Topik: Tsunami

  • Mengenang Tragedi 20 Tahun Tsunami Aceh di Berbagai Negara

    Mengenang Tragedi 20 Tahun Tsunami Aceh di Berbagai Negara

    Jakarta, CNN Indonesia
    Gempa di Aceh 2024 memicu tsunami di sejumlah negara di kawasan pesisir Samudra Hindia, dari mulai Thailand, India hingga Sri Lanka.

    Bagikan:

    url telah tercopy

  • Kenang 20 Tahun Tsunami Aceh, Masyarakat Berdoa di Kuburan Massal Ulee Lheue

    Kenang 20 Tahun Tsunami Aceh, Masyarakat Berdoa di Kuburan Massal Ulee Lheue

    Banda Aceh, Beritasatu.com – Ratusan warga kota Banda Aceh mendatangi kompleks kuburan massal korban tsunami Aceh di Gampong Lie, Kecamatan Meuraxa, Ulee Lheu, Banda Aceh, Kamis (26/12/2024). 

    Para peziarah ini datang untuk berdoa sembari menaburkan bunga pada nisan tanpa nama yang ada di sana. Mereka juga melantunkan surah Yasin bagi keluarganya yang diyakini terkubur di sana. Tidak hanya berdoa, mereka juga melantunkan surah Yasin di sekitar kompleks kuburan. Beberapa juga terlihat menangis, mengenang bencana alam gempa dan tsunami Aceh 20 tahun silam. 

    Amiruddin salah satunya. Setiap tahun dia akan datang ke kuburan massal ini dan juga kuburan massal Siron di Aceh Besar. “Saya datang ke sini karena rindu dengan keluarganya yang menjadi korban tsunami Aceh pada 2004 lalu,” ungkap Amiruddin. 

    Meskipun dia tidak yakin, jasad anggota keluarganya terkubur di sana, tetapi dia menyempatkan untuk datang dan berdoa di dua kuburan massal ini. 

    Kuburan massal Ulee Lheue berjarak 200 meter dari Masjid Baiturrahim. Kurang lebih 14.800 jiwa dimakamkan di area seluas 15.800 meter ini. Jasad korban dewasa tsunami Aceh dimakamkan di sisi kanan dan kiri bagian depan makam. 

    Sementara jasad anak-anak diketahui dimakamkan di sisi kiri bagian belakang komplek kuburan tersebut. Sekeliling tembok terlihat beton tinggi juga berfungsi sebagai pagar makam para korban tsunami Aceh.

  • Peringatan 20 Tahun Tsunami Aceh Ditandai Raungan Sirene

    Peringatan 20 Tahun Tsunami Aceh Ditandai Raungan Sirene

    Jakarta

    Upacara dimulai di seluruh Asia pada Kamis pagi (26/12) untuk memperingati 220.000 orang yang meninggal dua puluh tahun lalu, ketika gelombang tsunami yang dipicu gempa dahsyat berkekuatan 9,1 Skala Richter di Aceh menghancurkan wilayah pesisir di sekitar Samudera Hindia yang menjadikannya salah satu bencana alam terburuk dalam sejarah umat manusia.

    Di Provinsi Aceh, Indonesia, di mana lebih dari 100.000 orang tewas, sirene berbunyi selama tiga menit di Masjid Agung Baiturrahman tepat jam 8 pagi waktu setempat, diikuti dengan salat berjamaah untuk memulai serangkaian peringatan yang dijadwalkan di wilayah itu.

    Suara sirine serentak terdengar di seluruh kota. Ketika sirene berbunyi, kendaraan yang melintas di semua persimpangan berhenti. Polisi berjaga-jaga hingga suara sirene berakhir. Di beberapa lokasi, suara sirene berasal dari mobil polisi lalu lintas.

    “Saya pikir itu hari kiamat,” kata Hasnawati, seorang guru berusia 54 tahun mengenang bencana dahsyat 20 tahun silam itu.

    “Pada hari Minggu pagi saat kami sekeluarga sedang tertawa bersama, tiba-tiba terjadi bencana dan semuanya musnah. Saya tidak bisa menggambarkannya dengan kata-kata.”

    Totalnya sebanyak 226.408 orang tewas akibat tsunami tersebut, menurut EM-DAT, pusat data bencana global yang diakui. Hari itu tidak ada peringatan akan datangnya tsunami, sehingga hanya ada sedikit waktu untuk evakuasi, meskipun ada jeda waktu berjam-jam antara gelombang yang menghantam benua yang berbeda.

