Topik: Utang Pemerintah

  • Pencopotan Sri Mulyani Peluang Reformasi Pajak yang Berkeadilan dan Masalah Utang

    Pencopotan Sri Mulyani Peluang Reformasi Pajak yang Berkeadilan dan Masalah Utang

    “Selain itu pajak kekayaan berupa 2 persen pajak bagi aset orang super kaya merupakan hal yang urgen dilakukan untuk menekan ketimpangan, sekaligus memperbesar penerimaan negara,” terang lulusan University of Bradford itu.

    Bhima mendorong efisiensi anggaran wajib dilakukan dengan dasar kajian makroekonomi yang transparan. Tidak menganggu pelayanan publik dan infrastruktur dasar.

    Selain itu efisiensi yang salah dilakukan oleh Sri Mulyani harus dievaluasi ulang. Karena telah menimbulkan guncangan pada dana transfer daerah dan kenaikan pajak daerah yang merugikan masyarakat.

    Menteri Keuangan yang baru juga penting untuk segera melakukan restrukturisasi utang pemerintah, menekan beban bunga utang, membuka ruang debt swap for energy transition (menukar kewajiban utang dengan program transisi energi).

    Juga memerhatikan debt swap for nature yakni menukar utang dengan konservasi hutan/mangrove/karst. Serta debt cancellation yakni pembatalan utang yang merugikan.

    Bhima menekankan, untuk mencopot wakil menteri dan pejabat di Kementerian Keuangan yang melakukan rangkap jabatan di badan usaha milik negara (BUMN). Karena bertentangan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan menghindari konflik kepentingan.

    Penting juga mengevaluasi seluruh belanja perpajakan, termasuk stimulus dan insentif fiskal, yang merugikan keuangan negara.

    Perusahaan yang telah mendapatkan tax holiday dan tax allowances wajib diaudit baik laporan keuangan dan dampak yang dihasilkan bagi penyerapan tenaga kerja.

    “Tidak boleh lagi ada insentif fiskal yang memperburuk ketimpangan antara perusahaan skala besar dan pelaku usaha UMKM. Kami juga mendorong transparansi pemberian insentif fiskal secara berkala kepada publik,” tandasnya. (jawapos/fajar.co.id)

  • Jadi Pembiayaan Program Prabowo, Burden Sharing Dapat Sentimen Negatif Ekonom

    Jadi Pembiayaan Program Prabowo, Burden Sharing Dapat Sentimen Negatif Ekonom

    Jakarta

    Skema burden sharing yang dilakukan oleh Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Keuangan menuai kritik. Burden sharing sendiri dilakukan untuk mendanai program prioritas Presiden Prabowo Subianto, khususnya Perumahan Rakyat serta Koperasi Desa/Kelurahan (Kopdes/Kel) Merah Putih.

    Dukungan melalui burden sharing diberikan melalui pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder dengan realisasi mencapai Rp 200 triliun. Namun, Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira Adhinegara menyebut menyoroti burden sharing yang dilakukan tidak pada saat krisis.

    “Burden sharing dilakukan tidak pada saat krisis (kecuali memang pemerintah dan BI menganggap saat ini kondisi krisis),” ujarnya dalam keterangan kepada detikcom, Jumat (5/9/2025).

    Bhima juga menilai independensi BI semakin tidak ada dan lebih mirip seperti Dewan Moneter pada masa Orde Baru. Dewan Moneter adalah lembaga negara yang mengendalikan kebijakan moneter, kredit, dan perbankan, dengan Menteri Keuangan sebagai ketua serta Gubernur BI sebagai anggota.

    Lembaga ini membuat Bank Indonesia tidak independen karena keputusan moneter harus sejalan dengan kebijakan pemerintah. BI sendiri sudah menjadi independen mulai 1999.

    Bhima juga mewanti-wanti ancaman inflasi akibat uang beredar naik tanpa disertai kenaikan permintaan riil. Selain itu, beban fiskal dilimpahkan ke moneter yang bisa mengganggu stabilitas keuangan hingga neraca BI jangka panjang.

    Lebih jauh, ia menyoroti dampak jangka panjang terhadap reputasi fiskal Indonesia. Kredibilitas pemerintah berpotensi tertekan apabila skema ini terus dipakai untuk membiayai program yang bermasalah.

    “Rating utang pemerintah (sovereign bond rating) terancam downgrade karena BI membiayai program yang bermasalah terutama Kopdes MP (Merah Putih),” tegas Bhima.

    Independensi BI

    Senada, Ekonom sekaligus Direktur Ekonomi CELIOS, Nailul Huda menyebut kebijakan burden sharing akan melunturkan independensi BI yang seharusnya menjaga kebijakan moneter Indonesia.

    “Dengan melakukan burden sharing, kewajiban pemerintah untuk menjaga kesehatan fiskal akan semakin luntur dan dibebankan kepada BI. Harusnya sektor moneter yang dikelola oleh BI tidak boleh melonggarkan kebijakan fiskal,” sebut Nailul.

    Ia menilai fiskal harus bisa berhemat dengan cara kebijakan fiskal seperti realisasi anggaran dan sebagainya. Kondisi tersebut bisa dikecualikan ketika terjadi ancaman krisis ataupun untuk memberi bantuan langsung ke masyarakat.

    “Saat Covid, sektor swasta tidak bisa bergerak lebih cepat, sehingga bantuan ke masyarakat dibutuhkan secara langsung dan cepat. Saat ini, kondisi tersebut tidak terjadi dimana sektor ekonomi masih banyak yang bergerak, pemerintah memberikan stimulus melalui kebijakan fiskal. Bukan meminta BI untuk menanggung utang secara bersama,” bebernya.

