Topik: Utang Pemerintah

  • Mantap, Rupiah Menguat ke Level 16.680 per USD – Page 3

    Mantap, Rupiah Menguat ke Level 16.680 per USD – Page 3

    Untuk faktor internal, yakni pentingnya konsistensi sinyal kebijakan fiskal dan moneter untuk menjaga stabilitas rupiah di tengah penguatan dolar AS dan gejolak pasar global. Instrumen Bank Indonesia (BI) dan pemerintah sudah memadai, tetapi koordinasi dan komunikasi perlu diperkuat agar ekspektasi pasar terkendali.

    BI sudah penggunaan seluruh instrumen stabilisasi nilai tukar, mulai intervensi dipasar spot, Non Deliverable Forward (NDF) onshore atau offshore, hingga pembelian Surat Berharga Negara (SBN), namun mata uang rupiah mendekati Rp.16.800 per USD, melemah lebih dari 3 persen secara year-to-date.

    Di sisi bantalan eksternal, cadangan devisa Agustus tercatat USD150,7 miliar, turun dari Juli karena pembayaran utang pemerintah dan langkah stabilisasi, namun masih jauh di atas standar kecukupan internasional. Dari sisi fiskal, defisit APBN Januari hingga Agustus mencapai 1,35 persen PDB atau Rp321,6 triliun dengan penerimaan turun 7,8 persen (yoy) dan belanja naik 1,5 persen (yoy).

     

  • Sri Mulyani Zaman SBY Jadi Menkeu, Era Jokowi Jadi Kasir Penguasa

    Sri Mulyani Zaman SBY Jadi Menkeu, Era Jokowi Jadi Kasir Penguasa

    GELORA.CO  – Analis kebijakan publik Said Didu mengungkapkan perbedaan Sri Mulyani Indrawati saat menjabat sebagai Menteri Keuangan (Menkeu) era Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi). Menurut dia, Sri Mulyani bertugas sebagai Menkeu saat era SBY, namun berubah menjadi kasir penguasa semasa pemerintahan Jokowi.

    “Saya menyatakan Sri Mulyani itu waktu SBY dia Menteri Keuangan, tapi setelah Jokowi menjadi kasir penguasa. Beda sekali,” ujar Said Didu dalam program Rakyat Bersuara bertajuk Di Balik Ganti Menteri, Ada ‘Bersih-Bersih’? yang tayang di iNews, Selasa (23/9/2025).

    Dia lantas mencontohkan perbedaan Sri Mulyani di era SBY dan Jokowi. Semasa pemerintahan SBY, kata dia, Sri Mulyani tegas menolak menganggarkan uang untuk pembangunan monorail.

    “Saya kasih contoh ke publik, Bapak masih lihat monorail yang mangkrak dari mana tiangnya? Kuningan. Itu saat saya rapat dengan Sri Mulyani, dengan JK, JK minta, ‘Bisa gak dikasih subsidi?’ Bu Sri menyatakan, ‘Tidak bisa, kalau Bapak mau paksakan, Bapak saja Menteri Keuangan,’ saking sebagai Menteri Keuangan, (berucap seperti itu) ke Pak JK,” kata Said Didu.

    Sedangkan saat pemerintahan Jokowi, kata dia, Sri Mulyani mau menganggarkan proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung alias Whoosh.

    “Pada saat Joko Widodo kereta api cepat yang tidak layak digelontorin. Itu rakyat paham betul perbedaannya,” tutur dia.

    Dia kemudian menjabarkan kondisi fiskal saat Sri Mulyani awal menjabat Menkeu pada 2004 dan saat ini. Saat Sri Mulyani awal menjabat, utang pemerintah masih sebesar Rp1.600 triliun.

    Namun kini, utang pemerintah menembus angka Rp10.000 triliun.

    “Utang pemerintah lho ya. Bunga saat masuk itu kira-kira hanya 1-2 persen, bunga utang saat keluar itu 7 persen. Hasilnya apa?” kata Said Didu.

    Merespons pernyataan itu, Koordinator Rumah Juang Prabowo-Gibran, Andi Azwan menilai Said Didu salah kaprah soal Sri Mulyani.

    “Bung Said Didu bicara itu memang ada juga benarnya, tapi juga banyak gak benarnya,” kata Azwan.

    Dia mengakui perlu ada penyegaran pada jabatan Menkeu karena sudah dijabat Sri Mulyani selama 14 tahun. Namun di sisi lain, prestasi-prestasi Sri Mulyani selama menjabat perlu diapresiasi.

    Dia mencontohkan kala Sri Mulyani berhasil menjaga fiskal negara saat pandemi Covid-19 melanda.

    “Kita juga apresiasi kepada beliau bagaimana menahan fiskal itu pada zaman Covid-19, sehingga kita bisa keluar dari Covid itu. Itu satu apresiasi juga kepada beliau,” tutur dia

  • Kemenkeu Sudah Tarik Utang Rp 463,7 T

    Kemenkeu Sudah Tarik Utang Rp 463,7 T

    Jakarta

    Kementerian Keuangan menarik utang Rp 463,7 triliun hingga Agustus atau selama 8 bulan pertama 2025. Utang pemerintah naik 33,4% dibandingkan periode yang sama tahun lalu (year-on-year/YoY) mencapai Rp 347,6 triliun.