    Saat bencana itu itu melanda, belum ada jaringan stasiun peringatan dini tsunami di banyak tempat. Setelah tsunami Aceh, sejumlah negara termasuk Indonesia membangun jejaring peringatan dini.

    Banyak jenazah masih belum dikenali di Thailand

    Tsunami merenggut nyawa lebih dari 8.000 orang di Thailand, termasuk banyak orang yang masih hilang, meninggalkan bekas luka yang mendalam dalam sejarah negara tersebut. Hampir 400 jenazah masih belum diklaim oleh keluarganya.

    Para pelayat menitikkan air mata dan saling menghibur saat mereka meletakkan bunga di peringatan tsunami Phang Nga. Sekitar 300 orang mengikuti upacara sederhana bersama dengan umat Islam, Kristen, dan Buddha.

    Urai Sirisuk mengatakan, dia menghindari taman peringatan di tepi pantai sepanjang tahun ini, karena kehilangan putrinya yang berusia 4 tahun masih sangat terasa setiap kali dia teringat akan hal itu.

    “Saya merasa laut telah mengambil anak saya. Saya sangat marah. Saya bahkan tidak bisa menginjakkan kaki saya di air,” katanya.

    “Saya masih mendengar suaranya di telinga saya, bahwa dia memanggil saya. Saya tidak bisa meninggalkannya. Jadi saya harus berada di sini, demi anak saya.”

    Sekitar 35 ribu orang tewas di Sri Lanka

    Di Sri Lanka, di mana lebih dari 35.000 orang tewas, para penyintas dan kerabatnya berkumpul untuk mengenang sekitar 1.000 korban yang meninggal ketika gelombang tsunami dahsyat menghantam kereta api penumpang hingga keluar dari relnya.

    Para pelayat menaiki Ocean Queen Express yang telah dipugar dan menuju ke Peraliya — lokasi persisnya kereta tersebut keluar dari relnya dan terguling, sekitar 90 kilometer selatan Kolombo.

    Upacara keagamaan singkat diadakan bersama dengan keluarga korban. Upacara Budha, Hindu, Kristen, dan Islam juga diselenggarakan untuk memperingati para korban di seluruh negara kepulauan Asia Selatan.

    Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

    hp/as (afp, ap, Reuters)

    Lihat Video ‘Kisah Pilu Korban Tsunami Aceh Berharap Anaknya Kembali’:

    (nvc/nvc)

  • Kisah Penyintas Tsunami Aceh: Selamat dan Bertemu Ayah di Masjid Raya Baiturrahman
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        26 Desember 2024

    Kisah Penyintas Tsunami Aceh: Selamat dan Bertemu Ayah di Masjid Raya Baiturrahman Regional 26 Desember 2024

