Topik: Utang Pemerintah

  • Realisasi Utang Pemerintah Indonesia Naik Jadi Rp 8.473,9 Triliun

    Realisasi Utang Pemerintah Indonesia Naik Jadi Rp 8.473,9 Triliun

    Jakarta, Beritasatu.com – Realisasi utang pemerintah telah mencapai Rp 8.473,9 triliun per 30 September 2024. Jumlah utang didominasi oleh instrumen Surat Berharga Negara (SBN). Rasio utang per akhir September 2024 yang sebesar 38,55% terhadap  produk domestik bruto (PDB).

    “Pemerintah mengelola utang secara cermat dan terukur untuk mencapai portofolio utang yang optimal dan mendukung pengembangan pasar keuangan domestik,” dikutip dari dokumen APBN Kita Edisi November 2024 pada Selasa (12/11/2024).

    Jika diperinci berdasarkan instrumen, komposisi utang pemerintah sebagian besar berupa SBN yang mencapai Rp 7.483,09 triliun (88,31%) dan pinjaman sebesar Rp 990,81 triliun (11,69%).

    Komposisi SBN terbagi dalam SBN domestik sebesar Rp 6.103,90 triliun (72,03%) dan valuta asing (valas) sebesar Rp 1.379,19  triliun (16,28%).  

    SBN domestik meliputi surat utang negara sebesar Rp 4.871,6 triliun dan surat berharga syariah negara senilai Rp 1.232,30  triliun. SBN valas terbagi dalam surat utang negara sebesar Rp 1.045,64 triliun dan surat berharga syariah negara senilai Rp 333,55 triliun.

    Sementara itu,  pinjaman sebesar Rp 990,81 triliun terbagi dalam pinjaman dalam negeri sebesar Rp 39,93 triliun dan pinjaman luar negeri sebesar Rp 950,88 triliun. Realisasi pinjaman luar negeri meliputi bilateral senilai Rp 257,76 triliun, multilateral senilai Rp 569,05 triliun, dan bank komersial sebesar Rp 124,07 triliun.

    Berdasarkan data Kementerian Keuangan pada akhir September 2024, kepemilikan SBN domestik didominasi oleh investor dalam negeri dengan porsi kepemilikan 85,3%. Sedangkan, asing hanya memiliki SBN domestik sekitar 14,7% termasuk kepemilikan oleh pemerintah dan bank sentral asing. Lembaga keuangan domestik memegang kepemilikan SBN 41,4%, terdiri dari perbankan 19,5%, perusahaan asuransi dan dana pensiun sebesar 18,7%, serta reksadana 3,2%.

    Bagi lembaga keuangan, SBN berperan penting dalam memenuhi kebutuhan investasi dan pengelolaan likuiditas, serta menjadi salah satu instrumen mitigasi risiko. Kepemilikan SBN domestik oleh Bank Indonesia sekitar 25% yang antara lain digunakan sebagai instrumen pengelolaan moneter.

    Sejalan dengan upaya pemerintah memperluas basis investor, inklusi keuangan dan peningkatan literasi keuangan masyarakat dari savings society menjadi investment society, kepemilikan investor individu pada SBN domestik terus mengalami peningkatan sejak 2019 yang hanya di bawah 3% menjadi 8,7% per akhir September 2024.

    Sisa kepemilikan SBN domestik dipegang oleh institusi domestik lainnya untuk memenuhi kebutuhan investasi dan pengelolaan keuangan institusi bersangkutan.

  • Utang Burden Sharing Pemerintah ke BI Rp836,56 Triliun, Jatuh Tempo mulai 2025

    Utang Burden Sharing Pemerintah ke BI Rp836,56 Triliun, Jatuh Tempo mulai 2025

    Bisnis.com, JAKARTA — Aksi berbagi beban alias burden sharing antara pemerintah dan bank sentral, di mana Bank Indonesia membeli surat utang negara di pasar perdana untuk menstabilkan sistem keuangan dan membiayai APBN selama pandemi Covid-19, tercatat senilai Rp836,56 triliun. 

    Sejatinya, Bank Indonesia (BI) dilarang untuk membeli surat berharga negara (SBN) di pasar primer. Namun melalui kebijakan burden sharing–istilah yang diperkenalkan pertama kali oleh Gubernur BI Perry Warjiyo–BI diperkenankan membeli langsung surat utang untuk membantu pemerintah menangani pandemi Covid-19.