    Wakil Menteri Keuangan II Thomas Djiwandono mengatakan, realisasi penarikan utang hingga Agustus 2025 mencapai Rp 463,7 triliun atau 59,8% dari porsi APBN 2025 yang mencapai Rp 775,9 triliun.

    “Pembiayaan utang sebesar Rp 463,7 triliun atau 59,8% dari target APBN,” ujar Thomas, dalam Konferensi Pers APBN KiTa di Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Senin (22/9/2025)

    Sedangkan pembiayaan non-utang minus Rp 38 triliun atau 23,8% dari APBN. Pembiayaan non-utang ini artinya tidak menambah utang melainkan berinvestasi di sektor tertentu.

    Dengan realisasi pembiayaan utang dan non-utang seperti yang disebutkannya, secara keseluruhan realisasi pembiayaan hingga 31 Agustus 2025 mencapai Rp 425,7 triliun, 69,1% dibandingkan dengan pagu Rp 616,2 triliun. Angka ini naik 44,3% dibandingkan realisasi 31 Agustus 2024 yang mencapai Rp 295 triliun.

    Secara keseluruhan, pendapatan negara sampai 31 Agustus 2025 mencapai Rp 1.638,7 triliun atau 57,2% dari outlook, sementara belanja negara terealisasi Rp 1.960,3 triliun atau 55,6% dari outlook.

    Lebih rinci diketahui, pendapatan negara yang terkumpul Rp 1.638,7 triliun berasal dari penerimaan pajak Rp 1.135,4 triliun, kepabeanan dan cukai Rp 194,9 triliun, serta Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Rp 306,8 triliun.

    Sementara itu, belanja negara Rp 1.960,3 triliun berasal dari belanja pemerintah pusat Rp 1.388,8 triliun, serta transfer ke daerah Rp 571,5 triliun.

    Keseimbangan primer berada pada posisi Rp 22 triliun. Sedangkan defisit tercatat hingga 31 Agustus 2025 mencapai Rp 321,6 triliun atau setara dengan 1,35% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

    (shc/ara)

  • OPINI: Beban Utang Luar Negeri

    OPINI: Beban Utang Luar Negeri

    Bisnis.com, JAKARTA – Posisi Utang Luar Negeri Indonesia per Juli 2025 di laporkan menurun. Posisi utang luar negeri (ULN) Indonesia pada Juli 2025 tercatat sebesar US$432,5 miliar, menurun dibandingkan dengan posisi Juni 2025 sebesar US$434,1 miliar.

    Meski jumlah utang luar negeri turun, tetapi bukan berarti kita benar-benar aman dari tekanan utang luar negeri.

    Postur APBN Indonesia diakui atau tidak hingga kini masih terus tertekan karena dibebani utang luar negeri yang jatuh tempo dalam jumlah yang besar. Dalam rapat kerja Komisi X DPR dengan Menteri Keuangan baru Purbaya Yudhi Sadewa di Senayan tanggal 8 September 2025 lalu, sejumlah anggota DPR mengingatkan tentang bahaya resiko gagal bayar (default). Sebagai Menkeu, Purbaya diminta memikirkan skenario pengurangan utang luar negeri, terutama untuk mengurangi rasio utang terhadap PDB. Utang luar negeri yang terlampau besar, bukan tidak mungkin akan menyebabkan kondisi ekonomi nasional tidak sehat karena beban pembayaran utang dan cicilan utang yang terlampau besar.

    Ketergantungan terhadap utang yang terus terjadi dari tahun ke tahun, dikhawatirkan akan mendorong Indonesia terjerumus menanggung beban pembiayaan pembangunan yang tidak signifikan mendorong pertumbuhan ekonomi. Pergantian Menkeu adalah momentum untuk menakar ulang dan merumuskan strategi yang lebih efektif untuk melepaskan diri dari ketergantungan utang luar negeri. Mungkinkah?

    Menurut Bank Indonesia, secara tahunan, utang luar negeri Indonesia tumbuh 4,1% (YoY), melambat dibandingkan pertumbuhan 6,3% (YoY) pada Juni 2025. Perkembangan tersebut terutama bersumber dari perlambatan pertumbuhan utang luar negeri sektor publik. Sedangkan untuk utang luar negeri pemerintah pada Juli 2025 tercatat sebesar US$211,7 miliar, atau tumbuh sebesar 9,0% (YoY), lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan 10,0% (YoY) pada Juni 2025.

    Perkembangan tersebut dipengaruhi oleh perlambatan pertumbuhan posisi pinjaman luar negeri dan surat utang pemerintah. Sebagai salah satu instrumen pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dikelola secara cermat, terukur, dan akuntabel, pemanfaatan utang luar negeri terus diarahkan pemerintah untuk mendukung pembiayaan sektor produktif dalam menjaga momentum pertumbuhan perekonomian Indonesia.

    Posisi utang luar negeri pemerintah relatif terjaga karena didominasi utang jangka panjang dengan pangsa mencapai 99,9% dari total utang luar negeri pemerintah.

