Topik: Tsunami

  • Jepang Cabut Peringatan Tsunami Usai Gempa M 6,9

    Jepang Cabut Peringatan Tsunami Usai Gempa M 6,9

    Jakarta

    Otoritas Jepang telah mencabut peringatan tsunami yang dikeluarkan setelah gempa bumi dengan Magnitudo (M) 6,9 melanda wilayah timur laut negara itu pada hari Jumat (12/12). Demikian disampaikan Badan Meteorologi Jepang (JMA), dilansir kantor berita AFP, Jumat (12/12/2025).

    JMA sebelumnya menetapkan Magnitudo gempa bumi tersebut sebesar 6,7. Belum ada laporan mengenai kerusakan maupun korban usai gempa ini.

    Gempa tersebut terjadi pada pukul 11:44 waktu setempat di lepas pantai prefektur Aomori dengan kedalaman 20 km (12 mil). Gempa ini terjadi setelah gempa yang lebih besar, dengan M 7,5, mengguncang wilayah yang sama pada Senin malam lalu.

    Stasiun televisi NHK melaporkan bahwa tingkat guncangan lebih rendah daripada gempa yang lebih besar pada Senin malam lalu, yang menyebabkan barang-barang berjatuhan dari rak, merusak jalan, memecahkan jendela, dan memicu gelombang tsunami hingga 70 sentimeter.

    Otoritas Regulasi Nuklir mengatakan pada hari Jumat (12/12) bahwa tidak ada tanda-tanda anomali langsung di fasilitas nuklir wilayah tersebut.

    Sebelumnya, setelah gempa Senin lalu, JMA telah menerbitkan peringatan khusus yang memperingatkan bahwa gempa lain dengan ukuran serupa atau lebih besar mungkin terjadi dalam satu minggu ke depan.

    Peringatan tersebut mencakup wilayah Sanriku di ujung timur laut pulau utama Jepang, Honshu, dan pulau Hokkaido, yang menghadap Samudra Pasifik.

    Wilayah ini dihantui oleh kenangan gempa bawah laut dahsyat berkekuatan M 9,0 pada tahun 2011, yang memicu tsunami yang menyebabkan sekitar 18.500 orang tewas atau hilang.

    Pada Agustus 2024, JMA mengeluarkan peringatan khusus pertamanya, untuk bagian selatan pantai Pasifik Jepang, yang memperingatkan kemungkinan “gempa super besar” di sepanjang Palung Nankai.

    Jepang berada di atas empat lempeng tektonik utama di sepanjang tepi barat “Cincin Api” Pasifik dan merupakan salah satu negara paling aktif secara seismik di dunia.

    Negara tersebut, yang dihuni sekitar 125 juta orang, mengalami sekitar 1.500 guncangan setiap tahun. Sebagian besar bersifat ringan, meskipun kerusakan yang ditimbulkannya bervariasi, tergantung pada lokasi dan kedalamannya di bawah permukaan bumi.

    Halaman 2 dari 2

    (ita/ita)

  • Jepang Cabut Peringatan Tsunami Usai Gempa M 6,9

    Gempa M 6,7 Guncang Jepang, Ada Peringatan Tsunami!

    Jakarta

    Gempa bumi dengan Magnitudo (M) 6,7 terjadi di lepas pantai utara Jepang pada hari Jumat (12/12). Ini terjadi beberapa hari setelah gempa M 7,5 di wilayah yang sama melukai setidaknya 50 orang.

    Dilansir kantor berita AFP, Jumat (12/12/2025), Badan Meteorologi Jepang (JMA) juga mengingatkan bahwa gelombang tsunami hingga satu meter (tiga kaki) dapat menghantam garis pantai Pasifik utara.

    Survei Geologi Amerika Serikat (USGS) juga mengatakan bahwa gempa tersebut berkekuatan M 6,7 dan berjarak 130 kilometer (81 mil) dari kota Kuji di prefektur Iwate di pulau utama Honshu.

    Stasiun televisi NHK melaporkan bahwa tingkat guncangan lebih rendah daripada gempa yang lebih besar pada Senin malam lalu, yang menyebabkan barang-barang berjatuhan dari rak, merusak jalan, memecahkan jendela, dan memicu gelombang tsunami hingga 70 sentimeter.

    Otoritas Regulasi Nuklir mengatakan pada hari Jumat (12/12) bahwa tidak ada tanda-tanda anomali langsung di fasilitas nuklir wilayah tersebut.

    Sebelumnya, setelah gempa Senin lalu, JMA telah menerbitkan peringatan khusus yang memperingatkan bahwa gempa lain dengan ukuran serupa atau lebih besar mungkin terjadi dalam satu minggu ke depan.

    Peringatan tersebut mencakup wilayah Sanriku di ujung timur laut pulau utama Jepang, Honshu, dan pulau Hokkaido, yang menghadap Samudra Pasifik.

    Wilayah ini dihantui oleh kenangan gempa bawah laut dahsyat berkekuatan M 9,0 pada tahun 2011, yang memicu tsunami yang menyebabkan sekitar 18.500 orang tewas atau hilang.

    Pada Agustus 2024, JMA mengeluarkan peringatan khusus pertamanya, untuk bagian selatan pantai Pasifik Jepang, yang memperingatkan kemungkinan “gempa super besar” di sepanjang Palung Nankai.

    Jepang berada di atas empat lempeng tektonik utama di sepanjang tepi barat “Cincin Api” Pasifik dan merupakan salah satu negara paling aktif secara seismik di dunia.

    Negara tersebut, yang dihuni sekitar 125 juta orang, mengalami sekitar 1.500 guncangan setiap tahun. Sebagian besar bersifat ringan, meskipun kerusakan yang ditimbulkannya bervariasi, tergantung pada lokasi dan kedalamannya di bawah permukaan bumi.

    Lihat juga Video: Gempa M 7,6 Mengguncang Jepang, Ini Instruksi PM Takaichi

    Halaman 2 dari 2

    (ita/ita)

  • Apakah Gempa Super Besar Akan Segera Mengguncang Jepang?

    Apakah Gempa Super Besar Akan Segera Mengguncang Jepang?

    Jakarta

    Setelah gempa bumi berkekuatan 7,5 magnitudo mengguncang Jepang, 8 Desember lalu, pihak berwenang negara tersebut kembali memperingatkan kemungkinan terjadinya mega gempa pada waktu-waktu mendatang.

    Mega gempa yang dimaksud adalah gempa dahsyat yang terjadi sekali dalam seabad.

    Pada September lalu, panel investigasi gempa bumi Jepang mengatakan ada 60%-90% kemungkinan mega gempa akan terjadi di Palung Nankai, kawasan rawan gempa yang membentang di sepanjang pantai Pasifik Jepang dalam 30 tahun ke depan.