    Kisah Penyintas Tsunami Aceh: Selamat dan Bertemu Ayah di Masjid Raya Baiturrahman
    Tim Redaksi
    BANDA ACEH, KOMPAS.com
    – Pagi itu, Minggu 26 Desember 2004, seperti biasa Zulfahmi Ikhsan bersama teman-temannya sedang mengikuti latihan bola kaki di Lapangan Blang Padang, Banda
    Aceh
    . Kegiatan ini merupakan jadwal rutin setiap akhir pekan atau libur sekolah.
    Ikhsan masih ingat betul, pagi itu dia mengenakan jersey klub kesukaannya, Barcelona. Di tengah sedang asyik latihan, tiba-tiba gempa berkekuatan magnitudo 9,3 membuat mereka ketakutan. Setelah gempa berhenti, Ikhsan dan teman-temannya diminta oleh pelatih untuk kembali ke rumah masing-masing.
    Pada saat itu, Ikhsan tinggal di kawasan Lampaseh Kota. Setiba di rumah, dia melihat orang-orang ramai keluar untuk melihat bangunan roboh, termasuk sang ibu bersama tetangganya. Ikhsan yang kala itu masih berusia 13 tahun, juga ikut pergi.
    Selang sekitar 20 menit kemudian, tiba-tiba orang pada berlarian panik sambil meneriakkan air laut naik. Ikhsan masih belum percaya, dia berpikir tidak mungkin air laut naik ke daratan apalagi hingga ke tengah-tengah kota.
    Seketika, gemuruh suara air dan teriakan warga semakin kencang dari arah belakangnya. Ikhsan panik ketakutan. Dia pun langsung ikut lari menyelamatkan diri ke atas reruntuhan bangunan toko di Jalan Muhammad Jam.
    “Pada saat itu saya masih belum percaya, kok bisa air naik ke daratan. Akhirnya saya juga ikut lari ke arah Jalan Muhammad Jam, tepatnya di toko Zikra yang waktu itu sudah hancur, dan saya naik ke atasnya,” kata Ikhsan saat diwawancarai
    Kompas.com
    , Kamis (26/12/2024).
    Bangunan itu ikut tersapu oleh air. Ikhsan terhempas dan hanyut dalam gulungan tsunami bercampur dengan reruntuhan kayu. Ikhsan sudah pasrah, kakinya terluka, dia tidak bisa berenang hingga terminum air lumpur tersebut.
    Di balik gulungan air tsunami itu, tiba-tiba Ikhsan tersangkut di tumpukan kayu dekat lampu merah tepat di samping Masjid Raya Baiturrahman. Pada saat itu, Ikhsan sudah tidak kuat, posisinya terbenam dalam air, yang terlihat hanya tangannya saja.
    “Ada satu orang abang-abang yang datang menyelamatkan saya. Dialah yang membawa saya ke dalam masjid. Pada saat itu kondisinya mengalami luka parah juga, dia lalu mengatakan adik coba cari terus keluarga, abang sudah tidak kuat lagi,” ucap Ikhsan, ini adalah momen yang paling membekas.
    Di tengah ketakutan itu, Ikhsan bertemu teman ayahnya di dalam masjid. Ia kemudian menanyakan kondisi dan keberadaan sang ayah yang ternyata juga menyelamatkan diri di sana. Karena kondisi orang begitu ramai, Ikhsan baru bertemu dengan ayah saat sore hari.
    “Saya dievakuasi ke dalam masjid sekitar pukul 09.00 WIB, dan baru ketemu ayah di dalam masjid itu sekitar pukul 15.00 WIB,” katanya.
    Ikhsan menceritakan, sang ayah memang berjualan di dekat masjid raya dan setiap pagi selalu keluar lebih dulu. Pada saat itu, ayahnya langsung lari menyelamatkan diri di dalam masjid. Dalam musibah ini, Ikhsan kehilangan sang ibu yang jasadnya hingga kini belum ditemukan.
    Bagi Ikhsan, Masjid Raya Baiturrahman adalah saksi kekuasaan Tuhan di mana air tsunami sedikit pun tidak menyentuh masuk ke dalam masjid, sehingga banyak orang-orang yang selamat, bahkan dia sendiri bertemu dengan sang ayah di sana.
    Setelah 20 tahun
    tsunami Aceh
    , luka yang dialami Ikhsan memang sudah pulih. Dia perlahan bangkit dari trauma itu. Kini, Ikhsan sudah menikah dan mempunyai seorang anak. Ikhsan berprofesi sebagai seorang fotografer pernikahan atau 
    wedding
    profesional di Banda Aceh.
    “Dengan musibah ini, semoga kita semua bisa mengambil pelajaran dan lebih sigap menghadapi bencana. Saya mengajak semua kita untuk membekali diri dengan mitigasi bencana yang cukup. Aceh daerah rawan, dan bencana itu kita tidak tahu kapan datangnya,” pungkas Ikhsan.
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 20 Tahun Tsunami Aceh, Ubaidillah Ajak Televisi dan Radio Masifkan Edukasi Kebencanaan

    20 Tahun Tsunami Aceh, Ubaidillah Ajak Televisi dan Radio Masifkan Edukasi Kebencanaan

    Jakarta: Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Ubaidillah, mengajak lembaga penyiaran televisi dan radio lebih masif mengedukasi publik tentang isu kebencanaan. Ajakan ini bermaksud untuk meminimalisir kerugian jika sewaktu-waktu terjadi bencana.
     
    Hal tersebut disampaikan bertepatan dengan 20 tahun Indonesia dilanda bencana tsunami dahsyat yang memporak-porandakan wilayah Aceh. Salah satu bencana terbesar itu telah menyebabkan kerugian materil dan hilangnya ribuan nyawa.
     
    “Hari ini tepat 20 tahun tsunami Aceh. Salah satu bencana yang sangat banyak menelan korban dan menyebabkan kerusakan. Tentu kita tidak menginginkan ini kembali terjadi lagi, maka diperlukan upaya edukasi dari televisi dan radio terkait kebencanaan,” katanya di Jakarta, Kamis, 26 Desember 2024.

     

     
    Dalam kesempatan ini, Ubaidillah menyebut bahwa akhir-akhir ini juga terjadi bencana tanah longsor hingga banjir di beberapa daerah di Indonesia. Misalnya, Sukabumi, Cianjur, dan Pandeglang.
     
