Topik: Utang Pemerintah

  • Purbaya Membuka Kotak Pandora Kebobrokan Rezim Jokowi

    Purbaya Membuka Kotak Pandora Kebobrokan Rezim Jokowi

    GELORA.CO -Kinerja Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa dinilai telah membuka kotak pandora kebobrokan pemerintah era Presiden Joko Widodo atau Jokowi.

    “Purbaya dengan gaya netral membuka kotak pandora terhadap hal-hal yang selama ini seakan-akan baik-baik saja. Padahal kelebihan narik anggaran, dana ke daerah (kebijakan Menkeu terdahulu) sangat bobrok,” kata mantan Sekretaris Kementerian BUMN, Said Didu dikutip dari YouTube Inews, Kamis, 30 Oktober 2025.

    Sebelum ada Purbaya, Said Didu menyebut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati   kerap melakukan monopoli kebenaran.

    “Sebagai pejabat publik, apa hasilnya kebijakan Sri Mulyani? Menaikkan utang dari Rp8.000 triliun menjadi Rp24.000 triliun, menaikkan cicilan utang dari Rp400 triliun menjadi Rp1.600 triliun, bunga utang dari 2 persen menjadi 6-7 persen,” jelas Said Didu.

    Soal utang, Said Didu menyebut klaim pemerintah bahwa utang hingga akhir 2024 sebesar Rp10.269 triliun itu belum hitungan keseluruhan. Jika digabungkan antara utang pemerintah, utang BUMN, utang pensiunan dan utang tertunda, maka jumlahnya mencapai Rp24.000 triliun.

    “Maka ini kotak pandoranya dibuka (oleh Purbaya),” tutup Said Didu yang mengaku sudah mengenal Purbaya sejak tahun 2008. 

  • Ekonom ingatkan risiko pemberian pinjaman ke pemda dari APBN

    Ekonom ingatkan risiko pemberian pinjaman ke pemda dari APBN

    Tanpa disiplin fiskal dan akuntabilitas yang jelas, kebijakan ini justru berisiko menciptakan tekanan baru pada APBN, bukan memperkuatnya

    Jakarta (ANTARA) – Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet mengingatkan risiko kebijakan yang memungkinkan pemerintah pusat memberikan pinjaman kepada pemerintah daerah (pemda), BUMN dan BUMD dengan menggunakan dana dari APBN.

    Untuk diketahui, Presiden RI Prabowo Subianto resmi meneken Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2025 tentang Pemberian Pinjaman oleh Pemerintah Pusat pada 10 September 2025.

    “Di atas kertas, kebijakan ini dapat menjadi salah satu cara untuk mempercepat pembangunan infrastruktur dan mendorong kegiatan ekonomi di daerah. Namun, di sisi lain, potensi dampaknya terhadap kesehatan fiskal nasional tidak bisa dianggap ringan,” kata Yusuf saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Rabu.

    Mengingat dana berasal dari APBN, Yusuf mengingatkan bahwa setiap risiko gagal bayar dari pemda atau BUMN pada akhirnya akan menambah beban fiskal pusat, terutama jika tidak ada mekanisme pengawasan yang kuat dan disiplin dalam pengelolaan pinjaman.

    Dalam konteks ini, catat Yusuf, pengalaman Tiongkok bisa menjadi pelajaran penting. Skema pembiayaan daerah di negara tersebut memang sempat berhasil mempercepat pembangunan, tetapi kemudian menciptakan tumpukan utang lokal yang besar karena lemahnya pengendalian dan pengawasan fiskal.

    “Indonesia perlu berhati-hati agar kebijakan serupa tidak menimbulkan risiko yang sama, yakni terjadinya liabilities tersembunyi yang membebani APBN di masa mendatang,” kata dia.

    Untuk itu, pemerintah perlu memastikan bahwa implementasi PP 38/2025 dijalankan dengan prinsip kehati-hatian (prudential fiscal management).

    Setiap permohonan pinjaman harus diseleksi berdasarkan kapasitas fiskal daerah, tingkat kemandirian keuangan dan kelayakan ekonomi proyek yang akan dibiayai.

    Pengawasan independen dan transparansi laporan juga menjadi kunci untuk mencegah penyalahgunaan dana atau pembiayaan proyek yang tidak produktif.

    “Tanpa disiplin fiskal dan akuntabilitas yang jelas, kebijakan ini justru berisiko menciptakan tekanan baru pada APBN, bukan memperkuatnya,” kata Yusuf.