    Sebelumnya, April 2025, pihak berwenang Jepang memperingatkan bahwa mega gempa berpotensi memicu tsunami lebih dari 20 meter yang dapat menghantam sebagian Tokyo dan prefektur lainnya. Mereka memperkirakan sekitar 300.000 orang akan meninggal dunia dan kerugian ekonomi mencapai triliunan dolar AS.

    Jadi, apa itu “mega gempa”? Dapatkah kejadian itu diprediksi? Lalu, apakah gempa itu akan terjadi dalam waktu dekat?

    Apa kata peringatan terkini?

    Para pejabat Jepang mendesak warga di tujuh prefektur dari Hokkaido di utara hingga Chiba di Jepang Tengah untuk tetap waspada menghadapi potensi mega gempa.

    Wilayah ini dihuni jutaan penduduk.

    Pihak berwenang juga meminta warga memeriksa jalur evakuasi, mengamankan perabotan, dan menyiapkan perlengkapan darurat, termasuk makanan, air, dan toilet portabel.

    Namun, perintah evakuasi belum dirilis.

    Mega Gempa yang terjadi di Palung Nankai berlangsung hampir 80 tahun lalu. Dalam foto ini, Kota Tanabe di bagian selatan Jepang luluh lantak pada 26 Desember 1946. (AP)

    Direktur lembaga mitigasi bencana Jepang mengatakan bahwa data gempa bumi global menunjukkan ada kemungkinan, bukan prediksi, bakal terjadi gempa yang lebih besar di masa mendatang.

    Para pejabat Jepang mengatakan kemungkinan terjadinya gempa yang lebih besar adalah sekitar satu banding 100.

    Apa itu mega gempa?

    Gempa bumi lazim terjadi di Jepang lantaran negara ini terletak di Cincin Api, seperti halnya Indonesia. Akibatnya, Jepang mengalami sekitar 1.500 gempa bumi setiap tahun.

    Sebagian besar gempa bumi tidak menyebabkan kerusakan besar, tetapi ada beberapa gempa dahsyat. Contohnya gempa magnitudo 9,0 yang terjadi pada 2011 yang memicu tsunami ke pantai timur laut dan menewaskan lebih dari 18.000 orang.

    Baca juga:

    Namun, gempa yang dikhawatirkan oleh pihak berwenang akan terjadi di wilayah yang lebih padat penduduknya di bagian selatan. Dalam skenario terburuk, jumlah korban akan jauh lebih banyak.

    Gempa bumi di sepanjang Palung Nankai telah menyebabkan ribuan kematian.

    Pada 1707, retakan di palung sepanjang 600 kilometer tersebut menyebabkan gempa bumi terbesar kedua yang pernah tercatat di Jepang. Gempa itu lalu diikuti oleh letusan Gunung Fuji.

    BBCPalung Nankai berada di antara Pantai Suruga di tengah dan Laut Hyuganada di selatan.

    Gempa bumi yang disebut “megathrust” ini cenderung terjadi setiap 100 tahun sekali dan seringkali berpasangan: yang terakhir terjadi pada 1944 dan 1946.

    Peristiwa yang telah lama diwaspadai ini, menurut ahli geologi Kyle Bradley dan Judith A Hubbard, adalah “definisi asli dari ‘Gempa Besar’”.

    “Sejarah gempa bumi besar di Nankai sangat menakutkan” sehingga menimbulkan kekhawatiran, demikian penuturan kedua ahli tersebut dalam buletin Earthquake Insights tahun 2024.

    Bisakah gempa bumi diprediksi?

    Tidak bisa, menurut Robert Geller, profesor emeritus seismologi di Universitas Tokyo.

    Ketika pihak berwenang Jepang mengeluarkan peringatan mega gempa tahun 2024setelah gempa berkekuatan 7,1 magnitudo melanda Jepang selatan, Profesor Geller mengatakan kepada BBC bahwa peringatan tersebut “hampir tidak ada hubungannya dengan sains”.

    Peringatan itu “bukan informasi yang berguna”, katanya.

    Sebab, meskipun gempa bumi dikenal sebagai “fenomena yang berkelompok”, “tidak mungkin mengetahui sebelumnya apakah gempa tersebut merupakan gempa pendahulu atau gempa susulan”.

    Memang, hanya sekitar 5% gempa bumi yang merupakan “gempa pendahulu”, kata Bradley dan Hubbard.

    Namun, gempa bumi pada 2011 didahului oleh gempa berkekuatan 7,2 yang sebagian besar diabaikan, kata mereka.

    Getty ImagesGempa dahsyat pada 2011 menewaskan lebih dari 18.000 orang.

    Sistem peringatan tersebut disusun setelah tahun 2011 sebagai upaya mencegah bencana sebesar ini terjadi lagi. Agustus 2024 adalah pertama kalinya Badan Meteorologi Jepang (JMA) menggunakannya.

    Namun, yang terpenting, meskipun lembaga itu meminta masyarakat untuk waspada, mereka tidak menyuruh siapa pun untuk mengungsi. Bahkan, mereka berupaya mengecilkan risiko besar yang akan segera terjadi.

    “Kemungkinan terjadinya gempa bumi besar baru lebih tinggi dari biasanya, tetapi ini bukan indikasi bahwa mega gempa pasti akan terjadi,” kata JMA saat itu.

    Reportase tambahan oleh Chika Nakayama dan Jake Lapham

    (ita/ita)

  • 70 Aset Negara Sudah Diasuransikan Senilai Rp 397,69 Miliar

    70 Aset Negara Sudah Diasuransikan Senilai Rp 397,69 Miliar

    Jakarta, Beritasatu.com – Indonesia memang rawan bencana alam, seperti yang terjadi di Aceh dan Sumatera. Oleh karena itu, penting bagi aset negara untuk mendapatkan perlindungan asuransi.

    Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Ogi Prastomiyono menyampaikan bahwa nilai 70 aset negara yang telah mendapatkan perlindungan melalui Asuransi Barang Milik Negara (ABMN) mencapai Rp 397,69 miliar.

    “Berdasarkan data yang kami miliki, skema ABMN dari kementerian dan lembaga mencakup 70 objek yang telah teridentifikasi dengan nilai pertanggungan sekitar Rp 397,69 miliar,” ujarnya di Jakarta, Kamis (11/12/2025).

    Ia menjelaskan jumlah tersebut masih dapat meningkat karena tidak seluruh aset negara terdaftar dalam program asuransi tersebut.

    Untuk memperkuat perlindungan aset nasional, pemerintah bersama industri asuransi tengah memfinalisasi pembentukan Dana Bersama Penanggulangan Bencana atau Pooling Fund Bencana (PFB).

    Ogi menuturkan bahwa melalui skema PFB, pembayaran premi ABMN tidak hanya bersumber dari APBN dan APBD, tetapi juga dapat berasal dari hibah, investasi, maupun penerimaan hasil klaim. Dana bersama tersebut akan dikelola oleh Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) mulai akhir 2025.

