KPK Panggil 2 Tersangka Korupsi Pengadaan Lahan Jalan Tol Trans Sumatera
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil dua tersangka dalam kasus korupsi pengadaan lahan Jalan Tol Trans Sumatera (JTTS) yang dilaksanakan PT Hutama Karya (Persero) tahun anggaran 2018-2020.
Keduanya adalah Bintang Perbowo (BP) selaku mantan Direktur Utama PT Hutama Karya dan M Rizal Sutjipto (RS) selaku Kepala Divisi Pengembangan Bisnis dan Investasi PT Hutama Karya.
“Pemeriksaan dilakukan di Gedung Merah Putih KPK,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo dalam keterangannya, Rabu (6/8/2025).
Meski demikian, KPK belum memastikan kedua tersangka tersebut akan ditahan usai diperiksa hari ini.
KPK menyatakan tengah menyidik dugaan korupsi pengadaan lahan oleh PT Hutama Karya di sekitar Jalan Tol Trans-Sumatera.
Proyek itu dilaksanakan pada 2018 hingga 2020.
KPK menduga negara mengalami kerugian hingga belasan miliar rupiah dalam kasus pengadaan lahan di sekitar Jalan Tol Trans-Sumatera.
Jumlah tersebut merupakan temuan awal dugaan kerugian negara yang berhasil ditemukan KPK sehingga angkanya dapat berkembang hingga ratusan miliar rupiah.
Dalam perkara ini, KPK telah menetapkan tiga orang sebagai tersangka, yakni BP selaku mantan Direktur Utama PT Hutama Karya; mantan Kepala Divisi PT Hutama Karya; dan IZ dari pihak swasta.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Topik: tersangka korupsi
-
/data/photo/2025/08/01/688c4e922a9b2.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
KPK Panggil 2 Tersangka Korupsi Pengadaan Lahan Jalan Tol Trans Sumatera Nasional 6 Agustus 2025
-
/data/photo/2025/08/06/6892c47fec992.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Teriak Anggota DPRD Bengkulu Tengah Tersangka Korupsi Dana Desa: Macam Korupsi Besak Nian Aku Ini! Regional 6 Agustus 2025
Teriak Anggota DPRD Bengkulu Tengah Tersangka Korupsi Dana Desa: Macam Korupsi Besak Nian Aku Ini!
Tim Redaksi
BENGKULU, KOMPAS.com
– Kejaksaan Negeri (Kejari) Bengkulu Tengah menetapkan anggota DPRD Bengkulu Tengah, SM (56), menjadi tersangka dugaan korupsi dana desa (DD) tahun anggaran 2016 hingga 2021.
SM ditahan selama 20 hari ke depan di Rutan Kelas IIB Bengkulu pada Selasa (5/8/2025).
Sebelum menjadi anggota dewan, SM merupakan Kepala Desa Rindu Hati periode 2016 hingga 2021.
Usai menjalani pemeriksaan, SM diminta mengenakan rompi tersangka berwarna merah muda khas kejaksaan.
Sambil mengenakan rompi tersangka, SM bergumam bahwa dirinya diperlakukan mirip pelaku korupsi besar.
”
Macam korupsi besak nian aku ni
(seperti pelaku korupsi besar saja saya ini),” gumam SM.
Sambil mengenakan kopiah, rompi yang tidak terkancing, dan tanpa borgol, SM digiring penyidik dan TNI menuju mobil untuk dibawa ke Rutan.
Sambil digiring menuju mobil, SM menyapa para wartawan dan mengatakan bahwa ada yang janggal dalam mekanisme penetapannya sebagai tersangka.
“Agak lain mekanisme ini, agak janggal. Sampaikan salam dengan rekan-rekan,” ucap SM kepada para wartawan yang meliput di Kejari Bengkulu Tengah.
SM menjadi tersangka setelah menjalani serangkaian pemeriksaan dan penyidikan tim penyidik Kejari Bengkulu Tengah.
SM merupakan politisi PAN.