    “Belakangan juga terjadi longsor dan banjir, pergerakan tanah. Sebagai wilayah yang rawan bencana, saya yakin kebutuhan masyarakat akan informasi salah satunya adalah terkait kebencanaan,” lanjutnya.
     
    Ubaidillah berharap melalui edukasi kebencanaan yang lebih masif dan menyeluruh, kerusakan maupun kerugian yang menimpa warga terdampak bisa diminimalisir. Masyarakat pun menjadi lebih tangguh bencana.

     

     
    “Saat edukasi kebencanaan dilakukan, masyarakat akan mengetahui hal apa yang perlu dilakukan saat bencana tiba. Mitigasi dan penanggulangan bisa dilakukan oleh masyarakat secara mandiri,” tambahnya.
     
    Lebih lanjut, Ubaidillah menyampaikan keinginannya agar isu-isu kebencanaan ditayangkan melalui program-program yang punya banyak minat penonton dan waktu primetime. Dengan begitu, lebih banyak masyarakat akan teredukasi.
     
    “Agar informasi mengenai edukasi kebencanaan ini bisa disisipkan di program-program yang bagus, yang penontonnya banyak, juga bisa di saat-saat waktu primetime,” pungkasnya.
     

    Jakarta: Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Ubaidillah, mengajak lembaga penyiaran televisi dan radio lebih masif mengedukasi publik tentang isu kebencanaan. Ajakan ini bermaksud untuk meminimalisir kerugian jika sewaktu-waktu terjadi bencana.
     
    Hal tersebut disampaikan bertepatan dengan 20 tahun Indonesia dilanda bencana tsunami dahsyat yang memporak-porandakan wilayah Aceh. Salah satu bencana terbesar itu telah menyebabkan kerugian materil dan hilangnya ribuan nyawa.
     
    “Hari ini tepat 20 tahun tsunami Aceh. Salah satu bencana yang sangat banyak menelan korban dan menyebabkan kerusakan. Tentu kita tidak menginginkan ini kembali terjadi lagi, maka diperlukan upaya edukasi dari televisi dan radio terkait kebencanaan,” katanya di Jakarta, Kamis, 26 Desember 2024.
     
     

     
    Dalam kesempatan ini, Ubaidillah menyebut bahwa akhir-akhir ini juga terjadi bencana tanah longsor hingga banjir di beberapa daerah di Indonesia. Misalnya, Sukabumi, Cianjur, dan Pandeglang.
     
    “Belakangan juga terjadi longsor dan banjir, pergerakan tanah. Sebagai wilayah yang rawan bencana, saya yakin kebutuhan masyarakat akan informasi salah satunya adalah terkait kebencanaan,” lanjutnya.
     
    Ubaidillah berharap melalui edukasi kebencanaan yang lebih masif dan menyeluruh, kerusakan maupun kerugian yang menimpa warga terdampak bisa diminimalisir. Masyarakat pun menjadi lebih tangguh bencana.
     
     

     
    “Saat edukasi kebencanaan dilakukan, masyarakat akan mengetahui hal apa yang perlu dilakukan saat bencana tiba. Mitigasi dan penanggulangan bisa dilakukan oleh masyarakat secara mandiri,” tambahnya.
     
    Lebih lanjut, Ubaidillah menyampaikan keinginannya agar isu-isu kebencanaan ditayangkan melalui program-program yang punya banyak minat penonton dan waktu primetime. Dengan begitu, lebih banyak masyarakat akan teredukasi.
     
    “Agar informasi mengenai edukasi kebencanaan ini bisa disisipkan di program-program yang bagus, yang penontonnya banyak, juga bisa di saat-saat waktu primetime,” pungkasnya.
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

    (WAN)

  • Mengenang 20 Tahun Tsunami Aceh di Masjid Raya Baiturrahman

    Mengenang 20 Tahun Tsunami Aceh di Masjid Raya Baiturrahman

    Banda Aceh, Beritasatu.com – Pemerintah Aceh memperingati 20 tahun tsunami Aceh di halaman Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, Kamis (26/12/2024). Kegiatan ini diisi dengan zikir dan doa bersama untuk para korban tsunami, serta ditutup dengan tausiyah oleh KH Abdullah Gymnastiar atau AA Gym.

    Masjid Raya Baiturrahman salah satu saksi bisu bencana tsunami melanda Aceh pada 26 Desember 2004 yang menewaskan lebih dari 170.000 orang. Peringatan 20 tahun tsunami di masjid tersebut dihadiri banyak orang termasuk jajaran Forkopimda.