    “Skema pendanaan ini diharapkan dapat memperluas jumlah kementerian atau lembaga serta objek barang milik negara yang ikut diasuransikan, mengingat saat ini cakupannya belum sepenuhnya optimal,” kata Ogi.

    Ia menambahkan bahwa ABMN merupakan bagian dari penerapan asuransi wajib bencana yang sangat relevan bagi Indonesia karena risiko kebencanaan yang tinggi akibat lokasinya di kawasan Ring of Fire.

    “Risiko di Indonesia terbagi dalam beberapa kelompok, mulai dari earthquake (gempa bumi), volcanic eruption (erupsi gunung berapi), dan tsunami. Selain itu, ada juga typhoon (topan), storm (badai), flood (banjir), water damage (kerusakan karena air), hingga wildfire (kebakaran hutan),” jelasnya.

  • “Kuburan Rumah” Bekas Banjir di Aceh Tamiang: Dikelilingi Lumpur, Jadi Tak Layak Huni

    “Kuburan Rumah” Bekas Banjir di Aceh Tamiang: Dikelilingi Lumpur, Jadi Tak Layak Huni

    “Kuburan Rumah” Bekas Banjir di Aceh Tamiang: Dikelilingi Lumpur, Jadi Tak Layak Huni
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Banjir bandang dan longsor yang menerjang wilayah Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat yang terjadi beberapa pekan lalu mengakibatkan kerusakan parah pada sejumlah desa, di mana lokasi terparah adalah Kabupaten Aceh Tamiang, Provinsi Aceh.
    Di Aceh, proses pemulihan berjalan agak lama lantaran infrastruktur yang terputus dan
    lumpur
    yang tak kunjung surut.
    Ada banyak rumah tertimbun lumpur hingga setinggi dada orang dewasa, bahkan beberapa bangunan hilang tertelan material lumpur yang mengeras bak semen.
    Pakar Kebijakan Publik dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah menilai, tahap pemulihan harus difokuskan pada penataan kembali permukiman, relokasi, dan sosial ekonomi warga yang terdampak berat.
    Trubus menuturkan, penentuan lokasi relokasi menjadi poin krusial agar masyarakat tidak dikembalikan ke kawasan rawan.
    “Daerah yang sudah tertimbun lumpur atau berubah kontur tanahnya tidak layak lagi dihuni. Kalau dipaksakan, warga bisa kembali trauma dan ancaman bencana susulan tetap ada,” ujar Trubus, kepada Kompas.com, Kamis (10/12/2025).
    Senada, Ahli klimatologi dan perubahan iklim Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Erma Yulihastin, menilai, lokasi-lokasi yang terdampak
    banjir bandang
    dan longsor di Aceh berpotensi besar tidak lagi layak untuk ditempati.
    Hal itu disebabkan endapan lumpur atau sedimentasi yang cukup tebal dan berlapis-lapis yang kini mengering dan mengeras, sehingga mustahil dipulihkan dengan cara pembersihan biasa.
    Menurut Erma, pemulihan permukiman di wilayah yang tertimbun lumpur jauh lebih sulit jika dibandingkan dengan bencana lain seperti gempa, tsunami, atau banjir reguler.
    “Lumpur-lumpur itu mengeras, jadi semua yang terendam sangat sulit diambil dan diselamatkan,” ujar dia.
    Pada gempa bumi, reruntuhan masih dapat diangkat menggunakan alat berat untuk kemudian dibersihkan.
    “Tapi ini tidak bisa sama sekali, tingkat kesulitannya jauh lebih tinggi,” tegas dia.
    Menurut Trubus, pemerintah harus segera mengambil keputusan jelas terkait pemindahan warga, baik ke hunian sementara maupun ke lokasi relokasi permanen.
    Ia menekankan, penetapan lokasi harus mempertimbangkan aspek keselamatan, akses pendidikan, layanan kesehatan, dan peluang ekonomi.
    Selain itu, Trubus menilai, arahan Presiden mengenai pemanfaatan lahan untuk mendirikan rumah sementara merupakan langkah tepat, terutama bagi mereka yang rumahnya telah rusak total.
    “Ada rumah-rumah yang memang sudah tidak mungkin digunakan. Tertimbun lumpur, struktur tanah berubah, sulit dibersihkan. Tidak boleh lagi warga dipaksa tinggal di situ,” kata dia.
    Ia mengingatkan, banyak penyintas kehilangan mata pencarian akibat bencana, sehingga risiko jatuh ke jurang kemiskinan meningkat.
    Dalam kondisi demikian, pemerintah diminta memberi perhatian khusus pada kelompok masyarakat yang rentan.
    “Pembangunan kembali rumah, layanan pendidikan untuk anak-anak, hingga dukungan pemulihan ekonomi harus diprioritaskan. Pemerintah daerah harus benar-benar menyesuaikan intervensi dengan kebutuhan masyarakat, terutama masyarakat miskin,” ujar dia.
    Menurut Erma, kondisi sedimentasi ekstrem yang muncul pascabencana membuat beberapa titik pemukiman benar-benar tidak dapat direhabilitasi.
    Bahkan, proses pemetaan ulang wilayah terdampak perlu segera dilakukan untuk menentukan area mana yang sudah tidak mungkin dihuni kembali.
    “Kalau tetap direkonstruksi di tempat yang sama, justru menimbulkan persoalan baru. Ini berantai kalau tidak cepat diselesaikan,” kata Erma.
    Trubus menilai, proses pemulihan di Aceh harus dilakukan secara komprehensif, tidak hanya membangun kembali infrastruktur fisik tetapi juga memastikan warga bisa kembali hidup layak.
    Erma mengingatkan bahwa Aceh saat ini baru memasuki fase tanggap darurat, yang idealnya berlangsung satu hingga dua minggu.
    Namun, hingga minggu kedua, penanganan masih belum tuntas, sehingga BNPB telah memperpanjang status tanggap darurat untuk kedua kalinya.
    “Ini baru tanggap darurat, belum masuk tahap rehabilitasi dan
    recovery
    . Artinya, ketidakpastian bagi warga bisa semakin panjang kalau tidak dipercepat,” ujar dia.
    Erma menekankan pentingnya percepatan penanganan agar masyarakat terdampak tidak berlarut-larut menghadapi risiko lanjutan maupun beban psikologis akibat kehilangan tempat tinggal.
    “Korban tidak boleh terlalu lama berada dalam situasi ketidakpastian. Proses pemetaan, keputusan relokasi, dan rencana pemulihan harus segera dibuat,” kata dia.
    Menurut Trubus, sejumlah titik terdampak banjir dan longsor di Aceh perlu sesegera mungkin dilakukan pembersihan material lumpur, pendataan kerusakan rumah, serta penyiapan skema relokasi oleh pemerintah.
    Pemerintah daerah diminta bergerak cepat agar masyarakat yang kehilangan rumah tidak terus berlama-lama di pengungsian.
    “Jangan sampai mereka kembali ke tempat yang berbahaya. Pemulihan harus menjamin keamanan dan keberlanjutan hidup masyarakat ke depan,” tegas Trubus.
    Adapun warga yang rumahnya terdampak pengerasan lumpur tebal, dialami oleh Nasruddin (38), warga Dusun Meunasah Krueng Baroh, Desa Manyang Cut, Kecamatan Meureudu, Pidie Jaya.
    Nasruddin masih harus bertahan di lokasi pengungsian, dan keluarganya belum dapat pulang karena rumah mereka terkubur lumpur tebal sisa banjir bandang yang melanda kawasan tersebut.
    Tebalnya endapan lumpur, sekitar 1,5 meter di bagian depan rumah dan setinggi pinggang di dalam rumah, tidak mungkin dibersihkan dengan tenaga warga sendiri.
    Nasruddin menyebut satu-satunya cara hanyalah menggunakan alat berat, situasi yang juga dialami banyak keluarga lain di desanya.
    “Tidak sanggup kita bersihkan lumpur sekitar 1,5 lebih di depan, sedangkan di dalam rumah lumpur sepinggang,” kata Nasruddin, kepada Kompas.com, Senin (8/12/2025).
    Karena kondisi itu, warga Manyang Cut masih memilih bertahan di pos pengungsian.
    Sebagian kecil warga yang luapan lumpurnya tidak terlalu parah hanya berani kembali sesaat untuk mencuci pakaian, sebelum kembali lagi ke tempat pengungsian.
    “Sedangkan rumah belum ada yang membersihkan sampai hari ini. Bagaimana cara kita bersihkan, karena pembuangan tidak ada,” ujar dia.
    Setelah rumah warga korban banjir longsor tertelan lumpur dan mengeras, minimnya bantuan membuat warga mulai kelaparan dan kesulitan bertahan hidup.
    Muhammad Hendra Vramenia, warga Kampung Bundar di Kecamatan Karang Baru, menggambarkan kondisi memilukan yang terjadi.
    Ia menyebut, beberapa desa kini hilang ditelan lumpur, tertutup tumpukan kayu dan balok-balok raksasa.
    Salah satunya Desa Sekumur, yang sebelumnya dihuni sekitar 1.234 jiwa dengan 280 rumah.
    Kini, seluruh permukiman itu musnah setelah dihantam banjir setinggi hampir 7 meter.
    “Desanya sudah tidak ada lagi, rata tanah karena disapu banjir. Yang tersisa hanya bangunan masjid,” ujar Hendra, kepada Kompas.com, Sabtu (6/12/2025).
    Menurut Hendra, warga kini hidup dalam kecemasan.
    Kampung-kampung terputus dari akses luar, sementara logistik hampir tidak ada.
    Situasi serupa terjadi di Pematang Durian (Kecamatan Sekerak), Pantai Cempa, Babo, hingga Sulum.
    “Daerah ini masih terisolasi. Kalau ada bantuan, tolong tembus ke wilayah yang belum disentuh sama sekali. Karena 12 kecamatan di Aceh Tamiang terdampak. Makanya saya bilang ini seperti tsunami,” kata dia.
    Hendra meminta pemerintah pusat di Jakarta benar-benar memperhatikan kondisi Aceh Tamiang dan menetapkan kejadian tersebut sebagai bencana nasional.
    Ia menilai, kemampuan pemerintah daerah sangat terbatas dan tidak mungkin mampu memulihkan kerusakan yang begitu luas secara mandiri.
    “Penanganannya harus seperti saat pemerintah melakukan pemulihan pascatsunami di Banda Aceh. Jika tidak, situasinya bisa makin parah. Sekarang saja Aceh Tamiang sudah seperti kota yang dipenuhi limbah di mana-mana,” tutur Hendra.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Mengenal Gajah Sumatra, Si Raksasa yang Bantu Bersihkan Puing Banjir di Aceh