    Terlebih utang yang beban bunganya ditanggung oleh BI dan pemerintah, digunakan untuk program yang menurut Nailul akan rugi besar. Ia menyebut pemerintah sebenarnya tahu bahwa program KMP dan perumahan ini risikonya tinggi sehingga meminta BI menanggung risikonya.

    Ketika program dengan risiko tinggi ini dibiayai dengan utang, maka risikonya bukan hanya saat ini, tapi risiko fiskalnya akan besar ke depan. Pembayaran untuk bunga utang akan semakin besar, kapasitas fiskal pemerintah untuk membuat kebijakan ekonomi pro rakyat akan semakin sempit.

    “Strategi ini nampaknya BI mungkin akan memanfaatkan kas yang ada terlebih dahulu, baru ketika tidak mencukupi pasti akan cetak uang. Jadi BI membeli SBN dengan kas yang ada atau mencetak uang, sehingga likuiditas di masyarakat bisa terjaga. Tapi cara membeli SBN-nya ini nampaknya dengan mencetak uang baru setelah kas BI habis. Nampaknya sih akan mencetak uang ya,” jelas Nailul.

    Sebagai informasi, skema burden-sharing pernah dilakukan untuk membiayai pemulihan ekonomi selama pandemi COVID-19. Dalam skema ini, Kementerian Keuangan menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) kepada Bank Indonesia (BI) dengan acuan suku bunga reverse repo.

    “Pemerintah membayar bunga/yield sesuai jatuh tempo, tapi di hari yang sama BI mengembalikan bunga itu ke pemerintah sebagai bentuk kontribusi sesuai skema. Sederhananya, ini adalah cara mencetak uang yang kemudian disalurkan ke Kemenkeu untuk mendukung belanja fiskal,” jelas publikasi Asian Development Bank, dikutip Jumat (5/9/2025)

    Halaman 2 dari 2

    (ily/eds)

  • Celios Minta Presiden Prabowo Copot Srimul

    Celios Minta Presiden Prabowo Copot Srimul

    GELORA.CO -Center of Economic and Law Studies (Celios) mendorong Presiden Prabowo Subianto melakukan pembenahan tata kelola fiskal dalam negeri.

    Peneliti Celios, Nailul Huda menyampaikan, tata kelola keuangan negara yang tak memihak kepada rakyat menjadi salah satu sebab gelombang protes di berbagai daerah beberapa hari lalu.

    Menurutnya, Presiden Prabowo harus mengambil langkah konkret untuk memperbaiki tata kelola keuangan negara, dengan memastikan menteri keuangan yang duduk tidak menimbulkan kontroversial seperti Sri Mulyani Indrawati alias Srimul.

    “Kami menyampaikan reset ekonomi Indonesia harus dilakukan, melalui delapan tuntutan kami. Pertama, copot Menteri Keuangan (Sri Mulyani),” ujar Huda kepada RMOL, Rabu 3 September 2025.

    “Batalkan kenaikan tunjangan DPR. Tetapkan gaji tunggal anggota DPR dengan ketentuan tidak melebihi tiga kali lipat upah minimum Jakarta,” sambungnya.

    Selain itu, Huda juga menyarankan pemerintah membentuk komite remunerasi independen untuk pejabat negara, agar setiap pengeluaran dana reses anggota dewan menjadi informasi publik.

    Selain itu, dia juga menyinggung soal kebijakan perpajakan. Dimana tuntutannya segera terapkan pajak kekayaan.

    “Revisi total regulasi perpajakan, batalkan kenaikan tarif pajak yang membebani rakyat, dan turunkan tarif PPn (pajak pertambahan nilai atau pajak pembelian) menjadi 8 persen,” tuturnya.

    Kemudian, Huda meminta Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset segera disahkan, dan juga pangkas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk Polri dan Evaluasi total anggaran Makan Bergizi Gratis (MBG), Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih, dan Danantara. 

    “Alihkan ke subsidi tunai untuk rakyat kecil, dorong restrukturisasi utang pemerintah, dan setop nafsu penambahan utang baru,” urainya.

    Lebih lanjut, Huda turut mendorong penerapan Putusan MK terkait Menteri dan Wakil Menteri dilarang rangkap jabatan, termasuk jadi Komisaris, khususnya Menteri Investasi dan Hilirisasi yang merangkap jadi CEO Danantara

    “Dan stop Proyek Strategis Nasional yang merugikan keuangan negara, termasuk pembangunan Ibu Kota Negara baru dan Kawasan FoodEstate,” demikian Huda. 

  • BI Sudah Borong SBN Rp200 Triliun buat Dukung Program Prabowo

    BI Sudah Borong SBN Rp200 Triliun buat Dukung Program Prabowo

    Bisnis.com, JAKARTA — Bank Indonesia melaporkan telah membeli Surat Berharga Negara (SBN) dari pasar sekunder hingga Rp200 triliun, di antaranya untuk pembiayaan program-program Asta Cita dari Presiden Prabowo Subianto.

    Perry mengatakan pembelian SBN itu merupakan sinergi dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Kebijakan-kebijakan bank sentral salah satunya difokuskan untuk mendorong pertumbuhan.

    Dukungan terhadap pemerintah itu tidak hanya melalui penurunan suku bunga, yang sudah dipangkas lima kali sejak September 2024, juga dengan pembelian surat utang pemerintah. 