    Dihubungi secara terpisah, Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin juga menyampaikan hal senada.

    Ia mengingatkan pemberian pinjaman kepada pemda dan BUMN harus dilakukan secara hati-hati, hanya untuk kebutuhan mendesak dan sesuai kapasitas pembayaran.

    Pembayaran pokok pinjaman dapat dilakukan secara berkala melalui pemotongan Transfer ke Daerah (TKD), baik setiap semester maupun setiap tahun.

    “Untuk menghindari kepala daerah yang melempar tanggung jawab utang kepada penggantinya, tenor utang harus tidak boleh lebih panjang dari masa jabatan kepala daerah yang menandatangani perjanjian pinjaman. Hal lain, DPRD harus menyetujui rencana pinjaman tersebut,” kata Wijayanto.

    Ia menilai kebijakan ini dipicu oleh kekhawatiran pemerintah bahwa pemda tidak mampu membiayai pembangunan, bahkan kebutuhan operasional, akibat pemangkasan TKD.

    Selain itu, menurutnya, kebijakan ini mengandung unsur financial engineering sebagai upaya pemerintah menyiasati ketentuan defisit maksimal 3 persen terhadap PDB.

    Wijayanto memandang PP 38/2025 membuka peluang bagi pemerintah untuk mengalihkan TKD yang semula tercatat sebagai belanja APBN menjadi pinjaman dari pemerintah pusat yang dikategorikan sebagai pembiayaan APBN.

    “Jika ini berlanjut maka kita akan memasuki era di mana defisit APBN di bawah 3 persen tetapi utang pemerintah terus melejit. Ujung-ujungnya adalah semakin buruknya keberlanjutan fiskal kita,” kata dia.

    Menurut dia, langkah yang lebih terbuka dan sehat adalah dengan menerbitkan APBN Perubahan untuk menyesuaikan TKD, serta meninjau kembali batas defisit APBN sebesar 3 persen. Meskipun tidak populer, opsi ini dinilai lebih aman dan transparan.

    Pewarta: Rizka Khaerunnisa
    Editor: Agus Salim
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • R&I Pertahankan Rating Credit RI BBB+, Bos BI Buka Suara

    R&I Pertahankan Rating Credit RI BBB+, Bos BI Buka Suara

    Jakarta

    Rating and Investment Information Inc (R&I) mempertahankan Sovereign Credit Rating (SCR) Indonesia pada peringkat BBB+, dua tingkat di atas peringkat investasi normal, dengan outlook stabil.

    Keputusan ini mencerminkan keyakinan terhadap fundamental ekonomi Indonesia yang tetap terjaga didukung oleh ekspansi demografi, sumber daya yang melimpah serta sektor industri pengolahan yang bertumbuh.

    R&I menilai inflasi Indonesia tetap stabil, dengan tingkat utang pemerintah yang tetap rendah, serta kebijakan moneter dan fiskal yang prudent. Namun, Indonesia perlu melakukan asesmen lebih lanjut terhadap langkah pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dengan menjaga kondisi fiskal yang tetap sehat dalam jangka menengah.

    Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyampaikan penegasan R&I atas peringkat Indonesia mencerminkan kepercayaan internasional yang kuat terhadap kondisi makroekonomi yang solid dan stabilitas sistem keuangan yang tetap terjaga di tengah ketidakpastian ekonomi dan keuangan global yang berlanjut.

    “Diperlukan upaya bersama yang lebih kuat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan berkelanjutan, sejalan dengan kapasitas perekonomian nasional. Sinergi yang erat antara Bank Indonesia dengan Pemerintah diharapkan dapat semakin memperkuat persepsi positif terhadap perekonomian Indonesia,” tutur Perry dalam keterangan tertulis, Selasa (28/10/2025).

    R&I memperkirakan ekonomi Indonesia secara keseluruhan tahun 2025 akan tumbuh pada kisaran 5%, sejalan dengan proyeksi Bank Indonesia di atas titik tengah kisaran 4,6%-5,4%.

    Selain itu, R&I juga meyakini inflasi akan terjaga dalam kisaran target, sementara defisit transaksi berjalan diperkirakan tetap rendah sekitar 1% dari PDB. Dari sisi fiskal, Pemerintah tetap berkomitmen kuat untuk menjaga defisit fiskal di bawah 3% dari PDB.