    “20 tahun yang lalu, sekitar pukul 07.58 WIB, Allah Swt menguji Aceh dengan ujian yang teramat berat. Gempa berkekuatan 9,1 skala richter yang kemudian disusul dengan gelombang tsunami telah menghantam pesisir Aceh,” kata Penjabat Gubernur Aceh Safrizal ZA dalam sambutannya saat mengenang 20 tahun tsunami di Masjid Raya Baiturrahman.

    Dalam hitungan menit, lanjut Safrizal, gempa dan gelombang dahsyat itu telah merenggut lebih dari 170.000 nyawa orang Aceh. 

    Safrizal mengenang solidaritas dunia internasional yang luar biasa dalam membantu Aceh bangkit kembali. Lebih dari 60 negara, ratusan organisasi internasional, dan ribuan relawan datang membantu Aceh saat itu.

    “Kita menyaksikan bagaimana dunia bersatu untuk Aceh, dan bagaimana nilai-nilai kemanusiaan menjadi terang di tengah kegelapan,” ujar Safrizal dilansir dari Waspada Aceh.

    Tsunami membuka pintu perdamaian bagi Aceh setelah 30 tahun dilanda konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia.

    Pada 15 Agustus 2005, Pemerintah Indonesia dan GAM menandatangani kesepahaman damai atau MoU di Helsinki, Finlandia sehingga berakhirlah perang di Aceh.

    Menurut Safrizal, peringatan 20 tahun tsunami Aceh menjadi momentum untuk merefleksikan nilai-nilai kebersamaan, ketangguhan, dan keimanan.

    Selain doa bersama, Pemerintah Aceh memberikan penghargaan kepada duta besar dari negara-negara yang berkontribusi besar dalam pemulihan Aceh setelah tsunami, seperti Malaysia, Jepang, Kuwait, India, hingga Amerika Serikat. Penghargaan juga diberikan kepada para penyintas tsunami yang menunjukkan ketangguhan luar biasa.

    Pemerintah juga menyerahkan santunan dan paket pendidikan kepada 300 anak yatim.

    “Bencana ini adalah takdir Allah yang memiliki hikmah tersendiri. Kita jadikan momen ini untuk memperkuat keimanan, memperbaiki hubungan dengan Sang Khalik, dan meningkatkan kepedulian terhadap sesama,” kata Safrizal mengenang 20 tahun tsunami Aceh.

  • 20 Tahun Tsunami Aceh, Ketua KPI Pusat Ajak Televisi dan Radio Masifkan Edukasi Kebencanaan

    20 Tahun Tsunami Aceh, Ketua KPI Pusat Ajak Televisi dan Radio Masifkan Edukasi Kebencanaan

    Jakarta, Beritasatu.com – Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat Ubaidillah mengajak lembaga penyiaran televisi dan radio lebih masif mengedukasi publik tentang isu-isu kebencanaan. Ajakan ini disampaikan mengingat 20 tahun silam, Aceh mengalami bencana gempa dan  tsunami yang sangat besar.

    “Hari ini tepat 20 tahun tsunami Aceh. Salah satu bencana yang sangat banyak menelan korban dan menyebabkan kerusakan. Tentu kita tidak menginginkan ini kembali terjadi lagi, maka diperlukan upaya edukasi dari televisi dan radio terkait kebencanaan,” katanya di Jakarta, Kamis (26/12/2024).

    Tidak hanya itu, Ubaidillah juga melihat beragam bencana terus terjadi di beberapa daerah, seperti di Sukabumi, Cianjur, dan Pandeglang. “Belakangan juga terjadi longsor dan banjir, pergerakan tanah. Sebagai wilayah yang rawan bencana, saya yakin kebutuhan masyarakat akan informasi salah satunya terkait kebencanaan,” lanjutnya.

    Melalui edukasi kebencanaan, Ubaidillah berharap kerusakan dan kerugian yang menimpa warga terdampak bisa diminimalisir, utamanya korban nyawa. Terlebih, lanjutnya, masyarakat bisa menjadi tangguh bencana.

    “Saat edukasi kebencanaan dilakukan, masyarakat akan mengetahui hal apa yang perlu dilakukan saat bencana tiba. Mitigasi dan penanggulangan bisa dilakukan masyarakat secara mandiri,” tambahnya.

    Ubaidillah berharap agar isu-isu kebencanaan ditayangkan melalui program-program yang minat penontonnya banyak dan waktu primetime oleh lembaga penyiaran. 

