Topik: tersangka korupsi

  • KPK Panggil 2 Tersangka Korupsi Pengadaan Lahan Jalan Tol Trans Sumatera
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        6 Agustus 2025

    KPK Panggil 2 Tersangka Korupsi Pengadaan Lahan Jalan Tol Trans Sumatera Nasional 6 Agustus 2025

    KPK Panggil 2 Tersangka Korupsi Pengadaan Lahan Jalan Tol Trans Sumatera
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil dua tersangka dalam kasus korupsi pengadaan lahan Jalan Tol Trans Sumatera (JTTS) yang dilaksanakan PT Hutama Karya (Persero) tahun anggaran 2018-2020.
    Keduanya adalah Bintang Perbowo (BP) selaku mantan Direktur Utama PT Hutama Karya dan M Rizal Sutjipto (RS) selaku Kepala Divisi Pengembangan Bisnis dan Investasi PT Hutama Karya.
    “Pemeriksaan dilakukan di Gedung Merah Putih KPK,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo dalam keterangannya, Rabu (6/8/2025).
    Meski demikian, KPK belum memastikan kedua tersangka tersebut akan ditahan usai diperiksa hari ini.
    KPK menyatakan tengah menyidik dugaan korupsi pengadaan lahan oleh PT Hutama Karya di sekitar Jalan Tol Trans-Sumatera.
    Proyek itu dilaksanakan pada 2018 hingga 2020.
    KPK menduga negara mengalami kerugian hingga belasan miliar rupiah dalam kasus pengadaan lahan di sekitar Jalan Tol Trans-Sumatera.
    Jumlah tersebut merupakan temuan awal dugaan kerugian negara yang berhasil ditemukan KPK sehingga angkanya dapat berkembang hingga ratusan miliar rupiah.
    Dalam perkara ini, KPK telah menetapkan tiga orang sebagai tersangka, yakni BP selaku mantan Direktur Utama PT Hutama Karya; mantan Kepala Divisi PT Hutama Karya; dan IZ dari pihak swasta.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Teriak Anggota DPRD Bengkulu Tengah Tersangka Korupsi Dana Desa: Macam Korupsi Besak Nian Aku Ini!
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        6 Agustus 2025

    Teriak Anggota DPRD Bengkulu Tengah Tersangka Korupsi Dana Desa: Macam Korupsi Besak Nian Aku Ini! Regional 6 Agustus 2025

    Teriak Anggota DPRD Bengkulu Tengah Tersangka Korupsi Dana Desa: Macam Korupsi Besak Nian Aku Ini!
    Tim Redaksi
    BENGKULU, KOMPAS.com
    – Kejaksaan Negeri (Kejari) Bengkulu Tengah menetapkan anggota DPRD Bengkulu Tengah, SM (56), menjadi tersangka dugaan korupsi dana desa (DD) tahun anggaran 2016 hingga 2021.
    SM ditahan selama 20 hari ke depan di Rutan Kelas IIB Bengkulu pada Selasa (5/8/2025).
    Sebelum menjadi anggota dewan, SM merupakan Kepala Desa Rindu Hati periode 2016 hingga 2021.
    Usai menjalani pemeriksaan, SM diminta mengenakan rompi tersangka berwarna merah muda khas kejaksaan.
    Sambil mengenakan rompi tersangka, SM bergumam bahwa dirinya diperlakukan mirip pelaku korupsi besar.

