh dibanding Petronas Malaysia yang tercatat di peringkat ke-44 pada daftar Fortune South East Asia 500.

    Menurut Tauhid, pencapaian tersebut menunjukkan Pertamina memiliki daya saing tinggi di kancah global dan layak menjadi tujuan investasi.

    “Dengan kebutuhan migas nasional yang masih sangat tinggi, posisi Pertamina yang kuat akan menjadi sinyal positif bagi para investor,” katanya seperti dilaporkan Reporter Elshinta, Supriyarto Rudatin, Rabu (6/8). 

    Sumber : Radio Elshinta

  • Ekonom Sebut Rencana Pemerintah Perluas Rute Whoosh ke Surabaya Perlu Dikaji Ulang

    Ekonom Sebut Rencana Pemerintah Perluas Rute Whoosh ke Surabaya Perlu Dikaji Ulang

    Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom menilai rencana pemerintah dalam memperpanjang jalur Kereta Cepat Whoosh dari Jakarta-Bandung menuju Surabaya bukanlah pilihan yang tepat di tengah upaya pemerintah melakukan efisiensi. 

    Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai rencana perpanjangan jalur Kereta Cepat Whoosh dalam kondisi keuangan negara saat ini bukanlah pilihan yang baik.

    Menurutnya, berbagai kendala pembiayaan dan beban fiskal yang semakin berat membuat proyek ini perlu dikaji ulang secara mendalam.

    “Memperpanjang jalur Whoosh dalam kondisi saat ini sepertinya bukan pilihan yang tepat,” ujar Bhima kepada Bisnis, Senin (4/8/2025).

    Bhima menjelaskan jika pemerintah memaksa, negara akan menghadapi dilema besar dalam skema pembiayaan perpanjangan Whoosh.

    Jika dibiayai melalui utang pemerintah, hal ini akan semakin mempersempit ruang gerak APBN mengingat beban biaya utang jatuh tempo yang makin besar dalam beberapa tahun ke depan.

    Alternatif pembiayaan melalui penugasan ke Danantara atau BUMN juga dinilai Bhima berpotensi mempengaruhi rating utang Indonesia karena tingkat risiko likuiditas yang tinggi.

    Lembaga pemeringkat seperti Fitch Ratings telah memperingatkan risiko peningkatan liabilitas bersyarat pada neraca pemerintah jika Danantara terlalu aktif.

    Bhima menyebut satu opsi yang masih bisa dicoba adalah skema pertukaran utang (debt swap) dengan China untuk perpanjangan jalur kereta cepat, atau melalui hibah. Skema ini dinilai lebih realistis mengingat pengalaman Indonesia dengan proyek infrastruktur China sebelumnya.

    “Kecuali hibah ya atau skema utang dari China ditukar dengan perpanjangan jalur kereta cepat (debt swap) itu bisa dicoba,” ungkapnya.

    Kereta Cepat Whoosh

    Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menyatakan saat ini pemerintah tengah mempercepat kajian terkait usulan perluasan jalur Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) atau Whoosh ke Surabaya guna mempercepat mobilitas yang terintegrasi dan efisien di seluruh Pulau Jawa.  

    Menurut Menteri AHY, arahan Presiden Prabowo Subianto bukan hanya sebatas perpanjangan jalur kereta cepat. Namun, lebih dari itu, ide ini mencerminkan visi untuk menghubungkan Pulau Jawa melalui mobilitas yang lebih cepat, bersih dan lebih terintegrasi.

    Adapun Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) mencatat bahwa layanan Kereta Cepat WHOOSH Indonesia telah melayani 10 juta penumpang sejak dioperasikan secara komersial.

    Selama periode 17 Oktober 2023 hingga 25 Juni 2025, KCIC telah melayani sebanyak 10.014.707 penumpang melalui 29.786 perjalanan Whoosh yang dioperasikan dengan aman dan selamat.

    Kereta Cepat Whoosh pertama kali dicanangkan pada tahun 2015, kemudian dilanjutkan dengan peletakan batu pertama pada 2016.

    Setelah melalui masa konstruksi dan serangkaian uji coba operasional, layanan Whoosh akhirnya diresmikan dan mulai beroperasi secara komersial pada Oktober 2023, menjadikan Indonesia sebagai negara pertama di Asia Tenggara yang memiliki layanan kereta cepat.

    Bebani BUMN Karya 

    Sementara itu di balik pencapaian tersebut dan rencana perpanjangan jalur Whoosh, PT Wijaya Karya (Persero) Tbk. (WIKA) membukukan bagian rugi sebesar Rp542,31 miliar pada semester I/2025 dari entitas ventura bersama PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia atau konsorsium proyek kereta cepat Whoosh. 

    PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) merupakan perusahaan patungan yang didirikan oleh konsorsium PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau PT KAI, PT Wijaya Karya (Persero) Tbk. (WIKA), PT Jasa Marga (Persero) Tbk. (JSMR), dan PT Perkebunan Nusantara I (Persero) (PTPN). 

    PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) tercatat memiliki 60% saham PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) selaku pengelola Whoosh. 

    Pada 10 Desember 2024, PSBI menerbitkan saham baru sejumlah 2.697.142 lembar saham sebesar Rp2,69 triliun yang diambil seluruhnya oleh PT Kereta Api Indonesia (Persero). Setelah transaksi itu, persentase kepemilikan Wijaya Karya di PSBI terdilusi dari 39,12% menjadi 33,36%.

    “Pada 30 Juni 2025, saldo investasi ventura bersama atau penyertaan modal di PSBI adalah Rp2,38 triliun atau mencerminkan akumulasi penurunan nilai sebesar Rp4,32 triliun dibandingkan dengan total penyetoran modal awal perusahaan ke PSBI,” tulis manajemen WIKA dalam laporan keuangan semester I/2025, dikutip Senin (28/7/2025). 

    Pada semester I/2025, WIKA mencatat nilai bagian rugi tahun berjalan dari PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia sebesar Rp542,31 miliar. 

    Jumlah itu melanjutkan kondisi serupa pada semester I/2024. Kala itu, WIKA mencatat nilai bagian rugi tahun berjalan dari PSBI sebesar Rp1,57 triliun.

    Namun, WIKA mencatat rugi bersih sebesar Rp1,66 triliun pada semester I/2025. Angka ini berbalik dari kondisi laba bersih senilai Rp401,95 miliar yang diraih pada periode sama tahun lalu.

    Logo Wika di sebuah Gedung di Jakarta

    Danantara Turun Tangan

    Danantara Indonesia menyiapkan langkah strategis untuk menyelamatkan fundamental keuangan perusahaan pelat merah, yang terlibat dalam proyek kereta cepat Whoosh.

    Chief Operating Officer (COO) Danantara Indonesia, Dony Oskaria, mengatakan bahwa PT Danantara Asset Management (Persero) kini sedang mengevaluasi sejumlah opsi penyelesaian atas kewajiban finansial konsorsium KCIC. 

    “Solusinya masih ada beberapa alternatif yang akan kami sampaikan kepada pemerintah mengenai penyelesaian daripada kereta cepat ini,” ujar Dony saat ditemui di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, pekan lalu. 

    Dia mengakui bahwa beban utang PSBI selaku konsorsium cukup besar. Untuk itu, Danantara akan mengevaluasi operasional dari tiap entitas, serta menyiapkan rencana jangka panjang atas penyelesaian beban tersebut.

    Salah satu opsi yang mengemuka adalah upaya restrukturisasi. Pasalnya, berdasarkan rencana kerja Danantara Asset Management, proyek kereta cepat masuk dalam klaster restrukturisasi yang dijalankan pada semester II/2025.

    “Kereta cepat ini kan hasil konsorsium yang di dalamnya ada KAI, WIKA, kemudian Jasa Marga. Nah, ini operasionalnya sedang kami lihat, bagaimana nanti solusi jangka panjang mengenai utang-utang konsorsium ini yang cukup besar dan kami ingin penyelesaian ini berjalan komprehensif,” kata Dony. 

    Berdasarkan catatan Bisnis, Whoosh telah menelan biaya investasi hingga US$7,2 miliar. Nilai investasi tersebut mengalami pembengkakan biaya sebesar US$1,2 miliar dari target awal proyek sebesar US$6 miliar.

    Sebanyak 60% dari pembengkakan biaya atau sekitar US$720 juta akan dibayarkan oleh konsorsium dari Indonesia, sedangkan 40% sisanya atau sekitar US$480 juta ditanggung oleh konsorsium China.

  • IHSG ditutup menguat di tengah `wait and see` suku bunga The Fed

    IHSG ditutup menguat di tengah `wait and see` suku bunga The Fed

    Sumber foto: Antara/elshinta.com.

    IHSG ditutup menguat di tengah `wait and see` suku bunga The Fed
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Selasa, 29 Juli 2025 – 18:35 WIB

    Elshinta.com – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Selasa sore ditutup menguat di tengah pelaku pasar bersikap `wait and see` terhadap kebijakan suku bunga acuan Federal Reserve (The Fed).