    “Ke depan, Bank Indonesia akan terus mencermati dan memantau perkembangan ekonomi dan keuangan global serta domestik, mengambil langkah kebijakan yang diperlukan, serta terus meningkatkan sinergi dengan Pemerintah untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan,” pungkas Perry.

    Tonton juga video “Kala Jokowi Sebut Whoosh Bukan Sekedar Cari Laba, tapi Investasi Sosial” di sini:

    (hal/hns)

  • R&I Pertahankan Peringkat Utang Indonesia di BBB+ dengan Outlook Stabil

    R&I Pertahankan Peringkat Utang Indonesia di BBB+ dengan Outlook Stabil

    Bisnis.com, JAKARTA — Lembaga pemeringkat Rating and Investment Information, Inc. (R&I) mempertahankan peringkat utang jangka panjang Indonesia atau Sovereign Credit Rating (SCR) pada level BBB+ dengan outlook stabil pada 24 Oktober 2025.

    Dalam keterangannya, R&I menilai inflasi Indonesia masih stabil, sementara rasio utang pemerintah tetap rendah dengan kebijakan fiskal dan moneter yang dianggap prudent.

    Hanya saja, lembaga yang bermarkas di Jepang itu menekankan perlunya asesmen lanjutan atas langkah pemerintah mendorong pertumbuhan ekonomi sambil menjaga kesehatan fiskal jangka menengah.

    Adapun, R&I memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di kisaran 5% pada 2025, sejalan dengan proyeksi Bank Indonesia yang menempatkan pertumbuhan di atas titik tengah rentang 4,6%–5,4%.

    Inflasi diperkirakan tetap berada dalam kisaran sasaran, sementara defisit transaksi berjalan diproyeksikan sekitar 1% terhadap PDB. Dari sisi fiskal, pemerintah disebut tetap berkomitmen menjaga defisit di bawah 3% dari produk domestik bruto (PDB).

    Respons Perry Warjiyo

    Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyampaikan bahwa keputusan R&I mencerminkan kepercayaan kuat investor internasional terhadap stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan nasional di tengah ketidakpastian global.

    “Diperlukan upaya bersama yang lebih kuat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan berkelanjutan, sejalan dengan kapasitas perekonomian nasional,” ujar Perry dalam keterangannya, Selasa (28/10/2025).

    Dia menekankan pentingnya sinergi kebijakan antara Bank Indonesia sebagai otoritas moneter dan pemerintah sebagai otoritas fiskal untuk memperkuat persepsi positif terhadap perekonomian nasional.

    Ke depan, Bank Indonesia menyatakan komitmen untuk terus memantau perkembangan ekonomi global dan domestik serta memperkuat koordinasi kebijakan dengan pemerintah guna mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

    Data Utang Pemerintah 

    Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat total outstanding utang pemerintah pusat menembus angka Rp9.138,05 triliun atau hampir menyentuh 40% dari produk domestik bruto alias PDB.

    Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pembiayaan dan Pengelolaan Risiko (DJPPR) Kemenkeu, realisasi atau angka sementara utang pemerintah pusat Juni 2025 itu terbagi menjadi utang berasal dari pinjaman Rp1.157,18 triliun, serta penerbitan SBN Rp7.980,87 triliun. Secara total, angka itu turun apabila dibandingkan dengan Mei 2025 yakni Rp9.177,48 triliun.

    “Per akhir Juni [rasio utang] 39,86%, satu level yang cukup rendah, cukup moderate dibanding banyak negara baik peer group negara tetangga maupun G20,” terang Direktur Jenderal Pembiayaan dan Pengelolaan Risiko Kemenkeu, Suminto, pada Media Gathering APBN 2026, Jumat (10/10/2025). 

    Apabila dibandingkan dengan data berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2020-2024, data terbaru utang pemerintah pusat itu melesat dari tahun-tahun sebelumnya. Pada 2024, utang pemerintah pusat berdasarkan LKPP adalah Rp8.813,16 triliun. 

    Sementara itu, utang pemerintah pusat pada 2023 sebesar Rp8.190,38 triliun, Rp7.776,74 triliun, Rp6.913,98 triliun serta Rp6.079,17 triliun. 