    Macam korupsi besak nian aku ni
    (seperti pelaku korupsi besar saja saya ini),” gumam SM.
    Sambil mengenakan kopiah, rompi yang tidak terkancing, dan tanpa borgol, SM digiring penyidik dan TNI menuju mobil untuk dibawa ke Rutan.
    Sambil digiring menuju mobil, SM menyapa para wartawan dan mengatakan bahwa ada yang janggal dalam mekanisme penetapannya sebagai tersangka.
    “Agak lain mekanisme ini, agak janggal. Sampaikan salam dengan rekan-rekan,” ucap SM kepada para wartawan yang meliput di Kejari Bengkulu Tengah.
    SM menjadi tersangka setelah menjalani serangkaian pemeriksaan dan penyidikan tim penyidik Kejari Bengkulu Tengah.
    SM merupakan politisi PAN.
    Sebelum menjadi wakil rakyat, ia menjabat sebagai Kepala Desa Rindu Hati periode 2016 hingga 2021.
    Kepala Kejari Bengkulu Tengah, Firman Halawa, melalui Kasi Intelijen, Yudi Adiyansyah, mengungkapkan bahwa hasil penyidikan menunjukkan selama menjabat sebagai kepala desa, tersangka mencairkan anggaran untuk honorarium perangkat desa, tetapi dana tersebut tidak disalurkan kepada pihak yang berhak menerimanya.
    “Honor perangkat desa tidak dibayarkan, tetapi dalam laporan pertanggungjawaban seolah-olah telah dibayarkan,” ujarnya dalam keterangan kepada media di Kejari Bengkulu Tengah pada Selasa (5/8/2025).
    Selanjutnya, tersangka juga diketahui menyalurkan insentif untuk Tim Pelaksana Kegiatan (TPK) pembangunan desa, meskipun anggaran tersebut dicairkan dan dicatat dalam laporan pertanggungjawaban, namun tidak disalurkan.
    Selain penyimpangan administrasi, penyidik juga menemukan adanya ketidaksesuaian antara realisasi fisik pembangunan di Desa Rindu Hati dengan laporan yang dibuat selama masa kepemimpinan SM.
    Kasus ini masih dalam tahap pengembangan.
    Kejari Bengkulu Tengah membuka peluang adanya keterlibatan pihak lain dalam perkara ini.
    Adapun kerugian negara dalam perkara ini masih dalam proses penghitungan resmi.
     
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Otoritarianisme Finansial dan Logika Serampangan Pemblokiran Rekening oleh PPATK
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        2 Agustus 2025

    Otoritarianisme Finansial dan Logika Serampangan Pemblokiran Rekening oleh PPATK Nasional 2 Agustus 2025