    “Salah satunya, agar informasi mengenai edukasi kebencanaan ini bisa disisipkan di program-program yang bagus, yang penontonnya banyak, juga bisa di saat-saat waktu primetime,” pungkasnya.

  • Sirene Berbunyi Tandai Peringatan 20 Tahun Tsunami Aceh

    Sirene Berbunyi Tandai Peringatan 20 Tahun Tsunami Aceh

    Jakarta, CNN Indonesia

    Suara sirene peringatan tsunami berbunyi di Banda Aceh, Aceh, pada Kamis (26/12) pagi sebagai tanda resmi peringatan 20 tahun tsunami dahsyat dari Samudera Hindia pada 2004.

    Diberitakan AFP, peringatan resmi itu dimulai di Masjid Raya Banda Aceh berupa menyalakan sirene peringatan selama tiga menit, dimulai pada pukul 07.58 WIB, waktu yang sama saat tsunami 2004 menghantam Aceh.

    AFP menyebut peringatan tersebut berlangsung emosional. Setelah sirene peringatan berbunyi, masyarakat yang berkumpul melanjutkan dengan doa bersama sebagai awal dari berbagai peringatan yang digelar di banyak lokasi provinsi itu.

    Para korban yang selamat dan keluarga korban meninggal dan hilang juga mendatangi pemakaman massal korban tsunami Aceh. Mereka mengenang momen mengerikan yang terjadi 20 tahun lalu dan merenggut harta, benda, dan kerabat mereka.

    “Saya pikir itu kiamat,” kata Hasnawati, seorang guru berusia 54 tahun, saat mengunjungi masjid yang rusak karena tsunami.

    “Minggu pagi itu kami sekeluaga, semua tertawa bersama, tiba-tiba bencana melanda dan semuanya lenyap. Saya tidak dapat menggambarkannya dengan kata-kata,”

    AFP melaporkan peringatan 20 tahun tsunami Samudera Hindia juga digelar melalui sejumlah upacara keagamaan di Sri Lanka, India, dan Thailand, beberapa negara yang ikut menjadi korban tsunami 2004.

    Pada 26 Desember 2004, gempa bumi berkekuatan 9,1 skala Richter pecah di ujung barat Sumatera yang menghasilkan serangkaian gelombang besar di Samudera Hindia dan menghantam pesisir pantai 14 negara, dari Indonesia hingga Somalia.

    Gelombang itu bahkan mencapai ketinggian 30 meter, menyapu nyaris bersih pemukiman, penduduk, hingga wisatawan yang sedang merayakan momen libur natal dan akhir pekan sekaligus.

    Gelombang dari dasar laut itu melaju dengan kecepatan dua kali lebih cepat dari kereta cepat, melintasi seluruh bagian Samudera Hindia hanya dalam beberapa jam.

    Tsunami tersebut menerjang tanpa didahului peringatan tsunami. Namun meskipun sebagian negara memiliki teknologi tersebut dan berfungsi, jeda waktu untuk menyelamatkan diri sangatlah sempit.

    Tercatat, sebanyak 226.408 orang meninggal dunia akibat tsunami tersebut di seluruh negara. Indonesia menjadi negara paling terdampak, yakni setidaknya 160 ribu orang meninggal dunia. Kala itu, Aceh tak memiliki sistem peringatan dini.

    “Saya berharap kita tidak akan pernah mengalaminya lagi,” kata Nilawati yang kini berusia 60 tahun. “Rasanya seperti baru terjadi kemarin. Setiap kali saya mengingatnya, rasanya seperti semua darah mengalir keluar dari tubuh saya.”

    “Anak-anak, istri, ayah, ibu, semua saudara saya hanyut,” kata Baharuddin Zainun, seorang nelayan 70 tahun yang selamat dari bencana. “Tragedi yang sama juga dirasakan oleh orang lain. Kami merasakan hal yang sama.”

    Di Sri Lanka, korban jiwa akibat tsunami mencapai 35 ribu orang. Sementara itu, para korban selamat dan keluarga berkumpul untuk mengenang 1.000 orang meninggal saat tsunami menghantam kereta yang tengah melaju kala itu.

    Upacara keagamaan singkat diadakan bersama keluarga korban di sana. Sementara upacara Buddha, Hindu, Kristen, dan Muslim juga diselenggarakan untuk mengenang para korban di seluruh negara pulau Asia Selatan itu.