  • BI: Peringkat BBB+ dari R&I cerminkan kepercayaan dunia ke ekonomi RI

    BI: Peringkat BBB+ dari R&I cerminkan kepercayaan dunia ke ekonomi RI

    Jakarta (ANTARA) – Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menyampaikan, penegasan R&I atas peringkat kredit Indonesia di level BBB+ mencerminkan kepercayaan internasional yang kuat terhadap kondisi makroekonomi yang solid.

    Di samping itu, peringkat kredit tersebut juga menunjukkan kepercayaan terhadap stabilitas sistem keuangan yang tetap terjaga di tengah ketidakpastian ekonomi dan keuangan global yang berlanjut.

    Perry dalam keterangannya di Jakarta, Selasa, mengingatkan perlunya upaya bersama yang lebih kuat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan berkelanjutan, sejalan dengan kapasitas perekonomian nasional.

    “Sinergi yang erat antara Bank Indonesia dengan Pemerintah juga diharapkan dapat semakin memperkuat persepsi positif terhadap perekonomian Indonesia,” kata Perry.

    Pada Jumat (24/10), lembaga pemeringkat Rating and Investment Information, Inc. (R&I) mempertahankan Sovereign Credit Rating (SCR) Republik Indonesia pada peringkat BBB+, dua tingkat di atas investment grade, dengan outlook stabil.

    Keputusan ini mencerminkan keyakinan R&I terhadap fundamental ekonomi Indonesia yang tetap terjaga didukung oleh ekspansi demografi, sumber daya yang melimpah serta sektor industri pengolahan yang bertumbuh.

    R&I menilai inflasi Indonesia tetap stabil, dengan tingkat utang pemerintah yang tetap rendah, serta kebijakan moneter dan fiskal yang prudent.

    Namun di sisi lain, R&I menilai perlu asesmen lebih lanjut terhadap langkah pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dengan menjaga kondisi fiskal yang tetap sehat dalam jangka menengah.

    R&I memperkirakan ekonomi Indonesia secara keseluruhan tahun 2025 akan tumbuh pada kisaran 5 persen. Hal ini sejalan dengan proyeksi Bank Indonesia di atas titik tengah kisaran 4,6-5,4 persen.

    R&I juga meyakini inflasi akan terjaga dalam kisaran target, sementara defisit transaksi berjalan diperkirakan tetap rendah sekitar 1 persen dari PDB.

    Sementara dari sisi fiskal, Pemerintah tetap berkomitmen kuat untuk menjaga defisit fiskal di bawah 3 persen dari PDB.

    Ke depan, Bank Indonesia pun akan terus mencermati dan memantau perkembangan ekonomi dan keuangan global serta domestik.

    Selain itu, bank sentral tetap mengambil langkah kebijakan yang diperlukan, serta terus meningkatkan sinergi dengan Pemerintah untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

    Pewarta: Rizka Khaerunnisa
    Editor: Biqwanto Situmorang
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Analis: Likuiditas ketat dan isu perang dagang dorong pelemahan kripto

    Analis: Likuiditas ketat dan isu perang dagang dorong pelemahan kripto

    mendorong investor mengurangi eksposur pada aset berisiko seperti kripto dan saham teknologi, dan menambah eksposur di aset ‘safe haven’ seperti emas

    Jakarta (ANTARA) – Analis Reku Fahmi Almuttaqin menilai pengetatan likuiditas di sistem keuangan Amerika Serikat (AS) serta kekhawatiran terhadap peningkatan ketegangan perang dagang AS-China menjadi faktor utama di balik melemahnya performa aset berisiko tinggi saat ini.

    Harga Bitcoin (BTC) tercatat merosot tajam di bawah 108.000 dolar AS menjelang akhir pekan ini, memperpanjang tekanan jual di pasar kripto meski emas dan perak mencetak rekor harga tertinggi baru.

    “Kombinasi dari neraca Fed yang stagnan, tingginya TGA, serta spread SOFR dan EFFR yang melebar menciptakan lingkungan finansial yang lebih ketat dan mendorong investor mengurangi eksposur pada aset berisiko seperti kripto dan saham teknologi, dan menambah eksposur di aset safe haven seperti emas,” kata Fahmi dalam keterangannya di Jakarta, Jumat.

    Bitcoin sempat turun ke sekitar 107.900 dolar AS pada siang ini (17/10), atau turun lebih dari 2 persen dalam 24 jam terakhir. Aset kripto lain seperti Ethereum (ETH), XRP, dan Solana (SOL) terkoreksi lebih dalam, dengan Solana turun lebih dari 4 persen.

