Topik: tersangka korupsi

  • Pemilik EO Bodong Punya Ruangan Sendiri di Kantor Disbud DKI, Benarkah Orang Dekat Kepala Dinas?
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        4 Januari 2025

    Pemilik EO Bodong Punya Ruangan Sendiri di Kantor Disbud DKI, Benarkah Orang Dekat Kepala Dinas? Megapolitan 4 Januari 2025

    Pemilik EO Bodong Punya Ruangan Sendiri di Kantor Disbud DKI, Benarkah Orang Dekat Kepala Dinas?
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Pemilik event organizer (EO) bodong, Gatot Arif Rahmadi (GAR) yang kini telah ditetapkan sebagai tersangka korupsi anggaran Dinas Kebudayaan (Kadisbud) Jakarta, diisukan memiliki kedekatan dengan Kadisbud Iwan Henry Wardhana (IHW).
    Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jakarta masih mendalami kasus ini.
    Sejauh pemeriksaan, Iwan yang memperkenalkan Gatot kepada tersangka Mohamad Fairza Maulana (MFM) selaku Kepala Bidang Pemanfaatan Disbud Jakarta.
    “Kami belum (mendalami) sampai ke situ, tapi yang jelas, yang memperkenalkan vendor, EO, kepada Kabid adalah Kepala Dinas,” ujar Kepala Kejati Jakarta, Patris Yusrian Jaya, kepada wartawan di Kantornya, Setiabudi, Jakarta Selatan, Kamis (2/1/2025).
    Karena itu, Gatot memiliki ruangan tersendiri di kantor Dinas Kebudayaan. Ruangan Gatot disediakan oleh Iwan.
    “EO ini dibuatkan ruangan di Dinas Kebudayaan serta mempunyai beberapa orang staf yang ikut berkantor di situ,” tuturnya.
    Menurut Patris, Gatot menempati ruangan di Disbud Jakarta selama kurang lebih dua tahun. Kejati kini tengah mendalami, apakah Gatot membayar uang sewa ruangan atau tidak.
    Dalam kasus ini, Gatot yang berperan memonopoli kegiatan di Dinas Kebudayaan.
    “EO ini adalah EO yang memonopoli kegiatan di dinas tersebut. Kami masih dalami apakah EO ini juga dipakai di dinas lain,” tuturnya.
    Gatot kini sudah ditahan di Rumah Tahanan Negara Cipinang selama 20 hari ke depan usai ditetapkan sebagai tersangka, Kamis (2/1/2025).
    Sebagai informasi, setiap tersangka memiliki surat penetapan yang terpisah. Iwan mendapatkan Surat Penetapan Tersangka Nomor: TAP-01/M.1/Fd.1/01/2025, Fairza dengan TAP-02M.1/Fd.1/01/2025, dan Gatot dengan TAP-03M.1/Fd.1/01/2025, semuanya tertanggal 2 Januari 2025.
    Pemprov Jakarta menonaktifkan Iwan dan Fairza dari jabatan berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 17 Tahun 2020 (perubahan atas PP Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS).
    Pekan depan, Kejati akan memanggil dua tersangka lainnya, Iwan Henry Wardhana dan Mohamad Fairza Maulana.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kadisbud dan 2 Tersangka Korupsi di Dinas Kebudayaan Jakarta Musnahkan Barang Bukti Stempel Palsu
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        4 Januari 2025

    Kadisbud dan 2 Tersangka Korupsi di Dinas Kebudayaan Jakarta Musnahkan Barang Bukti Stempel Palsu Megapolitan 4 Januari 2025

