Topik: Subsidi listrik

  • Indef Soroti Efektivitas Diskon Pajak Pembelian Rumah, Tak Cukup Ungkit Konsumsi Agregat

    Indef Soroti Efektivitas Diskon Pajak Pembelian Rumah, Tak Cukup Ungkit Konsumsi Agregat

    Bisnis.com, JAKARTA — Keputusan pemerintah memperpanjang stimulus fiskal berupa insentif Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah atau PPN DTP 100% untuk sektor properti, diskon tarif tol, dan subsidi transportasi umum hingga akhir 2025 dinilai belum menyentuh kelompok masyarakat dengan daya beli paling rentan.

    Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M. Rizal Taufikurahman menilai, arah stimulus fiskal semester II/2025 cenderung bias terhadap sektor formal dan konsumsi kelas menengah.

    “Secara struktural, kebijakan ini berisiko menciptakan ketimpangan efek stimulus, karena alokasi fiskal diarahkan pada sektor yang tidak memiliki marginal propensity to consume [kecenderungan konsumsi tambahan] tinggi,” ujarnya kepada Bisnis, Minggu (27/7/2025).

    Menurut Rizal, kelompok kelas menengah dan formal umumnya tidak serta-merta meningkatkan konsumsi meskipun memperoleh insentif. Sebaliknya, kelompok rentan dengan daya beli terbatas memiliki kecenderungan konsumsi tambahan yang jauh lebih tinggi ketika memperoleh bantuan langsung.

    Dia pun menyoroti keputusan pemerintah yang menghentikan dua stimulus langsung yang sebelumnya berjalan pada semester I/2025, yaitu subsidi listrik dan bantuan subsidi upah. Kedua bantuan itu dinilai memberikan dorongan jangka pendek yang kuat terhadap konsumsi rumah tangga, khususnya kelas bawah.

    “Mengabaikan kelompok ini dalam kebijakan semester II berpotensi menggerus daya beli secara agregat, memperlebar kesenjangan, dan menghambat pemulihan konsumsi domestik,” jelas Rizal.

    Pengajar di Universitas Trilogi Jakarta ini menambahkan bahwa efektivitas stimulus seharusnya tidak hanya dilihat dari momentum musiman seperti akhir tahun, tetapi dari seberapa besar daya dorong riil terhadap indikator makroekonomi.

    Rizal mengakui bahwa insentif properti memang memberikan dampak lanjutan ke sektor konstruksi, industri bahan bangunan, serta jasa keuangan. Hanya saja, dia menilai efeknya cenderung bersifat lambat dan tidak cukup menjangkau kelompok bawah secara langsung.

    “Dalam konteks perlambatan ekonomi global dan tekanan inflasi domestik, seharusnya pemerintah memprioritaskan instrumen yang langsung menjaga daya beli, bukan sekadar mendorong investasi rumah,” tegasnya.

    Oleh sebab itu, Rizal menyimpulkan arah kebijakan fiskal semester II kurang efektif karena meskipun menjaga stabilitas sektor formal, tetapi belum cukup progresif untuk menciptakan pertumbuhan yang merata dan inklusif.

    Menurutnya, intervensi fiskal harus berpihak lebih kepada kelompok dengan efek pengganda tertinggi jika pemerintah ingin mendorong pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan.

    Bocoran Insentif Fiskal Paruh Kedua 2025

    Adapun bocoran paket stimulus ekonomi untuk paruh kedua tahun ini diungkapkan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto. 

    Airlangga menyampaikan bahwa pemerintah tengah menyiapkan sejumlah program dan insentif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi. Maklum, pada kuartal I/2025 ekonomi tak sampai 5%, hanya tumbuh sebesar 4,87% year on year (YoY). 

    “Beberapa program seperti program padat karya di perhubungan, program padat karya di pekerjaan umum itu didorong untuk implementasi lebih baik,” ujarnya usai melaksanakan Rapat Koordinasi (Rakor) Pertumbuhan Ekonomi di kantornya, Jumat (25/7/2025). 