    Sementara itu, harga emas dan perak naik lebih dari 3 persen, mencerminkan meningkatnya permintaan terhadap aset lindung nilai di tengah ketidakpastian pasar.

    Meskipun The Fed memangkas suku bunga pada September 2025, Fahmi menjelaskan bahwa sejumlah indikator menunjukkan likuiditas di pasar keuangan AS justru semakin ketat.

    Data dari TradingView mencatat selisih antara Secured Overnight Financing Rate (SOFR) dan Effective Federal Funds Rate (EFFR) melonjak menjadi 0,19 poin dari sebelumnya 0,02 poin dalam sepekan ini, tertinggi sejak Desember 2024.

    Kenaikan selisih ini menunjukkan biaya pendanaan antar bank meningkat, bahkan untuk pinjaman yang dijamin surat utang Pemerintah AS.

    Tanda lain pengetatan likuiditas terlihat dari meningkatnya penggunaan Standing Repo Facility (SRF) milik The Fed. Pada Rabu (15/10), bank-bank komersial menarik dana sebesar 6,75 miliar dolar AS dari SRF, level tertinggi sejak akhir pandemi COVID-19.

    SRF merupakan fasilitas darurat yang memungkinkan bank meminjam dana jangka sangat pendek (overnight) dengan jaminan obligasi pemerintah AS.

    Lonjakan permintaan SRF biasanya mencerminkan ketegangan di pasar pendanaan antar bank, menurut data Federal Reserve Statistical Release H.4.1.

    “Pemangkasan suku bunga oleh The Fed belum diikuti oleh perluasan neraca (balance sheet expansion). Data FRED menunjukkan total aset bank sentral (WALCL) per 16 Oktober 2025 tercatat 6,59 triliun dolar AS, masih jauh di bawah puncak pandemi sekitar 9 triliun dolar AS,” ujar Fahmi.

    Saldo TGA di The Fed juga tetap tinggi di kisaran 800 miliar dolar AS, menunjukkan pemerintah AS masih menarik dana dari pasar melalui penerbitan obligasi, bukan menambah likuiditas bersih ke sistem perbankan.

    Secara historis, kinerja Bitcoin berkorelasi dengan ketersediaan likuiditas global. Saat suku bunga turun tanpa ekspansi neraca The Fed, harga Bitcoin cenderung stagnan karena arus dolar ke aset berisiko belum mengalir, meski kondisi pasar secara keseluruhan masih positif.

    Di tengah tekanan ini, The Fed berpotensi melonggarkan kebijakan jika tekanan pendanaan meningkat. Jika hal itu terjadi, ujar Fahmi, Bitcoin berpeluang rebound ke kisaran 120.000-130.000 dolar AS pada sisa tahun ini, tergantung data inflasi dan kondisi sistem keuangan.

    Selain itu, Fahmi juga mencatat optimisme di pasar kripto masih cukup kuat, dengan tren akumulasi yang terlihat pada BTC dan ETH, seiring berkembangnya narasi Digital Asset Treasuries (DATs).

    Pewarta: Rizka Khaerunnisa
    Editor: Agus Salim
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Pendapatan pajak Korsel naik pada Januari-Agustus 2025

    Pendapatan pajak Korsel naik pada Januari-Agustus 2025

    Seoul (ANTARA) – Pendapatan pajak Korea Selatan (Korsel) naik selama delapan bulan pertama 2025 karena kenaikan pajak perusahaan dan pajak penghasilan, demikian tunjuk data pemerintah pada Kamis.

    Menurut Kementerian Ekonomi dan Keuangan Korea Selatan, pendapatan pajak mencapai 260,8 triliun won (1 won = Rp11,66) pada periode Januari-Agustus, naik 28,6 triliun won dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

    Pengumpulan pajak perusahaan dan pajak penghasilan meningkat masing-masing 17,8 triliun won dan 9,6 triliun won. Namun, pendapatan pajak pertambahan nilai berkurang 1,2 triliun won pada periode tersebut.

    Pendapatan agregat, termasuk pendapatan pajak dan bukan pajak mencapai 431,7 triliun won selama periode Januari-Agustus, naik 35 triliun won dari tahun sebelumnya.

    Total pengeluaran tumbuh 38,4 triliun won dibanding tahun sebelumnya menjadi 485,4 triliun won dalam delapan bulan pertama tahun ini.