    Otoritarianisme Finansial dan Logika Serampangan Pemblokiran Rekening oleh PPATK
    Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.
    PEMBLOKIRAN
    rekening masyarakat sipil yang tidak aktif (dormant) mulai dilonggarkan. Namun, jangan buru-buru spontan memuji.
    Pelonggaran ini bukanlah tanda bahwa kebijakan membaik, melainkan merupakan pengakuan diam-diam atas logika serampangan yang pernah, dan mungkin masih, dijalankan negara atas nama intelijen keuangan (
    financial intelligence
    ).
    Kita pernah, dan tampaknya masih, hidup dalam rezim pengawasan keuangan yang menyamakan rekening pasif dengan potensi kriminal, menukar prinsip kehati-hatian dengan paranoia institusional.
    Tak pernah terbesitkah di benak
    PPATK
    bahwa sebagian rekening yang mereka blokir itu mungkin milik seseorang yang sedang sakit dan tengah menyimpan dana untuk membayar tagihan medis?
    Sebab, sekalipun menggunakan BPJS, tetap ada biaya tambahan (
    out of pocket
    ) yang harus ditanggung sendiri.
    Bagaimana jika rekening itu adalah tempat orang menabung untuk kuliah anaknya lima tahun ke depan? Atau dana darurat yang memang sesuai namanya tidak akan digunakan dalam waktu dekat?
    Negara, melalui PPATK, tampak menjalankan kebijakan seolah semua orang wajib menjadi makhluk transaksional harian agar tidak dianggap menyimpan uang jahat.
    Logika sekelas lembaga negara ini bukan hanya tidak manusiawi, tapi juga tidak mengenal atau pura-pura tidak paham kompleksitas perilaku ekonomi warga.
    Pemerintah menolak realitas bahwa dalam realitasnya, orang tidak hidup untuk bertransaksi setiap minggu. Ada kehati-hatian, ada perencanaan, ada jeda. Dan jeda semacam itu bukanlah sebuah kejahatan.
    PPATK berdalih bahwa pemblokiran ini merupakan respons atas lonjakan transaksi judi online. Namun, hingga kini, tidak ada data resmi yang dirilis ke publik.
    Sementara di lapangan, rekening milik pelajar, ibu rumah tangga, petani, dan pensiunan turut dibekukan.
    Apakah mereka semua penjudi, atau justru korban dari logika administratif yang malas membedakan mana kehati-hatian dan mana pelanggaran hukum?
    Jika pemerintah sungguh-sungguh ingin memerangi judi online, maka yang dibutuhkan adalah penelusuran berbasis bukti, audit menyeluruh terhadap sistem pembayaran ilegal, pemantauan digital yang cermat, serta koordinasi lintas aparat penegak hukum.
    Bukannya justru menyebar jaring besar ke seluruh nasabah pasif dan berharap pelaku kejahatan tertangkap di antara jutaan warga yang bersih.
    Hingga Mei 2025, PPATK melaporkan telah memblokir 31 juta rekening nasabah yang berstatus dormant dengan nilai total Rp 6 triliun, sebagai tindak lanjut atas data yang dilaporkan oleh 107 bank.
    Dari jumlah itu, sebanyak 10 juta rekening penerima bantuan sosial tidak pernah digunakan, dengan dana mengendap sebesar Rp 2,1 triliun.
    Sementara lebih dari 2.000 rekening milik instansi pemerintah dan bendahara pengeluaran juga dinyatakan dormant, dengan total dana hampir Rp 500 miliar (
    Kompas.id
    , 30/7/2025).
    Namun angka-angka ini seolah tak punya bobot, karena dalam logika PPATK, yang dinilai bukan siapa yang menyalahgunakan, tetapi siapa yang tidak bergerak.
    Rekening-rekening ini dibekukan hanya karena terlalu “diam”, terlalu lama tidak menyentuh ATM, terlalu jarang bertransaksi, terlalu sunyi bagi algoritma yang mencurigai apa pun yang tak bergerak.
    Kini, PPATK menyatakan rekening pasif bisa diaktifkan kembali jika tidak terindikasi tindak pidana, seolah melupakan bahwa negara pernah merasa berhak membekukan dana yang secara hukum bukan miliknya, hanya atas dasar kecurigaan massal.
    Inilah kekacauan logika yang kini kita hadapi, kehati-hatian finansial dianggap sebagai penyamaran kriminal; tabungan disamakan dengan pencucian uang; dan warga dipaksa membuktikan bahwa keheningan rekening bukanlah konspirasi jahat.
    Negara tidak lagi bekerja berdasarkan asas praduga tak bersalah (
    presumption of innocence
    ), melainkan dengan logika curiga dahulu, mengumpulkan bukti kemudian (
    presumption of suspicion
    ).
    Dan seperti biasa, yang paling mudah dicurigai adalah yang paling lemah, rakyat biasa yang hanya menabung, bukan terikat pencucian uang.
    Dari semua yang terjadi, satu pertanyaan paling mengganggu dan tak bisa dihindari, mengapa PPATK begitu cepat dan berani memblokir rekening milik rakyat biasa, tapi begitu lamban dan hati-hati, bahkan tidak bernyali saat berhadapan dengan rekening milik pejabat, politisi, atau tokoh berpengaruh?
    Bukankah pada tahun 2024 PPATK telah melaporkan adanya transaksi mencurigakan senilai Rp 80,1 triliun yang melibatkan partai politik, calon anggota legislatif, petahana, dan pejabat aktif? (
    Kompas.id
    , 27 Juni 2024).
    Laporan itu bahkan telah diserahkan ke aparat penegak hukum, tapi tidak ada pemblokiran. Tidak ada pembekuan rekening. Tidak ada tindakan langsung. Hanya menjadi laporan yang dibiarkan menguap di antara kepentingan.
    Sementara itu, jutaan rekening milik masyarakat sipil dibekukan secara cepat dalam hitungan minggu, tanpa perlindungan hukum, tanpa pembuktian, dan tanpa ruang klarifikasi.