    IHSG ditutup menguat 3,14 poin atau 0,04 persen ke posisi 7.617,91. Sementara kelompok 45 saham unggulan atau indeks LQ45 naik 1,84 poin atau 0,23 persen ke posisi 805,06.

    “Pelaku pasar menantikan hasil perundingan dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China, sambil mengantisipasi pengumuman hasil pertemuan kebijakan bank sentral AS The Fed pada Rabu (30/07),” sebut Tim Riset Phillips Sekuritas Indonesia dalam kajiannya di Jakarta, Selasa.

    Dari mancanegara, para pejabat AS dan China menyelesaikan hari pertama dari dua hari perundingan di Stockholm, Swedia, yang bertujuan memperpanjang gencatan tarif setelah batas waktu 12 Agustus 2025, dan membahas cara-cara untuk mempertahankan hubungan dagang sambil menjaga keamanan ekonomi global.

    Ini adalah pertemuan ketiga dalam beberapa bulan terakhir, dengan pertemuan sebelumnya berlangsung di Jenewa, Swiss dan London, Inggris.

    Pada Senin (28/07), Presiden AS Donald Trump mengumumkan bahwa tarif menyeluruh global kemungkinan akan berada antara 15 persen hingga 20 persen, yang akan mempengaruhi impor dari negara-negara yang belum mencapai kesepakatan dagang dengan AS.

    Trump sebelumnya mengumumkan bahwa tarif dasar hanya akan sebesar 10 persen.

    Trump juga berencana untuk memperpendek batas waktu bagi Rusia dari 50 hari menjadi hanya 10 sampai 12 hari saja, dengan hasil akhir berwujud kesepakatan untuk mengakhiri perang di Ukraina atau menghadapi pembalasan ekonomi global.

    Sebelumnya, kesepakatan dagang antara AS dan Uni Eropa (UE) telah membangkitkan harapan mengenai perpanjangan gencatan tarif antara AS dan China.

    Dari pasar obligasi, imbal hasil (yield) surat utang pemerintah AS (US Treasury Notes) tenor 10 tahun naik 3 basis poin (bps) menjadi 4,42 persen.

    Di sisi lain, pelaku pasar juga menantikan rilis data inflasi AS atau Personal Consumption Expenditures (PCE) Price Index, yang akan menjelaskan dampak tarif terhadap perekonomian.

    Dibuka melemah, IHSG bergerak ke teritori positif sampai penutupan sesi pertama perdagangan saham. Pada sesi kedua, IHSG betah di zona hijau hingga penutupan perdagangan saham.

    Berdasarkan Indeks Sektoral IDX-IC, sembilan sektor menguat yaitu dipimpin sektor keuangan yang naik sebesar 1,70 persen, diikuti oleh sektor infrastruktur dan sektor barang baku yang naik masing- masing sebesar 1,49 persen dan 0,88 persen.

    Sedangkan, dua sektor melemah yaitu sektor transportasi & logistik dan sektor properti yang turun sebesar 0,47 persen dan 0,13 persen.

    Adapun saham-saham yang mengalami penguatan terbesar yaitu SWID, PTPS, RUIS, PGLI dan JARR. Sedangkan saham-saham yang mengalami pelemahan terbesar yakni IFII, SOLA, MGLV, OASA, dan BESS.

    Frekuensi perdagangan saham tercatat sebanyak 1.739.500 kali transaksi dengan jumlah saham yang diperdagangkan sebanyak 26,89 miliar lembar saham senilai Rp14,10 triliun. Sebanyak 289 saham naik 305 saham menurun, dan 208 tidak bergerak nilainya.

    Bursa saham regional Asia sore ini antara lain Indeks Nikkei melemah 317,27 poin atau 0,77 persen ke 40.681,00, indeks Shanghai menguat 11,77 poin atau 0,33 persen ke 3.609,71, indeks Hang Seng melemah 37,68 poin atau 0,15 persen ke posisi 25.524,45, dan indeks Straits Times melemah 21,33 poin atau 0,49 persen ke 4.221,20. 

    Sumber : Antara

  • Biaya Hidup Tinggi, Tetangga RI Bagi-Bagi Duit ke Warga Buat Belanja

    Biaya Hidup Tinggi, Tetangga RI Bagi-Bagi Duit ke Warga Buat Belanja

    Jakarta, CNBC Indonesia – Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim mengumumkan serangkaian kebijakan fiskal baru untuk meredam keresahan publik atas kenaikan biaya hidup. Mulai 31 Agustus 2025, seluruh warga dewasa Malaysia akan menerima bantuan tunai satu kali sebesar RM100 atau sekitar US$24 (setara Rp388.800).