    Kadisbud dan 2 Tersangka Korupsi di Dinas Kebudayaan Jakarta Musnahkan Barang Bukti Stempel Palsu
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Kepala Dinas Kebudayaan Jakarta
    Iwan Henry Wardhana
    (IHW), Kepala Bidang Pemanfaatan Disbud DKI Mohamad Fairza Maulana (MFM), serta Gatot Arif Rahmadi (GAR) selaku pemilik EO bodong, GR-Pro diduga memusnahkan sebagian
    stempel palsu
    sebelum Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jakarta melakukan penggeledahan.
    Ketiganya merupakan tersangka dugaan korupsi di Dinas Kebudayaan Jakarta. 
    “Sebagian sudah berhasil dimusnahkan sebelum penggeledahan. Untung waktu penggeledahan belum semuanya (dimusnahkan),” ucap Kepala
    Kejati Jakarta
    Patris Yusrian Jaya, kepada wartawan di kantornya, Setiabudi, Jakarta Selatan, Kamis (2/1/2025).
    Selain stempel, ketiga tersangka memusnahkan dokumen lainnya yang dapat menjadi barang bukti tambahan atas kasus korupsi dana anggaran APBD 2023 itu.
    “(Dimusnahkan stempel) untuk menghilangkan barang bukti,” kata Patris.
    Ia menuturkan, ketiga tersangka mengakui bahwa mereka telah menyiapkan stempel-stempel palsu itu untuk mencairkan dana lewat surat pertanggungjawaban (SPJ).
    “Yang jelas para pihak ini memang sudah mengaku bahwa mereka yang menyiapkan stempel-stempel palsu tersebut dan telah mereka gunakan,” katanya.
    Kejati akan terus mendalami terkait kerugian negara yang ditimbulkan dari kasus ini.
    “Mengenai kerugian negara masih dihitung, kami membidik beberapa kegiatan yang potensial untuk dimanipulasi pada tahun 2023 dan 2024,” ucap Patris.
    Adapun ketiga tersangka ditetapkan berdasarkan surat penetapan masing-masing.
    Penetapan tersangka Iwan berdasarkan Surat Penetapan Tersangka Nomor: TAP-01/M.1/Fd.1/01/2025, Fairza dengan TAP-02/M.1/Fd.1/01/2025, dan Gatot dengan TAP-03/M.1/Fd.1/01/2025, semuanya tertanggal 2 Januari 2025.
    Pemprov Jakarta menonaktifkan Iwan dan Fairza dari jabatan berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2020 (perubahan atas PP Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS).
    Pekan depan, Kejati akan memanggil dua tersangka, Iwan Henry Wardhana (IHW) dan Mohamad Fairza Maulana (MFM).
    Sementara itu, Gatot ditahan di Rumah Tahanan Negara Cipinang selama 20 hari ke depan usai ditetapkan sebagai tersangka.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Akademisi Nilai Penetapan Tokoh Terkorup oleh OCCRP Tidak Jelas Ukurannya

    Akademisi Nilai Penetapan Tokoh Terkorup oleh OCCRP Tidak Jelas Ukurannya

    Jakarta: Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama), Muhammad Saifulloh memberikan tanggapan terkait kontroversi laporan Organize Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) yang mencantumkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam daftar nominasi pemimpin terkorup.

    Menurut Saifulloh, ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam menilai klaim ini, terutama terkait dengan ukuran dan metodologi yang digunakan oleh OCCRP.

    Saifulloh mengungkapkan, kontroversi utama dalam laporan OCCRP adalah ketidakjelasan mengenai ukuran yang digunakan untuk menilai korupsi seorang pemimpin.

    “Pertama yang harus dilihat adalah ukurannya apa? Jadi OCCRP ini menetapkan orang-orang yang jadi nominator presiden, pemimpin atau tokoh terkorup dunia itu dengan ukuran apa?” ujar Saifulloh.

    Menurutnya, selama ini penilaian terhadap korupsi sebuah negara atau pemimpin seringkali didasarkan pada indeks korupsi yang diukur melalui pelayanan publik dan tingkat transparansi pemerintahan.

    “Indeks korupsi yang dipakai alat ukurnya adalah pelayanan publik. Ketika seorang presiden, gubernur, atau walikota bisa memerintah dengan pelayanan publik yang tingkat korupsinya rendah, maka indeks korupsi juga rendah,” lanjut Saifulloh.

    Oleh karena itu, ia menilai apabila OCCRP tidak menggunakan ukuran yang jelas dan berbasis data yang objektif, penilaian tersebut akan sangat sulit dipertanggungjawabkan.

    Meskipun demikian, Saifulloh juga mengakui bahwa ada beberapa faktor yang bisa dipertimbangkan dalam penilaian terhadap seorang pemimpin, terutama dalam hal penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. 

    “Untuk kelompok yang setuju itu melihat dari penegakan hukum. Bisa masuk akal dilihat selama memimpin di Indonesia, bagaimana penegakan hukum atau pemberantasan korupsi,” katanya.

    Ia mengungkapkan bahwa selama 10 tahun memimpin, banyak kritik yang menyebutkan bahwa salah satu fungsi KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) telah dilemahkan, bahkan ada kasus di mana ketua KPK sendiri menjadi tersangka korupsi. 

    “Mungkin bisa saja ini menjadi ukuran bagi OCCRP, namun harus ada pembuktian yang jelas agar bisa dipahami oleh masyarakat luas,” tambahnya.