    Untuk utang luar negeri swasta per Juli 2025 tercatat stabil dibandingkan bulan sebelumnya pada kisaran 195,6 miliar dolar AS, atau mengalami kontraksi pertumbuhan sebesar 0,3% (YoY). Berdasarkan sektor ekonomi, pangsa utang luar negeri swasta terbesar berasal dari Sektor Industri Pengolahan; Jasa Keuangan dan Asuransi; Pengadaan Listrik dan Gas; serta Pertambangan & Penggalian, dengan pangsa mencapai 80,4% terhadap total utang luar negeri swasta.

    Pemerintah mengklaim bahwa struktur utang luar negeri Indonesia masih dalam kategori sehat. Tetapi, bukan berarti utang luar negeri Indonesia benar-benar aman. Saat ini, beban pembayaran utang dan bunga utang yang harus dibayar pemerintah sesungguhnya sudah mencapai Rp1.300 triliun. Pada 2025, pemerintah diperkirakan harus membayar bunga utang Rp552,1 triliun atau 16% dari total belanja negara. Padahal angka amannya di kisaran 10%. Selain itu, debt service ratio (DSR) atau rasio pembayaran utang terhadap penerimaan negara juga jauh di atas di batas aman 25%.

    Bagi Indonesia, kewajiban membayar utang pokok dan cicilan utang sesungguhnya adalah beban yang berat, terutama ketika sumber-sumber penerimaan APBN tidak tercapai sebagaimana diharapkan. Untuk membiayai delapan program prioritas pemerintah kita tahu dibutuhkan dana yang sangat besar, yakni sekitar Rp3.000 triliun. Ketika alokasi APBN yang diperuntukkan untuk membayar utang luar negeri besar, maka resikonya alokasi dana untuk program pembangunan menjadi tidak terlampau signifikan.

    Sejumlah risiko yang harus ditanggung Indonesia ketika utang luar negeri terlampau besar, antara lain adalah: Pertama, utang luar negeri yang besar dapat memengaruhi stabilitas moneter, sehingga bukan tidak mungkin akan meningkatkan risiko terjadinya inflasi dan depresiasi mata uang. Kedua, utang luar negeri yang terlampau besar, niscaya akan membuat posisi Indonesia lemah dan tergantung pada kreditur luar negeri. Pengalaman telah banyak membuktikan ketika kita terlalu tergantung pada utang luar negeri, maka langsung maupun tidak langsung akan mengurangi kemampuan Indonesia untuk mengambil ke putusan ekonomi yang independen. Ketiga, utang luar negeri yang besar menyebabkan beban pembayaran utang menjadi berat, sehingga mengurangi kemampuan negara untuk membiayai program-program pembangunan lainnya.

    Bagi Indonesia, kebutuhan membiayai pro-gram-program pembangunan yang gigantis, umumnya menyedot alokasi dana yang besar.

    ALTERNATIF

    Untuk memastikan agar beban utang luar negeri tidak makin berat, tentu yang dibutuhkan adalah bagaimana mengelola utang dengan bijak sembari mencari jalan keluar dari ketergantungan akan utang. Selain mempertimbangkan kemampuan membayar dan memilih utang dengan suku bunga yang rendah dan jangka waktu yang panjang, yang tak kalah penting adalah bagaimana mencari alter-natif sumber pembiayaan di luar utang.

    Indonesia agar dapat lepas dari ketergantungan utang, tentu harus dapat meningkatkan pendapatan negara. Sumber-sumber pendapatan alternatif, seperti pajak, ekspor dan sumber daya alam jika dikelola dengan baik niscaya akan dapat mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri. Di samping itu, satu hal yang tak kalah penting adalah bagaimana memastikan agar pengelolaan utang dan anggaran pembangunan benar-benar dilakukan secara transparan.

    Tanpa adanya transparansi dan kemampuan untuk mencari sumber pendanaan alternatif, jangan harap Indonesia mampu keluar dari beban utang luar negeri yang terus menghantu

  • Ketika Amerika Serikat Lebih Mirip Emerging Market

    Ketika Amerika Serikat Lebih Mirip Emerging Market

    Bisnis.com, JAKARTA — Apakah 200 bps Spread Terlalu Tipis untuk Bullish? Banyak pelaku pasar buru-buru menyimpulkan bahwa spread yield INDOGB 10 tahun terhadap US Treasury yang kini hanya 200 bps—terendah dalam sejarah—sudah terlalu tipis untuk tetap bullish. Alasannya sederhana: rata-rata dua dekade terakhir ada di kisaran 500 bps. Tapi pasar tidak hidup di masa lalu. Seperti kata Warren Buffett, “If past history was all there was to the game, the richest people would be librarians.”

    Fenomena penyempitan spread bukan hanya terjadi di Indonesia. Filipina, Malaysia, hingga Thailand mengalami hal serupa. Bahkan, di Malaysia dan Thailand, yield 10 tahun obligasi pemerintahnya sudah berada di bawah yield US Treasury. Investor di sana rela menerima negative risk premium. Artinya, rendahnya spread Indonesia bukan tanda valuasi kita sudah tidak menarik, melainkan cerminan bahwa yang “bermasalah” justru ada di Amerika Serikat. Defisit fiskal AS yang terus melebar, ketidakpastian politik, hingga penurunan sovereign rating telah membuat profil pembiayaan AS semakin menyerupai EMs.