    “Kami mengakui bahwa biaya hidup tetap menjadi tantangan besar bagi masyarakat. Pemerintah tidak tinggal diam dan terus mencari solusi konkret,” kata Anwar dalam konferensi pers, seperti dikutip Reuters, Kamis (24/7/2025).

    Langkah ini diumumkan hanya beberapa hari menjelang aksi protes besar-besaran yang akan digelar di Kuala Lumpur pada Sabtu, 26 Juli mendatang. Polisi memperkirakan antara 10.000 hingga 15.000 orang akan turun ke jalan menuntut Anwar mundur, menyusul tingginya harga dan belum terwujudnya sejumlah janji reformasi.

    Anwar juga mengumumkan bahwa pemerintah akan mengalokasikan total RM15 miliar bantuan tunai pada 2025, meningkat dari RM13 miliar tahun sebelumnya. Selain itu, harga bahan bakar RON95, jenis yang paling banyak digunakan di Malaysia, akan diturunkan menjadi RM1,99 per liter dari harga saat ini RM2,05.

    “Warga negara asing tetap akan membayar harga pasar non-subsidi,” ujar Anwar, tanpa merinci skema pelaksanaan kebijakan ini.

    Kebijakan tersebut merupakan bagian dari rencana lama pemerintah untuk rasionalisasi subsidi energi, yang sebelumnya ditargetkan diterapkan pada pertengahan 2025. Belum ada kejelasan apakah pemotongan subsidi untuk 15% kelompok pendapatan teratas, yakni rumah tangga dengan penghasilan lebih dari RM13.500 per bulan, tetap akan diberlakukan.

    Beberapa warga kelas menengah menyuarakan kekhawatiran bahwa mereka dapat termasuk dalam kelompok ini, meski secara nyata terdampak kenaikan pengeluaran harian.

    Analis memperingatkan bahwa penundaan atau lambatnya pelaksanaan reformasi subsidi dapat mengganggu konsolidasi fiskal Malaysia. Ekonom Kenanga Investment Bank, Muhammad Saifuddin Sapuan, mengatakan langkah populis seperti bansos tunai dan subsidi memang penting untuk menjaga daya beli masyarakat, namun konsekuensinya tidak kecil.

    “Langkah ini mendorong permintaan domestik, tetapi pembiayaannya akan membebani target fiskal,” ujarnya, seperti dikutip Channel News Asia (CNA).

    Hal senada disampaikan Kathleen Chen dari Fitch Ratings. Ia menilai, lambatnya rasionalisasi subsidi bisa menghambat target pemerintah untuk memangkas defisit fiskal menjadi 3% pada 2028.

    “Utang pemerintah diperkirakan tetap tinggi, sekitar 76,5% dari PDB pada 2025. Penurunan defisit akan sangat bertahap,” kata Chen.

    Selain itu, Anwar juga mengumumkan alokasi tambahan untuk program distribusi bahan pokok murah, serta menjanjikan peningkatan skema bantuan sosial lainnya. Pemerintah juga menetapkan 15 September sebagai hari libur nasional tambahan untuk memperpanjang perayaan Hari Malaysia dari 13-16 September.

    Inflasi Malaysia tercatat mulai melandai, namun tekanan harga bahan makanan tetap terasa. Indeks Harga Konsumen (IHK) naik 1,1% pada Juni dibandingkan tahun lalu, tetapi harga makanan dan minuman naik 2,1% dalam periode yang sama.

     

    (sef/sef)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Menggairahkan sektor riil di tengah longgarnya kebijakan moneter

    Menggairahkan sektor riil di tengah longgarnya kebijakan moneter

    Jakarta (ANTARA) – Bank sentral Indonesia semakin menunjukkan keyakinan kuat dalam mengarahkan kebijakan moneternya yang pro-growth. Sejak awal tahun, penurunan suku bunga acuan (BI-Rate) terhitung sudah tiga kali dilakukan.

    Penurunan masing-masing sebesar 25 basis point (bps) yang terjadi pada Januari, Mei, dan Juli sehingga kini berada pada level 5,25 persen. Bahkan, ruang penurunan BI-Rate masih terbuka hingga akhir 2025.

    Secara teori, pelonggaran moneter semestinya mendorong gairah kredit. Namun yang perlu diingat, penurunan BI-Rate tidak otomatis langsung menurunkan suku bunga kredit perbankan dan tidak seketika menggerakkan sektor riil.

    Transmisi kebijakan moneter memang memiliki jeda waktu atau lag effect yang bervariasi antarsektor. Penyesuaian di pasar uang biasanya terjadi lebih cepat, hanya dalam hitungan minggu. Untuk suku bunga dana, dibutuhkan waktu sekitar enam bulan hingga perubahan BI-Rate benar-benar tercermin.