    Saifulloh menutup pendapatnya dengan mengingatkan bahwa meskipun OCCRP memiliki kebebasan dalam menetapkan siapa saja yang mereka anggap sebagai pemimpin atau tokoh terkorup, namun penting untuk jelas dalam menjelaskan ukuran dan metodologi yang digunakan.

    “Penetapan Jokowi dan tokoh-tokoh lainnya oleh OCCRP sebagai penguasa atau pemimpin yang korup ya bebas saja. Namun yang harus diperhatikan adalah ukurannya apa? Jadi harus ditegaskan sehingga kontroversi ini berakhir,” tegas Saifulloh.

    Menurutnya, dengan adanya penjelasan yang jelas mengenai ukuran dan kriteria yang digunakan, kontroversi seputar penilaian tersebut bisa terjawab dan tidak berlarut-larut menjadi polemik yang merugikan banyak pihak, termasuk nama baik Indonesia di mata internasional.

    Jakarta: Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama), Muhammad Saifulloh memberikan tanggapan terkait kontroversi laporan Organize Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) yang mencantumkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam daftar nominasi pemimpin terkorup.
     
    Menurut Saifulloh, ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam menilai klaim ini, terutama terkait dengan ukuran dan metodologi yang digunakan oleh OCCRP.
     
    Saifulloh mengungkapkan, kontroversi utama dalam laporan OCCRP adalah ketidakjelasan mengenai ukuran yang digunakan untuk menilai korupsi seorang pemimpin.
    “Pertama yang harus dilihat adalah ukurannya apa? Jadi OCCRP ini menetapkan orang-orang yang jadi nominator presiden, pemimpin atau tokoh terkorup dunia itu dengan ukuran apa?” ujar Saifulloh.
     
    Menurutnya, selama ini penilaian terhadap korupsi sebuah negara atau pemimpin seringkali didasarkan pada indeks korupsi yang diukur melalui pelayanan publik dan tingkat transparansi pemerintahan.
     
    “Indeks korupsi yang dipakai alat ukurnya adalah pelayanan publik. Ketika seorang presiden, gubernur, atau walikota bisa memerintah dengan pelayanan publik yang tingkat korupsinya rendah, maka indeks korupsi juga rendah,” lanjut Saifulloh.
     
    Oleh karena itu, ia menilai apabila OCCRP tidak menggunakan ukuran yang jelas dan berbasis data yang objektif, penilaian tersebut akan sangat sulit dipertanggungjawabkan.
     
    Meskipun demikian, Saifulloh juga mengakui bahwa ada beberapa faktor yang bisa dipertimbangkan dalam penilaian terhadap seorang pemimpin, terutama dalam hal penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. 
     
    “Untuk kelompok yang setuju itu melihat dari penegakan hukum. Bisa masuk akal dilihat selama memimpin di Indonesia, bagaimana penegakan hukum atau pemberantasan korupsi,” katanya.
     
    Ia mengungkapkan bahwa selama 10 tahun memimpin, banyak kritik yang menyebutkan bahwa salah satu fungsi KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) telah dilemahkan, bahkan ada kasus di mana ketua KPK sendiri menjadi tersangka korupsi. 
     
    “Mungkin bisa saja ini menjadi ukuran bagi OCCRP, namun harus ada pembuktian yang jelas agar bisa dipahami oleh masyarakat luas,” tambahnya.
     
    Saifulloh menutup pendapatnya dengan mengingatkan bahwa meskipun OCCRP memiliki kebebasan dalam menetapkan siapa saja yang mereka anggap sebagai pemimpin atau tokoh terkorup, namun penting untuk jelas dalam menjelaskan ukuran dan metodologi yang digunakan.
     
    “Penetapan Jokowi dan tokoh-tokoh lainnya oleh OCCRP sebagai penguasa atau pemimpin yang korup ya bebas saja. Namun yang harus diperhatikan adalah ukurannya apa? Jadi harus ditegaskan sehingga kontroversi ini berakhir,” tegas Saifulloh.
     
    Menurutnya, dengan adanya penjelasan yang jelas mengenai ukuran dan kriteria yang digunakan, kontroversi seputar penilaian tersebut bisa terjawab dan tidak berlarut-larut menjadi polemik yang merugikan banyak pihak, termasuk nama baik Indonesia di mata internasional.
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

    (ALB)

  • Jadi Tersangka Korupsi, Kadisbud dan Kabid Pemanfaatan Jakarta Terancam Dipecat – Page 3

    Jadi Tersangka Korupsi, Kadisbud dan Kabid Pemanfaatan Jakarta Terancam Dipecat – Page 3

    Pemberhentian sementara status PNS Kadisbud dan Kabid diberlakukan sambil menunggu salinan surat penetapan tersangka dan surat perintah penahanan dari instansi yang berwenang. Kemudian, jabatan Kadisbud dan Kabid terkait akan diisi oleh Plt.