Sebelum menjadi wakil rakyat, ia menjabat sebagai Kepala Desa Rindu Hati periode 2016 hingga 2021.
Kepala Kejari Bengkulu Tengah, Firman Halawa, melalui Kasi Intelijen, Yudi Adiyansyah, mengungkapkan bahwa hasil penyidikan menunjukkan selama menjabat sebagai kepala desa, tersangka mencairkan anggaran untuk honorarium perangkat desa, tetapi dana tersebut tidak disalurkan kepada pihak yang berhak menerimanya.
“Honor perangkat desa tidak dibayarkan, tetapi dalam laporan pertanggungjawaban seolah-olah telah dibayarkan,” ujarnya dalam keterangan kepada media di Kejari Bengkulu Tengah pada Selasa (5/8/2025).
Selanjutnya, tersangka juga diketahui menyalurkan insentif untuk Tim Pelaksana Kegiatan (TPK) pembangunan desa, meskipun anggaran tersebut dicairkan dan dicatat dalam laporan pertanggungjawaban, namun tidak disalurkan.
Selain penyimpangan administrasi, penyidik juga menemukan adanya ketidaksesuaian antara realisasi fisik pembangunan di Desa Rindu Hati dengan laporan yang dibuat selama masa kepemimpinan SM.
Kasus ini masih dalam tahap pengembangan.
Kejari Bengkulu Tengah membuka peluang adanya keterlibatan pihak lain dalam perkara ini.
Adapun kerugian negara dalam perkara ini masih dalam proses penghitungan resmi.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2023/10/12/65276d0ca3bb9.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Otoritarianisme Finansial dan Logika Serampangan Pemblokiran Rekening oleh PPATK Nasional 2 Agustus 2025
Otoritarianisme Finansial dan Logika Serampangan Pemblokiran Rekening oleh PPATK
Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.
PEMBLOKIRAN
rekening masyarakat sipil yang tidak aktif (dormant) mulai dilonggarkan. Namun, jangan buru-buru spontan memuji.
Pelonggaran ini bukanlah tanda bahwa kebijakan membaik, melainkan merupakan pengakuan diam-diam atas logika serampangan yang pernah, dan mungkin masih, dijalankan negara atas nama intelijen keuangan (
financial intelligence
).
Kita pernah, dan tampaknya masih, hidup dalam rezim pengawasan keuangan yang menyamakan rekening pasif dengan potensi kriminal, menukar prinsip kehati-hatian dengan paranoia institusional.
Tak pernah terbesitkah di benak
PPATK
bahwa sebagian rekening yang mereka blokir itu mungkin milik seseorang yang sedang sakit dan tengah menyimpan dana untuk membayar tagihan medis?
Sebab, sekalipun menggunakan BPJS, tetap ada biaya tambahan (
out of pocket
) yang harus ditanggung sendiri.
Bagaimana jika rekening itu adalah tempat orang menabung untuk kuliah anaknya lima tahun ke depan? Atau dana darurat yang memang sesuai namanya tidak akan digunakan dalam waktu dekat?
Negara, melalui PPATK, tampak menjalankan kebijakan seolah semua orang wajib menjadi makhluk transaksional harian agar tidak dianggap menyimpan uang jahat.
Logika sekelas lembaga negara ini bukan hanya tidak manusiawi, tapi juga tidak mengenal atau pura-pura tidak paham kompleksitas perilaku ekonomi warga.
Pemerintah menolak realitas bahwa dalam realitasnya, orang tidak hidup untuk bertransaksi setiap minggu. Ada kehati-hatian, ada perencanaan, ada jeda. Dan jeda semacam itu bukanlah sebuah kejahatan.
PPATK berdalih bahwa pemblokiran ini merupakan respons atas lonjakan transaksi judi online. Namun, hingga kini, tidak ada data resmi yang dirilis ke publik.
Sementara di lapangan, rekening milik pelajar, ibu rumah tangga, petani, dan pensiunan turut dibekukan.