    Mengenal Gajah Sumatra, Si Raksasa yang Bantu Bersihkan Puing Banjir di Aceh

    Jakarta: Sebanyak empat gajah yang sudah terlatih dikerahkan untuk membantu mengangkut material pasca banjir bandang di Pidie Jaya, Aceh. Keempatnya merupakan gajah Sumatera (Elephas maximus) bernama Abu, Mido, Ajis, dan Noni.
     
    Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh mengerahkan Abu, Mido, Ajis, dan Noni dari Pusat Latihan Gajah (PLG) Saree, Aceh Besar. Mereka disebut sudah berpengalaman dalam membantu melakukan pembersihan pasca bencana.
     
    “Berdasarkan pengalaman sebelumnya, termasuk saat tsunami di Aceh, kehadiran gajah sangat membantu membersihkan puing-puing,” ujar Kepala KSDA Wilayah Sigli, Aceh, Hadi Sofyan seperti dilansir Antara, Rabu, 10 Desember 2025.
     
    Ia menjelaskan, empat ekor gajah tersebut melakukan pembersihan puing kayu di lokasi-lokasi yang tidak bisa dilewati alat berat. Gajah-gajah tersebut juga membantu membuka akses jalan menuju rumah warga.
     
    Tak hanya itu, gajah-gajah ini akan membantu evakuasi apapun ada di lokasi, serta mengantar logistik kepada para korban banjir di Pidie Jaya. Keempatnya akan bertugas selama satu pekan.
     
    “Untuk durasi, kami akan bertugas selama tujuh hari di sini, terakhir 14 Desember 2025,” ungkapnya.
     

     

    Mengenal Gajah Sumatra (Elephas maximus)
    Gajah Sumatra, atau bernama latin Elephas maximus sumatranus, merupakan subspecies gajah Asia yang kini berstatus terancam punah. Di antara subspesies gajah Asia lainnya, Gajah Sumatra memiliki tubuh cenderung lebih kecil.
     
    Melansir sejumlah sumber, Gajah Sumatra yang sudah dewasa memiliki berat hingga sekitar 5 ton dengan tinggi dari bahu bisa mencapai 2-3 meter. Warna kulitnya abu-abu atau coklat keabu-abuan. Sedikit berbeda dengan gajah Afrika, hanya gajah Sumatra jantan yang memiliki gading, sedangkan betina tidak.
     
    Gajah Sumatera juga memiliki dua tonjolan pada bagian atas kepala, sedangkan Gajah Afrika cenderung datar. Sedangkan kuping Gajah Sumatera lebih kecil dan berbentuk segitiga dibandingkan Gajah Afrika yang kupingnya besar dan berbentuk kotak.
     
    Gajah Sumatra dikenal sebagai “penyebar benih” atau seed disperser alami karena mampu membantu meregenerasi hutan dengan membuang biji dari buah dan tanaman yang dimakannya.
     