    “Adapun jika PNS terbukti bersalah di pengadilan dan dijatuhi hukuman pidana dengan ancaman hukuman minimal dua tahun penjara, maka sesuai PP Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS, yang bersangkutan dapat diberhentikan secara tidak hormat,” ungkap Budi.

    Pemprov Jakarta menegaskan kembali komitmen untuk menjaga tata kelola pemerintahan yang bersih, transparan, dan akuntabel kepada seluruh jajaran ASN. Budi memastikan, Pemprov Jakarta bakal bekerja sama dengan Kejati dalam mengusut tuntas kasus ini.

    “Pemerintah juga memastikan akses data dan informasi yang diperlukan dalam proses hukum tersedia dan terbuka sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” kata dia.

  • Terpopuler, 1.000 mobil terbakar hingga MK hapus ambang batas

    Terpopuler, 1.000 mobil terbakar hingga MK hapus ambang batas

    Jakarta (ANTARA) – Sejumlah berita terpopuler yang menarik untuk disimak mulai dari 1.000 mobil terbakar di Prancis pada malam pergantian tahun hingga Mahkamah Konstitusi hapus “presidential treshold” atau ambang batas pencalonan presiden. Berikut rangkuman beritanya :

    1.Hampir 1.000 mobil dibakar di Prancis pada malam Tahun Baru

    Hampir 1.000 mobil dilaporkan dibakar di Prancis, dan sekitar 400 orang ditahan pada malam perayaan Tahun Baru, menurut laporan saluran media televisi BFMTV.
    Selengkapnya di sini.

    2.Komisi II DPR benarkan pelantikan kepala daerah diundur jadi Maret

    Ketua Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda membenarkan kabar bahwa pelantikan kepala daerah terpilih dari Pilkada Serentak 2024 akan diundur menjadi Maret 2025, dari yang semula dijadwalkan pada Februari 2025.
    Selengkapnya di sini.

    3.MK hapus pasal “presidential threshold” pada UU Pemilu

    Mahkamah Konstitusi memutuskan menghapus ketentuan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) pada Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
    Selengkapnya di sini.

    4.Kejati DKI tetapkan tiga tersangka korupsi Dinas Kebudayaan DKI

    Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta menetapkan tiga tersangka kasus dugaan korupsi senilai Rp150 miliar di lingkup Dinas Kebudayaan (Disbud) Pemprov DKI Jakarta.
    Selengkapnya di sini.

    5.Golkar: Putusan MK hapus “presidential treshold” sangat mengejutkan

    Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP Partai Golkar Muhammad Sarmuji menyebut putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus ketentuan ambang batas minimal untuk pencalonan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential treshold), merupakan putusan yang sangat mengejutkan.
    Selengkapnya di sini.

    Pewarta: Indriani
    Editor: Edy M Yakub
    Copyright © ANTARA 2025

  • Kadis Kebudayaan Jakarta Tersangka Korupsi, Akali Pencairan Dana dan Bikin Acara Fiktif
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        3 Januari 2025

    Kadis Kebudayaan Jakarta Tersangka Korupsi, Akali Pencairan Dana dan Bikin Acara Fiktif Megapolitan 3 Januari 2025