    Dalam wajah kebijakan yang seperti ini, kita tak sedang melihat lembaga intelijen keuangan yang profesional, melainkan lembaga yang menjalankan logika ketakutan vertikal dan keberanian horizontal.
    Takut ke atas, berani ke bawah, tajam ke bawah tumpul ke atas.
    Terhadap pejabat yang memutar uang dalam gelap, PPATK cukup mengirim dokumen. Terhadap rakyat kecil yang diam menabung, PPATK langsung bertindak.
    Jika standar keberanian ditentukan oleh posisi sosial, maka yang sedang dijalankan bukan lagi analisis risiko, melainkan politik kepatuhan yang pincang.
    PPATK, yang seharusnya menjadi benteng akuntabilitas dalam lalu lintas keuangan nasional, justru berpotensi menjadi alat seleksi siapa yang layak ditekan dan siapa yang aman dibiarkan.
    Lebih parah dari sekadar salah logika, tindakan PPATK juga menabrak batas kewenangan yang secara eksplisit telah diatur oleh hukum.
    Dalam konstruksi hukum positif Indonesia, PPATK bukanlah aparat penegak hukum. Ia bukan polisi, bukan jaksa, bukan hakim.
    Ia adalah lembaga intelijen keuangan yang tugas utamanya adalah menganalisis, melaporkan, dan memberikan rekomendasi. Bukan mengambil tindakan pemblokiran sepihak atas rekening warga negara tanpa prosedur hukum yang sah.
    Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, PPATK hanya dapat meminta pemblokiran kepada lembaga keuangan apabila terdapat dugaan kuat keterkaitan dengan tindak pidana pencucian uang atau pendanaan terorisme.
    Itu pun bersifat sementara, dibatasi waktu maksimal 30 hari, dan harus ditindaklanjuti oleh penyidik melalui mekanisme hukum yang benar.
    Artinya, PPATK sebenarnya tidak memiliki kewenangan langsung untuk mengeksekusi pemblokiran rekening secara mandiri, apalagi terhadap jutaan rekening milik warga sipil yang bahkan tidak sedang diperiksa dalam perkara pidana.
    Jika pemblokiran dilakukan tanpa keterlibatan aparat penegak hukum dan tanpa perintah pengadilan, maka itu bukan sekadar pelanggaran administratif, itu adalah bentuk penyalahgunaan wewenang.
    Apa yang dilakukan PPATK tidak hanya keliru secara hukum nasional, tetapi juga menyimpang dari prinsip-prinsip internasional yang mengatur kerja lembaga intelijen keuangan.
    Dalam bukunya,
    Anti-Money Laundering: A Comparative and Critical Analysis
    , Alhosani (2016) mengingatkan bahwa Financial Intelligence Unit (FIU), termasuk seperti PPATK, bukanlah lembaga penegak hukum, melainkan unit analitik yang tugas utamanya adalah mengolah data, menyusun laporan intelijen keuangan, dan menyerahkannya kepada penegak hukum yang berwenang.
    Memberi kewenangan langsung kepada FIU untuk membekukan rekening tanpa perintah pengadilan atau proses yuridis adalah penyimpangan struktural yang membuka ruang bagi otoritarianisme finansial.
    Lebih lanjut, Alhosani menyebutkan bahwa banyak negara yang kini justru terjebak dalam kecenderungan menyerahkan kewenangan eksekutif kepada FIU dengan dalih efisiensi, padahal yang sebenarnya terjadi adalah perampasan prosedur hukum atas nama pencegahan kejahatan.
    Inilah yang disebutnya sebagai “function creep”, saat sebuah lembaga yang semestinya berperan sebagai penganalisis, justru perlahan-lahan berubah menjadi eksekutor, mengaburkan garis batas antara intelijen dan penegakan hukum.
    Dalam konteks Indonesia, tindakan PPATK memblokir 31 juta rekening, tanpa prosedur hukum, tanpa pembuktian, tanpa mekanisme klarifikasi adalah bentuk paling ‘konyol’ dari penyalahgunaan wewenang administratif yang melampaui batas fungsi kelembagaan.
    Ini bukan lagi kerja intelijen keuangan, ini adalah penghakiman sepihak yang diselubungi jargon keamanan.
    Negara seolah sedang membangun logika, “Kami curiga, maka Anda bersalah, dan kami tak perlu pengadilan untuk membenarkannya”.
    Padahal, dalam logika negara hukum, bahkan terhadap seorang tersangka korupsi pun negara tetap wajib memberikan proses yang sah, ruang pembelaan, dan kesempatan untuk menjelaskan.
    Mengapa prinsip yang sama tidak berlaku bagi, perintis usaha kecil, pengemudi ojek online, ibu rumah tangga, pensiunan, atau pelajar yang hanya sebatas menabung? Mengapa asas praduga tak bersalah hanya berlaku bagi pejabat, tapi justru tidak bagi rakyat biasa?
    Inilah yang menjadikan kebijakan pemblokiran massal terhadap
    rekening dormant
    bukan hanya ngawur secara ekonomi, tapi juga cacat secara hukum.
    Negara tidak boleh bertindak atas dasar asumsi sambil mengabaikan prosedur hukum yang menjadi fondasi perlindungan hak sipil.
    Jika PPATK bisa membekukan dana seseorang hanya karena tidak aktif bertransaksi, tanpa indikasi tindak pidana dan tanpa proses hukum, maka kita sedang berhadapan dengan lembaga yang menjelma menjadi hakim, jaksa, dan algojo sekaligus, tanpa pengawasan yudisial.
    Negara hukum tidak memberi tempat bagi logika bahwa dugaan bisa menggantikan bukti, dan kekuasaan administratif bisa menggantikan proses peradilan.
    Bahkan dalam konteks kejahatan keuangan yang kompleks sekalipun,
    legal authority
    tidak pernah lahir dari otoritas fungsional semata.
    Tidak cukup bahwa PPATK tahu, atau menduga, atau mengamati, mereka harus tunduk pada proses, harus tunduk pada pembuktian, harus tunduk pada hukum.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Pejabatnya Jadi Tersangka Korupsi Batu Bara, Kementerian ESDM Buka Suara – Page 3