Apakah mereka semua penjudi, atau justru korban dari logika administratif yang malas membedakan mana kehati-hatian dan mana pelanggaran hukum?
Jika pemerintah sungguh-sungguh ingin memerangi judi online, maka yang dibutuhkan adalah penelusuran berbasis bukti, audit menyeluruh terhadap sistem pembayaran ilegal, pemantauan digital yang cermat, serta koordinasi lintas aparat penegak hukum.
Bukannya justru menyebar jaring besar ke seluruh nasabah pasif dan berharap pelaku kejahatan tertangkap di antara jutaan warga yang bersih.
Hingga Mei 2025, PPATK melaporkan telah memblokir 31 juta rekening nasabah yang berstatus dormant dengan nilai total Rp 6 triliun, sebagai tindak lanjut atas data yang dilaporkan oleh 107 bank.
Dari jumlah itu, sebanyak 10 juta rekening penerima bantuan sosial tidak pernah digunakan, dengan dana mengendap sebesar Rp 2,1 triliun.
Sementara lebih dari 2.000 rekening milik instansi pemerintah dan bendahara pengeluaran juga dinyatakan dormant, dengan total dana hampir Rp 500 miliar (
Kompas.id
, 30/7/2025).
Namun angka-angka ini seolah tak punya bobot, karena dalam logika PPATK, yang dinilai bukan siapa yang menyalahgunakan, tetapi siapa yang tidak bergerak.
Rekening-rekening ini dibekukan hanya karena terlalu “diam”, terlalu lama tidak menyentuh ATM, terlalu jarang bertransaksi, terlalu sunyi bagi algoritma yang mencurigai apa pun yang tak bergerak.
Kini, PPATK menyatakan rekening pasif bisa diaktifkan kembali jika tidak terindikasi tindak pidana, seolah melupakan bahwa negara pernah merasa berhak membekukan dana yang secara hukum bukan miliknya, hanya atas dasar kecurigaan massal.
Inilah kekacauan logika yang kini kita hadapi, kehati-hatian finansial dianggap sebagai penyamaran kriminal; tabungan disamakan dengan pencucian uang; dan warga dipaksa membuktikan bahwa keheningan rekening bukanlah konspirasi jahat.
Negara tidak lagi bekerja berdasarkan asas praduga tak bersalah (
presumption of innocence
), melainkan dengan logika curiga dahulu, mengumpulkan bukti kemudian (
presumption of suspicion
).
Dan seperti biasa, yang paling mudah dicurigai adalah yang paling lemah, rakyat biasa yang hanya menabung, bukan terikat pencucian uang.
Dari semua yang terjadi, satu pertanyaan paling mengganggu dan tak bisa dihindari, mengapa PPATK begitu cepat dan berani memblokir rekening milik rakyat biasa, tapi begitu lamban dan hati-hati, bahkan tidak bernyali saat berhadapan dengan rekening milik pejabat, politisi, atau tokoh berpengaruh?
Bukankah pada tahun 2024 PPATK telah melaporkan adanya transaksi mencurigakan senilai Rp 80,1 triliun yang melibatkan partai politik, calon anggota legislatif, petahana, dan pejabat aktif? (
Kompas.id
, 27 Juni 2024).
Laporan itu bahkan telah diserahkan ke aparat penegak hukum, tapi tidak ada pemblokiran. Tidak ada pembekuan rekening. Tidak ada tindakan langsung. Hanya menjadi laporan yang dibiarkan menguap di antara kepentingan.
Sementara itu, jutaan rekening milik masyarakat sipil dibekukan secara cepat dalam hitungan minggu, tanpa perlindungan hukum, tanpa pembuktian, dan tanpa ruang klarifikasi.
Dalam wajah kebijakan yang seperti ini, kita tak sedang melihat lembaga intelijen keuangan yang profesional, melainkan lembaga yang menjalankan logika ketakutan vertikal dan keberanian horizontal.