    Sementara itu di Thailand, acara peringatan tidak resmi diperkirakan akan menyertai upacara peringatan pemerintah. Tsunami 2004 menelan 5.000 korban jiwa di negara itu, dengan lebih dari separuhnya adalah wisatawan asing.

    Sebuah hotel di provinsi Phang Nga mengadakan pameran tsunami, pemutaran film dokumenter, dan pengenalan kesiapsiagaan bencana dan langkah-langkah ketahanan oleh pemerintah dan lembaga-lembaga kemanusiaan.

    Hampir 300 orang tewas di tempat yang jauh seperti Somalia, serta lebih dari 100 orang di Maladewa dan puluhan di Malaysia dan Myanmar.

    (AFP/end)

    [Gambas:Video CNN]

  • 20 Tahun Tsunami Aceh: Mengintip Perjuangan Seismolog Mengawal Sistem Peringatan Dini Bencana

    20 Tahun Tsunami Aceh: Mengintip Perjuangan Seismolog Mengawal Sistem Peringatan Dini Bencana

    Bisnis.com, JAKARTA — Dibutuhkan beberapa lapis pakaian untuk Muhaimin memastikan tubuhnya tetap hangat saat berada dalam ruangan pengoperasian Tsunami Early Warning System Indonesia (Ina-TEWS). Perangkat ini berada di lantai 2 Gedung C Komplek Perkantoran Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) di Jalan Angkasa, Kemayoran, Jakarta.

    Ruangan pengoperasian Ina-TEWS tampak penuh dengan layar monitor besar dan komputer beresolusi tinggi yang beroperasi tanpa henti. Temperatur ruangan dijaga pada suhu 18-20 derajat Celsius untuk mencegah perangkat elektronik panas dan error.

    Muhaimin, seorang seismolog sekaligus supervisor operator Ina-TEWS, memimpin 14 anggota tim dari Kedeputian Geofisika BMKG. Mereka mengawasi data seismik, memperbarui parameter gempa, dan menyebarkan informasi kepada masyarakat. Setiap operator bekerja secara bergantian selama 4 jam per shift untuk memastikan tidak ada aktivitas gempa yang terlewatkan.

    Dikembangkan sejak 2008, Ina-TEWS dirancang untuk memberikan peringatan dini tsunami kurang dari 2 menit setelah gempa terdeteksi. Sistem ini memanfaatkan 600 seismometer dan 250 tide gauge di seluruh Indonesia. Sensor tersebut mampu mendeteksi getaran gempa berkekuatan rendah hingga tinggi, termasuk yang berpotensi merusak.

    Namun, tantangan tetap ada. Sebagian besar perangkat sensor di wilayah terpencil, terutama Indonesia bagian timur, sering terkendala jaringan. Vandalisme dan usia perangkat yang tua juga menjadi masalah serius. Misalnya, alat Ina-Buoy di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, telah tidak berfungsi akibat kerusakan dan mahalnya biaya perawatan.

    Di Aceh, alat pendeteksi gempa generasi pertama yang dibangun pada 2006-2007 kini memerlukan perbaikan. Menurut Zaenal Abidin Al Atas, Pengamat Meteorologi Geofisika Muda di Stageo BMKG Mata’Ie Aceh Besar, tiga menara telah rusak dalam 2 tahun terakhir meski perawatan rutin dilakukan dua kali setahun.

    Kecepatan waktu peringatan dini tsunami saat ini tercatat kurang dari 2 menit, jauh lebih baik dibandingkan delapan tahun lalu yang membutuhkan waktu hingga 10 menit. Pemanfaatan media sosial, televisi, dan radio digital mempercepat distribusi informasi untuk evakuasi.

    “Hampir setiap hari Indonesia mengalami gempa 2-6 kali. Tidak ada getaran yang terlewatkan, bahkan yang terkecil sekalipun,” ujar Muhaimin, alumnus Universitas Gadjah Mada dikutip dari Antara.

    BMKG mencatat lebih dari 17.000 gempa melanda Indonesia sepanjang 2024, termasuk gempa 5,0 magnitudo di Jawa Barat yang dipicu oleh Sesar Garsela. Berkat kinerja tim Ina-TEWS, data akurat dapat segera diseminasi untuk membantu tanggap darurat.

    Tragedi tsunami Aceh 2004 yang menewaskan 170.000 orang pada hari ini (26/2004), 20 tahun lalu menjadi pengingat pentingnya kesiapan menghadapi bencana. Dengan langkah strategis dan perbaikan alat pendeteksi, Indonesia terus memperkuat sistem peringatan dini untuk melindungi masyarakat dari dampak gempa dan tsunami.