    Kala itu, kegiatan ekonomi terhenti dan keran penerimaan negara yang utamanya berasal dari perpajakan juga tersendat. Alhasil, perlu adanya pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). 

    Melihat dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2021, tercatat dari penerbitan SBN dalam rangka SKB II dan SKB III tersebut, terdapat SBN berupa SUN seri Variable Rate (VR) yang khusus dijual kepada BI di pasar perdana. 

    Pembiayaan yang masuk ke APBN tersebut saat itu digunakan sebagai sumber dana program Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN). 

    Skema burden sharing sebagaimana SKB II yang hanya berlaku pada 2020 telah diterbitkan sebesar Rp397,56 triliun untuk Public Goods.

    Penerbitan SBN dalam rangka SKB III yang diperuntukkan untuk kontribusi di bidang kesehatan dan kemanusiaan mencapai Rp215 triliun pada tahun 2021 dan Rp224 triliun pada 2022.

    Total jatuh tempo utang tersebut mulai pada 2025 (Rp100 triliun), 2026 (Rp154,5 triliun), 2027 (Rp210,5 triliun), 2028 (Rp208,06 triliun), 2029 (Rp107,5 triliun), dan 2030 (Rp56 triliun). 

    Sejauh ini pemerintah belum menjabarkan cara melunasi utang kepada bank sentral tersebut yang dimulai pada tahun depan dengan ruang fiskal yang sempit.

    Mengingat, jatuh tempo utang pemerintah pada 2025 mencapai Rp800,33 triliun, termasuk di dalamnya Rp100 triliun milik BI. Jumlah tersebut terdiri dari jatuh tempo SBN sejumlah Rp705,5 triliun dan jatuh tempo pinjaman senilai Rp94,83 triliun.

    Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia pun membatasi pembicaraan soal penyelesaian skema burden sharing. Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara dan Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Suminto enggan memberikan komentar terkait kewajiban pemerintah terhadap BI. 

  • Utang Pemerintah Rp8.473,90 Triliun per September 2024, Setara 38,55% PDB

    Utang Pemerintah Rp8.473,90 Triliun per September 2024, Setara 38,55% PDB

    Bisnis.com, JAKARTA — Posisi utang pemerintah pada akhir September 2024 atau pada masa menjelang Joko Widodo (Jokowi) mengakhiri kepemimpinannya sebagai RI 1, tercatat naik Rp11,97 triliun ke angka Rp8.473,90 triliun dari Agustus 2024. 

    Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam buku APBN Kita edisi Oktober 2024 menyebutkan bahwa pengelolaan portofolio utang berperan besar dalam menjaga kesinambungan fiskal secara keseluruhan. 

    “Oleh karena itu, pemerintah konsisten mengelola utang secara cermat dan terukur dengan menjaga risiko suku bunga, mata uang, likuiditas, dan jatuh tempo yang optimal,” ujarnya, dikutip pada Minggu (10/11/2024). 

    Posisi utang tersebut setara dengan 38,55% dari produk domestik bruto (PDB). Meski secara nominal naik, tetapi persentase terhadap PDB tersebut tercatat turun dari 38,49% per Agustus 2024. Rasio utang tersebut juga tercatat lebih rendah dari akhir Desember 2023 yang mencapai 39,21%. 

    Sri Mulyani menekankan bahwa rasio utang tersebut tetap konsisten terjaga di bawah batas aman 60% PDB sesuai UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara. 

    Selain itu, pemerintah mengutamakan pengadaan utang dengan jangka waktu menengah-panjang dan melakukan pengelolaan portofolio utang secara aktif. 

    Per akhir September 2024, profil jatuh tempo utang pemerintah terhitung cukup aman dengan rata-rata tertimbang jatuh tempo (average time maturity/ATM) pada level 7,98 tahun. 

    Secara perinci, posisi utang pemerintah didominasi berupa Surat Berharga Negara (SBN) dan sisanya pinjaman. 

    Untuk SBN setara dengan Rp7.483,09 triliun, di mana Rp6.103,9 triliun di antaranya merupakan SBN domestik berupa Surat Utang Negara (SUN) senilai Rp4.871,6 triliun dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) senilai Rp1.232,3 triliun. 

    SBN Valas tercatat senilai Rp1.379,19 triliun per akhir September 2024 yang terdiri dari SUN senilai Rp1.045,64 triliun dan SBSN Rp333,55 triliun. 