    “Kami update dan [sampai] kemarin kami telah membeli SBN sebesar Rp200 triliun, data terbaru kemarin termasuk untuk debt switching,” ujar Perry pada rapat bersama dengan DPD secara virtual, Selasa (2/9/2025). 

    Sebagian dana yang dihimpun dari pembelian SBN, terang Perry, adalah untuk pendanaan program-program ekonomi kerakyatan dalam Asta Cita seperti perumahan rakyat hingga Koperasi Desa Merah Putih. 

    Mekanisme sinergi dengan pemerintah itu yakni burden sharing atau pembagian beban bunga. Burden sharing telah dimulai antara BI dan pemerintah sejak 2020 ketika dunia dilanda pandemi Covid-19.

    Selain pembelian SBN maupun kebijakan suku bunga, bank sentral turut menempuh kebijakan mengguyur insentif likuiditas makroprudensial kepada perbankan agar bisa mendorong penyaluran kredit.

    Utamanya, sektor-sektor prioritas pemerintah yang sejalan dengan program Prabowo. Sampai dengan data terbaru, BI menyebut telah mengguyur insentif likuiditas perbankan sebesar Rp384 triliun.

    “Kami telah menambah insentif sebesar Rp384 triliun untuk ke sektor-sektor dalam Asta Cita seperti investasi pertanian, perumahan, UMKM, dan ekonomi inklusif,” ujarnya.

    Adapun total nilai pembelian surat utang pemerintah oleh BI itu meningkat dari data per 19 Agustus 2025 lalu. Pada saat itu, pemerintah sudah memborong SBN pemerintah dengan nilai mencapai Rp186,06 triliun.

    Secara terperinci, pembelian SBN itu terbagi menjadi pembelian dari pasar sekunder sebesar Rp137,8 triliun dan pasar primer dalam bentuk surat perbendaharaan negara (SPN) termasuk syariah Rp48,26 triliun.

    Sebagaimana diketahui, SBN yang diterbitkan pemerintah itu menjadi salah satu instrumen pembiayaan dari APBN.

  • CT Beberkan Tips buat Anak Muda yang Mau Jadi Pengusaha

    CT Beberkan Tips buat Anak Muda yang Mau Jadi Pengusaha

    Jakarta

    Di tengah persaingan mencari pekerjaan yang sulit, Founder and Chairman CT Corp, Chairul Tanjung mendorong generasi muda untuk memulai bisnis usai menamatkan masa pendidikan. Menurutnya, mencari pekerjaan di era sekarang cukup sulit.

    “Jadi, untuk adik-adik, mahasiswa, siswa, saya selalu bilang begini. Kalau sudah selesai (pendidikan), jangan cari kerja. Cari kerja susah sekarang. Jadi ciptakan lapangan kerja. Caranya apa? Jadi wirausaha,” kata CT, sapaan akrabnya, dalam sesi business talk di gelaran LPS Financial Festival 2025 di Medan, Rabu (20/8/2025).

    CT menyarankan para generasi muda untuk tetap melihat peluang dalam keadaan apapun. Menurut dia, sesulit apapun keadaan, ada peluang asalkan dapat menangkap peluang tersebut.

    “Sekarang kan keadaan berubah misalnya, contoh, dengan digitalisasi, itu terjadi perubahan yang sangat luar biasa. Toko-toko fisik sekarang itu terganggu, penjualannya karena penjualan online. Itu memang keniscayaan, karena ada perubahan, pasti cara kita dalam melihat peluang juga berbeda,” jelas CT.

    CT juga menyarankan agar generasi muda tidak khawatir terhadap keadaan atau optimistis. Kesuksesan yang membutuhkan optimisme ini diibaratkan dengan kue donat.

    “Tahu kue donat? ada rotinya, ada bolongnya. Orang yang optimis selalu dapat kuenya, yang tidak optimis dapat bolongnya. Kalau dia optimis pasti kerjakan sesuatu dan itu ada hasilnya sekecil apapun, tapi kalau dia pesimis, ya dapat bolongnya,” imbuh CT.

    “Kalau dia ngerjain sesuatu pasti ada hasilnya. Sekecil apapun pasti ada hasilnya, tapi kalau dia pesimis, dia tidak akan melakukan segala sesuatu. Jadi, do something. Lihat peluangnya. Dalam keadaan apapun peluang selalu ada dan kesempatan itu selalu ada,” terang CT.

    Di era sekarang, CT menilai generasi muda mendapatkan banyak kesempatan untuk berkembang dalam hal keuangan. Kondisi ini berbeda dengan dulu yang mana ia harus mengumpulkan seperak demi seperak.

    CT menekankan pentingnya literasi keuangan. Sebab, literasi keuangan dapat memberikan manfaat ke generasi muda yang menjadi penerus Indonesia. Pertama, terhindar dari penipuan.

    Dengan memahami literasi keuangan, CT menyebut generasi muda dapat mengetahui tawaran-tawaran menggiurkan yang too good to be true alias terlalu bagus untuk menjadi kenyataan. Berdasarkan pengalaman hidupnya, CT menyebut tidak ada sesuatu yang terjadi istimewa dalam kehidupan.

    “Misalnya suku bunga penjaminan 4%, ada bank yang nawarin maksimum anggaplah 7%. Ada yang nawarin 20%. Pasti itu penipuan. Jadi, itu filosofi prinsip. Nah ini gunanya namanya literasi keuangan. Jadi satu menghindari dari yang namanya penipuan-penipuan,” ujar dia.

