Topik: Subsisdi BBM

  • Kronologi Dugaan Korupsi Minyak Mentah Pertamina Rp193,7 Triliun, Seret Anak Riza Chalid

    Kronologi Dugaan Korupsi Minyak Mentah Pertamina Rp193,7 Triliun, Seret Anak Riza Chalid

    Bisnis.com, JAKARTA – Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap kasus dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018–2023 menyebabkan kerugian keuangan negara sebesar Rp193,7 triliun.

    “Beberapa perbuatan melawan hukum tersebut telah mengakibatkan adanya kerugian keuangan negara sekitar Rp193,7 triliun,” kata Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Abdul Qohar Senin (24/2/2025) malam.

    Kerugian tersebut, kata dia, berasal dari berbagai komponen antara lain kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri, kerugian impor minyak mentah melalui broker, kerugian impor bahan bakar minyak (BBM) melalui broker dan kerugian dari pemberian kompensasi serta subsidi.

    Qohar menjelaskan posisi kasus ini terjadi pada periode tahun 2018–2023, pemenuhan minyak mentah dalam negeri wajib mengutamakan pasokan minyak bumi dari dalam negeri.

    Awalnya, PT Pertamina (Persero) pun wajib mencari pasokan minyak bumi yang berasal dari kontraktor dalam negeri sebelum merencanakan impor minyak bumi.

    Hal tersebut diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri ESDM Nomor 42 Tahun 2018 yang mengatur prioritas pemanfaatan minyak bumi untuk pemenuhan kebutuhan di dalam negeri.

    Akan tetapi, ujar Qohar, tersangka RS, SDS dan AP melakukan pengondisian dalam rapat optimalisasi hilir yang dijadikan dasar untuk menurunkan produksi kilang sehingga produksi minyak bumi dalam negeri tidak terserap seluruhnya.

    Pengondisian tersebut membuat pemenuhan minyak mentah maupun produk kilang dilakukan dengan cara impor. Menurut Kejagung, saat produksi kilang minyak sengaja diturunkan, produksi minyak mentah dalam negeri oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) juga sengaja ditolak dengan alasan spesifikasi tidak sesuai dan tidak memenuhi nilai ekonomis. Maka, secara otomatis bagian KKKS untuk dalam negeri harus diekspor ke luar negeri.

    Kemudian, untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, PT Kilang Pertamina Internasional melakukan impor minyak mentah dan PT Pertamina Patra Niaga melakukan impor produk kilang.

    “Harga pembelian impor tersebut apabila dibandingkan dengan harga produksi minyak bumi dalam negeri terdapat perbandingan komponen harga yang sangat tinggi atau berbeda harga yang sangat signifikan,” ucapnya. 

    Dalam kegiatan pengadaan impor minyak mentah oleh PT Kilang Pertamina Internasional dan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, diperoleh fakta adanya perbuatan jahat antara penyelenggara negara, yakni subholding Pertamina dengan broker.

    “Tersangka RS, SDS dan AP memenangkan broker minyak mentah dan produk kilang secara melawan hukum,” ucapnya.

    Selain itu, lanjut dia, tersangka DW dan tersangka GRJ melakukan komunikasi dengan tersangka AP agar bisa memperoleh harga tinggi pada saat syarat belum terpenuhi dan mendapatkan persetujuan dari tersangka SDS untuk impor minyak mentah serta dari tersangka RS untuk produk kilang.

    Akibat kecurangan tersebut, komponen harga dasar yang dijadikan acuan untuk penetapan harga indeks pasar (HIP) BBM untuk dijual kepada masyarakat menjadi lebih tinggi yang kemudian HIP tersebut dijadikan dasar pemberian kompensasi maupun subsidi BBM setiap tahun melalui APBN.

    Akibatnya, negara mengalami kerugian keuangan sebesar Rp193,7 triliun. Akan tetapi, jumlah tersebut adalah nilai perkiraan sementara dari penyidik. Kejagung menyebut bahwa nilai kerugian yang pasti sedang dalam proses penghitungan bersama para ahli.

    Diketahui, Kejagung pada Senin (24/2) malam menetapkan tujuh tersangka baru dalam kasus ini, yaitu RS selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, SDS selaku Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, dan YF selaku PT Pertamina International Shipping.

    Lalu, AP selaku VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional, MKAR selaku beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa, DW selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim, dan GRJ selaku Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.

    Para tersangka disangkakan Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

    Tata Kelola Minyak Mentah

    Salah satu tersangka kasus korupsi tata kelola minyak mentah diduga merupakan anak dari saudagar minyak Mohammad Riza Chalid atau Reza Chalid.

    Tersangka itu bernama Muhammad Kerry Andrianto Riza (MKAR) selaku Beneficil Owner PT Navigator Khatulistiwa. Muhammad Kerry Andrianto Riza merupakan anak pertama dari Mohammad Riza Chalid.

    “Betul [MKAR anak Riza Chalid],” ujar Jampidsus Febrie Adriansyah ketika dikonfirmasi Bisnis, Selasa (25/2/2025). 