    Pejabatnya Jadi Tersangka Korupsi Batu Bara, Kementerian ESDM Buka Suara – Page 3

    Berdasarkan pantauan kanal News Liputan6.com, Sunindyo dibawa keluar dari Gedung Bundar Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung pada Kamis (31/7/2025) sekitar pukul 20.53 WIB. Dia mengenakan rompi tahanan merah muda kejaksaan, dengan wajah ditutupi masker.

    “Ditahan di Rutan Salemba Cabang Kejaksaan Agung,” tutur Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Anang Supriatna kepada wartawan.

    Sebelumnya, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bengkulu menetapkan Komisaris PT Ratu Samban Mining (RSM), David Alexander Yowomo (DA) sebagai tersangka di kasus dugaan tindak pidana korupsi memanipulasi data uji mutu penambangan batubara. Hal itu diumumkan di Kejaksaan Agung (Kejagung), Jakarta Selatan.

    “Perkara ini ditangani oleh Kejaksaan Tinggi Bengkulu, dan kebetulan hari ini kita fasilitasi diperiksa di Kejaksaan Agung. Dan hari ini juga langsung ditetapkan sebagai tersangka dari alat-alat bukti yang ada, dan hari ini juga langsung dilakukan penahanan,” tutur Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Anang Supriatna di Kejagung, Jakarta Selatan, Rabu (30/7/2025).

    Menurut Anang, dalam kasus yang diusut tersebut sudah ada tujuh tersangka sebelumnya dan juga telah dilakukan penahanan. Dengan penetapan kali ini, maka total sudah ada delapan tersangka. “Kerugian estimasi dari penyidik ini kurang lebih sekitar Rp 500 miliar,” kata Anang.

     

  • Imigrasi Cabut Paspor Tersangka Korupsi Pertamina Riza Chalid

    Imigrasi Cabut Paspor Tersangka Korupsi Pertamina Riza Chalid

    Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan (Imipas) telah mencabut paspor milik tersangka Mohammad Riza Chalid (MRC).

    Menteri Imipas, Agus Andrianto mengatakan pencabutan itu telah dirumuskan saat permintaan cekal dari Kejagung. Kini, paspor milik saudagar minyak itu telah disepakati untuk dicabut.

    “Sejak awal diminta cekal dan kita koordinasi untuk pencabutan Paspor [Riza Chalid], disepakati untuk dicabut,” ujar Agus kepada wartawan, Rabu (30/7/2025).

    Dia menambahkan, alasan pencabutan paspor itu dilakukan agar lebih mempermudah pencarian Riza Chalid yang diduga berada di luar negeri.

    “Supaya kalau dipakai yang bersangkutan langsung bisa kontak imigrasi setempat ke kami,” pungkasnya.

    Dalam catatan Bisnis, Riza Chalid diduga tengah berada di negeri Jiran Malaysia. Saudagar minyak tersohor itu juga diduga telah melangsungkan pernikahan dengan kerabat dari kesultanan di Malaysia. Kedua informasi ini kemudian tengah didalami Kejagung.

    Sebagai informasi, saudagar minyak Mohammad Riza Chalid (MRC) ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang Pertamina-KKKS periode 2018-2023, oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) RI.

    Dalam kasus ini, Riza diduga telah melakukan intervensi kebijakan terhadap tata kelola minyak Pertamina dengan memberikan rencana kerja sama penyewaan terminal BBM di Merak.

  • Bu Kades Ditahan Gara-Gara Korupsi Dana Desa Cikujang Sukabumi, Kerugian Negara Capai Setengah Miliar Rupiah

    Bu Kades Ditahan Gara-Gara Korupsi Dana Desa Cikujang Sukabumi, Kerugian Negara Capai Setengah Miliar Rupiah

    Selain penyelewengan dana, tersangka korupsi juga diketahui telah menjual aset desa berupa bangunan Posyandu Anggrek 09. Agus menjelaskan bahwa tindakan ini juga masuk dalam temuan tindak pidana korupsi. 