Takut ke atas, berani ke bawah, tajam ke bawah tumpul ke atas.
Terhadap pejabat yang memutar uang dalam gelap, PPATK cukup mengirim dokumen. Terhadap rakyat kecil yang diam menabung, PPATK langsung bertindak.
Jika standar keberanian ditentukan oleh posisi sosial, maka yang sedang dijalankan bukan lagi analisis risiko, melainkan politik kepatuhan yang pincang.
PPATK, yang seharusnya menjadi benteng akuntabilitas dalam lalu lintas keuangan nasional, justru berpotensi menjadi alat seleksi siapa yang layak ditekan dan siapa yang aman dibiarkan.
Lebih parah dari sekadar salah logika, tindakan PPATK juga menabrak batas kewenangan yang secara eksplisit telah diatur oleh hukum.
Dalam konstruksi hukum positif Indonesia, PPATK bukanlah aparat penegak hukum. Ia bukan polisi, bukan jaksa, bukan hakim.
Ia adalah lembaga intelijen keuangan yang tugas utamanya adalah menganalisis, melaporkan, dan memberikan rekomendasi. Bukan mengambil tindakan pemblokiran sepihak atas rekening warga negara tanpa prosedur hukum yang sah.
Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, PPATK hanya dapat meminta pemblokiran kepada lembaga keuangan apabila terdapat dugaan kuat keterkaitan dengan tindak pidana pencucian uang atau pendanaan terorisme.
Itu pun bersifat sementara, dibatasi waktu maksimal 30 hari, dan harus ditindaklanjuti oleh penyidik melalui mekanisme hukum yang benar.
Artinya, PPATK sebenarnya tidak memiliki kewenangan langsung untuk mengeksekusi pemblokiran rekening secara mandiri, apalagi terhadap jutaan rekening milik warga sipil yang bahkan tidak sedang diperiksa dalam perkara pidana.
Jika pemblokiran dilakukan tanpa keterlibatan aparat penegak hukum dan tanpa perintah pengadilan, maka itu bukan sekadar pelanggaran administratif, itu adalah bentuk penyalahgunaan wewenang.
Apa yang dilakukan PPATK tidak hanya keliru secara hukum nasional, tetapi juga menyimpang dari prinsip-prinsip internasional yang mengatur kerja lembaga intelijen keuangan.
Dalam bukunya,
Anti-Money Laundering: A Comparative and Critical Analysis
, Alhosani (2016) mengingatkan bahwa Financial Intelligence Unit (FIU), termasuk seperti PPATK, bukanlah lembaga penegak hukum, melainkan unit analitik yang tugas utamanya adalah mengolah data, menyusun laporan intelijen keuangan, dan menyerahkannya kepada penegak hukum yang berwenang.
Memberi kewenangan langsung kepada FIU untuk membekukan rekening tanpa perintah pengadilan atau proses yuridis adalah penyimpangan struktural yang membuka ruang bagi otoritarianisme finansial.
Lebih lanjut, Alhosani menyebutkan bahwa banyak negara yang kini justru terjebak dalam kecenderungan menyerahkan kewenangan eksekutif kepada FIU dengan dalih efisiensi, padahal yang sebenarnya terjadi adalah perampasan prosedur hukum atas nama pencegahan kejahatan.
Inilah yang disebutnya sebagai “function creep”, saat sebuah lembaga yang semestinya berperan sebagai penganalisis, justru perlahan-lahan berubah menjadi eksekutor, mengaburkan garis batas antara intelijen dan penegakan hukum.
Dalam konteks Indonesia, tindakan PPATK memblokir 31 juta rekening, tanpa prosedur hukum, tanpa pembuktian, tanpa mekanisme klarifikasi adalah bentuk paling ‘konyol’ dari penyalahgunaan wewenang administratif yang melampaui batas fungsi kelembagaan.
Ini bukan lagi kerja intelijen keuangan, ini adalah penghakiman sepihak yang diselubungi jargon keamanan.