    Berbeda dengan SBN yang didominasi oleh investor domestik, pinjaman tercatat lebih banyak dari luar negeri alias asing yang senilai Rp950,88 triliun dari total pinjaman Rp990,81 triliun. 

    Terbanyak pinjaman asing berasal dari kerja sama multilateral yang senilai Rp569,05 triliun. Adapun, sepanjang tahun ini hingga 31 Oktober 2024, Kementerian Keuangan telah merealisasikan pembiayaan utang senilai Rp438,1 triliun untuk membiayai APBN. 

    Wakil Menteri Keuangan Thomas Djiwandono menjelaskan pemerintah menargetkan Rp648,1 triliun untuk pembiayaan utang. Angka tersebut berasal dari surat berharga negara (SBN) dikurangi pinjaman.

    “Kinerja pembiayaan ini tetap on track dan dikelola secara efisien dengan menjaga risiko tetap dalam batas terkendali,” katanya dalam konferensi pers APBN Kita di Kantor Kemenkeu, Jakarta Pusat, Jumat (8/11/2024).

  • Pemerintah Disarankan Pakai Dana Pensiun untuk Pembangunan Infrastruktur

    Pemerintah Disarankan Pakai Dana Pensiun untuk Pembangunan Infrastruktur

    Bisnis.com, JAKARTA – Peneliti senior Bank Syariah Indonesia (BSI) Institute Bazari Azhar Azizi menyarankan pemerintah menginvestasikan dana pensiun ke sektor infrastruktur agar Indonesia bisa lebih cepat menjadi negara maju.

    Berdasarkan contoh kesuksesan Jepang dan Korea Selatan, kata Bazari, negara-negara pendapatan menengah bisa menjadi negara maju apabila mengkalibrasi dan mengadopsi kebijakan berdasarkan tiga faktor pendorong pertumbuhan ekonomi.

    Pertama, investasi. Kedua, adopsi teknologi modern atau infusion. Ketiga, inovasi yang fokus pembangunan kapasitas secara domestik.

    “Dalam menerapkan strategi 3i [investasi, infusion, inovasi] tersebut, dana pensiun memegang peran penting sebagai sumber modal jangka panjang, memperdalam pasar keuangan, serta mendorong sumber dana berbasis ekuitas di pasar modal,” jelas Bazari dalam laporan Triwulan III/2024 BSI Institute, dikutip Sabtu (9/11/2024).

    Kendati demikian, dia melihat regulasi negara-negara berkembang cenderung membatasi fleksibilitas pemanfaatan dana pensiun ke instrumen-instrumen investasi. Misalnya Indonesia, yang mayoritas dana pensiunnya diinvestasikan ke surat utang pemerintah maupun swasta.

    Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang diolah BSI Institute, 77,46% dana pensiun diinvestasikan ke surat berharga negara atau SBN (37,12%), sukuk korporasi (23,95%), dan obligasi korporasi (16,39%). Sisanya atau 22,54%, investasi dana pensiun tersebar ke 18 instrumen lain.

    Masalahnya, sambung Bazari, ketergantungan dana pensiun yang berlebihan pada obligasi pemerintah dan sejenisnya dapat menyebabkan masalah likuiditas dan pendanaan bagi pensiunan itu sendiri karena imbal hasilnya cenderung kecil.

    Permasalahan seperti itu sempat terjadi di Inggris pada 2022. Kejadian tersebut dikenal sebagai Gilt Crisis.

    “Oleh karena itu, diperlukan keseimbangan dan diversifikasi instrumen yang cermat antara mengejar keuntungan jangka panjang dan mengelola risiko jangka pendek,” ujar Bazari.

    Dia pun menyarankan agar investasi dana pensiun diarahkan ke sektor infrastruktur. Caranya, saran Bazari, bisa melalui skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU).

    Dengan skema tersebut, dana pensiun menjadi salah satu investor Badan Usaha Pelaksana (BUP) KPBU baik melalui investasi langsung atau melalui instrumen finansial.

    Mengutip penelitian Carlo dkk (2023), investasi ke sektor infrastruktur menghasilkan arus kas yang stabil dan terprediksi. Sejalan, imbal hasilnya cenderung lebih tinggi dari surat utang pemerintah atau korporasi.