    MKAR menjadi tersangka kasus tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja sama (KKKS) tahun 2018—2023 bersama enam tersangka lainnya.

    Keenam tersangka lainnya adalah Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan, lalu Direktur Utama PT Pertamina International Shipping Yoki Firnandi, Direktur Optimalisasi dan Produk Pertamina Kilang Internasional Sani Dinar Saifuddin.

    Selain itu, tersangka lainnya adalah Agus Purwono selaku Vice President Feedstock Manajemen pada PT Kilang Pertamina Internasional, Gading Ramadhan Joedo selaku Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim Nusantara dan Dimas Werhaspati selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim Nusantara.

  • 10
                    
                        Duduk Perkara Korupsi Tata Kelola Minyak Mentah Pertamina yang Rugikan Negara Rp 193,7 Triliun
                        Nasional

    10 Duduk Perkara Korupsi Tata Kelola Minyak Mentah Pertamina yang Rugikan Negara Rp 193,7 Triliun Nasional

    Duduk Perkara Korupsi Tata Kelola Minyak Mentah Pertamina yang Rugikan Negara Rp 193,7 Triliun
    Editor
    KOMPAS.com
    – Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap kasus dugaan
    korupsi tata kelola minyak mentah
    dan produk kilang PT
    Pertamina
    ,
    subholding,
    dan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) tahun 2018 sampai dengan 2023. 
    Dalam perkara ini, Kejagung menetapkan tujuh orang tersangka, salah satunya yakni
    Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga
    Riva Siahaan (RS).
    “Tim penyidik pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus telah mendapatkan alat bukti yang cukup untuk menetapkan tujuh orang tersangka,” dilansir dari keterangan resmi Kejagung, Selasa (25/2/2025). 
    Selain Riva, enam tersangka lain yakni Direktur Feedstock and Product Optimalization PT Kilang Pertamina Internasional berinisial SDS, kemudian YF selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping, AP selaku VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional, MKAR selaku Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa, DW selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan Komisaris PT Jenggala Maritim, dan GRJ selaku Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.
    Menurut Kejagung, pada 2018 sampai 2023, pemenuhan minyak mentah dalam negeri seharusnya wajib mengutamakan pasokan minyak bumi dari dalam negeri, termasuk kontraktornya juga harus dari dalam negeri, sebelum merencanakan impor minyak bumi.
    Hal ini sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 42 Tahun 2018 tentang prioritas pemanfaatan minyak bumi untuk kebutuhan dalam negeri.
    Namun, berdasarkan penyidikan Kejagung, Riva dan tersangka SDS serta AP melakukan pengondisian dalam Rapat Optimasi Hilir (OH) yang dijadikan dasar untuk menurunkan readiness/produksi kilang.
    Sehingga, produksi minyak bumi dalam negeri tidak terserap sepenuhnya dan akhirnya pemenuhan minyak mentah maupun produk kilang diperoleh dari impor.
    Pada saat produksi kilang sengaja diturunkan, menurut Kejagung, produksi minyak mentah dalam negeri oleh KKKS sengaja ditolak dengan fakta sebagai berikut; 
    Saat produksi minyak mentah dalam negeri oleh KKKS ditolak dengan berbagai alasan, hal itu yang menjadi dasar minyak mentah Indonesia dilakukan penjualan keluar negeri (ekspor).
    Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, PT Kilang Pertamina Internasional melakukan impor minyak mentah dan PT Pertamina Patra Niaga melakukan impor produk kilang. Hanya saja, terdapat perbedaan harga yang tinggi antara minyak impor dan minyak mentah dari dalam negeri. 
     