    Kedua, investasi. CT menjelaskan bagi generasi muda, khususnya mahasiswa dapat memulainya dengan menabung. Berikutnya, bisa meningkat ke jenis investasi lainnya, seperti saham, surat utang pemerintah, hingga surat utang negara.

    “Kalau sudah mulai meningkat, mungkin investasi di saham. Investasi di surat utang pemerintah, surat berharga negara. Bisa investasi di banyak lagi yang namanya financial-financial arms,” tambah CT.

    (rea/ara)

  • Sejak Awal Tahun, BI Sudah Beli Surat Utang Pemerintah Rp 186,06 T

    Sejak Awal Tahun, BI Sudah Beli Surat Utang Pemerintah Rp 186,06 T

    Jakarta

    Bank Indonesia (BI) telah membeli Surat Berharga Negara (SBN) yang diterbitkan pemerintah sebesar Rp 186,06 triliun sejak awal tahun hingga 19 Agustus 2025. Keputusan itu diambil untuk memperkuat operasi moneter dan sinergi erat dengan kebijakan fiskal pemerintah.

    “Selama 2025 data hingga 19 Agustus 2025, BI telah membeli SBN sebesar Rp 186,06 triliun,” kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers virtual, Rabu (20/8/2025).

    Lebih rinci dijelaskan, pembelian itu dilakukan melalui pasar sekunder sebesar Rp 137,8 triliun dan pasar primer dalam bentuk surat perbendaharaan negara (SPN) termasuk syariah sebesar Rp 48,26 triliun.

    Perry memastikan BI akan terus mengoptimalkan bauran kebijakannya untuk tetap menjaga stabilitas dan turut mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

    Lebih dari itu, BI dipastikan mendukung penuh implementasi program Asta Cita di bawah pemerintah Presiden Prabowo Subianto.

    “Ke depan BI akan terus mengoptimalkan strategi operasi moneter pro market untuk meningkatkan likuiditas dan efektivitas transmisi kebijakan moneter, termasuk penurunan suku bunga dan penyaluran kredit untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dengan tetap mencapai sasaran inflasi dan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah,” ucap Perry.

    (aid/rrd)

  • Gali Lubang Tutup Lubang Bayar Bunga Utang APBN Pertama Prabowo

    Gali Lubang Tutup Lubang Bayar Bunga Utang APBN Pertama Prabowo

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto harus gali lubang tutup lubang guna menjaga stabilitas pengelolaan anggaran di tengah penurunan peforma penerimaan pajak, risiko rasio utang, dan membengkaknya alokasi untuk pembayaran bunga utang.

    Sekadar catatan, dalam nota keuangan Rancangan APBN (RAPBN) 2026, pemerintah telah mengalokasikan anggaran pembayaran bunga utang senilai Rp599,4 triliun, naik 8,56% dari outlook tahun 2025 sebesar Rp552,1 triliun. Jumlah itu setara 17,8% dari pagu belanja pemerintah pusat dalam RAPBN 2026 senilai Rp3.136,5 triliun. 

    Rencana alokasi anggaran pembayaran bunga utang tersebut juga sejatinya jauh lebih rendah baik dari sisi pertumbuhan maupun porsinya terhadap belanja pemerintah pusat selama tiga tahun terakhir. 

    Sebagai perbandingan, dengan total outlook senilai Rp552,1 triliun pada APBN 2025, pertumbuhan alokasi anggaran pembayaran bunga utang mencapai 11,5% dan memakan porsi anggaran belanja pemerintah pusat sebesar 20,4%.

    Meski demikian, pagu anggaran pembayaran bunga utang 2026 tetap menjadi salah satu komponen paling dominan dalam struktur belanja pemerintah pusat. Pagu belanja pembayaran bunga utang bahkan lebih besar dibandingkan dengan belanja subsidi atau belanja sosial yang masing-masing hanya dialokasikan senilai Rp318,9 triliun dan Rp167,36 triliun di RAPBN 2026.

    Besarnya porsi pembayaran bunga utang dan kondisi keseimbangan primer yang masih defisit, memaksa pemerintah menarik utang baru pada tahun depan. Menarik utang baru untuk membayar bunga dan cicilan pokok utang lama. Tidak tanggung-tanggung, pemerintah berencana menarik utang senilai Rp781,9 triliun pada tahun 2026 atau paling banyak sejak pandemi berakhir. 

    Dalam catatan Bisnis, pemerintah pernah menarik utang besar saat terjadinya pandemi Covid-19. Pada tahun 2021, misalnya, pemerintah menarik utang hingga Rp870,5 triliun; kemudian turun menjadi Rp696 triliun pada 2022; turun menjadi Rp404 triliun pada 2023; Rp558,1 triliun pada 2024, dan Rp715,5 triliun pada 2025 (outlook).

    Pemerintah dalam penjelasan di Nota Keuangan RAPBN 2026 berdalih bahwa berbagai kebijakan anggaran yang tercantum di RAPBN 2026, termasuk penarikan utang tersebut, memang dirancang untuk mengemban dua agenda utama yaitu meredam gejolak global sekaligus mendukung agenda pembangunan. “Pemerintah memastikan pengelolaan utang berjalan secara prudent, akuntabel, dan terkendali, sehingga dapat dijaga keberlanjutan fiskal,” jelas dokumen tersebut, dikutip Jumat (15/8/2025).

    Khusus soal pengendalian utang, pemerintah bahkan telah menetapkan tiga prinsip utama. Pertama, akseleratif dengan memanfaatkan utang sebagai katalis percepatan pembangunan dan menjaga momentum pertumbuhan. Kedua, efisien dengan memperhatikan penerbitan utang dengan biaya yang minimal melalui pengembangan dan pendalaman pasar keuangan dan diversifikasi instrumen utang.