    Oleh sebab itu, Bazari meyakini investasi ke sektor infrastruktur bisa menjadi alternatif untuk mencapai stabilitas pengelolaan dana jangka panjang sekaligus berkontribusi pada pembangunan nasional.

    Dia menggarisbawahi, pembangunan infrastruktur berpotensi menciptakan lapangan kerja hingga mendorong aktivitas ekonomi yang lebih luas.

    “Namun, keberhasilan dana pensiun bergantung pada kebijakan yang tepat, termasuk perluasan cakupan peserta dan kontribusi, diversifikasi investasi, reformasi tata kelola, dan penguatan regulasi dan pengawasan,” tutup Bazari

  • IHSG akhir pekan ditutup menguat dipimpin sektor barang baku 

    IHSG akhir pekan ditutup menguat dipimpin sektor barang baku 

    Sumber foto: Antara/elshinta.com.

    IHSG akhir pekan ditutup menguat dipimpin sektor barang baku 
    Dalam Negeri   
    Sigit Kurniawan   
    Jumat, 08 November 2024 – 17:06 WIB

    Elshinta.com – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Jumat sore ditutup menguat dipimpin oleh saham-saham sektor barang baku.

    IHSG ditutup menguat 43,33 poin atau 0,60 persen ke posisi 7.287,18. Sementara kelompok 45 saham unggulan atau indeks LQ45 turun 2,85 poin atau 0,32 persen ke posisi 884,14.

    “Kemenangan Donald Trump telah menimbulkan ancaman tarif bagi China dan negara-negara berkembang lainnya, ada optimisme bahwa Pemerintah China akan mengumumkan langkah-langkah untuk mengimbangi dampak dari kenaikan tarif perdagangan Amerika Serikat (AS),” sebut Tim Riset Phillip Sekuritas Indonesia dalam kajiannya di Jakarta, Jumat.

    Langkah-langkah tersebut dapat mencakup dukungan untuk utang Pemerintah Daerah dan belanja konsumen.

    Investor mencerna pemangkasan suku bunga acuan terkini oleh bank sentral AS The Federal Reserve (Yhe Fed) dan kemenangan Donald Trump dalam Pemilihan Presiden AS.

    The Fed memangkas suku bunga acuan Federal Funds rate (FFR) sebesar 25 bps (basis poin) menjadi di kisaran target 4,5 persen sampai 4,75 persen, yang menandakan pemangkasan suku bunga kedua dalam tujuh pekan terakhir menyusul pemangkasan 50 bps di bulan September 2024.

    Ketua Federal Reserve Jerome Powell berusaha meyakinkan pasar dengan menepis kekhawatiran mengenai potensi pengunduran dirinya atau pemecatannya pasca terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS yang ke 47.

    Bank Of England (BOE) memangkas suku bunga acuan Bank Rate sebesar 25 bps menjadi 4,75 persen, yang menandakan penurunan suku bunga kedua dalam empat tahun.

    Dibuka menguat, IHSG betah di teritori positif sampai penutupan sesi pertama perdagangan saham. Pada sesi kedua, IHSG masih betah di zona hijau hingga penutupan perdagangan saham.

    Berdasarkan Indeks Sektoral IDX-IC, tujuh sektor menguat yaitu dipimpin sektor barang baku yang menguat 3,17 persen, diikuti oleh sektor teknologi dan sektor kesehatan yang naik masing- masing sebesar 2,22 persen dan sebesar 0,54 persen.

    Sedangkan, empat sektor melemah yaitu dipimpin sektor barang konsumen non primer sebesar 1,76 persen, diikuti oleh sektor keuangan dan sektor properti yang masing- masing turun sebesar 0,46 persen dan 0,26 persen.

    Saham-saham yang mengalami penguatan terbesar yaitu DWGL, MLPT, KLAS dan BREN. Sedangkan saham-saham yang mengalami pelemahan terbesar yakni PICO, TOSK, RAJA dan RGAS.

    Frekuensi perdagangan saham tercatat sebanyak 1.070.176 kali transaksi dengan jumlah saham yang diperdagangkan sebanyak 17,12 miliar lembar saham senilai Rp10,23 triliun. Sebanyak 289 saham naik 287 saham menurun, dan 204 tidak bergerak nilainya.