    Dalam penyidikannya, pihak Kejagung menemukan fakta adanya pemufakatan jahat (
    mens rea
    ) pada kegiatan pengadaan impor minyak mentah oleh PT Kilang Pertamina Internasional dan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga antara tersangka SDS, AP dan RS dengan tersangka YF bersama DMUT/Broker yakni tersangka MK, DW, dan GRJ sebelum tender dilaksanakan.
    Para pihak tersebut menyepakati mengatur harga dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan secara melawan hukum dan merugikan keuangan negara.
    “Pemufakatan tersebut diwujudkan dengan adanya tindakan (
    actus reus
    ) pengaturan proses pengadaan impor minyak mentah dan impor produk kilang sehingga seolah-olah telah dilaksanakan sesuai ketentuan dengan cara pengkondisian pemenangan DMUT/Broker yang telah ditentukan dan menyetujui pembelian dengan harga tinggi (spot) yang tidak memenuhi persyaratan,” ungkap Kejagung. 
    Caranya yakni tersangka RS, SDS, dan AP memenangkan DMUT/Broker minyak mentah dan produk kilang secara melawan hukum.
    Tersangka DM dan GRJ juga berkomunikasi dengan tersangka AP untuk dapat memperoleh harga tinggi (
    spot
    ) pada saat syarat belum terpenuhi dan mendapatkan persetujuan dari SDS untuk impor minyak mentah serta dari RS untuk impor produk kilang.
    Dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, Kejagung mengungkapkan bahwa tersangka RS melakukan pembelian (pembayaran) untuk Ron 92.
    Padahal, sebenarnya, RS hanya membeli Ron 90 atau lebih rendah, kemudian dilakukan blending di storage/depo untuk menjadi Ron 92 dan hal tersebut tidak diperbolehkan.
    Pada saat telah dilakukan pengadaan impor minyak mentah dan impor produk kilang, Kejagung juga menemukan fakta adanya mark up kontrak shipping (pengiriman) yang dilakukan oleh tersangka YF selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping sehingga negara mengeluarkan fee sebesar 13-15 persen secara melawan hukum sehingga tersangka MKAR mendapatkan keuntungan dari transaksi tersebut.
    “Pada saat kebutuhan minyak dalam negeri mayoritas diperoleh dari produk impor secara melawan hukum, maka komponen harga dasar yang dijadikan acuan untuk penetapan HIP (Harga Index Pasar) Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk dijual kepada masyarakat menjadi mahal/tinggi sehingga dijadikan dasar pemberian kompensasi maupun subsidi BBM setiap tahun dari APBN,” ungkap Kejagung. 
    Beberapa perbuatan melawan hukum tersebut telah mengakibatkan kerugian negara sekitar Rp 193,7 triliun, dengan rincian kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri sekitar Rp 35 triliun.
    Kemudian, kerugian impor minyak mentah melalui DMUT/Broker sekitar Rp 2,7 triliun, kerugian impor BBM melalui DMUT/Broker sekitar Rp 9 triliun, kerugian pemberian kompensasi (2023) sekitar Rp 126 triliun dan kerugian pemberian subsidi (2023) sekitar Rp 21 triliun.
    Akibat perbuatannya, para tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. 
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 10
                    
                        Duduk Perkara Korupsi Tata Kelola Minyak Mentah Pertamina yang Rugikan Negara Rp 193,7 Triliun
                        Nasional

    2 Korupsi Pertamina, Kejagung: Patra Niaga Beli Pertalite, Dioplos Jadi Pertamax Nasional

    Korupsi Pertamina, Kejagung: Patra Niaga Beli Pertalite, Dioplos Jadi Pertamax
    Editor
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Kejaksaan Agung (
    Kejagung
    ) menetapkan Direktur Utama PT
    Pertamina
    Patra Niaga Riva Siahaan (RS) sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018-2023.
    Melansir keterangan Kejagung, PT
    Pertamina Patra Niaga
    diduga membeli
    Pertalite
    untuk kemudian “diblending” atau dioplos menjadi
    Pertamax
    . Namun, pada saat pembelian, Pertalite tersebut dibeli dengan harga Pertamax.
    “Dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, Tersangka RS melakukan pembelian (pembayaran) untuk Ron 92 (Pertamax), padahal sebenarnya hanya membeli Ron 90 (Pertalite) atau lebih rendah kemudian dilakukan blending di Storage/Depo untuk menjadi Ron 92,” demikian bunyi keterangan Kejagung, dilansir Selasa (25/2/2025).
    “Dan hal tersebut tidak diperbolehkan,” imbuh keterangan itu.
    Dalam perkara ini, ada enam tersangka lain yang turut ditetapkan. Mereka adalah Direktur Utama PT Pertamina International Shipping,
    Yoki Firnandi
    (YF); SDS selaku Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional; dan AP selaku VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional.
    Lalu, MKAR selaku beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa; DW selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim; dan GRJ selaku Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.
    Berikut peran ketujuh tersangka dalam perkara ini:
    Riva Siahaan
    bersama SDS, dan AP memenangkan DMUT/broker minyak mentah dan produk kilang yang diduga dilakukan secara melawan hukum.
    Sementara itu, tersangka DM dan GRJ melakukan komunikasi dengan tersangka AP untuk memperoleh harga tinggi (spot) pada saat syarat belum terpenuhi dan mendapatkan persetujuan dari SDS untuk impor produk kilang.
    Dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, Riva kemudian melakukan pembelian untuk produk Pertamax (Ron 92). Padahal sebenarnya, hanya membeli Pertalite (Ron 90) atau lebih rendah.
    Kemudian, Pertalite tersebut di-blending di Storage/Depo untuk menjadi Ron 92. Padahal, hal tersebut tidak diperbolehkan.
    Selanjutnya, pada saat telah dilakukan pengadaan impor minyak mentah dan impor produk kilang, diperoleh fakta adanya mark up kontrak shipping yang dilakukan Yoki selaku Dirut PT Pertamina International Shipping.
    Dalam hal ini negara mengeluarkan fee sebesar 13 hingga 15 persen secara melawan hukum, sehingga tersangka MKAR mendapatkan keuntungan dari transaksi tersebut.
    ”Pada saat kebutuhan minyak dalam negeri mayoritas diperoleh dari produk impor secara melawan hukum, maka komponen harga dasar yang dijadikan acuan untuk penetapan HIP (Harga Index Pasar) Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk dijual kepada masyarakat menjadi mahal/tinggi sehingga dijadikan dasar pemberian kompensasi maupun subsidi BBM setiap tahun dari APBN,” tulis keterangan tersebut.
    Para Tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. 
    ”Akibat adanya beberapa perbuatan melawan hukum tersebut, telah mengakibatkan adanya kerugian negara sekitar Rp 193,7 triliun,” imbuh keterangan Kejagung.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Usai Korupsi Timah, Kini Muncul Kasus Korupsi di Pertamina yang Rugikan Negara Rp193 Triliun

    Usai Korupsi Timah, Kini Muncul Kasus Korupsi di Pertamina yang Rugikan Negara Rp193 Triliun

    PIKIRAN RAKYAT – Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan tujuh tersangka dalam kasus dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018–2023.