Negara seolah sedang membangun logika, “Kami curiga, maka Anda bersalah, dan kami tak perlu pengadilan untuk membenarkannya”.
Padahal, dalam logika negara hukum, bahkan terhadap seorang tersangka korupsi pun negara tetap wajib memberikan proses yang sah, ruang pembelaan, dan kesempatan untuk menjelaskan.
Mengapa prinsip yang sama tidak berlaku bagi, perintis usaha kecil, pengemudi ojek online, ibu rumah tangga, pensiunan, atau pelajar yang hanya sebatas menabung? Mengapa asas praduga tak bersalah hanya berlaku bagi pejabat, tapi justru tidak bagi rakyat biasa?
Inilah yang menjadikan kebijakan pemblokiran massal terhadap
rekening dormant
bukan hanya ngawur secara ekonomi, tapi juga cacat secara hukum.
Negara tidak boleh bertindak atas dasar asumsi sambil mengabaikan prosedur hukum yang menjadi fondasi perlindungan hak sipil.
Jika PPATK bisa membekukan dana seseorang hanya karena tidak aktif bertransaksi, tanpa indikasi tindak pidana dan tanpa proses hukum, maka kita sedang berhadapan dengan lembaga yang menjelma menjadi hakim, jaksa, dan algojo sekaligus, tanpa pengawasan yudisial.
Negara hukum tidak memberi tempat bagi logika bahwa dugaan bisa menggantikan bukti, dan kekuasaan administratif bisa menggantikan proses peradilan.
Bahkan dalam konteks kejahatan keuangan yang kompleks sekalipun,
legal authority
tidak pernah lahir dari otoritas fungsional semata.
Tidak cukup bahwa PPATK tahu, atau menduga, atau mengamati, mereka harus tunduk pada proses, harus tunduk pada pembuktian, harus tunduk pada hukum.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Imigrasi Cabut Paspor Tersangka Korupsi Pertamina Riza Chalid
Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan (Imipas) telah mencabut paspor milik tersangka Mohammad Riza Chalid (MRC).
Menteri Imipas, Agus Andrianto mengatakan pencabutan itu telah dirumuskan saat permintaan cekal dari Kejagung. Kini, paspor milik saudagar minyak itu telah disepakati untuk dicabut.
“Sejak awal diminta cekal dan kita koordinasi untuk pencabutan Paspor [Riza Chalid], disepakati untuk dicabut,” ujar Agus kepada wartawan, Rabu (30/7/2025).
Dia menambahkan, alasan pencabutan paspor itu dilakukan agar lebih mempermudah pencarian Riza Chalid yang diduga berada di luar negeri.
“Supaya kalau dipakai yang bersangkutan langsung bisa kontak imigrasi setempat ke kami,” pungkasnya.
Dalam catatan Bisnis, Riza Chalid diduga tengah berada di negeri Jiran Malaysia. Saudagar minyak tersohor itu juga diduga telah melangsungkan pernikahan dengan kerabat dari kesultanan di Malaysia. Kedua informasi ini kemudian tengah didalami Kejagung.
Sebagai informasi, saudagar minyak Mohammad Riza Chalid (MRC) ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang Pertamina-KKKS periode 2018-2023, oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) RI.
Dalam kasus ini, Riza diduga telah melakukan intervensi kebijakan terhadap tata kelola minyak Pertamina dengan memberikan rencana kerja sama penyewaan terminal BBM di Merak.
-
/data/photo/2024/04/03/660cf5344d0f8.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Polresta Jambi Tetapkan 3 Tersangka Korupsi Pengadaan Bahan Kimia PDAM Regional 28 Juli 2025
Polresta Jambi Tetapkan 3 Tersangka Korupsi Pengadaan Bahan Kimia PDAM
Tim Redaksi
JAMBI, KOMPAS.com
– Unit Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Satuan Reserse Kriminal Polresta Jambi menetapkan tiga orang tersangka dalam kasus dugaan
korupsi pengadaan bahan kimia
di Perumda Air Minum
PDAM Tirta Mayang
Kota Jambi.