    Bursa saham regional Asia sore ini antara lain, indeks Nikkei menguat 119,00 poin atau 0,30 persen ke posisi 39.500,39, indeks Hang Seng melemah 225,15 poin atau 1,07 persen ke 20.728,18, indeks Shanghai melemah 18,35 poin atau 0,53 persen ke 3.470,65, dan indeks Straits Times menguat 50,88 poin atau 1,39 persen ke 3.724,37.

    Sumber : Antara

  • Pemerintah RI Sudah Tarik Utang Rp438,1 Triliun per Oktober 2024

    Pemerintah RI Sudah Tarik Utang Rp438,1 Triliun per Oktober 2024

    Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Keuangan telah merealisasikan pembiayaan utang senilai Rp438,1 triliun dari APBN sepanjang 1 Januari sampai dengan 31 Oktober 2024.

    Wakil Menteri Keuangan Thomas Djiwandono menjelaskan, pemerintah menargetkan Rp648,1 triliun untuk pembiayaan utang. Angka tersebut berasal dari surat berharga negara (SBN) dikurangi pinjaman.

    “Kinerja pembiayaan ini tetap on track dan dikelola secara efisien dengan menjaga risiko tetap dalam batas terkendali,” kata Thomas dalam konferensi pers APBN Kita di Kantor Kemenkeu, Jakarta Pusat, Jumat (8/11/2024).

    Dia memerinci, realisasi Rp438,1 triliun tersebut berasal untuk dua sumber utang yaitu SBN (neto) sebesar Rp394,9 triliun dan pinjaman (neto) sebanyak Rp43,2 triliun.

    Lebih lanjut, Thomas menjelaskan jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu maka terlihat pertumbuhan yang cukup tinggi. Hingga akhir Oktober 2023, realisasi pembiayaan utang hanya sebesar Rp202,3 triliun.

    Keponakan Presiden Prabowo Subianto itu mengaku, langkah-langkah penarikan utang tersebut telah dilakukan untuk mendukung arah dan target APBN 2024. 

    Penarikan utang untuk tahun anggaran 2024, sambungnya, mempertimbangkan outlook defisit APBN, likuiditas pemerintah serta mencermati dinamika pasar keuangan.

    “Dan tentunya pemenuhan target pembiayaan terus dijaga on track dengan cost of fund yang efisien dan risiko yang terkendali,” jelas Thomas.

    Sementara itu, secara keseluruhan posisi utang pemerintah mencapai Rp8.461,93 triliun per 31 Agustus 2024 atau setara 38,49% terhadap produk domestik bruto (PDB).

    Jumlah tersebut turun sekitar Rp40,76 triliun dibandingkan posisi utang pemerintah pada bulan sebelumnya atau Juli 2024 sebesar Rp8.502,69 triliun. Komposisi utang pemerintah terdiri atas Rp7.452,65 triliun dari SBN dan pinjaman Rp1.009,37 triliun.

  • APBN Defisit Rp 309,2 Triliun di Oktober 2024 – Page 3

    APBN Defisit Rp 309,2 Triliun di Oktober 2024 – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan Sri Mulyani mengumumkan bahwa realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di bulan Oktober 2024 mengalami defisit sebesar Rp 309,2 triliun.

    Angka tersebut setara 1,37 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia.

    “Dari total postur (APBN) kita mengalami defisit Rp.309,2 triliun atau 1,37 persen dari PDB. Ini masih kecil dibandingkan target defisit tahun ini,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTa di Kantor Kemenkeu, Jumat (8/11/2024).

    Sri Mulyani lebih lanjut merinci, Kemenkeu mencatat pendapatan negara mencapai Rp 2.247 triliun hingga akhir Oktober 2024. Hal ini menandakan, negara sudah mengumpulkan 80,2 persen pendapatan dari target APBN 2024.

    Adapun belanja APBN senilai RpZ2.556 triliun atau setara 76,9 persen dari target APBN 2024.

    Selain itu, keseimbangan primer juga mencatatkan surplus sebesar Rp 97,1 triliun.

    Dalam kesempatan itu, Sri Mulyani juga mengatakan bahwa pihaknya terus memantau perkembangan ekonomi global, khususnya yang masih dihantui pelemahan ekonomi di China dan geopolitik di kawasan Timur Tengah.

    “China sebagai negara perekonomian size kedua dunia terbesar dunia juga masih dihadapkan pada kondisi properti yang lemah dan isu dari utang pemerintah daerahnya yang belum selesai,” papar Sri Mulyani.