    “Berdasarkan keterangan saksi, keterangan ahli, bukti dokumen yang telah disita secara sah, tim penyidik pada malam hari ini menetapkan tujuh orang sebagai tersangka,” ucap Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Abdul Qohar di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin 24 Februari 2025 malam.

    Tujuh tersangka itu berinisial RS selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, SDS selaku Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, dan YF selaku PT Pertamina International Shipping.

    Lalu, AP selaku VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional, MKAR selaku beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa, DW selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim, dan GRJ selaku Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.

    Tujuh tersangka tersebut, akan ditahan selama 20 hari ke depan untuk proses pemeriksaan terhitung sejak malam ini, Senin 24 Februari 2025.

    Sementara itu, Pertamina menyatakan menghormati Kejaksaan Agung terkait penetapan tersangka ini.

    “Pertamina siap bekerja sama dengan aparat berwenang dan berharap proses hukum dapat berjalan lancar dengan tetap mengedepankan asas hukum praduga tak bersalah,”ujar VP Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso.

    Rugikan Negara Rp193 Triliun

    Kasus dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan KKKS tahun 2018–2023 itu menyebabkan kerugian keuangan negara sebesar Rp193,7 triliun.

    “Beberapa perbuatan melawan hukum tersebut telah mengakibatkan adanya kerugian keuangan negara sekitar Rp193,7 triliun,” kata Abdul Qohar.

    Kerugian tersebut berasal dari berbagai komponen, yaitu kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri, kerugian impor minyak mentah melalui broker, kerugian impor bahan bakar minyak (BBM) melalui broker dan kerugian dari pemberian kompensasi serta subsidi.

    Kronologi Kasus

    Abdul Qohar menjelaskan, posisi kasus ini adalah pada periode tahun 2018–2023, pemenuhan minyak mentah dalam negeri wajib mengutamakan pasokan minyak bumi dari dalam negeri.

    PT Pertamina (Persero) pun wajib mencari pasokan minyak bumi yang berasal dari kontraktor dalam negeri sebelum merencanakan impor minyak bumi.

    Hal tersebut diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri ESDM Nomor 42 Tahun 2018 yang mengatur prioritas pemanfaatan minyak bumi untuk pemenuhan kebutuhan di dalam negeri.

    Akan tetapi, tersangka RS, SDS, dan AP melakukan pengondisian dalam rapat optimalisasi hilir yang dijadikan dasar untuk menurunkan produksi kilang sehingga produksi minyak bumi dalam negeri tidak terserap seluruhnya.

    Pengondisian tersebut membuat pemenuhan minyak mentah maupun produk kilang dilakukan dengan cara impor.

    Pada saat produksi kilang minyak sengaja diturunkan, produksi minyak mentah dalam negeri oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) juga sengaja ditolak dengan alasan spesifikasi tidak sesuai dan tidak memenuhi nilai ekonomis. Maka, secara otomatis bagian KKKS untuk dalam negeri harus diekspor ke luar negeri.

    Kemudian, untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, PT Kilang Pertamina Internasional melakukan impor minyak mentah dan PT Pertamina Patra Niaga melakukan impor produk kilang.

    “Harga pembelian impor tersebut apabila dibandingkan dengan harga produksi minyak bumi dalam negeri terdapat perbandingan komponen harga yang sangat tinggi atau berbeda harga yang sangat signifikan,” tutur Abdul Qohar.

    Dalam kegiatan pengadaan impor minyak mentah oleh PT Kilang Pertamina Internasional dan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, diperoleh fakta adanya perbuatan jahat antara penyelenggara negara, yakni subholding Pertamina, dengan broker.

    “Tersangka RS, SDS dan AP memenangkan broker minyak mentah dan produk kilang secara melawan hukum,” ucap Abdul Qohar.

    Selain itu, tersangka DW dan tersangka GRJ melakukan komunikasi dengan tersangka AP agar bisa memperoleh harga tinggi pada saat syarat belum terpenuhi dan mendapatkan persetujuan dari tersangka SDS untuk impor minyak mentah serta dari tersangka RS untuk produk kilang.

    Akibat kecurangan tersebut, komponen harga dasar yang dijadikan acuan untuk penetapan harga indeks pasar (HIP) BBM untuk dijual kepada masyarakat menjadi lebih tinggi yang kemudian HIP tersebut dijadikan dasar pemberian kompensasi maupun subsidi BBM setiap tahun melalui APBN.