    Sementara itu, transmisi ke suku bunga kredit berjalan lebih lambat, bahkan bisa memakan waktu hingga satu tahun. Adapun efeknya terhadap perekonomian nasional diperkirakan baru benar-benar terasa sekitar satu setengah tahun setelah pelonggaran moneter.

    Bank Indonesia (BI) mencatat, efek penurunan BI-Rate sudah terasa di pasar uang. Namun, suku bunga kredit perbankan masih tinggi yaitu 9,16 persen pada Juni 2025 atau tidak jauh berbeda dari 9,18 persen pada Mei 2025. Suku bunga deposito 1 bulan juga meningkat, dari 4,81 persen pada Mei 2025 menjadi 4,85 persen pada Juni 2025.

    Kinerja penyaluran kredit juga belum bergairah. Pada Juni 2025, kredit perbankan tumbuh sebesar 7,77 persen year on year (yoy) atau menurun dibandingkan dengan pertumbuhan Mei 2025 sebesar 8,43 persen (yoy).

    Menurut Gubernur BI, Perry Warjiyo, perkembangan tersebut dari sisi penawaran bukan disebabkan masalah likuiditas mengingat rasio alat likuid terhadap dana pihak ketiga (AL/DPK) tergolong tinggi, yakni 27,05 persen pada Juni 2025. Dari sisi penawaran, lambatnya penyaluran kredit turut dipengaruhi oleh sikap hati-hati perbankan.

    Di tengah pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) yang mencapai 6,96 persen (yoy) pada Juni 2025, bank justru cenderung menahan diri dalam menyalurkan kredit. Sebagai gantinya, dana lebih banyak dialihkan ke surat-surat berharga, sementara standar penyaluran kredit (lending standard) pun diperketat.

    Untuk mendorong kredit, seluruh upaya dilakukan bank sentral secara all out. BI juga menempuh strategi makroprudensial yang terus dioptimalkan, salah satunya melalui Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) melalui pengurangan giro wajib minimum (GWM). Pemberian insentif ini ditujukan kepada bank yang menyalurkan kredit ke sektor-sektor prioritas.

    Hingga minggu pertama Juli 2025, total insentif KLM mencapai Rp376 triliun. Secara sektoral, insentif tersebut disalurkan kepada sektor-sektor prioritas yakni pertanian, real estate, perumahan rakyat, konstruksi, perdagangan dan manufaktur, transportasi, pergudangan, pariwisata dan ekonomi kreatif, serta UMKM, ultra mikro, dan hijau.

    “Bank Indonesia terus all out untuk mendorong pertumbuhan kredit,” kata Perry.

    Dengan suku bunga kredit dan kinerja kredit yang belum menunjukkan sinyal positif, selanjutnya pertanyaan pun muncul mengenai seberapa efektif transmisi kebijakan bank sentral terhadap sektor riil.

    Masalah struktural

    Menurut Kepala Ekonom Permata Bank Josua Pardede, transmisi BI-Rate ke bunga kredit memang cenderung lambat akibat beberapa faktor struktural di pasar perbankan.

    Faktor ini seperti risiko kredit yang tinggi dan margin bunga bersih (net interest margin/NIM) yang masih tebal. Bank belum terlalu agresif menurunkan bunga kredit karena profitabilitas perlu dijaga, terutama di tengah tekanan biaya dana yang juga meningkat.

    Ketua Bidang Pengembangan Kajian Ekonomi Perbankan (PKEP) Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas) Aviliani mengemukakan bahwa NIM perbankan saat ini telah mengalami penurunan signifikan dibanding beberapa tahun lalu.

    Jika dahulu margin bisa mencapai angka yang tinggi, kini hanya berkisar di angka 4 persen. Penurunan ini menandakan bahwa ruang profitabilitas bank sudah cukup sempit, sehingga mereka cenderung lebih selektif dan berhati-hati dalam menyalurkan kredit baru.

    Dalam kondisi ini, bank juga lebih memilih menempatkan dana pada surat-surat berharga yang menawarkan imbal hasil menarik dengan risiko yang jauh lebih rendah dibandingkan kredit.

    Karena itu, meskipun likuiditas di industri perbankan relatif longgar, penyaluran kredit tetap tidak optimal. Imbal hasil dari instrumen keuangan seperti surat utang pemerintah atau instrumen pasar uang dianggap lebih kompetitif dibanding margin dari kredit komersial.