  • Opini : Mengelola Warisan Beban Fiskal

    Opini : Mengelola Warisan Beban Fiskal

    Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintahan Presiden Jokowi berakhir sejak Presiden terpilih Prabowo Subianto dilantik sebagai Presiden RI periode 2024—2029. Kini, pemerintahan baru mewarisi ‘beban’ fiskal yang ditinggalkan pemerintahan lama. Walhasil, pemerintahan baru dituntut mengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) lebih optimal dan prudensial.

    Publik berharap kebijakan fiskal Prabowo, baik instrumen penerimaan maupun belanja negara dikelola secara efektif dan efisien. Maknanya, pemerintahan Prabowo diharapkan mampu meningkatkan penerimaan negara secara signifikan dan piawai menguatkan belanja yang berkualitas serta produktif.

    Bahkan, demi menjamin kualitas belanja (spending better) dan belanja yang produktif, Prabowo mengingatkan para menterinya untuk tidak menggunakan dana APBN untuk mencari uang.

    Dari sisi pendapatan negara, sebaran sumber pendapatan tampaknya mengalami ketimpangan. Sebab, mayoritas sumber pendapatan berasal dari pajak. Mengacu data BPS (2024) diperkirakan hingga akhir 2024, penerimaan negara yang berasal dari pajak mencapai Rp2.309,9 triliun atau 82,4% dari seluruh penerimaan.

    Sementara itu, sisanya sebesar 17,6% terbagi ke sumber pendapatan negara bukan pajak (PNBP), yakni antara lain pengelolaan sumber daya alam (SDA) sebesar Rp207,7 triliun (7,4%). Kemudian diikuti pendapatan bukan pajak lainnya sebesar Rp115,1 triliun (4,1%), BUMN sebesar Rp85,8 triliun (3,1%), dan badan layanan umum sebesar Rp83,4 triliun (3,0%). Menurut Kemenkeu (2024), pada 2025 pendapatan negara diproyeksikan mencapai Rp2.996,9 triliun, dengan perincian bersumber dari pungutan pajak sebesar Rp2.490,9 triliun (83,1%), dan PNBP sebesar Rp505,4 triliun (16,9%).

    Merujuk data-data di atas, pertanyaan kritisnya, mengapa Indonesia yang kekayaan SDA-nya melimpah, tetapi penerimaan negara yang bersumber dari SDA terhitung kecil? Pertanyaan ini muncul mengingat Indonesia sebagai salah satu negara penghasil komoditas tambang terbesar di dunia.

    Namun, faktanya, total penerimaan negara yang bersumber dari SDA tersebut relatif tipis, sehingga timbul kecurigaan bahwa hasil tambang yang semestinya menjadi jatah negara, tetapi tidak masuk ke kas negara. Kecurigaan itu kian menguat lantaran mencuatnya kasus megakorupsi tambang timah dengan kerugian negara mencapai Rp271 triliun.

    Selain itu, penerimaan negara yang berasal dari BUMN juga tidak signifikan, karena tidak mencapai ratusan triliun, sebagaimana yang diharapkan. Padahal BUMN besar, seperti Pertamina, PLN, BRI, Bank Mandiri, BNI, Telkom Indonesia, dan KAI tidak mustahil bisa menyumbang penerimaan negara ratusan triliun rupiah.

    Sementara itu, dari sisi belanja negara, legacy yang ditinggalkan pemerintahan Jokowi menjadi tanggungan beban fiskal bagi pemerintahan baru. Indikatornya terjadi pelebaran defisit anggaran yang semula 2,29% (2024) menjadi kisaran 2,45%—2,82% (2025). Walhasil, untuk menutup defisit biasanya pemerintah menambah utang baru.

    Apalagi tahun depan pemerintah harus membayar utang dan bunganya yang sudah jatuh tempo. Selain itu, terjadi peningkatan imbal hasil surat berharga negara (SBN) dengan tenor 10 tahun, yang semula 6,7% (2024) menjadi kisaran 6,9%—7,3% (2025).

    Hal itu membawa konsekuensi membekaknya pembayaran bunga utang pemerintah. Padahal, pada tahun pertama pemerintahan Prabowo berencana akan menambah utang sebesar Rp775,86 triliun. Oleh karenanya pemerintahan baru tetap melebarkan rasio utangnya sebesar 37,98%—38,71%. Sementara itu, idealnya rasio utang pemerintah terhadap PDB di bawah 30%.