    Akibatnya, negara mengalami kerugian keuangan sebesar Rp193,7 triliun. Namun, jumlah tersebut adalah nilai perkiraan sementara dari penyidik. Kejagung menyebut bahwa nilai kerugian yang pasti sedang dalam proses penghitungan bersama para ahli.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Tidak Ada Penghapusan BBM Subsidi

    Tidak Ada Penghapusan BBM Subsidi

    Jakarta, Beritasatu.com – Wakil Ketua Komisi VII DPR Bambang Haryadi menegaskan tidak ada rencana penghapusan BBM subsidi. Menurutnya, setiap kebijakan terkait subsidi energi harus mendapat persetujuan DPR karena anggaran subsidi melekat dalam APBN. Hingga saat ini, isu tersebut tidak pernah dibahas di DPR.

    “Tidak ada wacana penghapusan subsidi. Mekanisme subsidi harus mendapat persetujuan DPR RI karena dananya berasal dari APBN. Presiden Prabowo Subianto justru menekankan pentingnya perlindungan bagi masyarakat kecil,” ujar Bambang kepada wartawan, Senin (24/2/2025).

    Bambang menjelaskan Presiden Prabowo menginginkan subsidi BBM yang lebih tepat sasaran. Oleh karena itu, pemerintah akan melakukan pembenahan sistem distribusi agar BBM subsidi benar-benar dinikmati oleh masyarakat yang berhak.

    “Kita akui, masih ada subsidi yang tidak tepat sasaran, tetapi ke depan kita akan perbaiki. Presiden ingin ‘wong cilik podo gemuyu’, artinya rakyat kecil harus tetap sejahtera. Kami yakin presiden akan selalu melindungi rakyat kecil,” tegas Bambang yang juga merupakan legislator dari Partai Gerindra.

    Bambang juga meluruskan pernyataan Ketua Dewan Energi Nasional (DEN), Luhut Binsar Pandjaitan, yang disebut-sebut sebagai sinyal penghapusan subsidi BBM. Menurutnya, Luhut tidak berbicara soal penghapusan subsidi, melainkan perbaikan skema distribusi.

    “Mungkin maksud Pak Luhut bukan menghapus subsidi, tetapi memperbaiki skema agar lebih tepat sasaran. Bahkan dalam Raker 2023, Komisi VII DPR dan Menteri ESDM telah menyepakati BBM bersubsidi, seperti Pertalite, hanya diperuntukkan bagi sepeda motor dan angkutan umum. Sementara solar subsidi akan diberikan kepada angkutan umum, nelayan, petani, dan pengangkut sembako,” jelasnya.

    Sebelumnya, dalam acara Bloomberg Technoz Economic Outlook di Soehanna Hall, Jakarta Selatan (20/2/2025), Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan dalam dua tahun ke depan, subsidi energi tidak akan lagi berbasis komoditas, melainkan berbasis penerima dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai (BLT).

    “Mungkin dalam dua tahun kita bisa menuju satu harga. Tidak ada lagi subsidi untuk barang, seperti BBM Solar. Subsidi akan diberikan langsung kepada masyarakat yang memenuhi syarat,” kata Luhut.

  • Dewan Ekonomi Klarifikasi Pernyataan Luhut: Tidak Ada Penghapusan Subsidi BBM

    Dewan Ekonomi Klarifikasi Pernyataan Luhut: Tidak Ada Penghapusan Subsidi BBM

    Bisnis.com, JAKARTA — Dewan Ekonomi Nasional (DEN) memberikan klarifikasi terkait pernyataan Ketua DEN Luhut Binsar Pandjaitan yang akan mengusulkan penghapusan subsidi BBM dalam 2 tahun ke depan.

    Juru Bicara DEN Jodi Mahardi mengatakan, hingga saat ini belum ada keputusan yang  diambil terkait perubahan subsidi BBM. Oleh karena itu, dia menegaskan bahwa tidak ada wacana penghapusan subsidi BBM pada 2027.

    Jodi juga menegaskan bahwa statement yang disampaikan sebelumnya Luhut, adalah wacana usulan untuk menyalurkan subsidi BBM lebih tepat sasaran.

    “Ini melalui subsidi langsung kepada masyarakat yang berhak mendapatkan subsidi tersebut, bukan penghapusan subsidi,” ucap Jodi melalui keterangan resmi dikutip pada Sabtu (23/2/2025).

    Menurut Jodi, penyaluran subsidi tepat sasaran ini penting. Pasalnya, mekanisme subsidi BBM saat ini banyak dinikmati oleh kelompok masyarakat yang mampu.

    Adapun pernyataan Luhut usulan wacana subsidi tepat sasaran dari Luhut pun disebut masih wacana. Oleh karena itu masih perlu pengkajian mendalam dengan mempertimbangkan berbagai aspek dan masukan dari masyarakat serta akademisi.

    Jodi menyebut, saat ini pemerintah terus melakukan perbaikan database kelompok masyarakat yang berhak memperoleh subsidi. Ini bertujuan untuk memastikan bahwa subsidi bisa disalurkan lebih tepat sasaran.