    Dari sisi permintaan, dunia usaha juga belum menunjukkan minat tinggi untuk mengambil kredit. Ketidakpastian ekonomi global dan domestik membuat pelaku usaha memilih menunda ekspansi.

    Sejumlah BUMN yang biasanya menjadi penggerak permintaan kredit juga belum banyak mengajukan pembiayaan karena tengah fokus pada efisiensi dan konsolidasi internal. Kondisi ini mencerminkan bahwa sisi permintaan kredit belum pulih secara optimal.

    Pandangan ini sejalan dengan Ekonom LPEM UI, Teuku Riefky, yang menekankan bahwa lambatnya pertumbuhan kredit tidak bisa dilepaskan dari lemahnya kondisi sektor riil.

    Ia menjelaskan bahwa transmisi kebijakan moneter melalui penurunan BI-Rate hanya akan efektif apabila sektor riil merespons positif. Namun, dalam kenyataannya, daya beli masyarakat masih lemah, kepercayaan konsumen belum sepenuhnya pulih, dan dunia usaha menghadapi tekanan biaya produksi serta ketidakpastian pasar.

    Dalam situasi seperti ini, meskipun bank siap menyalurkan kredit, permintaan dari sisi debitur tidak mencukupi.

    Riefky juga menyoroti sejumlah hambatan struktural yang memperburuk kondisi ini, mulai dari iklim investasi yang belum ramah, birokrasi yang panjang, hingga regulasi yang tidak konsisten.

    Semua ini menciptakan lingkungan usaha yang mahal dan berisiko tinggi, sehingga pelaku usaha lebih memilih menahan diri daripada memperluas bisnis melalui pembiayaan dari perbankan.

    Secara keseluruhan, lambatnya penurunan bunga kredit dan terbatasnya pertumbuhan kredit tidak semata-mata disebabkan oleh faktor suku bunga acuan, tetapi terutama karena belum pulihnya sisi permintaan kredit akibat lemahnya sektor riil.

    Dalam situasi ini, efektivitas kebijakan moneter berpotensi tereduksi karena terbatasnya respons dari sisi permintaan kredit.

    Bahkan pelonggaran kebijakan makroprudensial dan penurunan suku bunga acuan belum mampu mendorong ekspansi kredit secara signifikan apabila dunia usaha masih enggan berekspansi karena prospek pertumbuhan yang belum meyakinkan.

    Sejumlah bank juga disebut merevisi Rencana Bisnis Bank (RBB) 2025, menyesuaikan target pertumbuhan kredit agar lebih realistis dari sebelumnya yang optimistis tumbuh dua digit.

    Oleh karena itu, penguatan sektor riil menjadi prasyarat utama agar transmisi kebijakan moneter dan pertumbuhan kredit benar-benar dapat dirasakan oleh perekonomian secara lebih luas dan berkelanjutan.

    Editor: Slamet Hadi Purnomo
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Sri Mulyani minta DPR RI tak pandang SBN sebagai beban utang

    Sri Mulyani minta DPR RI tak pandang SBN sebagai beban utang

    Jakarta (ANTARA) – Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati meminta DPR RI untuk tidak menilai Surat Berharga Negara (SBN) semata-mata sebagai beban utang melainkan instrumen investasi yang dipercaya dan dibutuhkan oleh masyarakat luas.

    Sri Mulyani dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-24 Masa Persidangan IV di Jakarta, Selasa, mengajak para anggota dewan untuk melihat SBN dari sisi permintaan, bukan hanya sebagai beban dalam neraca anggaran.

    Menurut dia, SBN justru menjadi instrumen investasi yang aman dan diminati oleh berbagai kalangan.

    “Mari kita lihat dari sisi ‘demand’ atau pemintanya. Lembaga-lembaga baik itu pensiun, asuransi, perbankan, bahkan masyarakat kecil telah memegang Surat Berharga Negara kita. Mereka membutuhkan instrumen investasi yang aman,” katanya.

    Maka dari itu, ia mengatakan berkomitmen untuk terus mengelola SBN secara hati-hati sebagai salah satu strategi pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

    Pernyataan tersebut merupakan tanggapan atas pandangan Fraksi PKB dan NasDem dalam rapat paripurna sebelumnya, yang menyoroti pentingnya kehati-hatian dalam pengelolaan SBN sebagai bagian dari pembiayaan negara.

    Lebih lanjut, kata Bendahara Negara itu menegaskan, pemerintah akan terus melakukan edukasi kepada publik agar SBN tidak hanya dipersepsikan sebagai utang pemerintah, tetapi sebagai alat investasi bernilai yang memberikan rasa aman bagi pemiliknya, mulai dari ibu rumah tangga, mahasiswa, hingga institusi pemegang dana jangka panjang.