    “Itu (jual beli aset desa) juga betul sama. Bangunan-bangunan seperti itu seperti posyandu ada. Cuma satu item,” ungkapnya.

    Menurut Agus, dari hasil pemeriksaan terhadap 20 orang saksi yang terdiri dari perangkat desa dan warga, terungkap bahwa uang hasil korupsi digunakan tersangka untuk keperluan pribadi sehari-hari, bukan untuk kegiatan di luar pemerintahan. Sejauh ini, belum ada penambahan tersangka baru dalam kasus ini.

    “Untuk saat ini karena yang menikmati hanya kades jadi bu kades saja yang jadi tersangka. Menurut keterangan untuk uangnya keperluan pribadi. Untuk sehari-hari beliau bukan kegiatan di luar pemerintahan. Kegiatan yang lain. Untuk saksi yang diperiksa kurang lebih 20 an. Dari perangkat desa dan warga,” terang dia. 

    Heni Mulyani saat ini telah diboyong ke Lapas Perempuan di Bandung untuk menjalani penahanan selama 20 hari ke depan. Setelah masa penahanan ini berakhir, kasusnya akan segera dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Bandung.

    “Untuk tersangka kita bawa ke Lapas Perempuan di Bandung. Untuk sementara selama 20 hari. Proses selanjutnya kita akan segera limpahkan ke Pengadilan Tipikor Bandung,” terang dia. 

    Tersangka dijerat dengan Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, dengan ancaman hukuman minimal 4 tahun penjara.

     

  • Polresta Jambi Tetapkan 3 Tersangka Korupsi Pengadaan Bahan Kimia PDAM
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        28 Juli 2025

    Polresta Jambi Tetapkan 3 Tersangka Korupsi Pengadaan Bahan Kimia PDAM Regional 28 Juli 2025

    Polresta Jambi Tetapkan 3 Tersangka Korupsi Pengadaan Bahan Kimia PDAM
    Tim Redaksi
    JAMBI, KOMPAS.com
    – Unit Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Satuan Reserse Kriminal Polresta Jambi menetapkan tiga orang tersangka dalam kasus dugaan
    korupsi pengadaan bahan kimia
    di Perumda Air Minum
    PDAM Tirta Mayang
    Kota Jambi.
    Ketiga tersangka berinisial MK, HF, dan RW. Mereka diduga terlibat dalam korupsi pengadaan bahan kimia
    sucolite LA24HZ
    untuk periode tahun 2021 hingga 2023.
    “Ya, kita tetapkan tiga orang tersangka,” kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Polresta Jambi
    Kompol Hendra Manurung
    saat dikonfirmasi
    Kompas.com
    melalui pesan singkat, Senin (28/7/2025).
    Namun, Hendra belum merinci nilai kerugian negara akibat perkara ini.

    “Nanti kita update lagi perkembangannya ya,” ujarnya.
    Ia juga tidak menjelaskan secara detail peran masing-masing tersangka dalam dugaan tindak pidana korupsi tersebut.
    Kasus ini mencuat setelah kepolisian menerima pengaduan masyarakat mengenai dugaan penyelewengan anggaran dalam
    pengadaan barang dan jasa
    di PDAM Tirta Mayang pada tahun 2024.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Teka-teki Keberadaan Eks Staf Nadiem Jurist Tan, di Australia atau Singapura?

    Teka-teki Keberadaan Eks Staf Nadiem Jurist Tan, di Australia atau Singapura?

    Bisnis.com, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejagung) merespons soal pernyataan Koordinator Masyarakat Anti-korupsi (MAKI) Boyamin Saiman mengenai keberadaan tersangka korupsi pengadaan Chromebook, Jurist Tan.

    Kepala Pusat Penerangan Hukum alias Kapuspenkum Kejagung RI, Anang Supriatna menyatakan bahwa pihaknya memang sudah mendengar informasi terkait dengan keberadaan Jurist Tan di Australia.

    “Yang jelas kalau JT, ya kalau saya pernah dengar bahwa ada menyebutkan bahwa ada di Australia,” ujar Anang di Kejagung, Jumat (25/7/2025).

    Meskipun begitu, Anang menekankan, saat ini penyidik korps Adhyaksa masih berfokus pada prosedur pemanggilan terhadap bekas anak buah Nadiem Makarim itu.