    “Di mana salah satu inisiatif yang dilakukan adalah melalui digitalisasi database tersebut sehingga pembaharuan data kelompok masyarakat yang berhak menerima subsidi bisa dilakukan lebih cepat,” imbuhnya.

    Menurut Jodi, dengan mekanisme penyaluran yang lebih tepat sasaran, manfaatnya akan lebih adil dan merata. Oleh karena itu, kebijakan ini akan terus dikaji dengan mempertimbangkan kepentingan masyarakat luas.

    “Dengan pendekatan yang lebih transparan dan berbasis data, diharapkan subsidi BBM dapat benar-benar membantu masyarakat yang membutuhkan, sekaligus  mengurangi potensi pemborosan anggaran negara,” tutupnya.

    Sebelumnya, Luhut memberi sinyal bahwa penyaluran subsidi diharapkan tidak lagi berbasis komoditas, seperti mekanisme subsidi BBM saat ini, dalam 2 tahun ke depan.  

    “Saya berpikir dan saya sampaikan kepada Presiden [Prabowo Subianto], dalam 2 tahun ke depan kita mungkin bisa mencapai satu harga, tidak ada lagi subsidi untuk barang, seperti BBM, Solar,” kata Luhut dalam acara Economic Outlook 2025, Kamis (20/2/2025).

    Menurut Luhut, bantuan sosial berupa subsidi dari pemerintah mestinya langsung diberikan ke individu masyarakat yang berhak menerima. Artinya, dia menyarankan untuk subsidi langsung yang berbasis penerima manfaat, bukan komoditas seperti BBM. 

  • Ini Harga BBM Jika Subsidi Dihapus, Pemerintah Pertimbangkan Skema Baru

    Ini Harga BBM Jika Subsidi Dihapus, Pemerintah Pertimbangkan Skema Baru

    PIKIRAN RAKYAT – Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan mengungkapkan bahwa subsidi Bahan Bakar Minyak atau BBM seringnya tidak tepat sasaran.

    Oleh karena itu, pada dua tahun ke depan atau 2027, ia berharap kebijakan BBM Satu Harga bisa diwujudkan, tanpa subsidi untuk bahan bakar.

    “Saya berpikir dan menyampaikan kepada Presiden bahwa dalam dua tahun ke depan, kita mungkin bisa mencapai harga tunggal, tanpa subsidi untuk bahan bakar, seperti bensin maupun solar,” kata pada Kamis, 20 Februari 2025.

    Dalam kebijakan itu, ia merencakan pemberian subsidi BBM untuk perorangan secara langsung.

    Ucapannya kemudian menjadi perbincangan di kalangan masyarakat, membuat muncul isu bahwa subsidi BBM akan dihapus.

    Perubahan Skema

    Menurut Wakil Ketua Komisi XII DPR Bambang Haryadi, tidak ada penghapusan BBM subsidi. Pasalnya, penghapusan subsidi harus mendapat persetujuan dari DPR.

    “Tidak ada wacana penghapusan subsidi, dan mekanisme terkait subsidi harus mendapat persetujuan DPR RI. Karena subsidi itu melekat di APBN. Presiden Prabowo malah menekankan untuk melindungi kebutuhan masyarakat kecil,” katanya.

    Ia juga menilai bahwa pernyataan Luhut menyiratkan tentang adanya perbaikan skema agar subsidi BBM bisa sampai secara tepat sasaran.

    “Mungkin usul Pak Luhut, bukan penghapusan subsidi, tapi perbaikan skema agar subsidi tepat sasaran. Bahkan dalam raker tahun 2023, Komisi VII dan Menteri ESDM Arifin tasrif menyepakati penggunaan BBM subsidi terkait pertalite hanya untuk sepeda motor dan angkutan umum. Dan solar hanya diperuntukkan kepada angkutan umum dan angkutan sembako, nelayan dan petani,” ia menambahkan.

    Harga BBM Tanpa Subsidi

    Lantas, jika benar akan ada perbaikan skema dan subsidi diberikan secara perorangan, berapa harga BBM bagi individu yang tidak mendapatkan subsidi?

    Solar Disubsidi Hingga 43%

    Harga normal: Rp11.950 per liter.

    Subsidi sebesar Rp5.150 per liter.

    Harga subsidi: Rp6.800 per liter.

    Pertalite Dapat Subsidi 15%

    Harga normal: Rp11.700 per liter.

    Subsidi sebesar Rp1.700 per liter.

    Harga subsidi: Rp10.000 per liter.

    Minyak Tanah Disubsidi Hampir 80%

    Harga normal: Rp11.150 per liter.

    Subsidi sekitar Rp8.650 per liter.

    Harga subsidi: Rp2.500 per liter.

    LPG 3 Kg Mendapat Subsidi 70%

    Harga normal: Rp42.750.

    Subsidi sebesar Rp30.000 per tabung.

    Harga subsidi: Rp12.750 per tabung.