    Pada kesempatan yang sama Sri Mulyani juga mengatakan komitmen pemerintah dalam menjaga kesehatan utang negara. Berbagai risiko utang, mulai dari suku bunga, nilai tukar, hingga pendanaan kembali terus dimonitor dan dikelola secara hati-hati.

    “Mengenai kesehatan utang, kami terus akan waspadai risiko suku bunga utang, risiko nilai tukar dan risiko pembiayaan ulang atau ‘refinancing’. Semua tetap berada pada batas aman, baik dalam jangka pendek maupun jangka menengah,” katanya.

    Pewarta: Bayu Saputra
    Editor: Virna P Setyorini
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Ekonom nilai Danantara bantu pencatatan APBN lebih sederhana

    Ekonom nilai Danantara bantu pencatatan APBN lebih sederhana

    Sumber foto: Antara/elshinta.com.

    Ekonom nilai Danantara bantu pencatatan APBN lebih sederhana
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Senin, 14 Juli 2025 – 21:23 WIB

    Elshinta.com – Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin berpendapat peralihan dividen Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ke Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara membantu pencatatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menjadi lebih sederhana.

    “Justru keberadaan Danantara membuat pencatatan APBN lebih sederhana, sehingga lebih terbatas peluang melakukan financial engineering untuk membuat APBN nampak lebih cantik,” kata Wijayanto saat dihubungi, di Jakarta, Senin.

    Dia menjelaskan, financial engineering yang dimaksud yaitu ketika pemerintah memberikan banyak penyertaan modal negara (PMN) dengan sumber dana dari utang, lalu BUMN memberikan dividen yang besar.

    Strategi itu dianggap membuat defisit APBN nampak lebih rendah, sementara utang pemerintah justru bertambah.

    “Hal ini terjadi dalam puluhan tahun terakhir, mengapa defisit APBN selalu di bawah 3 persen terhadap produk domestik bruto (PDB), tetapi rasio utang terhadap PDB melejit terus,” katanya pula.

    Menurutnya, meski pemerintah kehilangan sumber penerimaan akibat peralihan dividen ke Danantara, tetapi tanggung jawab pemerintah terkait PMN juga turut dialihkan. Artinya, ada pengurangan penerimaan (cash in flow), tetapi juga ada pengurangan tanggung jawab PMN (cash out flow).

    “Jadi dari sisi cash flow tidak terlalu berdampak, bahkan mengingat kebutuhan dana untuk restrukturisasi BUMN yang akan sangat besar di tahun-tahun mendatang (BUMN Karya, Farmasi dan Garuda), sesungguhnya Pemerintah diuntungkan dari sisi cash flow,” ujarnya lagi.

    Hanya saja, kata dia lagi, dividen tercatat sebagai penerimaan, sedangkan PMN tidak tercatat sebagai bagian dari pengeluaran dalam APBN, karena merupakan investasi.

    “Sehingga dengan adanya Danantara, maka APBN terkesan nampak lebih buruk walau sesungguhnya tidak berdampak,” ujar dia.

    Sebelumnya, Pemerintah melalui Kementerian Keuangan terus mengupayakan peningkatan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari berbagai sektor di luar setoran dividen BUMN.

    PNBP diproyeksikan hanya mencapai Rp477,2 triliun atau 92,9 persen dari dari target Rp513,6 triliun.

    Namun, pemerintah memitigasi agar dampak negatif dari perpindahan dana tersebut tidak sepenuhnya terjadi. Sri Mulyani menyampaikan bahwa pihaknya berupaya menekan potensi kehilangan pendapatan hingga hanya separuhnya, dengan menambal sisanya melalui penerimaan baru.

    “Dengan beberapa measure kita akan kurangi mitigasi, sehingga perbedaannya mungkin hanya sekitar Rp40 triliun. Artinya PNBP mencari tambahan penerimaan baru sebesar Rp40 triliun, sehingga koreksi Rp80 triliun tidak seluruhnya muncul di sana,” katanya pula. 

    Sumber : Antara

  • RI di Bawah Bayang-Bayang Pembengkakan Bunga Utang APBN?

    RI di Bawah Bayang-Bayang Pembengkakan Bunga Utang APBN?

    Bisnis.com, JAKARTA – Pembayaran bunga utang pemerintah terpantau mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Pada 2025, rencana pembayaran bunga utang pemerintah mencapai senilai Rp552,9 triliun.

    Nilai tersebut tertinggi jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Misalnya, pada 2020 total pembayaran bunga utang mencapai Rp314,1 triliun, lalu naik menjadi Rp343,5 triliun pada 2021.