    Ketiga, seimbang dengan menjaga portofolio utang pemerintah yang optimal pada keseimbangan antara biaya minimal dengan tingkat risiko yang dapat ditoleransi dalam rangka mendukung keberlanjutan fiskal.

    Mimpi Presiden Prabowo 

    Menariknya, di tengah kondisi anggaran yang diperkirakan sampai tahun depan masih gali lubang tutup lubang, Presiden Prabowo Subianto mengungkap keinginannya untuk menekan defisit sekecil mungkin bahkan kalau perlu tidak ada defisit setidaknya pada tahun 2027-2028.

    “Defisit ini ingin kami tekan sekecil mungkin. Adalah cita-cita saya, suatu saat—apakah dalam 2027 atau 2028—saya ingin berdiri di majelis ini, menyampaikan bahwa kita berhasil punya APBN yang tidak ada defisitnya sama sekali,” ujar Prabowo di Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (15/8/2025).

    Namun demikian dengan besarnya porsi pembayaran bunga utang, peforma penerimaan pajak yang loyo, hingga kebutuhan belanja untuk membiayai program-program ambisius pemerintah, mimpi Presiden Prabowo masih panggang jauh dari api. Apalagi rasio pajak pemerintah sampai sekarang masih terjebak di kisaran 10-11% dari produk domestik bruto (PDB).

    Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah menjelaskan bahwa pemerintah akan melihat terlebih dahulu perkembangan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2026, baru memikirkan defisit tahun-tahun setelahnya, termasuk soal tak ada lagi defisit atau anggaran berimbang (balance budget) APBN.

    “Untuk balance budget 2—3 tahun, kita lihat di 2026 dulu ya, belum mulai 2026 sudah mikir 2—3 tahun. Namun, saya melihat sinyal dari presiden, jadi nanti kita juga akan siapkan sesuai tadi yang diharapkan, tetapi kita lihat setahap demi setahap,” ujar Sri Mulyani pada Jumat (15/8/2025).

    Sri Mulyani menyebut bahwa 2025 pun masih tersisa beberapa bulan dan Kemenkeu selaku pengelola fiskal harus terus mengawalnya dengan ketat. Oleh karena itu, saat ini pihaknya akan fokus menjalankan APBN 2025 dan menyiapkan APBN 2026.

    Meskipun begitu, dia menyebut bahwa selaku anak buah Prabowo, jajaran Kemenkeu akan tetap mengkaji strategi untuk bisa mencapai balance budget, yakni defisit APBN menjadi 0% atau bahkan menjadi surplus.

    “Kemudian direction yang dimintakan tadi oleh bapak presiden untuk suatu saat Indonesia balance budget saya rasa itu adalah sesuatu yang nanti harus kita terus hitung, dan nanti pasti dilaporkan kepada presiden,” ujarnya.

    Bukan Pekerjaan Mudah 

    Sementara itu, ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menuturkan bahwa untuk menekan defisit, pemerintah salah satunya harus meningkatkan penerimaan pajaknya dengan optimal. Hal tersebut dapat ditempuh dengan mengenakan pajak yang cukup tinggi kepada masyarakat.

    Di sisi lain, pemerintah juga harus berupaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan pendapatan pajak yang diperoleh.

    “Apakah kemudian masyarakat siap dipajakin untuk mengejar target defisit 0%? Saya kira secara politik itu tidak populer. Kalau misalnya pajaknya besar dan tingkat kesejahteraannya tidak naik, saya kira cukup sulit,” kata Yusuf saat ditemui di kantor Bisnis Indonesia, Jakarta pada Jumat (15/8/2025).

    Yusuf melanjutkan, melihat dari komponen penyumbang pajak, sektor-sektor yang pertumbuhan pemungutannya tinggi dalam beberapa tahun terakhir justru memiliki kontribusi yang relatif minim. Dia menuturkan, karakteristik ini kebanyakan terlihat pada sektor-sektor jasa.

    Sebaliknya, sektor yang kontribusi pajaknya besar memiliki pertumbuhan pemungutan yang rendah, seperti manufaktur, perdagangan, dan lainnya.

    “Melihat kondisi tersebut cukup sulit untuk kemudian mencapai target defisit 0%,” lanjutnya.

  • Pemerintah bidik rasio utang 39,96 persen dari PDB pada 2026

    Pemerintah bidik rasio utang 39,96 persen dari PDB pada 2026

    Rasio utang masih di 39,96 persen, tidak ada perubahan dalam tiga tahun terakhir

    Jakarta (ANTARA) – Pemerintah membidik rasio utang berada pada level 39,96 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026.

    “Rasio utang masih di 39,96 persen, tidak ada perubahan dalam tiga tahun terakhir,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Konferensi Pers RAPBN dan Nota Keuangan 2026 di Jakarta, Jumat.

    Untuk mengendalikan rasio utang, pemerintah bakal mengutamakan sumber utang dalam negeri, mengembangkan pembiayaan inovatif dan mengelola portofolio utang secara aktif.

    Lebih lanjut, kebijakan pembiayaan anggaran pada 2026 juga akan mengarah pada optimalisasi dan sinergi badan layanan umum (BLU), special mission vehicle (SMVs), Indonesian Investment Authority (INA), dan Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara.

    Sisa anggaran lebih (SAL) juga akan dimanfaatkan sebagai bantalan fiskal atau fiscal buffer.