    OPTIMALISASI ANGGARAN

    Merujuk kerangka ekonomi makro (KEM) dan pokok-pokok kebijakan fiskal (PPKF) 2025, postur makro fiskal 2025 menunjukan target rasio pendapatan negara terhadap PDB kisaran 12,14%—12,36%, dan belanja negara kisaran 14,59%—15,18%.

    Angka-angka tersebut menunjukkan terdapat peningkatan yang signifikan dibandingkan dengan APBN 2024. Namun, yang krusial tidak sekadar capaian target tersebut. Melainkan pendapatan dan belanja negara bisa dikelola secara optimal.

    Kebijakan fiskal diharapkan mampu menurunkan angka kemiskinan ekstrim, menurunkan gini ratio, meningkatkan investasi, menurunkan angka pengangguran terbuka, meningkatkan nilai tukar petani/nelayan, dan meningkatkan indeks pembangunan manusia (IPM). Oleh karenanya, diperlukan sejumlah kebijakan untuk menjamin fiskal dikelola secara optimal.

    Pertama, mendorong kreativitas tim ekonomi Prabowo dalam mencari dan menemukan sumber-sumber pendapatan baru, selain pajak (PNBP). Walhasil, pendapatan tidak hanya bertumpu pada perpajakan, sehingga proporsinya bisa berubah, setidaknya sumber dari pajak (70%) dan PNBP (30%).

    Kedua, menjamin peningkatan pendapatan negara tidak merusak iklim investasi, tidak merusak lingkungan, memperhitungkan keterjangkauan layanan publik, tidak membebani masyarakat berpendapatan rendah dan usaha mikro kecil.

    Ketiga, memastikan realisasi belanja sektor strategis sesuai dengan pagu anggaran, dan tidak terjadi kebocoran. Sektor strategis tersebut antara lain, pendidikan, kesehatan, Perlinsos, hilirisasi serta ekonomi hijau, dan lainya. Terutama dana Perlinsos butuh pengawasan khusus, untuk menjamin dana sosial itu tepat sasaran.

  • Ekonom Waswas Defisit APBN Bisa Jebol Melebihi 3%

    Ekonom Waswas Defisit APBN Bisa Jebol Melebihi 3%

    Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom mewaspadai adanya potensi defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dapat melebihi ketentuan 3% di masa pemerintahan Prabowo Subianto. 

    Ekonom Bright Institute Awalil Rizky menyoroti proyeksi International Monetary Fund (IMF) bahwa belanja negara akan terus naik secara nominal meski secara rasio stabil di kisaran 16% dalam lima tahun mendatang.

    Pada dasarnya, Awalil menjelaskan proyeksi IMF tersebut mengindikasikan bahwa pemerintah melakukan disiplin fiskal dengan rasio terhadap PDB yang stabil. 

    Meski demikian, proyeksi dari lembaga internasional tersebut dipandang Awalil belum mempertimbangkan rencana belanja Prabowo yang berpotensi menambah belanja negara. 

    “Jadi kalau nanti ada tambahan-tambahan janji-janji kampanye yang mau dipenuhi yang sekilas sudah akan menambah pada belanja. Kecuali ada pengurangan pada belanja yang lain. Maka grafik [belanja dan defisit] ini bisa berubah,” tuturnya dalam Webinar Proyeksi IMF Ekonomi Indonesia Tidak Kinclong, Selasa (29/10/2024). 

    Padahal, IMF memproyeksikan bahwa rasio defisit APBN hingga 2029 akan cenderung menurun namun tetap di atas 2% dari PDB. Itu pun, dengan anggapan adanya disiplin belanja. 

    Sementara Prabowo memiliki sederet program untuk mewujudkan janji kampanyenya, seperti makan bergizi gratis yang dimulai dengan Rp71 triliun pada tahun depan. 

    “Kalau nanti pemerintahan baru ini menambahi program-program lalu tidak mengurangi yang lain-lain, maka ini bisa jebol. Kemungkinan untuk mengubah undang-undang menjadi boleh melampaui 3% sangat mungkin terjadi,” ungkapnya. 

    Pada akhirnya, jika defisit semakin melebar, otomatis utang pemerintah akan semakin bertambah dan berpotensi menembus angka Rp12.900 triliun pada akhir kepemimpinannya di 2029. 

    Sebelumnya, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengakui adanya tambahan anggaran untuk mengakomodir program Prabowo Subianto senilai Rp8 triliun yang tercantum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). 