    Amerika Semakin Mirip Emerging Market (EM). Gejala ini makin kentara dalam beberapa aspek. Pertama, defisit fiskal yang kronis memaksa pemerintah AS menerbitkan surat utang dalam jumlah masif. Tidak heran kini pasar mulai menaruh perhatian serius pada isu debt sustainability Amerika, persis seperti cara mereka menilai risiko kredit negara-negara EM.

    Kedua, ketidakpastian politik dan kebijakan membuat AS kehilangan citra sebagai safe haven. Pergantian arah kebijakan yang kerap ekstrem—mulai dari tarif impor, perubahan pajak, drama plafon utang, hingga ancaman government shutdown—semua menambah uncertainty premium pada U.S. Treasury.

    Ketiga, tekanan terhadap dolar. Di banyak negara EM, dominasi fiskal sering berujung pada pelemahan mata uang. Pola ini kini juga terlihat di AS. Meski suku bunga sudah naik tajam, dolar justru sempat melemah, mendorong investor global melakukan diversifikasi ke emas, obligasi EM, dan aset berbasis mata uang lokal.

    Keempat, soal kualitas kredit. Dulu AS identik dengan “risk-free premium.” Namun serangkaian penurunan peringkat—dari S&P pada 2011, Fitch pada 2023, hingga Moody’s pada 2024— menunjukkan bahwa posisi kredit AS makin merosot. Akibatnya, Treasuries kini diperdagangkan dengan risk premium yang lebih mirip surat utang negara EM ketimbang negara maju.

    Apakah 200 bps Spread Indonesia Masih Wajar? Lagi-lagi jawabannya tidak cukup hanya dengan mencomot angka historis. Fair spread harus ditimbang dengan kualitas fundamental makro. Kajian dari Chen & Trolle, 2024, Journal of International Money and Finance juga menekankan pentingnya memasukkan variabel “shock absorber” seperti cadangan devisa dan rasio utang saat menilai risk premium negara berkembang.

    Di sinilah kami menggunakan apa yang kami sebut Vulnerability Index heat map— gabungan beberapa indikator kunci seperti, Cadangan devisa, Defisit fiskal, Rasio utang (domestik dan global), Inflasi dan Suku bunga kebijakan. Hasilnya, Indonesia menempati peringkat ke-4 terbaik di antara EMs besar dalam indeks ini — di bawah Peru, South Korea dan Thailand. Maka wajar jika spread INDOGB yang hanya 200 bps tetap bisa bertahan. Justru, kalau Treasuries sudah diperlakukan pasar layaknya obligasi

    EM, maka obligasi EM dengan fundamental kuat—seperti Indonesia—relatif lebih menarik secara risk- adjusted.

    Jangan terlena. Meski spread yield Indonesia terhadap US Treasury sudah menyentuh titik terendah dalam sejarah, ini bukan alasan untuk berpuas diri. Yield SBN kita masih jauh di atas Malaysia, Thailand, Filipina, Korea Selatan, maupun China. Fokusnya kini bukan lagi sekadar bertanya apakah asing mau masuk dengan spread 200 bps, melainkan bagaimana strategi konkret agar biaya utang pemerintah bisa terus ditekan.

    Spread 200 bps mungkin terlihat tipis bila kita hanya terpaku pada sejarah. Tetapi sejarah berubah. Kali ini yang goyah justru Amerika. Dan seperti pernah diingatkan Keynes: “When the facts change, I change my mind. What do you do, sir?”

  • Identifikasi Risiko Sambut Kebijakan Menkeu Baru

    Identifikasi Risiko Sambut Kebijakan Menkeu Baru

    Bisnis.com, JAKARTA – Pergantian Menteri Keuangan dari Sri Mulyani Indrawati kepada Purbaya Yudhi Sadewa menandai babak baru kebijakan fiskal Indonesia.

    Menkeu baru menekankan arah kebijakan fiskal yang lebih proaktif, adaptif, dan kolaboratif, ditopang lima program utama Kementerian Keuangan: perumusan kebijakan fiskal, optimalisasi penerimaan negara, peningkatan kualitas belanja, pengelolaan kas dan risiko, serta transformasi kelembagaan.

    Tujuan utamanya adalah menjaga stabilitas fiskal sekaligus mendukung transformasi ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan (Kemenkeu, 2025)Salah satu inisiatif paling strategis adalah kebijakan penempatan Rp200 triliun dana pemerintah di bank-bank nasional (Himbara dan BSI), berasal dari Saldo Anggaran Lebih (SAL) dan Sisa Lebih Pembayaran Anggaran (SiLPA) yang sebelumnya tersimpan di Bank Indonesia.

    Skema ini berbeda dari kebijakan sebelumnya yang lebih mengandalkan penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dan obligasi pemerintah untuk menyerap dana masyarakat (Djohanputro, 2021).