     
    Gajah ini bisa memakan hingga 136–150 kg tumbuhan per harinya. Sementara itu, gajah ini memiliki daya jelajah (homerange) mencapai 170 km2 perhari. Artinya, dengan luas jelajah yang ia tempuh setiap harinya, maka gajah akan menyebarkan biji secara alami sehingga memperbaiki kondisi hutan. Kotorannya pun bisa menjadi pupuk alami bagi tanaman.
     
    Untuk habitat, Gajah Sumatra umumnya menempati hutan dataran rendah dengan ketinggian kurang dari 300 meter di atas permukaan laut, termasuk kawasan rawa dan hutan gambut.
     
    Spesies ini merupakan subspesies gajah yang hanya dapat ditemukan di Pulau Sumatra dan tidak hidup secara alami di wilayah lain. Sebagian besar populasinya tersebar di tujuh provinsi, yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, dan Lampung.

     

    Jakarta: Sebanyak empat gajah yang sudah terlatih dikerahkan untuk membantu mengangkut material pasca banjir bandang di Pidie Jaya, Aceh. Keempatnya merupakan gajah Sumatera (Elephas maximus) bernama Abu, Mido, Ajis, dan Noni.
     
    Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh mengerahkan Abu, Mido, Ajis, dan Noni dari Pusat Latihan Gajah (PLG) Saree, Aceh Besar. Mereka disebut sudah berpengalaman dalam membantu melakukan pembersihan pasca bencana.
     
    “Berdasarkan pengalaman sebelumnya, termasuk saat tsunami di Aceh, kehadiran gajah sangat membantu membersihkan puing-puing,” ujar Kepala KSDA Wilayah Sigli, Aceh, Hadi Sofyan seperti dilansir Antara, Rabu, 10 Desember 2025.
     
    Ia menjelaskan, empat ekor gajah tersebut melakukan pembersihan puing kayu di lokasi-lokasi yang tidak bisa dilewati alat berat. Gajah-gajah tersebut juga membantu membuka akses jalan menuju rumah warga.
     
    Tak hanya itu, gajah-gajah ini akan membantu evakuasi apapun ada di lokasi, serta mengantar logistik kepada para korban banjir di Pidie Jaya. Keempatnya akan bertugas selama satu pekan.
     
    “Untuk durasi, kami akan bertugas selama tujuh hari di sini, terakhir 14 Desember 2025,” ungkapnya.
     

     

    Mengenal Gajah Sumatra (Elephas maximus)

    Gajah Sumatra, atau bernama latin Elephas maximus sumatranus, merupakan subspecies gajah Asia yang kini berstatus terancam punah. Di antara subspesies gajah Asia lainnya, Gajah Sumatra memiliki tubuh cenderung lebih kecil.
     
    Melansir sejumlah sumber, Gajah Sumatra yang sudah dewasa memiliki berat hingga sekitar 5 ton dengan tinggi dari bahu bisa mencapai 2-3 meter. Warna kulitnya abu-abu atau coklat keabu-abuan. Sedikit berbeda dengan gajah Afrika, hanya gajah Sumatra jantan yang memiliki gading, sedangkan betina tidak.
     
    Gajah Sumatera juga memiliki dua tonjolan pada bagian atas kepala, sedangkan Gajah Afrika cenderung datar. Sedangkan kuping Gajah Sumatera lebih kecil dan berbentuk segitiga dibandingkan Gajah Afrika yang kupingnya besar dan berbentuk kotak.
     
    Gajah Sumatra dikenal sebagai “penyebar benih” atau seed disperser alami karena mampu membantu meregenerasi hutan dengan membuang biji dari buah dan tanaman yang dimakannya.
     

     
    Gajah ini bisa memakan hingga 136–150 kg tumbuhan per harinya. Sementara itu, gajah ini memiliki daya jelajah (homerange) mencapai 170 km2 perhari. Artinya, dengan luas jelajah yang ia tempuh setiap harinya, maka gajah akan menyebarkan biji secara alami sehingga memperbaiki kondisi hutan. Kotorannya pun bisa menjadi pupuk alami bagi tanaman.
     
    Untuk habitat, Gajah Sumatra umumnya menempati hutan dataran rendah dengan ketinggian kurang dari 300 meter di atas permukaan laut, termasuk kawasan rawa dan hutan gambut.
     
    Spesies ini merupakan subspesies gajah yang hanya dapat ditemukan di Pulau Sumatra dan tidak hidup secara alami di wilayah lain. Sebagian besar populasinya tersebar di tujuh provinsi, yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, dan Lampung.
     
     
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di

    Google News

    (PRI)

  • Menilik Urgensi Kunjungan Luar Negeri Prabowo Saat Darurat Bencana Sumatra

    Menilik Urgensi Kunjungan Luar Negeri Prabowo Saat Darurat Bencana Sumatra

    Bisnis.com, JAKARTA – Kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke luar negeri di tengah masa tanggap darurat bencana menuai sorotan.

    Keputusan Prabowo meninggalkan Tanah Air saat bencana memunculkan perdebatan publik soal sensitivitas, komunikasi politik, hingga efektivitas kepemimpinan dalam kondisi krisis.

    Founder Lembaga Survei Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia atau KedaiKOPI Hendri Satrio memilih membaca langkah Prabowo secara positif.

    Dia menilai perjalanan ke luar negeri bisa saja berkaitan dengan upaya mencari dukungan internasional untuk rekonstruksi dan rehabilitasi pascabencana.

    “Ya kita positif thinking aja, bisa jadi kunjungan-kunjungan ke luar negeri pak Prabowo justru untuk mencari dukungan terhadap program rekonstruksi dan rehabilitasi terhadap bencana kita,” ujarnya saat dihubungi Bisnis, Rabu (10/12/2025).

    Kendati demikian, Hendri menilai penting bagi Presiden untuk menunjukkan komitmen nyata setelah kembali ke Tanah Air.

    “Kami usul setelah kembali dari lawatan luar negeri maka daerah yang pertama kali dikunjungi harus Aceh, Sumatra Utara dan Sumatra Barat,” ucapnya.

    Senada, Direktur Eksekutif Aljabar Strategic Indonesia, Arifki Chaniago menilai Presiden Prabowo sebenarnya telah menunjukkan kepedulian dengan turun langsung ke lokasi bencana sebelum berangkat.

    Namun Arifki mengkritik tim komunikasi kepresidenan yang dinilai gagal menjelaskan urgensi perjalanan luar negeri kepada publik. Menurutnya, ketiadaan penjelasan komprehensif membuat opini liar berkembang, apalagi Prabowo kalah suara di beberapa wilayah terdampak.

    “Tim komunikasi beberapa kali kalah narasi sehingga kalah dengan narasi oposisi atau publik yang tidak puas, katanya.

    Dia menilai tanpa juru bicara yang menjelaskan konteks secara rasional, persepsi negatif tak terhindarkan. Meski begitu, Arifki menilai dari sisi jangka panjang, kerja sama luar negeri bisa berdampak positif bagi Indonesia, terutama dalam investasi dan posisi geopolitik.