    Kadis Kebudayaan Jakarta Tersangka Korupsi, Akali Pencairan Dana dan Bikin Acara Fiktif
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jakarta telah menetapkan tiga tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan Dinas Kebudayaan (Disbud) Jakarta.
    Penetapan ini diumumkan dalam konferensi pers yang berlangsung pada Kamis, 2 Januari 2025.
    Kepala Kejati Jakarta Patris Yusrian Jaya mengungkapkan bahwa di antara tiga tersangka terdapat nama Kepala Dinas Kebudayaan nonaktif
    Iwan Henry Wardhana
    (IHW).
    Bersama dua tersangka lainnya, Iwan diduga terlibat dalam penyalahgunaan pencairan dana anggaran dinas tahun 2023 dengan cara menciptakan acara-acara fiktif.
    Selain Iwan, dua tersangka lainnya adalah Kabid Pemanfaatan Disbud Jakarta berinisial MFM dan GAR, pemilik event organizer (EO) GR-Pro.
    “Kami menetapkan tiga orang tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi berupa penyimpangan kegiatan-kegiatan pada Dinas Kebudayaan Provinsi Daerah Khusus Jakarta yang bersumber dari APBD,” ujar Patris Yusrian Jaya saat konferensi pers di kantornya, Jakarta Selatan, Kamis (2/1/2025).
    Setiap tersangka memiliki surat penetapan yang terpisah, dengan Iwan mendapatkan Surat Penetapan Tersangka Nomor: TAP-01/M.1/Fd.1/01/2025, MFM dengan TAP-02M.1/Fd.1/01/2025, dan GAR dengan TAP-03M.1/Fd.1/01/2025, semuanya tertanggal 2 Januari 2025.
    Menurut penjelasan Patris, modus yang digunakan oleh Iwan dan MFM melibatkan kerja sama dengan GAR untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang seolah-olah dilaksanakan oleh Dinas Kebudayaan.
    Mereka menciptakan beberapa perusahaan dan mengajak vendor untuk menggambarkan seolah kegiatan tersebut benar-benar diadakan.
    “Dalam pelaksanaannya, ada beberapa variasi kegiatan, ada yang dilaksanakan secara fiktif, ada yang sebagian benar dilakukan,” kata Patris.
    Pencairan dana dilakukan dengan menggunakan surat pertanggungjawaban (SPJ) yang dibuat oleh MFM dan GAR, yang dilengkapi dengan cap-cap palsu.
    “Semua dilengkapi dengan surat pertanggungjawaban penggunaan anggaran atau SPJ dengan menggunakan stampel-stempel palsu,” imbuh dia.
    Salah satu kegiatan fiktif yang berhasil diidentifikasi adalah pagelaran seni yang menghabiskan dana sebesar Rp 15 miliar.
    Para tersangka memanipulasi acara tersebut sehingga tampak nyata dengan melibatkan sejumlah pihak untuk mengenakan kostum penari.
    Pihak-pihak ini kemudian diminta untuk berfoto di panggung dengan harapan menciptakan kesan bahwa kegiatan tersebut benar-benar dilaksanakan.
    “Pihak tersebut diberi seragam sebagai penari dan selanjutnya foto-foto di panggung dan diberi judul seolah-olah foto ini setelah melaksanakan kegiatan tarian tertentu, tapi tariannya tidak pernah ada,” jelasnya.
    Iwan Henry Wardhana saat ini belum memenuhi pemanggilan dari Kejati terkait kasus ini.
    Oleh karena itu, Kejati berencana untuk memanggilnya kembali setelah penetapan sebagai tersangka.
    “Yang dua (Iwan dan MFM) belum diperiksa sebagai tersangka, baru dipanggil sebagai tersangka,” ungkap Patris.
    Sementara itu, GAR, selaku pemilik EO yang diduga terlibat dalam kasus ini, sudah ditahan di Rumah Tahanan Negara Cipinang selama 20 hari ke depan.
    Penyidik berencana untuk memanggil Iwan dan MFM pekan depan untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.
    “Nanti diinformasikan oleh penyidiknya, tapi kami panggil untuk diperiksa sebagai tersangka,” pungkas Patris.
    Kasus ini masih dalam proses penyelidikan, dan Kejati akan terus mendalami lebih dalam terkait
    dugaan korupsi
    di lingkungan
    Dinas Kebudayaan Jakarta
    .
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Jadi Tersangka Korupsi, Kabid dan Kadis Kebudayaan DKI Dicopot dari Jabatannya

    Jadi Tersangka Korupsi, Kabid dan Kadis Kebudayaan DKI Dicopot dari Jabatannya

    loading…

    Kejati DKI Jakarta menetapkan tiga tersangka dugaan Tindak Pidana Korupsi di Dinas Kebudayaan (Disbud) DKI Jakarta Foto/SindoNews

    JAKARTA – Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta menetapkan tiga tersangka dugaan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di Dinas Kebudayaan (Disbud) DKI Jakarta yang bersumber dari APBD Tahun Anggaran 2023, Kamis (2/1/2025).

    Adapun tiga orang tersangka di antaranya Iwan Henry Wardana alias IHW selaku Kepala Dinas Kebudayaan; Mohamad Fahirza Maulana alias MFM selaku Kabid Pemanfaatan Dinas Kebudayaan DKI; dan Gatot Arif Rahmadi alias GAR selalu pemilik event organizer (EO) GR-Pro.

    Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Komunikasi, Informatika dan Statistik (Diskominfotik) Budi Awaluddin mengatakan sebagai bentuk tanggung jawab dan komitmen dalam menjaga kepercayaan publik, Pemprov DKI Jakarta menonaktifkan atau mencopot dari jabatannya para tersangka yang sudah ditetapkan oleh Kejati.

    “Untuk memastikan kelancaran proses penyidikan dan menjaga integritas pelayanan publik, Pemprov DKI Jakarta telah mengambil langkah tegas dengan membebastugaskan Kepala Dinas Kebudayaan dan Kepala Bidang terkait,” kata Budi di Jakarta, Kamis (2/1/2025).

    Menyikapi penetapan tersebut, Budi menyebut Pemprov DKI Jakarta menghormati proses hukum yang diambil Kejati DKI Jakarta. “Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sepenuhnya menghormati proses hukum yang sedang berjalan. Kasus ini menjadi perhatian serius dan Pemprov DKI Jakarta berkomitmen untuk mendukung upaya penegakan hukum yang transparan, adil, dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” ucapnya.

    “Jika seorang PNS ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan, maka berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 17 Tahun 2020 perubahan atas PP Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS, maka status PNS-nya diberhentikan sementara,” tambahnya.

    Pemberhentian sementara bagi PNS karena menjadi tersangka tindak pidana juga ditetapkan dalam Pasal 40 Peraturan Badan Kepegawaian Negara Nomor 3 Tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil dan Pasal 53 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara.

    Pemberhentian sementara status PNS Kepala Dinas Kebudayaan dan Kepala Bidang terkait diberlakukan sambil menunggu salinan surat penetapan tersangka dan surat perintah penahanan dari instansi yang berwenang. “Kemudian, jabatan Kepala Dinas Kebudayaan dan Kepala Bidang terkait akan diisi oleh Pelaksana Tugas,” ucapnya.

  • Kejati Tetapkan Kepala Dinas Kebudayaan Jakarta Tersangka Korupsi

    Kejati Tetapkan Kepala Dinas Kebudayaan Jakarta Tersangka Korupsi

    Bisnis.com, JAKARTA – Kepala Dinas Kebudayaan pada Pemerintah Provinsi Jakarta nonaktif Iwan Henry Wardhana resmi ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi. 

    Kepala Kejaksaan Tinggi Jakarta Patris Yusrian Jaya mengatakan bahwa tersangka Iwan Henry Wardhana diduga terlibat dalam kasus korupsi penyelewengan dana sebesar Rp150 miliar.

    Selain menetapkan Iwan Henry Wardhana, tim penyidik Kejaksaan Tinggi Jakarta juga telah menetapkan dua tersangka lainnya, yaitu Kepala Bidang Pemanfaatan Dinas Kebudayaan Jakarta Mohamad Fairza Maulana dan Owner EO GR-Pro Gatot Arif Rahmadi. 

    “Ketiganya sudah kita tetapkan tersangka terkait kasus korupsi ini,” tuturnya di Kantor Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, Kamis (2/1).

    Patris menjelaskan dari tiga tersangka itu, pihaknya juga sudah melakukan upaya penahanan terhadap Owner EO GR-Pro Gatot Arif Rahmadi di Rumah Tahanan Negara. Sementara terhadap dua tersangka lainnya, kata Patris, masih dalam proses.

    “Nanti akan kita tahan dipanggilan berikutnya ya,” katanya.

    Terkait perkara tersebut, penyidik Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta juga telah menyita uang tunai sebesar Rp1 miliar. Dia memastikan bahwa perkara tersebut akan berkembang, tidak berhenti hanya pada tiga tersangka saja.

    “Jadi kami ini masih akan terus melakukan pendalaman dan modus-modus yang digunakan. Sejauh ini modus yang digunakan para pelaku adalah dengan memalsukan stempel,” ujarnya.

  • Kejati DKI tetapkan tiga tersangka korupsi Dinas Kebudayaan DKI

    Kejati DKI tetapkan tiga tersangka korupsi Dinas Kebudayaan DKI

    Jakarta (ANTARA) – Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta menetapkan tiga tersangka kasus dugaan korupsi senilai Rp150 miliar di lingkup Dinas Kebudayaan (Disbud) Pemprov DKI Jakarta.

    “Penyidik Bidang Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Daerah Khusus Jakarta menetapkan tiga orang tersangka dalam perkara dugaan Tindak Pidana Korupsi berupa penyimpangan kegiatan-kegiatan pada Dinas Kebudayaan Provinsi Daerah Khusus Jakarta yang bersumber dari APBD,” kata Kepala Kejati DKI Patris Yusrian Jaya dalam konferensi pers capaian akhir tahun di Jakarta, Kamis.