Ketiga tersangka berinisial MK, HF, dan RW. Mereka diduga terlibat dalam korupsi pengadaan bahan kimia
sucolite LA24HZ
untuk periode tahun 2021 hingga 2023.
“Ya, kita tetapkan tiga orang tersangka,” kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Polresta Jambi
Kompol Hendra Manurung
saat dikonfirmasi
Kompas.com
melalui pesan singkat, Senin (28/7/2025).
Namun, Hendra belum merinci nilai kerugian negara akibat perkara ini.
“Nanti kita update lagi perkembangannya ya,” ujarnya.
Ia juga tidak menjelaskan secara detail peran masing-masing tersangka dalam dugaan tindak pidana korupsi tersebut.
Kasus ini mencuat setelah kepolisian menerima pengaduan masyarakat mengenai dugaan penyelewengan anggaran dalam
pengadaan barang dan jasa
di PDAM Tirta Mayang pada tahun 2024.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Teka-teki Keberadaan Eks Staf Nadiem Jurist Tan, di Australia atau Singapura?
Bisnis.com, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejagung) merespons soal pernyataan Koordinator Masyarakat Anti-korupsi (MAKI) Boyamin Saiman mengenai keberadaan tersangka korupsi pengadaan Chromebook, Jurist Tan.
Kepala Pusat Penerangan Hukum alias Kapuspenkum Kejagung RI, Anang Supriatna menyatakan bahwa pihaknya memang sudah mendengar informasi terkait dengan keberadaan Jurist Tan di Australia.
“Yang jelas kalau JT, ya kalau saya pernah dengar bahwa ada menyebutkan bahwa ada di Australia,” ujar Anang di Kejagung, Jumat (25/7/2025).
Meskipun begitu, Anang menekankan, saat ini penyidik korps Adhyaksa masih berfokus pada prosedur pemanggilan terhadap bekas anak buah Nadiem Makarim itu.
Dalam catatan Bisnis, Jurist Tan telah dilakukan pemanggilan dua kali dan selalu mangkir. Oleh karena itu, penyidik akan menjadwalkan panggilan ketiga dan dilanjutkan dengan penerbitan red notice.
“Kan tinggal pemanggilan ketiga, biasanya pemanggilan ketiga itu disertai dengan penyertaan DPO,” pungkasnya.
Boyamin Ungkap Jurist di Australia
Dalam keterangan tertulisnya, Boyamin menyatakan telah berkeliling selama satu pekan ke Australia dari 17-25 Juli 2025. Selama di Australia, pria yang mengaku menjadi detektif partikelir ini tengah berusaha melacak keberadaan Jurist Tan.
“Selama di Australia telah berusaha melacak keberadaan Tersangka Jurist Tan dan terdapat dugaan dia tinggal di Sydney tepatnya kawasan Waterloo , New South Wales, Australia, bersama suaminya inisial ADH dan seorang putranya,” ujar Boyamin.
Dia juga mengemukakan bahwa Jurist memang sempat berada di Singapura seperti pencatatan perlintasan terakhir imigrasi Tanah Air. Namun, Jurist kemudian terlacak berada di Australia.
Atas informasi itu, Boyamin mengklaim bahwa dirinya telah mengirimkan dokumen terkait Jurist Tan kepada penyidik Kejagung RI agar segera dapat memboyongnya ke Indonesia.
“Selain data alamat, saya kepada Penyidik telah menyerahkan data-data berupa foto ADH [suami Jurist Tan] dan nomor Ponsel Indonesia yang digunakan Jurist Tan dan suaminya ADH,” jelasnya.
Melintas ke Singapura
Sementara itu, Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan (Imipas) mengungkap tersangka Jurist Tan telah melintas ke luar negeri sejak 13 Mei 2025.
Plt Direktur Jenderal Imigrasi Yuldi Yusman mengatakan berdasarkan catatan penerbangan terakhir di Indonesia, anak buah Nadiem itu menuju Singapura.