    Berbeda pandangan, Direktur Kebijakan Publik Celios, Media Wahyudi Askar justru melihat langkah Presiden berkunjung ke luar negeri di tengah fase darurat bencana sebagai bentuk kurangnya empati dan tidak tepat waktu.

    Askar menilai Prabowo seharusnya memprioritaskan pemenuhan kebutuhan darurat seperti obat-obatan, air bersih, jembatan sementara, alat berat, dan helikopter untuk menjangkau wilayah yang hingga kini masih terisolasi.

    Dia juga menyoroti lemahnya kualitas laporan yang diterima presiden dari para pembantu pemerintah daerah maupun pusat. Oleh sebab itu, dia mempertanyakan urgensi kepergian Prabowo, mengingat kerja sama dengan negara-negara seperti Pakistan maupun Rusia dapat ditunda atau diwakili oleh menteri.

    “Bencana ini butuh leadership. Komando terpusat itu yang tidak ada sekarang,” kata Media.

    Askar menyatakan bahwa kerja sama bilateral dapat dilakukan pada waktu lain dan tidak harus dihadiri langsung oleh Presiden.

    “Pakistan itu kan masih ada bulan depan, tahun depan. Bisa ditunda. Bisa diwakili diplomat atau menteri. Bencana ini beda. Ini bicara soal nyawa,” ucapnya.

    Menurutnya, saat ini di Aceh sedang terjadi fenomena “korban bantu korban”, karena bantuan negara belum menjangkau banyak wilayah.

    Oleh karena itu, Askar menilai penanganan bencana membutuhkan kehadiran dan instruksi langsung Kepala Negara untuk memastikan koordinasi berjalan efektif sesuatu yang menurutnya tidak terlihat sejauh ini.

    Dia juga membandingkan dengan pengalaman tsunami Aceh 2004 yang menurutnya diakui dunia sebagai contoh penanganan bencana yang kuat karena adanya komando jelas dari pemerintah pusat.

    Menurutnya, tanpa sinyal kuat dari Presiden, jajaran di bawah tidak merespons dengan cepat. Hal ini terlihat dari lambatnya mobilisasi Hercules, helikopter, jembatan sementara, hingga distribusi logistik yang masih terhambat di banyak titik.

    Askar juga menilai kunjungan Presiden ke lokasi bencana sebelumnya tidak menggambarkan kondisi sesungguhnya karena hanya mendatangi titik-titik yang aksesnya relatif terbuka. Hal itu, menurutnya, membuat publik tidak melihat empati yang kuat dari Presiden dalam menghadapi bencana besar ini.

    “Padahal yang dia kunjungi itu daerah-daerah yang relatif bisa diakses, yang ada poskonya. Coba datang ke Meriah, di ana nggak ada posko, logistik nggak masuk, motor pun nggak bisa masuk ke sana,” ujar Askar.

    Di sisi lain, Direktur Eksekutif Voxpol Center, Pangi Syarwi Chaniago menilai masalah lebih besar terletak pada respons yang menurutnya terlambat dan dipenuhi miskomunikasi antarpejabat. Dia menegaskan bahwa sejak awal pemerintah terlihat meremehkan skala bencana.

    Menurut Pangi, banyak pernyataan pejabat yang meremehkan situasi serta keterlambatan distribusi bantuan, termasuk kurangnya helikopter dan alat berat pada hari-hari awal bencana.

    Dia menilai Presiden Prabowo terjebak dalam informasi yang tidak objektif karena inner circle yang “mengalienasi” presiden dari situasi lapangan yang sebenarnya.

    “Kalau sejak awal negara cepat dan tidak menyepelekan, tidak ada masalah kunjungan luar negeri itu,” ujarnya.

    Menurutnya, rangkaian kritik dan pembelaan dari para pengamat menunjukkan bahwa kepergian Presiden Prabowo ke luar negeri pada masa krisis telah membuka ruang debat yang luas.

    Sebagian melihatnya sebagai strategi diplomasi yang memiliki nilai jangka panjang, namun sebagian lainnya menilai langkah itu tak sejalan dengan kebutuhan kepemimpinan kuat pada masa krisis.

    Respons pemerintah ke depan, baik melalui langkah konkret di lapangan maupun komunikasi publik yang lebih jelas, dipandang akan menjadi faktor penentu arah persepsi publik terhadap kepemimpinan Presiden Prabowo dalam penanganan bencana besar di Sumatra.

    Namun dengan kondisi saat ini, dia menilai citra dan kepemimpinan Presiden Prabowo ikut terpengaruh.

    “Presiden dianggap tidak sensitif, tidak responsif, dan gagal membaca situasi sebenarnya ketika bencana itu terjadi,” tandas Pangi.