    Dengan leverage minimal dua kali lipat, bank diminta memper-luas pembiayaan produktif ke sektor riil, sehingga transmisi fiskal dapat lebih cepat terasa pada perekonomian.

    CROWDING OUT EFFECT

    Kebijakan Menteri Keu-angan yang baru ini menghindarkan risiko crowding out effect, yakni kondisi ketika penerbitan surat utang pemerintah menyerap dana masyarakat secara besar-besaran sehingga mengurangi kapasitas sektor swasta dalam memperoleh pembiayaan (Blanchard & Johnson, 2013).

    Penempatan dana langsung di bank tidak menciptakan biaya bunga bagi pemerintah, melainkan menyediakan likuiditas murah yang dapat digunakan untuk mendorong ekspansi pembiayaan.

    Kecenderungan likuiditas yang relatif ketat di semester I/2025 perbankan di Indonesia tecermin dari pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) sebesar 6,9% per Juni 2025 dengan rasio Loan-to-Deposit Ratio (LDR) berada di kisaran 86%—88% (86,40% per Juni; 88,16% tercatat Mei), menandakan ruang intermediasi yang tidak terlalu longgar meski masih ada kapasitas untuk ekspansi kredit.

    Kondisi ini menyebabkan kenaikan biaya dana atau cost of fund (COF) lebih dari 100 bps. Akibatnya NIM makin tertekan sehingga bank cenderung meningkatkan pricing kredit yang mendorong kenaikan risiko penurunan kualitas kredit.

    Kebijakan untuk memasukkan dana pemerintah ke DPK perbankan ini menggeser risiko dari risiko likuiditas ke risiko kredit. Bank tidak hanya harus mengelola likuiditas, tetapi juga memastikan kualitas pembiayaan tetap terjaga.

    Jika leverage pembiayaan dilakukan tanpa perencanaan matang, potensi peningkatan non-performing financing (NPF) bisa menjadi ancaman, terutama bagi bank syariah yang segmentasinya banyak menyasar UMKM (OJK, 2023).

    Kebijakan Kemenkeu menyertakan BSI dalam program ini juga pilihan yang tepat karena industri perbankan syariah indonesia menunjukkan performa intermediasi yang solid sepanjang tahun 2025. Pada Juni 2025 di saat pertumbuhan kredit perbankan nasional melambat menjadi 7,7% (YoY) dari bulan sebelumnya 8,43% (YoY), pertumbuhan pembiayaan bank syariah mampu tumbuh 8,37% bahkan pertumbuhan pembiayaan BSI tetap ‘double digit’ 13,93% (YoY).

    Dari pertumbuhan pembiayaan tersebut, hal yang lebih menggembirakan adalah pertumbuhan pembiayaan UMKM BSI mencapai 9% (YoY) jauh melampaui pertumbuhan pembiayaan UMKM perbankan nasional sebesar 2,18% (YoY). Penyaluran ke sektor UMKM menyumbang sekitar 16%—17% dari total pembiayaan bank syariah menandakan bahwa sebagian pembiayaan syariah diarahkan ke sektor produktif yang langsung menyerap lapangan usaha riil dan mendukung inklusi ekonomi mikro-UMKM.

    EKONOMI SYARIAH

    Terdapat beberapa alasan kebijakan ini sangat relevan dengan pengembangan ekonomi syariah: Pertama, transmisi fiskal-moneter bank syariah melalui bank syariah lebih efektif dibandingkan bank konvensional karena transmisi bank syariah memiliki mekanisme yang berbeda dengan bank konvensional. Setiap pembiayaan bank syariah wajib memiliki underlying asset, sehingga penempatan dana pemerintah lebih mungkin disalurkan langsung ke kegiatan riil (KNEKS, 2020).

    Belajar dari pengalaman Malaysia menunjukkan bahwa pembiayaan syariah mampu mendukung stabilitas fiskal karena lebih berorientasi pada aset dan sektor produktif (Bank Negara Malaysia, 2021).

    Kedua, BSI dan bank syariah lain telah terlibat dalam pembiayaan infrastruktur, green sukuk, serta ekosistem haji-umrah. Dengan adanya tambahan likuiditas pemerintah, bank syariah berpotensi memperbesar perannya dalam proyek strategis seperti pembiayaan UMKM halal, pesantren produktif, hingga investasi ramah lingkungan.

    Ketiga, daya saing dan kolaborasi dengan organisasi masyarakat dalam pemberdayaan masyarakat.

    Dana pemerintah dapat memperkuat daya saing bank syariah terhadap bank konvensional. Dalam konteks Indonesia, kolaborasi dengan organisasi masyarakat seperti Muhammadiyah yang memiliki asset under management (AUM) signifikan menjadi peluang besar untuk mem-perluas penetrasi keuangan syariah (PP Muhammadiyah, 2022).

    PELAJARAN PEN

    Kebijakan ini juga memiliki landasan historis. Pada masa pandemi Covid-19, bank syariah terbukti berhasil menyalurkan dana Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dengan tingkat efektivitas yang relatif tinggi. Penyaluran pembiayaan diarahkan kepada UMKM dan sektor riil, sejalan dengan mandat syariah yang mengharuskan adanya underlying asset.