    Tiga orang itu berinisial IHW berdasarkan Surat Penetapan Tersangka Nomor : TAP-01/M.1/Fd.1/01/2025 tanggal 02 Januari 2025; MFM berdasarkan Surat Penetapan Tersangka Nomor : TAP-02M.1/Fd.1/01/2025 tanggal 02 Januari 2025; dan GAR berdasarkan Surat Penetapan Tersangka Nomor : TAP-03M.1/Fd.1/01/2025 tanggal 02 Januari 2025.

    Tersangka IHW selaku Kepala Dinas Kebudayaan DKI, tersangka MFM selaku Pelaksana tugas (Plt.) Kabid Pemanfaatan, dan tersangka GAR bersepakat untuk menggunakan tim EO (event organizer) miliknya dalam kegiatan-kegiatan pada bidang Pemanfaatan Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta.

    Tersangka MFM dan Tersangka GAR bersepakat untuk menggunakan sanggar-sanggar fiktif dalam pembuatan Surat Pertanggungjawaban (SPJ) guna pencairan dana kegiatan Pergelaran Seni dan Budaya.

    “Kemudian, uang SPJ yang telah masuk ke rekening sanggar fiktif maupun sanggar yang dipakai namanya ditarik kembali oleh Tersangka GAR dan ditampung di rekening Tersangka GAR yang diduga digunakan untuk kepentingan tersangka IHW maupun MFM,” tambah Patris.

    Bahwa perbuatan IHW, MFM, dan GAR bertentangan dengan antara lain UU No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, Peraturan Presiden RI No.12 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden RI No. 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

    Kemudian, melanggar Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 5 Tahun 2007 Tentang Pokok-Pokok Pengelolaan Keuangan Daerah, Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 8 Tahun 2018 Tentang Pedoman Swakelola.

    Pasal yang disangkakan untuk para Tersangka adalah Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Jo. Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.

    Bahwa dalam tahap penyidikan, penyidik melakukan penahanan kepada tersangka GAR di Rumah Tahanan Negara Cipinang untuk 20 hari kedepan.

    “Sedangkan terhadap tersangka IHW dan MFM saat ini tidak hadir dalam pemeriksaan saksi yang selanjutnya,.akan dilakukan pemanggilan kembali oleh penyidik selaku tersangka pada minggu depan,” ujarnya.

    Pewarta: Luthfia Miranda Putri
    Editor: Ade irma Junida
    Copyright © ANTARA 2025

  • Menelanjangi Retorika Palsu

    Menelanjangi Retorika Palsu

    Oleh: Laksma TNI (Purn) Jaya Darmawan, M.Tr.Opsla*

    SELAMA hampir satu dasawarsa memegang kendali kekuasaan, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang mengusung Joko Widodo sebagai Presiden Republik Indonesia dari tahun 2014 hingga 2024, meninggalkan catatan kelam dalam perjalanan demokrasi dan penegakan hukum di Indonesia. Janji perubahan dan kesejahteraan yang digaungkan di awal masa kepemimpinannya justru berujung pada serangkaian kegagalan yang merusak tatanan berbangsa dan bernegara.

    Salah satu tragedi yang membekas dalam ingatan publik adalah kematian ratusan petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) pada Pemilu 2019. Kasus ini menimbulkan tanda tanya besar tentang transparansi dan kejujuran dalam proses demokrasi di Indonesia. Hingga kini, penyebab kematian massal tersebut masih diselimuti kabut misteri, tanpa investigasi yang memadai dan memuaskan publik. Alih-alih menjadi pesta demokrasi, Pilpres 2019 justru menyisakan duka dan ketidakpercayaan terhadap proses pemilu di bawah pemerintahan PDIP.

    Kemudian, Kasus Kanjuruhan pada tahun 2022, di mana ratusan suporter tewas akibat tragedi di stadion, menjadi bukti nyata buruknya manajemen keamanan dan lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Kasus ini memperlihatkan betapa nyawa rakyat sering kali dianggap murah dan diabaikan oleh sistem yang korup dan tidak profesional. Keputusan hukum yang ringan bagi para pelaku juga menunjukkan lemahnya komitmen pemerintah dalam memberikan keadilan bagi korban.