    Selain itu, pemerintah berencana untuk meningkatkan akses pembiayaan investasi, memperdalam pasar keuangan domestik, dan mendorong pembiayaan inovatif termasuk Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU).

    Sebagai catatan, selama periode 2021 hingga semester I-2025, rasio utang pemerintah relatif rendah, yakni berada pada kisaran 39 persen.

    Dikutip dari Buku II Nota Keuangan beserta RAPBN Tahun Anggaran 2026, rasio utang sempat mencapai 40,7 persen pada 2021 sebagai dampak program pemulihan ekonomi nasional akibat pandemi COVID-19.

    Namun, angkanya kembali turun di bawah 40 persen pada akhir tahun 2024 yang mencapai 39,8 persen.

    Jika dibandingkan dengan negara sejawat di kawasan, rasio utang Indonesia relatif rendah, yakni sedikit lebih tinggi dari Vietnam yang berada di level 32,9 persen. Sementara sebagian besar negara lain mencatatkan rasio utang di atas kisaran 60 persen.

    Adapun defisit RAPBN 2026 mencapai Rp636,8 triliun atau 2,48 persen PDB, yang diperoleh dari target pendapatan negara Rp3.147,7 triliun dan belanja negara Rp3.786,5 triliun.

    Pewarta: Imamatul Silfia
    Editor: Agus Salim
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • 100 Hari Kanselir Merz, Ada Retakan di Pemerintahan Jerman?

    100 Hari Kanselir Merz, Ada Retakan di Pemerintahan Jerman?

    Jakarta

    Sebelum genap 100 hari pun, surat kabar bersirkulasi terbesar di Jerman, Bild, sudah menjatuhkan vonis terhadap masa jabatan Kanselir Jerman Friedrich Merz.

    Harian konservatif itu menyebut Merz sebagai “kanselir yang kesepian harus menjelaskan kesalahan terbesarnya,” demikian bunyi editorial Bild pekan ini. Pernyataan itu merujuk pada keputusan Merz untuk menghentikan pengiriman senjata tambahan ke Israel yang berpotensi digunakan dalam perang di Gaza.

    Pembatasan ekspor senjata ke Israel diputuskan Merz tanpa melalui pembahasan internal di Partai CDU. Menurut Bild, dia juga tidak melibatkan rekan koalisi Uni Kristen Sosial (CSU) dalam pembuatan keputusan.

    Polemik itu menjadi salah satu dari serangkaian keputusan mendadak dan perubahan arah yang ditetapkannya sejak menjabat.

    Masa jabatan Friedrich Merz sejak awal dimulai dengan gejolak. Setelah pemilu pada 23 Februari 2025, ketika Bundestag berkumpul untuk memilih kepala pemerintahan, banyak pengamat saat itu berharap akan munculnya stabilitas politik.

    Pemerintahan sebelumnya yang terdiri dari koalisi sayap kiri-tengah, yakni Partai SPD, Partai Hijau, dan Partai Liberal Demokrat (FDP), runtuh hanya dalam tiga tahun, usai diwarnai pertikaian internal, terutama soal anggaran.

    Sementara itu, partai sayap kanan AfD berhasil menggandakan perolehan suara menjadi 20,8%. Survei dari lembaga Forsa awal Agustus 2025 bahkan menempatkan AfD di atas CDU/CSU, dengan dukungan 26% dibanding 24%.

    Utang pemerintah Jerman membengkak

    Pemerintah baru Merz sudah berusaha membuat gebrakan sebelum dilantik. Bersama Partai Hijau, yang kini berada di oposisi, koalisi CDU/CSU dan SPD berhasil menggalang mayoritas dua pertiga suara di Bundestag untuk mencabut pembatasan utang negara, meski selama kampanye berjanji untuk melindungi “rem utang” dalam konstitusi.

    Alhasil, pemerintahannya kini memiliki tambahan dana sebesar €500 miliar (sekitar Rp8,7 kuadriliun). Secara teori, batasan utang kini tidak lagi berlaku untuk kebijakan modernisasi angkatan bersenjata. Ditambah lagi anggaran sebesar €500 miliar (sekitar Rp8,7 kuadriliun) untuk infrastruktur seperti jalan, rel kereta api, dan sekolah, hingga membiayai inisiatif perlindungan iklim.

    Menteri Keuangan baru dari Partai SPD, Lars Klingbeil, mengatakan “lembaga OECD, Dana Moneter Internasional, Komisi Eropa, atau G7, dalam beberapa tahun terakhir, semua telah mendorong dan menyarankan Jerman untuk berinvestasi lebih banyak dan membuat aturan utang kami lebih fleksibel. Itu tidak mungkin dilakukan awalnya. Namun di pemerintahan sekarang, kami akhirnya melonggarkan aturan tersebut dan kami berinvestasi lebih banyak dari sebelumnya untuk kelangsungan masa depan Jerman.”

    Koalisi pemerintah juga telah melanggar janji kampanye lain, yakni keringanan dalam tarif listrik bagi masyarakat. Alih-alih, pemerintah mengumumkan pengurangan pajak listrik hanya untuk sektor industri, pertanian, dan kehutanan, dengan alasan tidak ada anggaran untuk pengurangan harga listrik secara menyeluruh.

    Fokus dalam kebijakan luar negeri

    Dalam 100 hari pertama, Merz banyak berkutat dalam urusan luar negeri. Tak lama setelah terpilih, dia melakukan kunjungan penting ke ibu kota Kyiv bersama Presiden Prancis Emmanuel Macron dan Perdana Menteri Inggris Keir Starmer untuk menunjukkan solidaritas Eropa kepada Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy.