    Hasilnya, tingkat NPF industri perbankan syariah tetap terkendali, berkisar 3,08% pada 2021, relatif stabil dibandingkan tekanan sektor perbankan secara umum (OJK, 2021)

    Belajar dari pengalaman Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) 2020—2022, kunci mitigasi risiko dalam penyaluran dana pemerintah oleh Himbara, termasuk BSI, terletak pada ketepatan sasaran sektor dan segmentasi pasar.

    Saat itu, dana PEN lebih efektif terserap ketika diarahkan ke sektor yang punya daya tahan tinggi, cepat rebound, dan menyerap tenaga kerja luas seperti UMKM pangan, agribisnis, dan kesehatan.

    Ke depan, dengan adanya kebijakan Menkeu baru, BSI perlu memastikan bahwa penyaluran likuiditas dari pemerintah bisa disalurkan ke ekosistem halal (misalnya agroindustri halal, pariwisata ramah muslim, dan industri makanan-minuman halal) karena sektor ini tidak hanya resilient tetapi juga memberikan multiplier effect berupa penciptaan lapangan kerja, peningkatan nilai tambah domestik, serta maslahat yang lebih luas bagi umat.

    Dengan demikian, mitigasi risiko bukan sekadar menjaga NPF, tetapi juga menanamkan disiplin pada strategi target pasar yang sesuai maqashid syariah sekaligus mendukung agenda pertumbuhan ekonomi nasional.

    Kebijakan fiskal baru yang menempatkan dana pemerintah di bank nasional adalah momentum penting untuk memperkuat peran ekonomi syariah dalam pembangunan nasional. Dengan basis aset yang jelas, pengalaman sukses menyalurkan PEN, serta potensi kolaborasi dengan ekosistem umat, bank syariah memiliki keunggulan unik dalam memastikan transmisi fiskal lebih produktif dan inklusif.

  • Utang Luar Negeri Tembus Rp7.095 Triliun per Juli 2025, Naik 4,1 Persen

    Utang Luar Negeri Tembus Rp7.095 Triliun per Juli 2025, Naik 4,1 Persen

    GELORA.CO -Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia tercatat sebesar 432,5 miliar Dolar AS atau setara Rp7.095 triliun pada Juli 2025.

    Besaran ini naik 4,1 persen dibanding periode yang sama tahun 2024 lalu. Namun sedikit menurun dari posisi ULN Juni 2025 sebesar 434,1 miliar Dolar AS. 

    Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI) Ramdan Denny Prakoso mengatakan perkembangan utang tersebut dipengaruhi oleh ULN yang menurun.

    “Perkembangan tersebut terutama bersumber dari perlambatan pertumbuhan ULN sektor publik. Posisi ULN Juli 2025 juga dipengaruhi oleh faktor penguatan mata uang Dolar AS terhadap mayoritas mata uang global, termasuk Rupiah,” kata Ramdan pada Senin, 15 September 2025.

    Ia merinci ULN pemerintah pada Juli 2025 tercatat sebesar 211,7 miliar dolar AS, atau tumbuh sebesar 9,0 persen (yoy). lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan 10,0 persen (yoy) pada Juni 2025. 

    “Perkembangan tersebut dipengaruhi oleh perlambatan pertumbuhan posisi pinjaman luar negeri dan surat utang pemerintah,” jelasnya.

    BI mengklaim posisi ULN pemerintah tetap terjaga karena didominasi utang jangka panjang dengan pangsa mencapai 99,9 persen dari total ULN pemerintah.

    Berdasarkan sektor ekonomi, ULN pemerintah, kata Ramdan dimanfaatkan untuk mendukung Sektor Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial (23,1 persen dari total ULN pemerintah), Administrasi Pemerintah, Pertahanan, dan Jaminan Sosial Wajib (15,9 persen), Jasa Pendidikan (17,0 persen), Konstruksi (12,1 persen), serta Transportasi dan Pergudangan (8,9 persen). 

    Di samping itu, ULN juga terdiri dari utang swasta yang tercatat 195,6 miliar Dolar AS atau mengalami kontraksi pertumbuhan sebesar 0,3 persen (yoy), relatif sama dengan kontraksi pada bulan sebelumnya.

    Ramdan mengatakan bahwa keseluruhan rasio posisi ULN Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) saat ini turun menjadi 30,0 persen pada Juli 2025 dari 30,5 persen pada Juni 2025 dan dominasi ULN jangka panjang dengan pangsa 85,5 persen dari total utang. 

    “Peran ULN juga akan terus dioptimalkan untuk menopang pembiayaan pembangunan dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional yang berkelanjutan. Upaya tersebut dilakukan dengan meminimalkan risiko yang dapat memengaruhi stabilitas perekonomian,” tandasnya.

  • BI: Utang Luar Negeri RI Tembus Rp7.000 Triliun pada Juli 2025

    BI: Utang Luar Negeri RI Tembus Rp7.000 Triliun pada Juli 2025

    Bisnis.com, JAKARTA — Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada Juli 2025 tercatat sebesar US$432,5 miliar (sekitar Rp7.089 triliun sesuai kurs Jisdor BI 12 September Rp16.391 per dolar AS). Posisi ULN Indonesia pada bulan ketujuh 2025 itu lebih rendah dari bulan sebelumnya yakni US$434,1 miliar. 

    Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Ramdan Denny Prakoso melaporkan bahwa secara tahunan, posisi utang eksternal Indonesia pada Juli 2025 itu tumbuh 4,1% (yoy) dari posisi Juli 2024. Jumlahnya tumbuh melambat apabila dibandingkan Juni 2025, yang meningkat 6,3% (yoy) dari Juni 2024. 

    “Perkembangan tersebut terutama bersumber dari perlambatan pertumbuhan ULN sektor publik. Posisi ULN Juli 2025 juga dipengaruhi oleh faktor penguatan mata uang dolar AS terhadap mayoritas mata uang global, termasuk Rupiah,” terang Ramdan melalui siaran pers, Senin (15/9/2025). 

    Adapun ULN terbagi ke utang pemerintah dan swasta. ULN pemerintah pada Juli 2025 tercatat sebesar US$211,7 miliar atau tumbuh 9% (yoy). Pertumbuhannya juga melambat dari bulan sebelumnya yang melesat 10% (yoy). 

    Perkembangan ULN pemerintah itu dipengaruhi oleh perlambatan pertumbuhan posisi pinjaman luar negeri dan surat utang pemerintah. Ramdan menyebut ULN terus diarahkan untuk mendukung pembiayaan sektor produktif dalam menjaga momentum pertumbuhan. 

    Pembiayaan dari luar negeri itu, terangnya, menjadi salah satu instrumen pembiayaan APBN yang dikelola secara cermat, terukur, dan akuntabel. 

    Berdasarkan sektornya, ULN pemerintah dimanfaatkan untuk Sektor Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial atau sebesar 23,1% dari total ULN Pemerintah, Jasa Pendidikan (17%); Administrasi Pemerintah, Pertahanan, dan Jaminan Sosial Wajib (15,9%); Konstruksi (12,1%); serta Transportasi dan Pergudangan (8,9%). 

    “Posisi ULN pemerintah tersebut tetap terjaga karena didominasi utang jangka panjang dengan pangsa mencapai 99,9% dari total ULN pemerintah,” paparnya.

    Sementara itu, ULN swasta mengalami kontraksi pertumbuhan atau tumbuh negatif sebesar 0,3% (yoy) pada Juli 2025. Nilainya lebih rendah dari utang pemerintah yaitu US$195,6 miliar. Berdasarkan perinciannya, kontraksi pertumbuhan meningkat lebih tinggi pada ULN bukan lembaga keuangan (nonfinancial corporations) yakni 3,6% (yoy) pada Juli 2025. 

    Berdasarkan sektor ekonomi, pangsa ULN swasta terbesar berasal dari Sektor Industri Pengolahan; Jasa Keuangan dan Asuransi; Pengadaan Listrik dan Gas; serta Pertambangan dan Penggalian, dengan pangsa mencapai 80,4% terhadap total ULN swasta.

    Oleh sebab itu, rasio ULN Indonesia terhadap PDB turun menjadi 30% pada Juli 2025. Rasio itu menyusut dari Juni 2025 yang tercatat sebesar 30,5% terhadap PDB. 

    Dominasi ULN jangka panjang juga sebesar 85,5% terhadap total ULN, atau meningkat dari kuartal II/2025 sebesar 85%. 

    “Dalam rangka menjaga agar struktur ULN tetap sehat, Bank Indonesia dan Pemerintah terus memperkuat koordinasi dalam pemantauan perkembangan ULN. Peran ULN juga akan terus dioptimalkan untuk menopang pembiayaan pembangunan dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional yang berkelanjutan. Upaya tersebut dilakukan dengan meminimalkan risiko yang dapat memengaruhi stabilitas perekonomian,” pungkas Ramdan. 

  • Utang Luar Negeri RI Turun Jadi Rp 7.082 Triliun

    Utang Luar Negeri RI Turun Jadi Rp 7.082 Triliun

    Jakarta

    Bank Indonesia (BI) mencatat posisi Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada Juli 2025 sebesar US$ 432,5 miliar atau setara Rp 7.082,2 triliun (Kurs Rp 16.375). Angka ini turun dibandingkan dengan posisi ULN pada Juni 2025 sebesar US$ 434,1 miliar atau setara Rp 7.108,4 triliun.

    Secara tahunan, ULN Indonesia tumbuh 4,1% (yoy), melambat dibandingkan pertumbuhan 6,3% (yoy) pada Juni 2025.

    Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Ramdan Denny Prakoso mengatakan perkembangan tersebut terutama bersumber dari perlambatan pertumbuhan ULN sektor publik. Posisi ULN Juli 2025 juga dipengaruhi oleh faktor penguatan mata uang dolar AS terhadap mayoritas mata uang global, termasuk Rupiah.

    “Posisi ULN pemerintah pada Juli 2025 tercatat sebesar US$ 211,7 miliar, atau tumbuh sebesar 9,0% (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan 10,0% (yoy) pada Juni 2025,” katanya dalam keterangan tertulis, Senin (15/9/2025).