    Selanjutnya, masih segar dalam ingatan kita soal kematian enam anggota Front Pembela Islam (FPI) di KM 50 Tol Cikampek pada tahun 2020 menambah daftar hitam pelanggaran hak asasi manusia di era pemerintahan PDIP. Peristiwa ini menimbulkan kontroversi besar karena banyaknya kejanggalan dalam proses hukum dan penyelidikan yang tidak transparan. Kasus ini menyoroti praktik kekerasan negara yang mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.

    Tak hanya itu, dalam sepuluh tahun terakhir, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat bahwa sebagian besar kasus korupsi yang terungkap melibatkan pejabat dan kader PDIP. Mulai dari kasus korupsi bantuan sosial (bansos) yang menjerat Menteri Sosial Juliari Batubara, hingga berbagai skandal lainnya yang melibatkan kepala daerah dan anggota legislatif dari partai tersebut. Kasus ini menambah catatan suram PDIP sebagai partai penguasa yang gagal menjaga integritas dan amanah rakyat.

    Selain itu, kasus perampasan tanah dan alih fungsi lahan juga menjadi warisan buruk selama kekuasaan PDIP. Pulau Galang di Kepulauan Riau, yang memiliki potensi strategis dan sejarah besar, dialihfungsikan tanpa mempertimbangkan hak-hak masyarakat lokal. Demikian pula dengan proyek Pantai Indah Kapuk (PIK 2) yang melibatkan alih fungsi lahan besar-besaran di pesisir Jakarta, memunculkan polemik karena prosesnya yang sarat dengan isu ketidakadilan dan dugaan perampasan tanah rakyat.

    Kedua kasus ini menjadi contoh nyata bagaimana oligarki ekonomi dan politik yang dipelihara selama era PDIP telah menguasai sumber daya alam dan mengorbankan hak-hak rakyat kecil. Proyek-proyek raksasa ini mengabaikan kesejahteraan rakyat demi keuntungan segelintir elite, yang sering kali berafiliasi dengan kekuasaan.

    Dalam satu dekade terakhir, Indonesia seharusnya menikmati bonus demografi dengan ledakan jumlah kaum milenial yang produktif. Namun, kesempatan emas ini terbuang sia-sia akibat kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat. Pengangguran di kalangan anak muda meningkat, sementara lapangan kerja bagi tenaga kerja asing justru dipermudah. Kebijakan ini tidak hanya merampas hak rakyat atas pekerjaan, tetapi juga memperburuk ketimpangan sosial dan ekonomi di tengah masyarakat.

    Rakyat juga dipaksa menanggung beban ekonomi yang semakin berat. Penerapan pajak di hampir semua sektor ekonomi menambah penderitaan, sementara kenaikan harga kebutuhan pokok memperburuk daya beli masyarakat. Kebijakan ini mencerminkan minimnya keberpihakan pemerintah terhadap rakyat kecil, yang justru menjadi korban utama dari ketidakstabilan ekonomi.

    Ironi Retorika Keadilan PDIP

    Di tengah catatan kelam ini, sangat ironis ketika Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto, yang kini menjadi tersangka korupsi, justru berbicara tentang perjuangan untuk keadilan rakyat. Pernyataan ini tidak hanya kontradiktif, tetapi juga mencerminkan sikap hipokrit yang mencederai akal sehat rakyat.

    Selama sepuluh tahun kekuasaan, PDIP memiliki kesempatan emas untuk memperbaiki sistem hukum, ekonomi, dan kesejahteraan sosial. Namun, yang terjadi justru sebaliknya—kerusakan yang sistemik dan tatanan yang hancur lebur. Kini, setelah kehilangan kekuasaan, mereka berusaha membangun opini negatif terhadap pemerintahan baru, seolah-olah mereka telah lama menjadi partai oposisi.

    Rakyat Indonesia tentu tidak mudah melupakan semua ini. Politik pencitraan dan retorika kosong tidak lagi cukup untuk menutupi kegagalan yang telah tercatat dalam sejarah. Bangsa ini membutuhkan kepemimpinan yang jujur, berintegritas, dan benar-benar bekerja untuk rakyat, bukan sekadar membangun narasi untuk menyelamatkan citra politik yang telah runtuh.

    Sudah saatnya Indonesia melangkah maju dengan meninggalkan pola-pola politik lama yang merusak dan beralih pada kerja nyata demi mewujudkan masa depan yang lebih baik bagi seluruh rakyat. Rakyat menuntut keadilan yang sesungguhnya, bukan sekadar janji-janji kosong yang berulang kali dikhianati.

    *Penulis adalah Purnawirawan TNI AL, pemerhati masalah kebangsaan