  • Paradoks Diplomasi: Keraguan Manfaatkan Solidaritas Global Saat Bencana

    Paradoks Diplomasi: Keraguan Manfaatkan Solidaritas Global Saat Bencana

    Paradoks Diplomasi: Keraguan Manfaatkan Solidaritas Global Saat Bencana
    Dosen Hubungan International Universitas Dr. Moestopo (Beragama) Jakarta
    BENCANA
    banjir dan longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, yang telah merenggut lebih dari 900 jiwa, menggugah perhatian dunia untuk memberikan bantuan.
    Malaysia dan China menjadi dua negara pertama yang menyalurkan bantuan ke Aceh. Seperti dinyatakan Gubernur Aceh, Muzakir Manaf atau Mualem, bantuan tersebut diterima tanpa hambatan dan tidak ada alasan untuk mempersulit pihak yang ingin menolong. (
    Kompas
    , 8/12/2025)
    Pernyataan Gubernur Aceh ini menarik karena muncul di tengah kabar adanya resistensi dari sebagian pihak terkait masuknya bantuan asing.
    Kesan adanya keraguan ini menunjukkan bahwa persoalan kemanusiaan di Indonesia masih sering dipandang melalui kacamata kecurigaan geopolitik.
    Pertanyaannya adalah apakah menolak bantuan merupakan pilihan diplomatik yang tepat ketika rakyat sedang membutuhkan?
    Jawabannya tidak sesederhana hitam-putih. Namun, pengalaman Indonesia menunjukkan bahwa keterbukaan justru dapat menjadi kekuatan, bukan kelemahan, seperti yang terjadi pada penanganan tsunami 2004.
    Ketika tsunami 2004 menghancurkan Aceh dan sebagian Sumatera Utara, pemerintah kala itu membuat keputusan berani dengan membuka pintu selebar-lebarnya bagi
    bantuan internasional
    .
    Lebih dari 50 negara, ratusan lembaga asing, dan ribuan relawan masuk ke Aceh dalam waktu singkat.
    Bantuan kemanusiaan tersebut bukan sekadar teknis, melainkan juga wujud diplomasi yang mencerminkan kedewasaan suatu negara dalam membangun kepercayaan internasional (
    international trust-building
    ).
    Bantuan internasional waktu itu tidak hanya mempercepat penyelamatan dan pemulihan, tetapi juga membuka ruang dialog politik yang pada akhirnya turut berkontribusi terhadap proses perdamaian Aceh melalui MoU Helsinki tahun 2005.
    Inilah contoh klasik dari apa yang dalam kajian hubungan internasional disebut
    disaster diplomacy,
    yaitu bagaimana bencana dapat membuka jalan bagi stabilitas, kerja sama, dan diplomasi konstruktif.
    Tsunami 2004 menjadi tonggak bagi pembentukan UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana dan BNPB, yang kini menjadi instrumen diplomasi teknis Indonesia dalam forum global.
    Indonesia bahkan menjadi pemimpin ASEAN dalam ASEAN Agreement on Disaster Management and Emergency Response (AADMER) dan siap mengirim, menerima, serta mengoordinasikan bantuan lintas negara.
    Dengan kata lain, menerima bantuan bukan ancaman bagi kedaulatan, melainkan bagian dari arsitektur diplomasi modern yang justru memperkuat posisi Indonesia di dunia.
    Bahwa ada kekhawatiran tentang intervensi, pengaruh politik, atau agenda terselubung merupakan sesuatu yang wajar. Namun, hal tersebut tidak boleh menjadi satu-satunya lensa membaca situasi.
    Diplomasi yang dewasa bukan diplomasi yang curiga pada setiap uluran tangan, melainkan diplomasi yang tahu kapan harus menjaga jarak dan kapan harus membuka pintu.
    Negara-negara yang matang secara diplomatik seperti Jepang, Turkiye, ataupun Australia rutin menerima bantuan internasional ketika menghadapi bencana besar tanpa merasa reputasi atau kedaulatannya menurun.
    Mereka memahami prinsip dasar yang berlaku di PBB dan ASEAN karena bantuan kemanusiaan bersifat netral, tidak mengikat, dan tidak mengurangi kontrol negara penerima.
    Indonesia sebagai negara yang diperhitungkan di kawasan seharusnya memiliki kepercayaan diri yang sama.
    Diplomasi yang kuat tidak tercermin dari kemampuan menolak, tetapi dari kemampuan mengatur, mengawasi, dan mengarahkan bantuan internasional agar tetap sesuai kebutuhan nasional.
    Dalam berbagai forum global, Indonesia selalu menempatkan diri sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Prinsip ini sejalan dengan sila ke-2 Pancasila, yaitu Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
    Konsistensi prinsip ini diuji bukan hanya ketika Indonesia mengirim bantuan ke luar negeri, tetapi juga ketika Indonesia menerima bantuan dari negara lain.
    Sikap defensif berlebihan justru menciptakan paradoks diplomasi. Indonesia ingin diakui sebagai bagian dari komunitas internasional, tetapi ragu memanfaatkan solidaritas global saat bencana.
    Bantuan Malaysia dan China dalam situasi ini adalah ekspresi solidaritas yang apabila dikelola dengan transparan dan terkoordinasi dapat memperkuat hubungan bilateral, memperdalam kerja sama, sekaligus menguatkan citra Indonesia sebagai negara yang matang dan percaya diri.
    Apalagi bila dibandingkan sebelum tsunami 2004, Indonesia hari ini memiliki kapasitas penanggulangan bencana yang jauh lebih baik.
    Dengan kehadiran BNPB, Badan SAR Nasional, dan sistem komando terpadu, Indonesia sepenuhnya mampu menentukan batas, ruang gerak, dan bentuk bantuan yang dibutuhkan.
    Dalam kerangka diplomasi, ini disebut
    controlled openness,
    yaitu keterbukaan yang tetap dalam kendali negara.
    Maka, yang diperlukan bukanlah penolakan, melainkan mekanisme diplomatik yang rapi, meliputi prosedur gerbang tunggal (
    single gate policy
    ) bagi bantuan asing, pengawasan ketat lintas kementerian, transparansi publik, dan pemetaan kebutuhan yang jelas sehingga bantuan benar-benar efektif.
    Dengan mekanisme ini, bantuan internasional tetap berada di bawah kedaulatan Indonesia, sekaligus menjaga kredibilitas diplomasi kita di mata dunia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Gempa Padang Hari Ini, Berpusat di Kabupaten Solok Magnitudo 4,7

    Gempa Padang Hari Ini, Berpusat di Kabupaten Solok Magnitudo 4,7

    Liputan6.com, Jakarta – Gempa Magnitudo 4,7 mengguncang wilayah Kota Padang yang berpusat di Kabupaten Solok Sumbar, Rabu (10/12/2025), pukul 02.48.27 WIB. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebutkan, lokasi gempa Padang ini berada pada koordinat 0.99° LS ; 100.71° BT, dengan episenter gempa berada di darat tepatnya 18 km barat daya Kabupaten Solok Sumbar, dengan kedalaman gempa 10 km.

    Direktur Gempa dan Tsunami BMKG Daryono dalam pernyataan resminya mengatakan, memperhatikan lokasi dan kedalaman pusat gempa Padang ini, gempa yang terjadi merupakan gempa dangkal akibat adanya aktifitas Sesar Sumani. Daryono memastikan gempa tidak berpotensi tsunami.

    Berdasarkan estimasi peta guncangan dengan skala MMI, gempa dirasakan antara lain di Kabupaten Solok III – IV, kemudian di Padang dan Solok II – III MMI, di Sijunjung dan Sawahlunto I – II MMI.

    Belum ada lapoiran kerusakan akibat gempa, namun warga diimbau tetap waspada terhadap kemungkinan terjadinya gempa susulan.

     