    Denny mengatakan, perkembangan tersebut dipengaruhi oleh perlambatan pertumbuhan posisi pinjaman luar negeri dan surat utang pemerintah. Sebagai salah satu instrumen pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dikelola secara cermat, terukur, dan akuntabel, pemanfaatan ULN terus diarahkan untuk mendukung pembiayaan sektor produktif dalam menjaga momentum pertumbuhan perekonomian Indonesia.

    Berdasarkan sektor ekonomi, ULN dimanfaatkan antara lain untuk mendukung Sektor Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial (23,1% dari total ULN Pemerintah), Jasa Pendidikan (17,0%), Administrasi Pemerintah, Pertahanan, dan Jaminan Sosial Wajib (15,9%), Konstruksi (12,1%), serta Transportasi dan Pergudangan (8,9%).

    “Posisi ULN pemerintah tersebut tetap terjaga karena didominasi utang jangka panjang dengan pangsa mencapai 99,9% dari total ULN pemerintah,” katanya.

    Sementara ULN swasta melanjutkan kontraksi pertumbuhan. Posisi ULN swasta pada Juli 2025 tercatat stabil dibandingkan bulan sebelumnya pada kisaran 195,6 miliar dolar AS, atau mengalami kontraksi pertumbuhan sebesar 0,3% (yoy), relatif sama dengan kontraksi pada bulan sebelumnya.

    Perkembangan ULN swasta tersebut bersumber dari peningkatan kontraksi pertumbuhan pada ULN bukan lembaga keuangan (nonfinancial corporations) menjadi 1,2% (yoy), di tengah pertumbuhan ULN lembaga keuangan (financial corporations) yang lebih tinggi, sebesar 3,6% (yoy) pada Juli 2025.

    Berdasarkan sektor ekonomi, pangsa ULN swasta terbesar berasal dari Sektor Industri Pengolahan; Jasa Keuangan dan Asuransi; Pengadaan Listrik dan Gas; serta Pertambangan & Penggalian, dengan pangsa mencapai 80,4% terhadap total ULN swasta.

    Denny menyebutkan, struktur ULN Indonesia tetap sehat, didukung oleh penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaannya. Hal ini tecermin dari rasio ULN Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang turun menjadi 30,0% pada Juli 2025 dari 30,5% pada Juni 2025, serta dominasi ULN jangka panjang dengan pangsa 85,5% dari total ULN.

    Dalam rangka menjaga agar struktur ULN tetap sehat, Bank Indonesia dan Pemerintah terus memperkuat koordinasi dalam pemantauan perkembangan ULN. Peran ULN juga akan terus dioptimalkan untuk menopang pembiayaan pembangunan dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional yang berkelanjutan.

    “Upaya tersebut dilakukan dengan meminimalkan risiko yang dapat mempengaruhi stabilitas perekonomian,” katanya.

    Tonton juga video “Rencana Prabowo Tarik Utang Rp 781 T, Terbesar Setelah Pandemi” di sini:

    (kil/kil)

  • Bhima Yudhistira Beber PR yang Harus Diselesaikan Menkeu Purbaya Sadewa

    Bhima Yudhistira Beber PR yang Harus Diselesaikan Menkeu Purbaya Sadewa

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Menteri Keuangan (Menkeu), Purbaya Yudhi Sadewa belakangan ini menjadi sorotan utama publik tanah air setelah dilantik oleh Presiden Prabowo Subianto menggantikan Sri Mulyani.

    Purbaya menjadi pihak yang paling disorot karena di tangannya akan ditentukan kondisi perekonomian Indonesia secara umum. Karena itu, ada banyak pekerjaan rumah (PR) yang mesti diselesaikan jika ingin mencapai target pertumbuhan ekonimo yang dibebankan.

    Direktur Kebijakan Fiskal Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara pun merinci sejumlah pekerjaan rumah (PR) yang harus dikerjakan oleh Purbaya Yudhi Sadewa.

    Salah satunya mengenai efisiensi anggaran. Dia menilai, kebijakan ini wajib dilakukan dengan dasar kajian makroekonomi yang transparan dan tidak menganggu pelayanan publik dan infrastruktur dasar.

    “Selain itu efisiensi yang salah dilakukan oleh Sri Mulyani harus dievaluasi ulang karena telah menimbulkan guncangan pada dana transfer daerah dan kenaikan pajak daerah yang merugikan masyarakat,” ucap Bhima dilansir JPNN.com, pada Rabu (10/9).

    Purbaya juga diminta segera melakukan restrukturisasi utang pemerintah, menekan beban bunga utang hingga membuka ruang debt swap for energy transition (menukar kewajiban utang dengan program transisi energi).

    “Juga debt swap for nature (menukar utang dengan konservasi hutan, mangrove, karst, dan debt cancellation (pembatalan utang yang merugikan),” kata dia.

    Eks Direktur LPS itu juga disarankan mencopot Wakil Menteri dan pejabat di Kementerian Keuangan yang melakukan rangkap jabatan di BUMN.