    Sementara itu, neraca fiskal yang dikelola, tidak termasuk dana jaminan sosial mengalami defisit 88,3 triliun won pada periode Januari-Agustus.

    Sedangkan, utang pemerintah pusat mencapai 1.260,9 triliun won pada akhir Agustus, naik 20,4 triliun won dari bulan sebelumnya.

    Pewarta: Xinhua
    Editor: Benardy Ferdiansyah
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Rasio Utang Pemerintah Dekati Level Pandemi, Berdampak ke Rating Kredit?

    Rasio Utang Pemerintah Dekati Level Pandemi, Berdampak ke Rating Kredit?

    Bisnis.com, JAKARTA — Rasio utang pemerintah per akhir semester I/2025 yang melebar ke 39,8% terhadap PDB dinilai belum akan memengaruhi persepsi investor maupun lembaga pemeringkat global. Meski demikian, pemerintah tetap perlu berhati-hati dan memastikan utang yang ditarik bersifat produktif. 

    Berdasarkan data terbaru Direktorat Jenderal Pembiayaan dan Pengelolaan Risiko Kementerian Keuangan (DJPPR Kemenkeu), rasio utang pemerintah menyentuh Rp9.138 triliun per Juni 2025.

    Besarannya nyaris menyentuh 40% terhadap PDB atau mendekati level pandemi Covid-19.

    Ekonom PT Bank Danamon Indonesia Tbk. Hosianna Evalita Situmorang menilai level rasio utang pemerintah hingga pertengahan tahun ini masih dalam koridor aman apabila mengacu pada Undang-Undang (UU) tentang Keuangan Negara, yakni 60% terhadap PDB. 

    Hosianna juga melihat bahwa persepsi investor tetap konstruktif karena jangkar disiplin fiskal, yakni defisit APBN masih di bawah 3% terhadap PDB, struktur tenor panjang dengan basis domestik yang kuat, serta prospek pertumbuhan. 

    “Bagi lembaga pemeringkat, arah kebijakan fiskal, kualitas belanja, perbaikan rasio pajak, dan kredibilitas fiskal dipandang lebih krusial. Ke depannya selama ini terjaga, risiko downgrade relatif dapat dihindari,” ujarnya, dikutip Selasa (14/10/2025).

    Hosianna turut melihat kebijakan pemerintah mengarah pada potensi pengurangan beban bunga utang pemerintah, sehingga kebutuhan gross issuance atau penerbitan surat utang bisa ditekan dengan toolkit yang lebih lincah. 

    Contohnya, quasi burden sharing ‘jilid baru’ antara pemerintah Bank Indonesia (BI) melalui stabilisasi kurva via operasi sekunder otoritas moneter hingga pengelolaan penempatan kas pemerintah.

    Debt switching serta penerbitan surat utang dari Danantara, yakni Patriot Bond, juga dinilai bisa ikut membantu pembiayaan pemerintah. 

    Di sisi lain, pemerintah juga dinilai masih memiliki bantalan sebelum melakukan lelang surat utang dengan merealokasi anggaran yang belum terserap dari kementerian atau lembaga. 

    “Dengan kombinasi ini, SBN 2026 tetap menarik (imbal hasil riil kompetitif, volatilitas kurva lebih terkelola) selama koordinasi fiskal–moneter dan komunikasi pasar dijaga konsisten,” terang Hosianna. 

    Di sisi lain, ekonom Center for Strategic and International Studies (CSIS) Deni Friawan turut menilai rasio utang pemerintah kini masih dalam batas aman meski sudah mendekati level pandemi. Terlebih, dia menilai rasio utang menunjukkan ketahanan terhadap risiko eksternal seba komposisi utang didominasi dengan penerbitan SBN domestik yakni Rp7.980 triliun.

    Akan tetapi, Deni tidak menampik kondisi terkini rasio utang pemerintah tetap akan menjadi perhatian investor dan lembaga pemeringkat. Kaitannya terkait dengan keberlanjutan fiskal dan strategi pembiayaan ke depan.

    Deni menggarisbawahi besarnya kebutuhan pembiayaan atau pembayaran utang jatuh tempo dan bunga dalam masa 2026-2028.

    Adapun mengenai risiko penurunan rating surat utang pemerintah, lembaga-lembaga seperti Fitch, Moody’s maupun S&P dinilai tidak hanya akan melihat rasio, melainkan juga prospek pertumbuhan ekonomi, stabilitas politik, dan efektivitas kebijakan fiskal.