    Nilai pembayaran bunga utang kembali naik menjadi Rp386,3 triliun pada 2022 dan Rp439,9 triliun pada 2023. Kemudian outlook realisasi pembayaran bunga utang 2024 mencapai Rp499 triliun.

    Hingga akhir Juni 2025, pemerintah telah merealisasikan pembayaran bunga utang Rp257,1 triliun hingga akhir Juni 2025 atau semester satu, dari rencana Rp552,9 triliun sepanjang tahun ini.

    Artinya, pemerintah masih harus menyiapkan anggaran senilai Rp295,8 triliun untuk melunaskan sisa pembayaran bunga utang hingga akhir tahun nanti.

    Mengutip dokumen Laporan Pemerintah tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Semester Pertama Tahun Anggaran 2025, realisasi pembayaran bunga utang tersebut telah mencakup 46,5% dari pagu.

    “Realisasi tersebut terdiri atas realisasi pembayaran bunga utang dalam negeri senilai Rp235,15 triliun atau 43,7% dari pagu,” tulis pemerintah dalam dokumen tersebut, dikutip pada Selasa (8/7/2025).

    Selain itu, pemerintah juga melakukan pembayaran bunga utang luar negeri senilai Rp21,9 triliun atau 39,7% dari pagu APBN tahun ini.

    Pemerintah dalam dokumen tersebut menjelaskan bahwa pada dasarnya, pembayaran bunga utang merupakan konsekuensi atas pengadaan utang untuk pembiayaan defisit APBN menjadi salah satu beban fiskal penting yang harus dikelola dengan cermat agar tidak mengganggu stabilitas keuangan negara.

    Dalam hal ini, bunga utang mencakup pembayaran kupon atas Surat Berharga Negara (SBN), bunga atas pinjaman, dan biaya-biaya lain yang timbul akibat program pengelolaan utang pemerintah. Besaran pembayaran bunga utang mengalami fluktuasi karena dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik internal maupun eksternal.

    Utang Jatuh Tempo 2026

    Tidak hanya bunga utang yang meningkat, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto juga menanggung beban utang jatuh tempo yang semakin membengkak pada tahun depan, yaitu senilai Rp833,96 triliun.

    Bengkaknya beban tersebut tampak apabila dibandingkan dengan profil utang jatuh tempo pemerintah per 30 April 2024 yang senilai Rp803,19 triliun untuk 2026. Sementara dalam data terbaru yang Bisnis terima, jumlah tersebut naik Rp30,77 triliun.

    Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Suminto belum merespons pertanyaan Bisnis apakah kenaikan tersebut terdorong pergerakan nilai tukar rupiah maupun penerbitan obligasi yang lebih banyak. Pasalnya, utang jatuh tempo tersebut bukan hanya dalam bentuk rupiah, namun juga valuta asing alias valas.

    Pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan pun mengasumsikan nilai tukar rupiah pada tahun depan akan bertengger pada rentang Rp16.500 hingga Rp16.900 per dolar AS. Lebih lemah dari kurs saat ini maupun pada 30 April 2024 yang lalu.

    Mengacu data tahun lalu tersebut, tercatat bahwa utang jatuh tempo 2026 terdiri dari Rp703 triliun dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN) dan Rp100,19 triliun sisanya merupakan pinjaman.

    Sementara dalam data terbaru, utang jatuh tempo senilai Rp833,96 triliun tersebut tidak menjelaskan porsi SBN dan Pinjaman, namun memastikan bahwa nominal itu telah termasuk SBN burden sharing dengan Bank Indonesia yang senilai Rp154,5 triliun.

    Secara tren, utang jatuh tempo tersebut mencapai puncaknya pada 2026 dan perlahan menurun namun tetap tinggi hingga 2029.

    Jatuh tempo utang pada 2027 tercatat senilai Rp821,6 triliun, kemudian pada 2028 senilai Rp794,42 triliun, pada 2029 mencapai Rp749,71 triliun, dan 2030 senilai Rp636,05 triliun.

    Menumpuknya beban ini pun telah diwaspadai Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Pemerintah dan Bank Indonesia telah sepakat berbagi beban alias burden sharing melalui Surat Utang Negara (SUN) yang maturitasnya maksimum 7 tahun. Adapun sebagian utang burden sharing pun mulai jatuh tempo pada 2025.

    Sementara untuk penerbitan SBN dalam rangka kesepakatan bersama yang terjadi pada 2022, maka jatuh tempo utang maksimal pada 2029 mendatang atau pada akhir pemerintahan Prabowo Subianto.