    ***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Subsidi BBM Akan Dihapuskan Tahun 2027? Begini Skema Rencana Luhut Binsar Pandjaitan

    Subsidi BBM Akan Dihapuskan Tahun 2027? Begini Skema Rencana Luhut Binsar Pandjaitan

    PIKIRAN RAKYAT – Subsidi bahan bakar minyak (BBM) akan dihapus pada 2027 untuk diganti dengan skema bantuan yang lainnya. Demikian penuturan Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan, yang kemudian menjadi bola liar di kalangan publik.

    Luhut mengungkapkan, dua tahun dari sekarang, subsidi tidak akan lagi berbasis pada komoditas, tetapi disandarkan pada data penerima sebagaimana skema pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT).

    Ia menjelaskan mengenai rencana tersebut dalam acara Bloomberg Technoz Economic Outlook di Soehanna Hall, Jakarta Selatan, Kamis, 20 Februari 2025.

    “Mungkin dalam waktu dua tahun kita bisa menuju ke satu harga, tidak ada lagi subsidi untuk barang, seperti BBM Solar atau apapun. Subsidi akan diberikan untuk orang-orang yang memenuhi syarat untuk mendapatkan subsidi,” kata dia, dikutip Sabtu, 22 Februari 2025.

    Bahkan, imbuhnya, ia sudah membicarakan hal ini Bersama Presiden Prabowo Subianto. Menurut dia, dengan perubahan skema pemberian subsidi, pemerintah bakal mampu menghemat anggaran makin signifikan, besar kemungkinan capai triliunan rupiah.

    “Jadi menurut saya itu lah yang terbaik sehingga kita bisa menghemat miliaran dolar lagi,” ucap dia.

    Luhut lantas menambahkan, distribusi subsidi energi ini baiknya nanti diawasi oleh teknologi Artificial Intelegence alias Akal Imitasi (AI).

    “Kami punya teknologi sekarang. Al itu sangat bagus sehingga Pertamina bisa mengidentifikasi apakah mobil dengan nomor ini memenuhi syarat untuk menerima jenis bensin ini, kendaraan ini memenuhi syarat, yang ini tidak memenuhi syarat, atau semacamnya. Saya rasa ini akan berhasil,” tuturnya.

    Respons Menteri ESDM Bahlil

    Skema pemberian subsidi bahan bakar minyak atau BBM hingga hari ini masih dalam tahap pembahasan.

    Menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia, skema blending atau pencampuran menjadi salah satu alternatif yang paling memungkinkan untuk diterapkan dalam pemberian subsidi bahan bakar minyak (BBM).

    Menurut Bahlil, skema ini hampir mendekati keputusan akhir yang akan diambil pemerintah terkait subsidi BBM. Ia menyampaikan hal ini saat ditemui di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat, sebagai respons terhadap pernyataan Ketua Dewan Energi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan.

    Apa Itu Skema Blending?

    Ilustrasi petugas POM bensin mengisi BBM Pertamax ke pelanggan.

    Skema blending yang dimaksud oleh Bahlil adalah kombinasi antara subsidi dalam bentuk barang atau komoditas dan sebagian lainnya diberikan dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai (BLT).

    Meski menjadi opsi yang paling mungkin diterapkan, Bahlil menegaskan bahwa keputusan mengenai skema subsidi BBM ini belum final.

    “Saya masih menghitung itu (skema BBM). Masih tetap ada (subsidi), dan nanti kami laporkan secara internal,” jelas Bahlil, seraya menambahkan bahwa pemerintah masih melakukan kalkulasi terkait skema yang akan diterapkan. ***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • DEN Luruskan Omongan Luhut soal Subsidi BBM Dihapus 2027

    DEN Luruskan Omongan Luhut soal Subsidi BBM Dihapus 2027

    Jakarta

    Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan memberi sinyal ke depan tidak akan ada lagi subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM). Rencananya kebijakan ini akan berlaku dalam dua tahun ke depan atau 2027.

    Luhut mengatakan ke depannya subsidi BBM tidak akan lagi diberikan dalam bentuk komoditas, melainkan berbasis kepada penerima seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT).

    “Mungkin dalam waktu dua tahun kita bisa menuju ke satu harga, tidak ada lagi subsidi untuk barang, seperti BBM Solar atau apapun. Subsidi akan diberikan untuk orang-orang yang memenuhi syarat untuk mendapatkan subsidi,” kata Luhut di Jakarta Selatan, Kamis lalu.

    Juru Bicara DEN Jodi Mahardi mengatakan sampai saat ini belum ada keputusan yang diambil terkait perubahan skema pemberian subsidi BBM. Menurutnya penegasan ini penting untuk diketahui sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman di masyarakat.

    “Statement yang disampaikan sebelumnya oleh Ketua DEN, Luhut Binsar Pandjaitan, adalah wacana usulan untuk menyalurkan subsidi BBM lebih tepat sasaran melalui subsidi langsung kepada masyarakat yang berhak mendapatkan subsidi tersebut, bukan penghapusan subsidi,” tegas Jodi dalam keterangan resminya, Sabtu (22/2/2025).

    “Statement yang disampaikan oleh Ketua DEN tersebut untuk menyalurkan subsidi BBM lebih tepat sasaran tersebut masih merupakan usulan wacana yang akan dikaji lebih lanjut secara mendalam dengan mempertimbangkan berbagai aspek dan masukan dari masyarakat serta akademisi,” terangnya lagi.