    “Jika utang meningkat tanpa disertai penguatan institusi fiskal dan reformasi pendapatan, maka risiko penurunan outlook atau peringkat bisa terjadi. Tapi, selama rasio utang tetap moderat dan pemerintah menunjukkan komitmen fiskal, kemungkinan pemangkasan peringkat masih terbatas,” jelasnya kepada Bisnis. 

    Adapun mengenai rencana penerbitan SBN tahun depan sebagai salah satu instrumen pembiayaan fiskal, terang Deni, akan bergantung pada kredibilitas kebijakan fiskal dan kondisi pasar global. Salah satu tantangan yang dihadapi yakni suku bunga global yang relatif masih tinggi. 

    Tidak hanya itu, kompetisi dengan obligasi dari negara lain, serta instrumen investasi selain SBN juga tinggi. “Karena itu, agar SBN kita menarik pemerintah perlu menawarkan yield yang kompetitif, menjaga stabilitas makro dan nilai tukar, meningkatkan transparansi dan perbaikan komunikasi. Selain itu, penting juga untukk memperluas basis investor, termasuk investor ritel,” pungkasnya.

  • Purbaya Sebut Zaman SBY Rakyat Hidup Makmur, Dipimpin Jokowi Mesin Ekonomi Pincang

    Purbaya Sebut Zaman SBY Rakyat Hidup Makmur, Dipimpin Jokowi Mesin Ekonomi Pincang

    GELORA.CO – Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa kembali menjadi perhatian publik.

    Dalam sebuah acara, Purbaya membandingkan ekonomi  era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan era Joko Widodo (Jokowi).

    Dia menyebut, kedua presiden memiliki cara sendiri-sendiri dalam mengelola negara 

    Jika dibandingkan, dia blak-blakan ekonomi Indonesia masih lebih baik ketika dipimpin SBY

    Saat SBY memimpin, dia menyebut ekonomi membaik dan rakyat hidup makmur

    Perbandingan tajam dua dekade kepemimpinan ekonomi Indonesia itu disampaikan Menkeu Purbaya dalam acara Investor Daily Summit 2025 pada Kamis (9/10/2025).

    Menurut Menkeu Purbaya, era SBY (2004-2014) ekonomi lebih sehat karena digerakkan sektor swasta dengan pertumbuhan ekonomi mendekati 6 persen, uang beredar 17 persen , dan kredit 22 persen .

    Kondisi tersebut mencerminkan adanya dinamika ekonomi yang hidup, terutama karena peran aktif sektor swasta dan investasi domestik yang kuat.

    Sementara era Jokowi (2014-2024), justru terlalu bergantung pada belanja infrastruktur pemerintah, dengan pertumbuhan ekonomi sekitar 5 persen , uang beredar 7 persen , dan kredit di bawah 

    Diakui Purbaya, di zaman SBY rakyat cukup makmur karena tak banyak membangun infrastruktur.

    “Zaman SBY meski tak banyak bangun infrastruktur, rakyat makmur,” ujar Purbaya dalam Investor Daily Summit 2025.

    Sementara itu, Purbaya mengakui mesin ekonomi era Jokowi pincang karena swasta lamban bergerak dan pertumbuhan uang beredar terlalu rendah untuk menopang aktivitas ekonomi.

    Disampaikan Purbaya, di era Jokowi perbankan harus berhenti karena kebijakan di sisi keuangan cenderung terlalu ketat.

    Sehingga di beberapa sektor tak berhasil tumbuh dengan optimal

    “Mesin ekonomi kita jadi pincang karena sektor swasta lamban bergerak,” kata Purbaya

    Purbaya menilai perlambatan ekonomi era Jokowi bukan semata akibat belanja infrastruktur, melainkan karena kurangnya keberanian perbankan menyalurkan kredit dan lambannya ekspansi usaha baru di sektor produktif

    Seperti diketahui, sejak era Presiden Joko Widodo alias Jokowi, utang negara meroket bak meteor.

    Keinginan Jokowi membangun infrastruktur, mengakibatkan negara butuh pinjaman besar, hingga akhirnya tembus Rp 9.138 triliun.

    Buat rakyat awam tentu sangat terkejut, hingga berpikir apa mampu Indonesia membayar utang sebesar itu?