    Dalam catatan Bisnis, Jurist Tan telah dilakukan pemanggilan dua kali dan selalu mangkir. Oleh karena itu, penyidik akan menjadwalkan panggilan ketiga dan dilanjutkan dengan penerbitan red notice.

    “Kan tinggal pemanggilan ketiga, biasanya pemanggilan ketiga itu disertai dengan penyertaan DPO,” pungkasnya.

    Boyamin Ungkap Jurist di Australia

    Dalam keterangan tertulisnya, Boyamin menyatakan telah berkeliling selama satu pekan ke Australia dari 17-25 Juli 2025. Selama di Australia, pria yang mengaku menjadi detektif partikelir ini tengah berusaha melacak keberadaan Jurist Tan.

    “Selama di Australia telah berusaha melacak keberadaan Tersangka Jurist Tan dan terdapat dugaan dia tinggal di Sydney tepatnya kawasan Waterloo , New South Wales, Australia, bersama suaminya inisial ADH dan seorang putranya,” ujar Boyamin.

    Dia juga mengemukakan bahwa Jurist memang sempat berada di Singapura seperti pencatatan perlintasan terakhir imigrasi Tanah Air. Namun, Jurist kemudian terlacak berada di Australia.

    Atas informasi itu, Boyamin mengklaim bahwa dirinya telah mengirimkan dokumen terkait Jurist Tan kepada penyidik Kejagung RI agar segera dapat memboyongnya ke Indonesia.

    “Selain data alamat, saya kepada Penyidik telah menyerahkan data-data berupa foto ADH [suami Jurist Tan] dan nomor Ponsel Indonesia yang digunakan Jurist Tan dan suaminya ADH,” jelasnya.

    Melintas ke Singapura 

    Sementara itu, Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan (Imipas) mengungkap tersangka Jurist Tan telah melintas ke luar negeri sejak 13 Mei 2025.

    Plt Direktur Jenderal Imigrasi Yuldi Yusman mengatakan berdasarkan catatan penerbangan terakhir di Indonesia, anak buah Nadiem itu menuju Singapura.

    “Pengecekan pada sistem SIPP, yang bersangkutan terbang keluar dari Indonesia menuju Singapura dengan menggunakan pesawat, dengan pesawat Singapore Airlines,” ujar Yuldi saat dihubungi, Rabu (23/2/2025).

    Dengan demikian, Yuldi menekankan bahwa berdasarkan data perlintasan imigrasi hingga Kamis (17/7/2025), Jurist Tan dinyatakan sudah tidak berada di Indonesia.

    “Dari data perlintasan per Kamis 17 Juli 2025 pukul 17.30 WIB yang bersangkutan tidak berada di Indonesia,” pungkasnya.

  • Kejari Jakut ungkap korupsi pemberian kredit senilai Rp35,6 miliar

    Kejari Jakut ungkap korupsi pemberian kredit senilai Rp35,6 miliar

    Jakarta (ANTARA) – Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Utara mengungkap kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas kredit modal kerja pada salah satu Himpunan Bank Negara (Himbara) di Sunter, Jakarta Utara pada periode 2022-2023 senilai Rp35.656.387.573 atau Rp35,6 miliar.

    Kejari Jakut pun telah menetapkan pimpinan cabang salah satu Himpunan Bank Negara (Himbara) periode 2021-2023 berinisial MS sebagai tersangka korupsi pemberian fasilitas kredit modal kerja itu.

    “Pemberian fasilitas kredit modal kerja tersebut mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp35,6 miliar lebih,” kata Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus Nurhimawan melalui Kasi Intel Kejari Jakarta Utara Sudi Haryansyah di Jakarta, Rabu.

    Menurut dia, dengan pemberian fasilitas ini pelaku mendapatkan hadiah dari sejumlah debitur mulai dari fasilitas-fasilitas kebutuhan pribadi, mobil Toyota Alphard dan uang sekitar Rp400 juta.

    “Semua itu diterima sebagai tanda terima kasih dari nasabah yang berkepentingan,” katanya.

    Sudi menjelaskan tanda terima kasih tersebut ditemukan petugas Kejaksaan Negeri Jakarta Utara setelah melakukan penyelidikan.