    Menurutnya penyaluran subsidi tepat sasaran ini penting karena mekanisme subsidi BBM saat ini dinilai masih banyak dinikmati oleh kelompok masyarakat yang mampu.

    Sehingga sampai dengan saat ini pemerintah juga terus melakukan perbaikan database kelompok masyarakat yang berhak memperoleh subsidi untuk memastikan bahwa subsidi bisa disalurkan lebih tepat sasaran.

    Di mana salah satu inisiatif yang dilakukan adalah melalui digitalisasi database tersebut sehingga pembaharuan data kelompok masyarakat yang berhak menerima subsidi bisa dilakukan lebih cepat.

    “Dengan mekanisme penyaluran yang lebih tepat sasaran manfaatnya akan lebih adil dan merata. Kebijakan ini akan terus dikaji dengan mempertimbangkan kepentingan masyarakat luas,” jelas Jodi.

    Menurutnya dengan pendekatan yang lebih transparan dan berbasis data, diharapkan subsidi BBM dapat benar-benar membantu masyarakat yang membutuhkan, sekaligus mengurangi potensi pemborosan anggaran negara.

    (fdl/fdl)

  • Cita-cita Presiden Wong Cilik Podo Gemuyu

    Cita-cita Presiden Wong Cilik Podo Gemuyu

    PIKIRAN RAKYAT – Narasi pemerintah akan hapus subsidi bahan bakar minyak (BBM) menimbulkan kecemasan dan respons negatif dari kalangan publik. Untuk itu Wakil Ketua Komisi XII DPR Bambang Haryadi gegas membantah isu tersebut.

    Ia menegaskan kalaupun ada penghapusan subsidi BBM, kebijakan itu tidak akan pernah lolos tanpa persetujuan dari DPR.

    “Tidak ada wacana penghapusan subsidi. Mekanisme terkait subsidi harus mendapat persetujuan DPR RI. Karena subsidi itu melekat di APBN,” kata Bambang Haryadi, Jumat, 21 Februari 2025.

    Alih-alih begitu, Bambang menekankan bahwa Presiden Prabowo Subianto justru ingin semua pejabat pemangku kebijakan ikut melindungi kebutuhan masyarakat luas.

    Untuk itu ia mengungkap, Presiden Prabowo sejatinya menginginkan penerima subsidi lebih tepat sasaran dengan merubah tata kelola BBM ke arah lebih baik.

    Wakil Ketua Komisi XII DPR Bambang Haryadi.

    “Presiden ingin subsidi tepat sasaran, dan sampai kepada masyarakat kecil yang berhak. Kita akui masih ada yang tidak tepat sasaran, tapi kita ke depan akan benahi agar tepat sasaran,” kata Politikus Partai Gerindra.

    “Bapak presiden bercita-cita ingin ‘wong cilik podo gemuyu’, jadi kami yakin Presiden akan selalu berdiri terdepan untuk melindungi rakyat kecil,” kata Bambang lagi.

    Pernyataan Luhut Dipelintir

    Bambang dalam kesempatan serupa menilai bahwa pernyataan Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan seperti dipelintir dan dibelokan ke konteks yang berlainan dengan maksud awal.

    Ia mengatakan, klaim Luhut tidak mengarah sama sekali ke penghapusan subsidi BBM tok, tetapi lebih kepada berbenah skema tata kelolanya di masa depan.

    “Mungkin usul Pak Luhut, bukan penghapusan subsidi, tapi perbaikan skema agar subsidi tepat sasaran,” tutur dia menandaskan.

    Begini Skema Rencana Luhut Binsar

    Subsidi bahan bakar minyak (BBM) akan dihapus pada 2027 untuk digantikan skema pemberian bantuan lainnya. Demikian penuturan Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan, yang kemudian menjadi bola liar di kalangan publik.

    Luhut mengungkapkan, dua tahun dari sekarang, subsidi tidak akan lagi berbasis pada komoditas, tetapi disandarkan pada data penerima sebagaimana skema pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT).

    Ia menjelaskan mengenai rencana tersebut dalam acara Bloomberg Technoz Economic Outlook di Soehanna Hall, Jakarta Selatan, Kamis, 20 Februari 2025.

    “Mungkin dalam waktu dua tahun kita bisa menuju ke satu harga, tidak ada lagi subsidi untuk barang, seperti BBM Solar atau apapun. Subsidi akan diberikan untuk orang-orang yang memenuhi syarat untuk mendapatkan subsidi,” kata dia, dikutip Sabtu, 22 Februari 2025.

    Bahkan, imbuhnya, ia sudah membicarakan hal ini Bersama Presiden Prabowo Subianto. Menurut dia, dengan perubahan skema pemberian subsidi, pemerintah bakal mampu menghemat anggaran makin signifikan, besar kemungkinan capai triliunan rupiah.

    “Jadi menurut saya itu lah yang terbaik sehingga kita bisa menghemat miliaran dolar lagi,” ucap dia. ****

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News