    Dengan penambahan ini, maka anggaran program quick win dalam APBN 2025 mendatang naik dari Rp113 triliun menjadi Rp121 triliun. 

    Program quick win adalah suatu langkah inisiatif yang mudah dan cepat dicapai dalam waktu satu tahun untuk mengawali pelaksanaan. Program lainnya yang dijanjikan selama kampanye lalu adalah makan bergizi gratis yang diambil dari pos anggaran nonK/L, yakni cadangan pendidikan

    Kemenkeu menyampaikan bahwa keberadaan anggaran nonK/L ini sebagai bentuk fleksibilitas APBN. 

    Sementara untuk tahun depan, pemerintah merencanakan defisit APBN senilai Rp616,2 triliun atau menjelaskan 2,53% dari PDB. 

  • Utang Pemerintahan Prabowo Diproyeksi Tembus Rp12.900 Triliun pada 2029

    Utang Pemerintahan Prabowo Diproyeksi Tembus Rp12.900 Triliun pada 2029

    Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom Bright Institute Awalil Rizky memprediksikan utang pemerintah di era Prabowo Subianto berpotensi semakin bertambah besar menjadi Rp12.893,96 triliun dalam lima tahun mendatang.

    Berdasarkan dokumen World Economic Outlook (WEO) yang dirilis oleh International Monetary Fund (IMF) edisi Oktober 2024, Awalil menilai proyeksi dari lembaga internasional tersebut memang melihat adanya penurunan rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2029 menjadi 39,57%. 

    Meski demikian, posisi utang pemerintah diproyeksikan meningkat secara nominal walaupun rasionya stabil selayaknya posisi saat ini yang per Agustus 2024 sebesar 38,49%. 

    “Tahun 2029 berarti dalam proyeksi IMF ini kita akan punya utang kurang lebih Rp12.900 triliun,” tuturnya dalam Webinar Proyeksi IMF Ekonomi Indonesia Tidak Kinclong, Selasa (29/10/2024). 

    Awalil menjelaskan, meningkatnya utang tersebut tidak lain berasal dari peningkatan belanja sementara pendapatan stagnan. Alhasil, defisit akan terus meningkat secara nominal. 

    Tercatat dari proyeksi IMF yang Awalil paparkan bahwa pendapatan negara diproyeksikan meningkat secara nominal namun stagnan persentasenya atas PDB pada periode 2025-2029 di kisaran 14,5%. Sementara belanja negara juga diproyeksikan meningkat secara nominal dan stagnan rasionya di ksiaran 17%. 

    Dirinya juga melihat utang pemerintah tidak mungkin berkurang karena utang saat ini pun pemerintah bayar dengan penarikan utang baru. 

    Dari sisi yang lain, Awalil menyebutkan proyeksi dari IMF tersebut sekaligus persuasi kepada pemerintah untuk lebih melakukan disiplin belanja. 

    Pasalnya, proyeksi tersebut diyakini belum mempertimbangkan penambahan belanja yang signifikan oleh Prabowo. 

    “Kami menduga IMF belum melakukan proyeksi atas dasar kemungkinan pemerintahan Prabowo menambah belanja secara cukup signifikan. Kami juga belum tahu kecuali nanti ada APBN Perubahan baru kita tahu,” jelasnya. 

    Sebelumnya, posisi utang pemerintah mencapai Rp8.461,93 triliun per 31 Agustus 2024 atau setara 38,49% terhadap PDB. Jumlah tersebut turun sekitar Rp40,76 triliun dibandingkan posisi utang pemerintah pada bulan sebelumnya atau Juli 2024 sebesar Rp8.502,69 triliun.

    Komposisi utang pemerintah terdiri atas Rp7.452,65 triliun dari surat berharga negara (SBN) dan pinjaman Rp1.009,37 triliun.

    Lebih rinci lagi, utang SBN terdiri dari domestik sebesar Rp6.063,41 triliun dan valas senilai Rp1.389,14 triliun. Sementara itu, pinjaman terdiri dari pinjaman dalam negeri senilai Rp39,63 triliun dan pinjaman luar negeri Rp969,74 triliun.

    Untuk tahun depan, Prabowo direncanakan melakukan penarikan utang baru senilai Rp775,87 triliun untuk membiayai kekurangan belanja negara yang mencapai Rp3.621,3 triliun.