    Dalam penyelidikan itu, ditemukan fakta tersangka MS melakukan perbuatan melawan hukum seperti memutus kredit atas kreditur yang terafiliasi dengan kreditur lain yang tidak sesuai ketentuan Konsep Hubungan Total Penerima Kredit (KHTPK)

    Tersangka juga tidak melakukan verifikasi berkaitan dengan analisa yang dilakukan oleh “relationship manager”. Selain itu, tersangka MS juga tidak melakukan verifikasi berkaitan dengan “pre-screening” yang dilakukan oleh “relationship manager”.

    Pimpinan cabang salah satu Bank Himbara memberikan fasilitas modal kerja kepada salah satu bank Himbara yang beralamat di Sunter Jakarta Utara pada 2022-2023 kepada sejumlah perusahaan.

    “Pemberian modal kerja itu diberikan kepada PT. BLA, PT. OKE, PT. ITS, PT. BJM, PT. BNS, CV. CM, PT. TPP, PT.SMW, dan PT. DP,” papar Sudi.

    Berdasarkan fakta-fakta hukum yang telah diperoleh dalam proses penyidikan, termasuk hasil pemeriksaan saksi, dokumen, dan alat bukti lainnya dan setelah dilakukan gelar perkara maka MS ditetapkan sebagai tersangka.

    Pelaku MS dijerat pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 3 Jo pasal 18 ayat Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang – undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP.

    Hingga saat ini tersangka MS ditahan selama 20 hari mulai dari 21 Juli hingga 9 Agustus 2025 di Rumah Tahanan Negara Kelas I Jakarta Pusat.

    Pewarta: Mario Sofia Nasution
    Editor: Syaiful Hakim
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Praperadilan Ditolak, Benni Chandra Sah Jadi Tersangka Korupsi Pasar

    Praperadilan Ditolak, Benni Chandra Sah Jadi Tersangka Korupsi Pasar

    Tolitoli, Beritasatu.com— Hakim Pengadilan Negeri (PN) Tolitoli menolak seluruh permohonan praperadilan yang diajukan Benni Chandra, tersangka kasus dugaan korupsi proyek pembangunan Pasar Rakyat Dakopamean di Kabupaten Tolitoli, Sulawesi Tengah karena dinilai tidak berdasar secara hukum.

    “Permohonan praperadilan Benni Chandra ditolak seluruhnya,” kata Kepala Seksi Pidana Khusus Kejaksaan Negeri (Kejari) Tolitoli Imran Adiguna, Sabtu (19/7/2025).

    Dengan demikian, Kejari Tolitoli melanjutkan proses penyidikan setelah hakim menyatakan penetapan tersangka Benni Chandra memenuhi syarat formil dan materiel dalam putusannya dengan Nomor 1/Pid.Pra/2025/PN Tli tersebut.

    Penolakan terhadap gugatan praperadilan yang diajukan Benny melalui kuasa hukumnya dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Sulawesi Tengah itu diputuskan dalam sidang pada Kamis (18/7/2025).

    Imran menjelaskan penyidik memiliki lebih dari dua alat bukti sah saat menetapkan Benni Chandra sebagai tersangka, bahkan hingga empat alat bukti yang telah diuji di persidangan. Ia juga menegaskan seluruh bukti diperoleh secara legal dan dinilai sah oleh hakim.

    Benni Chandra merupakan direktur PT Mega Makmur Mandiri, kontraktor dalam proyek pembangunan Pasar Dakopamean yang dibiayai pemerintah. 

    Meski proyek fisik telah rampung 100%, hasil penyelidikan mengindikasikan adanya pengurangan spesifikasi bangunan dan potensi kerugian negara.

    “Putusan perdata yang pernah dimenangkan pihak Benni tidak membatalkan unsur pidana. Itu ranah berbeda yang hanya bisa diuji di pengadilan tindak pidana korupsi,” ujar Juru Bicara PN Tolitoli Arga Pebrian.

    Ia menambahkan meskipun proyek mengalami keterlambatan akibat bencana gempa Palu 2018, hal tersebut tidak serta-merta menghapus kemungkinan terjadinya tindak pidana dalam pelaksanaannya.

    “Pelanggaran pidana berdiri sendiri. Hakim perdata tidak berwenang menilai unsur korupsi,” tegas Arga.

    Dengan ditolaknya gugatan praperadilan ini, maka status Benni Chandra sebagai tersangka sah menurut hukum, dan proses penyidikan akan dilanjutkan ke tahap penuntutan. Kasus ini menjadi sorotan karena menyangkut proyek strategis pascabencana dan menjadi sinyal bahwa Kejari Tolitoli berkomitmen menuntaskan perkara-perkara korupsi di daerah.