“Pengecekan pada sistem SIPP, yang bersangkutan terbang keluar dari Indonesia menuju Singapura dengan menggunakan pesawat, dengan pesawat Singapore Airlines,” ujar Yuldi saat dihubungi, Rabu (23/2/2025).
Dengan demikian, Yuldi menekankan bahwa berdasarkan data perlintasan imigrasi hingga Kamis (17/7/2025), Jurist Tan dinyatakan sudah tidak berada di Indonesia.
“Dari data perlintasan per Kamis 17 Juli 2025 pukul 17.30 WIB yang bersangkutan tidak berada di Indonesia,” pungkasnya.
-

Praperadilan Ditolak, Benni Chandra Sah Jadi Tersangka Korupsi Pasar
Tolitoli, Beritasatu.com— Hakim Pengadilan Negeri (PN) Tolitoli menolak seluruh permohonan praperadilan yang diajukan Benni Chandra, tersangka kasus dugaan korupsi proyek pembangunan Pasar Rakyat Dakopamean di Kabupaten Tolitoli, Sulawesi Tengah karena dinilai tidak berdasar secara hukum.
“Permohonan praperadilan Benni Chandra ditolak seluruhnya,” kata Kepala Seksi Pidana Khusus Kejaksaan Negeri (Kejari) Tolitoli Imran Adiguna, Sabtu (19/7/2025).
Dengan demikian, Kejari Tolitoli melanjutkan proses penyidikan setelah hakim menyatakan penetapan tersangka Benni Chandra memenuhi syarat formil dan materiel dalam putusannya dengan Nomor 1/Pid.Pra/2025/PN Tli tersebut.
Penolakan terhadap gugatan praperadilan yang diajukan Benny melalui kuasa hukumnya dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Sulawesi Tengah itu diputuskan dalam sidang pada Kamis (18/7/2025).
Imran menjelaskan penyidik memiliki lebih dari dua alat bukti sah saat menetapkan Benni Chandra sebagai tersangka, bahkan hingga empat alat bukti yang telah diuji di persidangan. Ia juga menegaskan seluruh bukti diperoleh secara legal dan dinilai sah oleh hakim.
Benni Chandra merupakan direktur PT Mega Makmur Mandiri, kontraktor dalam proyek pembangunan Pasar Dakopamean yang dibiayai pemerintah.
Meski proyek fisik telah rampung 100%, hasil penyelidikan mengindikasikan adanya pengurangan spesifikasi bangunan dan potensi kerugian negara.
“Putusan perdata yang pernah dimenangkan pihak Benni tidak membatalkan unsur pidana. Itu ranah berbeda yang hanya bisa diuji di pengadilan tindak pidana korupsi,” ujar Juru Bicara PN Tolitoli Arga Pebrian.
Ia menambahkan meskipun proyek mengalami keterlambatan akibat bencana gempa Palu 2018, hal tersebut tidak serta-merta menghapus kemungkinan terjadinya tindak pidana dalam pelaksanaannya.
“Pelanggaran pidana berdiri sendiri. Hakim perdata tidak berwenang menilai unsur korupsi,” tegas Arga.
Dengan ditolaknya gugatan praperadilan ini, maka status Benni Chandra sebagai tersangka sah menurut hukum, dan proses penyidikan akan dilanjutkan ke tahap penuntutan. Kasus ini menjadi sorotan karena menyangkut proyek strategis pascabencana dan menjadi sinyal bahwa Kejari Tolitoli berkomitmen menuntaskan perkara-perkara korupsi di daerah.
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/3609095/original/017722100_1634813440-20211021-Ekspor-Batu-Bara-6.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
:strip_icc():format(jpeg):watermark(kly-media-production/assets/images/watermarks/liputan6/watermark-color-landscape-new.png,1100,20,0)/kly-media-production/medias/5298009/original/052323500_1753706555-IMG-20250728-WA0019_1_.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