    Terkait utang negara yang sangat besar itu, ternyata di mata Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa masih dalam level aman.

    Sebab menurut Purbaya, total utang negara tersebut masih 39,86 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

    “Dan kalau acuan utang bahaya besar apa enggak, itu bukan dilihat dari nominalnya saja, tapi diperbandingkan dengan sektor ekonominya,” ucapnya saat Media Gathering di Bogor, dikutip dari Tribunnews.com, Sabtu (11/10/2025).

    “Ini kan masih di bawah 39 persen dari PDB kan, jadi dari skandal ukuran internasional itu masih aman,” imbuhnya.

    Menurut Purbaya, pemerintah memastikan nilai utang pemerintah itu digunakan sebaik mungkin, dengan mengurangi penerbitan utang dan memaksimalkan belanja pemerintah.

    “Tapi ya, jadi utang itu jangan dipakai untuk menciptakan sentimen negatif ke ekonomi kita,” katanya. 

    “Karena dari standar nasional, dari standar internasional yang ada dimana-mana kita cukup pruden,” ucap Purbaya.

    “Ke depan kita akan cepat coba kontrol belanja pemerintah kita, supaya lebih baik, sehingga yang nggak perlu-perlu saya bisa mulai potong,” sambungnya.

    Sebelumnya, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, utang pemerintah hingga akhir Juni 2025 tembus Rp 9.138 triliun.

    Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Suminto mengatakan, utang negara sebesar Rp 9.138 triliun ini setara dengan 39,86 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

    “Jadi utang kita pada posisi Juni total outstandingnya Rp 9.138 triliun. Pinjamannya Rp 1.157 triliun dan SBNnya Rp 7.980 triliun,” kata Suminto.

    Suminto bilang, rasio utang terhadap PDB itu tergolong aman, karena masih di bawah batas 60 persen PDB dan sesuai Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

    “Kita betul-betul melakukan utang secara hati-hati, secara terukur dan dalam batas kemampuan,” tegas dia.

    Berdasarkan rinciannya, nominal utang per akhir Juni terdiri dari pinjaman Rp 1.157,18 triliun, pinjaman dari luar negeri Rp 1.108.17 triliun, serta pinjaman dalam negeri Rp 49,01 triliun.

    Sementara utang yang diperoleh dari surat berharga negara (SBN) sebesar Rp 7.980,87 triliun.

    Nominal penerbitan SBN yang berdenominasi rupiah masih menominasi dengan nilai Rp 6.484,12 triliun. Sedangkan yang berdominasi valas sebesar Rp 1.496,75 triliun.

  • Pemerintah Cari Solusi Bayar Utang Whoosh Rp 116 Triliun Tanpa Sentuh APBN – Page 3

    Pemerintah Cari Solusi Bayar Utang Whoosh Rp 116 Triliun Tanpa Sentuh APBN – Page 3

    Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa tidak ingin APBN ikut terbebani oleh utang proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung, alias Whoosh yang dikelola oleh konsorsium PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC).

    Menkeu Purbaya lantas memercayakan tanggung jawab utang proyek kereta cepat Whoosh kepada Danantara, yang juga memayungi beberapa BUMN seperti PT KAI (Persero) yang masuk dalam konsorsium proyek tersebut.

    “KCIC di bawah Danantara? Kalau di bawah Danantara mereka sudah punya manajemen sendiri, sudah punya dividen sendiri yang rata-rata setahun bisa Rp 80 triliun atau lebih,” ujar dia via sambungan video dalam Media Gathering APBN 2026 di Bogor, Jumat (10/10/2025).

    “Harusnya mereka manage dari situ, jangan ke kita lagi. Karena kalau enggak ya semuanya ke kita lagi. Jadi jangan kalau enak swasta, kalau enggak enak government (yang ngurusin),” Purbaya menambahkan.

    Pada kesempatan sama, Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Suminto turut menegaskan, pemerintah tidak memiliki utang dalam proyek Whoosh.

    “Itu keseluruhan equity dan pinjaman badan usaha, jadi Kereta Cepat Jakarta-Bandung tidak ada utang pemerintah,” kata Suminto.

    Adapun proyek kereta cepat Whoosh menyimpan utang senilai USD 7,3 miliar, atau setara Rp 116 triliun. Kendati begitu, Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA) Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menjamin utang tersebut tidak akan sampai mengganggu operasional kereta api lainnya.