    Pada awal Juni 2025, dia bertemu Presiden AS Donald Trump di Gedung Putih dan mendapat sambutan hangat, yang terkesan kontras dengan sejumlah pemimpin lain. Merz juga tampak percaya diri dalam KTT Uni Eropa dan NATO.

    Sikap Merz yang sangat vokal dalam isu geopolitik membuat peran Menteri Luar Negeri Johann Wadephul acap tersisih. Kadang, pilihan kata Merz yang blak-blakan memicu kontroversi, seperti saat dia menyebut serangan Israel ke Iran pada 13 Juni 2025 sebagai “pekerjaan kotor yang dilakukan Israel untuk kita semua. Kita juga korban rezim ini. Rezim mullah ini telah membawa kematian dan kehancuran ke dunia. Dengan serangan, darah, dan gemuruh. Dengan Hizbullah, dengan Hamas.”

    Pembatasan imigrasi

    Pada urusan dalam negeri, isu pengendalian imigrasi ilegal menjadi fokus utama pemerintahan baru Jerman. Menteri Dalam Negeri Alexander Dobrindt dari Partai CSU bergerak cepat memperketat kontrol perbatasan, termasuk menolak permohonan suaka. Kebijakan ini juga dikritik karena dianggap melanggar hukum Uni Eropa (UE).

    Polandia, jiran di perbatasan timur, merespons keputusan Jerman dengan menerapkan kontrol perbatasan yang menyebabkan kemacetan panjang. Dobrindt membela kebijakannya dengan mengatakan “UE adalah kawasan yang terbuka. Namun, kami tidak ingin penyelundup ilegal, perdagangan manusia dan geng kriminal yang menentukan siapa yang boleh masuk ke wilayah (Jerman). Kami ingin keputusan politik yang menetapkan jalur legal ke Eropa, bukan menyerahkannya pada kejahatan.”

    Retakan dalam koalisi

    Sidang terakhir Bundestag sebelum libur musim panas ditutup dengan ketegangan. Agenda utama adalah pengangkatan tiga hakim baru untuk Mahkamah Konstitusi Federal. Biasanya, koalisi menyepakati nama-nama secara damai demi menjaga reputasi lembaga tinggi tersebut.

    Namun, kali ini, puluhan anggota konservatif menolak calon dari Partai SPD, Frauke Brosius-Gersdorf, meski sudah disetujui oleh komite bipartisan. Penolakan dipicu oleh kampanye di media sosial sayap kanan yang menyalahartikan pandangannya soal aborsi. Pada hari pemungutan suara, muncul tuduhan plagiarisme yang meragukan dan pemilihan pun dibatalkan.

    Partai SPD menyebut situasi itu sebagai pelanggaran kepercayaan serius. Meski Partai SPD tetap mendukung, Brosius-Gersdorf akhirnya menarik pencalonannya. Masalah penunjukan hakim ini akan berlanjut setelah masa reses musim panas dan menjadi krisis besar pertama dalam koalisi, yang mencoreng kinerja pemerintahan Merz setelah 100 hari menjabat.

    Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Jerman.

    Diadaptasi oleh: Muhammad Hanafi

    Editor: Rizki Nugraha

    (ita/ita)

  • Kurva Terbalik Efisiensi Anggaran, Defisit APBN Justru Membengkak

    Kurva Terbalik Efisiensi Anggaran, Defisit APBN Justru Membengkak

    Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) secara agresif melakukan efisiensi belanja untuk mendukung program prioritas Presiden Prabowo Subianto. Ironisnya, aksi gencar efisiensi belanja itu dilakukan ketika outlook defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 terkerek naik dari 2,53% menjadi 2,78% dari produk domestik bruto (PDB).

    Pelebaran ruang fiskal di tengah beban anggaran yang cukup besar dan penerimaan pajak yang terkontraksi hingga 7% pada semester 1/2025, tentu berisiko. Outlook defisit anggaran yang mencapai 2,78% dari PDB juga tercatat tertinggi dalam tiga tahun terakhir.

    Risiko lainnya, pemerintah harus menambah utang yang diperkirakan mencapai Rp772,9 triliun sampai akhir tahun. Meski lebih rendah dari target senilai Rp775,9 triliun, outlook utang pemerintah 2025 diperkirakan mengerek rasio utang terhadap PDB hingga 41,6%. Alhasil, sebagai jalan pintas, pemerintah kemudian menggunakan sisa anggaran lebih alias SAL tahun 2024 senilai Rp85,6 triliun untuk meminimalkan risiko fiskal akibat pembengkakan utang dan menjaga defisit di bawah 3% dari PDB.

    Di sisi lain, melalui implementasi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.56/2025 yang mengatur efisiensi belanja, pemerintah sejatinya telah memberikan sinyal bahwa efisiensi anggaran kemungkinan terjadi lebih radikal atau sebaliknya, karena dalam Pasal 4 ayat 6 PMK tersebut, pelaksanaan efisiensi akan memperhitungkan penerimaan pajak secara keseluruhan.

    “PMK ini menegaskan bahwa pelaksanaan kebijakan efisiensi harus mempertimbangkan pencapaian target penerimaan perpajakan secara keseluruhan,” kata Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu Deni Surjantoro kepada Bisnis belum lama ini.

    Aturan PMK Efisiensi

    Sekadar informasi bahwa pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.56/2025 tentang Tata Cara Pelaksanaan Efisiensi Belanja dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara alias APBN.