  • Mengenang 20 Tahun Tsunami Aceh, Mengenal Smong sebagai Mitigasi Bencana dengan Kearifan Lokal

    Mengenang 20 Tahun Tsunami Aceh, Mengenal Smong sebagai Mitigasi Bencana dengan Kearifan Lokal

    Liputan6.com, Aceh – Tepat 20 tahun lalu, tragedi gempa dan tsunami melanda Aceh. Bencana yang menyisakan duka ini sekaligus menjadi ‘tantangan’ bagi masyarakat Simeulue untuk mempraktikkan mitigasi bencana dengan kearifan lokal yang disebut smong.

    Mengutip dari dishub.acehprov.go.id, saat itu, masyarakat Simeulue berhasil menyelesaikan tantangan tersebut. Gempa hebat yang disusul luapan air laut itu menyapu ribuan rumah penduduk, tetapi masyarakat berhasil selamat.

    Hal ini terjadi berkat smong, sebuah teknik mitigasi bencana dengan kearifan lokal dan adat tutur yang telah diwariskan secara turun-temurun. Berkat smong, tidak banyak korban jiwa dalam bencana 20 tahun lalu. Tercatat, sekitar tiga hingga enam orang yang meninggal dunia.

    Hal tersebut membuat smong dikagumi seluruh dunia hingga membuat semua orang penasaran. Smong pun mulai banyak didiskusikan, diseminarkan, dan dipelajari.

    Masyarakat dunia, khususnya di Indonesia, mulai mempelajari Smong sebagai salah satu cara mitigasi bencana tsunami. Adapun mitigasi bencana ini dilakukan oleh masyarakat Simeulue dengan berteriak, “smong”, sambil berlari ke bukit menjauhi pantai.

    Teriakan tersebut dimaksudkan sebagai penanda bahwa terdapat smong di lautan. Smong diartikan sebagai hempasan gelombang air laut yang berasal dari bahasa Devayan, bahasa asli Simeulue. Smong menjadi penanda awal atau peringatan dini akan terjadinya tsunami.

    Mitigasi bencana smong sebenarnya mulai dikenal pada 1907. Saat itu, terdapat bencana ombak besar yang menghantam pesisir-pesisir pulau Simeulue, terutama di Kecamatan Teupah Barat.

    Wilayah tersebut dihantam tsunami dengan magnitude 7,6. Peristiwa tersebut pun menjadi mimpi buruk sekaligus pelajaran berharga bagi masyarakat Simeulue Aceh.

    Tak bisa dihindari, bencana tersebut menelan ribuan nyawa, merusak rumah dan surau, hingga merenggut harta tanpa sisa. Jejak bencana itu masih terlihat pada sebuah kuburan yang terletak di pelataran masjid Desa Salur, Kecamatan Teupah Barat. Sejak peristiwa traumatis tersebut, masyarakat Simeulue mulai mempraktikkan smong.

    Secara historis, smong merupakan kearifan lokal dari rangkaian pengalaman masyarakat Simeulue pada masa lalu terhadap bencana gempa bumi dan tsunami. Sejak saat itu, kata smong begitu akrab di kalangan masyarakat Simeulue.

    Oleh nafi-nafi, kisah smong diceritakan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Masyarakat sekitar mengenal nafi sebagai budaya lokal masyarakat Simeulue berupa adat tutur atau cerita yang berisi nasihat dan petuah kehidupan.

    Para tetua dan tokoh adat menyampaikan nafi-nafi kepada kaum muda untuk menjadi pelajaran, tak terkecuali terkait smong. Smong disampaikan dalam berbagai kesempatan, mulai dari saat memanen cengkeh, saat mengaji di surau, hingga menjadi pengantar tidur anak-anak di malam hari.

    Kini, media penyampaian smong bertambah. Tak hanya melalui nafi, tetapi juga diceritakan melalui nanga-nanga dan kesenian nandong masyarakat Simeulue.

    Smong juga disenandungkan melalui lagu dan puisi, salah satunya melalui syair lagu karya Muhammad Riswan atau Moris. Ia merupakan salah satu tokoh adat dan pemerhati budaya Simeulue.

    Perlahan, smong pun berkembang menjadi mitigasi bencana tsunami dengan kearifan lokal masyarakat Simeulue yang terus diwariskan melalui berbagai cara. Para tetua meyakini, suatu saat smong akan datang lagi. Meski dalam hati, mereka sangat berharap agar kejadian traumatis tersebut tidak pernah terulang lagi.

     

    Penulis: Resla