  • 7
                    
                        Belajar dari Gubernur Aceh
                        Nasional

    7 Belajar dari Gubernur Aceh Nasional

    Belajar dari Gubernur Aceh
    Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Duta Besar Indonesia untuk Rusia dan Belarusia.
    BADANNYA
    penuh lumpur. Wajahnya muram, pertanda kesedihan dan tak cukup istirahat. Sesekali tatapan matanya seolah hampa. Suaranya selalu serak dan acapkali ia mengusap air matanya.
    Ia adalah 
    Muzakir Manaf
    (Mualem), Gubernur Provinsi Nangroe Aceh Darussalam.
    Sejak banjir menghempas provinsi tersebut, Mualem langsung terjun ke sejumlah wilayah, pelosok-pelosok desa, menyaksikan langsung derita rakyatnya.
    Kendati ia tertekan oleh kesedihan mendalam atas nestapa yang dialami rakyatnya, Mualem tetap tegar. Tidak pernah menunjukkan gelagat putus asa, apalagi menyerah.
    Ia menelusuri anak-anak sungai. Ia melewati jalan-jalan yang tak jelas ujungnya. Ia menggunakan kendaraan apa saja demi menyatukan dirinya dengan rakyat yang dipimpinnya.
    “Pemimpin dipilih oleh rakyat, karena itu kita harus mengabdi pada rakyat, apa pun risikonya,” kata Mualem.
    Hebatnya lagi, semua itu dilakukan dengan perintah batinnya. Bukan perintah untuk jadi populer.
    Lihatlah ketika membantu rakyatnya, ia tidak pernah menghadapkan wajahnya secara sengaja ke kamera, demi pencitraan. Semua ia lakukan secara alami.
    Bahasa atau diksinya pun tidak diatur sedemikian rupa. Semuanya mengalir secara alami saja, tanpa pretensi, nihil kehendak untuk dipuji.
    Saya janjian bertemu di Banda Aceh. Namun, sehari sebelum pertemuan itu terjadi, Mualem menelpon saya, meminta agar pertemuan ditunda dulu, karena ia hendak ke Dubai.
    Ternyata, pada hari keberangkatannya ke Dubai, hujan mengguyur Sumatera Utara dan Barat, termasuk Aceh.
    Semuanya jadi lantak. Mualem bukannya ke kota metropolitan Dubai, tetapi ia memilih ke desa-desa, berikhtiar menyelamatkan nyawa manusia.
    Ia lebih mencintai penyatuan dengan rakyat yang dipimpinya, dibanding bepergian. Ia ingin sekali baur dengan rakyatnya, merasakan kepedihan secara bersama.
    Sebuah pepatah Aceh bisa menggambarkan sikap Mualem itu. ”
    Digob nyang na karam di laoet. Digeutanyo karam di darat
    ” (Orang lain kalaupun sial karam di laut, kita karam di darat).
    Intinya, musibah bisa menimpah siapa saja, karena itu, kita harus bersatu, bahu membahu untuk saling meringankan beban.
    Mualem paham sekaligus mempraktikkan nilai-nilai kultur Aceh tersebut. Ia harus membaur dan menyatu dengan rakyatnya.
    Ia tidak mau meninggalkan rakyatnya yang didera derita dan membinasakan. Mualem berprinsip, bila rakyat saya jadi korban, biarlah saya juga jadi korban, asal bersama rakyatku.
    Mualem menolak mengikuti jejak pemimpin-pemimpin lainnya, yang amat mahir menerima laporan dari bawah tanpa keterampilan sensor yang akurat.
    Setelah itu, sangat terampil memberi laporan ke atas yang bersifat fiksi karena laporan mereka berjarak sangat jauh dengan kenyataan.
    Mualem sangat detail memahami apa sesungguhnya yang dialami oleh rakyatnya. Ia dengan enteng mengetahui berapa rakyatnya yang telah meninggal, bagaimana mereka meninggal, di mana lokasinya, berapa jembatan yang rusak, apa akibat kerusakan itu, dan sebagainya.
    Ia terjun langsung, melihat, mendengar dan mengalami kondisi sesungguhnya.
    Itulah sebabnya, Mualem tidak segan meminta bantuan negara-negara asing. Baginya, siapa pun yang hendak membantu menyelamatkan nyawa manusia dan melonggarkan lilitan derita rakyatnya, ia tak segan berpaling.
    Baginya, tiap orang, siapa pun dia, pasti memiliki rasa kemanusiaan, dan rasa tersebut membangun
    human solidarity.
    Mengapa kita harus menyoal bantuan orang lain hanya karena menjaga harga diri bahwa kita mampu menyelesaikan urusan kita sendiri. Bangsa lain tak perlu ikut.
    Nyawa manusia tak mengenal patok-patok teritori. Rasa kemanusiaan adalah rasa universal.
    Saya ingat betul kejadian Tsunami di Aceh 21 satu tahun silam. Tsunami datang mengguntur dan menghancurkan pada 26 Desember 2004 pagi.
    Saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono selaku Presiden sedang berada di Papua untuk urusan dinas, disertai beberapa menteri. Hanya sekitar tujuh menteri yang berada di Jakarta ketika itu, termasuk saya.
    Pada malam hari, Wapres Jusuf Kalla mengumpulkan para menteri yang ada dan dirjen serta kepala badan.
    Wapres langsung memberi perintah detail yang bersifat teknis. Misalnya, kumpul semua obat yang ada.
    “Gudang terkunci, Pak,” kata salah seorang peserta rapat.
    “Ambil senjata, tembak gembong gudang supaya obat-obat bisa diambil malam ini,” jawab Wapres.
    Wapres berpaling dan bertanya ke saya, “Hamid, kebijakan apa yang kamu lakukan?”
    Saya menjawab bahwa sejak tiga jam lalu, saya mengambil kebijakan keimigrasian, membuka pintu masuk ke Sumatera Utara dan Aceh bagi siapa pun, tanpa harus memiliki visa masuk ke Indonesia.
    Kebijakan terbuka ini ternyata amat membantu rakyat Aceh. Presiden SBY pun memberi pujian ke saya atas kebijakan terbuka itu.
    Mualem tidak pernah puas menerima laporan bawahan yang memang cenderung asal bapak senang. Mata, telinga dan perasaannya harus menyatu dengan realitas sesungguhnya.
    Bukan rekayasa statistik untuk pencitraan belaka. Ia bicara bukan dengan bahasa statistik belaka, tetapi ia bersuara dengan hati nurani. Ia berpekik bukan meminta belas kasihan, tetapi berpekik tentang rasa kemanusiaan.
    Mualem menampik kepura-puraan, datang ke lokasi bencana dengan pelbagai gaya yang memelas, penuh kesamaran untuk bersedih, lalu disebarkan melalui media yang dibawanya sendiri dari Jakarta.
    Belum cukup dengan itu, pemimpin dari Jakarta datang ke lokasi bencana dengan memanggul logistik demi pencitraan sesaat yang memberi kenikmatan seketika. Mualem kontras dengan itu semua.
    Kehadirannya di lokasi bencana dengan pakaian serta gaya alami, membuat rakyatnya menyatu secara fisik dan bathin.
    Dan bukankah ini yang kita sebut
    true leadership
    ? Hadir bersama rakyat memikul beban yang sama dengan rakyat, adalah penyatuan batin antara dirinya dengan rakayatnya.
    Thomas Phillip “Tip” O’Neill Jr, mantan “Speaker of the House” (Ketua Kongres) Amerika Serikat (1977-1987), pernah menulis buku:
    All Politics is Local.
    O’Neill memberi pesan bahwa bila Anda menjadi politisi dan hendak menjadi pemimpin, maka lakukan sesuatu secara nyata di level daerah. Perhatikanlah infrastruktur rakyatmu, beri solusi atas masalah yang dihadapi rakyatmu.
    Mualem tidak pernah bertemu Tip Oneill, tetapi ia mempraktikkan apa yang dibayangkan oleh Tip O’Neill. Kita belajar dari Mualem, Gubernur Aceh.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.