    Lewat aturan tersebut, Kemenkeu menekankan bahwa efisiensi belanja dimaksudkan untuk menjaga keberlanjutan fiskal dan mendukung program prioritas pemerintah. Cakupan anggaran belanja yang terdampak efisiensi antara lain anggaran belanja kementerian atau lembaga, dan efisiensi transfer ke daerah. 

    Menariknya di dalam beleid itu, Sri Mulyani tidak memasukkan anggaran belanja lainnya dalam pos anggaran yang kena efisiensi. Itu artinya ada pengurangan item belanja kena efisiensi dari 16 menjadi 15 pos dibandingkan yang tertera dalam Surat Menkeu No: S-37/MK.02/2025. 

    Adapun kalau merujuk beleid baru tersebut, pos-pos anggaran yang kena efisiensi antara lain, alat tulis kantor; kegiatan seremonial; rapat, seminar, dan sejenisnya; kajian dan analisis; diklat dan bimtek; honor output kegiatan dan jasa profesi; percetakan dan souvenir; sewa gedung, kendaraan, dan peralatan. Selanjutnya, lisensi aplikasi; jasa konsultan; bantuan pemerintah; pemeliharaan dan perawatan; perjalanan dinas; peralatan dan mesin; infrastruktur.

    Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati

    Meski demikian, aturan baru tersebut juga tidak menyebut secara spesifik berapa nilai besaran anggaran yang terdampak efisiensi. PMK itu hanya menekankan bahwa Menteri Keuangan (Menkeu) bisa menyesuaikan item anggaran yang terkena efisiensi sesuai arahan presiden. 

    Selain itu, meski tetap merujuk kepada kebijakan efisiensi anggaran yang ditetapkan oleh presiden, aturan itu memberikan kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk menetapkan besaran efisiensi anggaran dan menyampaikannya kepada masing-masing kementerian atau lembaga. 

    Catatan Ekonom Soal Efisiensi

    Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. Josua Pardede memberikan empat poin catatan bagi pemerintah untuk melaksanakan efisiensi belanja ke depannya. Pertama, penerapan efisiensi jangan diberlakukan secara keseluruhan di seluruh pos anggaran atau across-the-board. 

    Sebab, Instruksi Presiden (Inpres) No.1/2025 yang menjadi acuan efisiensi belanja pemerintah pada awal tahun ini memasukkan pembangunan infrastruktur dan pengadaan peralatan/mesin ke dalam area identifikasi. “Sehingga ada risiko salah sasaran bila pemangkasan tak berbasis output,” jelas Josua.

    Kedua, percepatan realokasi dan lelang agar pergeseran ke belanja modal atau capital expenditure (capex) tidak menimbulkan pengeluaran yang rendah (low disbursement) di paruh kedua. Josua mewanti-wanti pemerintah agar menggunakan mekanisme ‘blokir-buka’ anggaran yang  yang cepat, bukan penahanan berkepanjangan. 

    Ilustrasi pembangunan

    Ketiga, layanan dasar yang meliputi pendidikan, kesehatan, perlindungan sosial, serta proyek yang didanai skema khusus seperti pinjaman/hibah/BLU/SBSN sesuai koridor Inpres/PMK. Keempat, penguatan terhadap reviu belanja secara kuartalan berbasis kinerja. Hal itu termasuk koordinasi dengan daerah saat penyesuaian transfer ke daerah (TKD). 

    “Agar efisiensi benar-benar menekan biaya input seremonial/operasional, bukan mengorbankan output pelayanan publik atau serapan capex yang menopang investasi,” ujar Josua.

    Menurut pengamatan Josua, arah kebijakan efisiensi yang diatur pada PMK No.56/2025 dalam melanjutkan mandat Inpres No.1/2025 itu relatif tepat sasaran. Sebab, PMK yang baru diterbitkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati akhir Juli lalu itu secara eksplisit menyasar pos-pos dengan efek berganda atau multiplier effect rendah di belanja barang/jasa dan sebagian belanja modal (perjalanan dinas, rapat/semiloka, sewa, jasa profesional, iklan/publikasi, pengadaan kendaraan, percetakan/souvenir, dan lain-lain).

    Penerimaan Pajak Jadi Kunci

    Sementara itu, peneliti Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menuturkan bahwa defisit anggaran dipengaruhi oleh beberapa faktor. Tahun depan, pemerintah akan melanjutkan sejumlah program unggulan atau prioritas yang mulai dijalankan tahun ini.

    Program tersebut menurutnya juga akan mengalami penyesuaian target penerima, yang berpotensi bertambah. Peningkatan jumlah penerima ini akan mendorong kebutuhan anggaran lebih besar untuk belanja prioritas.

    Di sisi lain, tantangan pada pos penerimaan pajak diperkirakan masih akan berlanjut tahun depan. Indikator tax buoyancy yang rendah menunjukkan bahwa pertumbuhan PDB belum mampu secara signifikan meningkatkan penerimaan pajak. Kondisi ini dipengaruhi antara lain oleh tingginya tingkat informalitas di sektor usaha serta kebutuhan pemberian insentif pajak.

    Terkait efisiensi, pemerintah akan mengarahkannya pada pos-pos yang tidak berhubungan langsung dengan program prioritas, seperti perjalanan dinas, rapat, seminar, dan belanja barang.

    “Namun, porsi pos-pos ini relatif kecil terhadap total anggaran, sehingga dampak efisiensinya terhadap penurunan belanja secara keseluruhan tidak signifikan. Hal ini karena belanja terbesar tetap dialokasikan untuk program-program utama yang tidak termasuk dalam kebijakan efisiensi.”