    Menghadapi akhir tahun, pemerintah akan kembali memberikan diskon pada momen Natal dan Tahun Baru (Nataru). Kemudian pemerintah sepakat memperpanjang kebijakan pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah atau PPN DTP properti sebesar 100% alias bebas PPN hingga akhir 2025 mendatang. 

    Airlangga juga menjelaskan bahwa persiapan program Makan Bergizi Gratis (MBG) turut dibahas dalam rakor tersebut untuk dapat mencapai target pada Agustus. Presiden Prabowo sendiri telah memandatkan 20 juta penerima MBG di 8.000 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) pada Agustus 2025. 

    Per 1 Juli 2025, sudah ada sekitar 1.863 SPPG yang tersebar di 38 provinsi di Indonesia dengan total penerima manfaat sebanyak 5,59 juta penerima. Sejalan dengan minimnya realisasi tersebut, anggaran pada semester I/2025 juga baru terserap Rp5 triliun atau 7,1% dari total alokasi Rp71 triliun untuk tahun ini.

    Sementara itu, stimulus lainnya seperti diskon tiket pesawat, diskon tarif tol, dan diskon tiket kereta api akan berlanjut. Hanya saja, pemerintah tidak akan lagi memberikan bantuan subsidi upah (BSU) dan diskon listrik.

    “Tidak dengan listrik. BSU kan sudah. Paling banyak [diskon] kereta api. [Diumumkan] September,” lanjut Airlangga.

  • Pemerintah siapkan 80 ribu KDMP bangun solar panel agar mandiri energi

    Pemerintah siapkan 80 ribu KDMP bangun solar panel agar mandiri energi

    Menteri Koordinator Bidang Pangan (Menko Pangan) Zulkifli Hasan atau Zulhas dalam acara Green Impact Festival di Jakarta, Kamis (24/7/2025). (ANTARA/Maria Cicilia Galuh)

    Pemerintah siapkan 80 ribu KDMP bangun solar panel agar mandiri energi
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Kamis, 24 Juli 2025 – 14:43 WIB

    Elshinta.com – Menteri Koordinator Bidang Pangan (Menko Pangan) Zulkifli Hasan mengatakan pemerintah akan mempersiapkan 80 ribu Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (KDMP) untuk pembangunan sarana energi baru terbarukan (EBT) berupa solar panel agar mandiri energi. 

    Zulkifli yang biasa disapa Zulhas itu di Jakarta, Kamis (24/7), mengatakan koperasi desa nantinya tidak hanya sebagai fasilitas simpan-pinjam, tetapi juga pusat kegiatan ekonomi yang berada di desa, termasuk mempersiapkan EBT.

    “Sedang kita kaji, di 80 ribu desa yang nanti kita akan bangun 1-1,5 hektare solar panel, berbasis desa, kecamatan dan kabupaten. Jadi punya energi yang mandiri,” kata Zulhas dalam acara Green Impact Festival.

    Ia mengatakan setiap tahun negara memberikan subsidi listrik sebesar 25 miliar dolar AS atau setara lebih dari Rp399,37 triliun (kurs 1 dolar AS setara Rp15.975).

    Untuk membangun solar panel membutuhkan modal sebesar Rp100 miliar dolar AS atau setara lebih dari Rp1,57 kuadriliun. Namun, menurut dia, hal tersebut akan menguntungkan di tahun kelima, karena Indonesia tak perlu memberikan subsidi listrik di desa-desa.

    “Memang diperlukan kira-kira 100 miliar dolar AS, sudah dihitung. Artinya kalau 100 miliar dolar AS, 4 tahun subsidi. Itu sudah bisa bayar, berarti kita tahun kelima dan tahun keenam nggak perlu subsidi lagi,” katanya. 

    Lebih lanjut, Zulhas mengatakan dengan adanya solar panel di tiap desa, kecamatan dan kabupaten, maka tidak lagi membutuhkan transmisi yang panjang seperti PLN. Menurutnya, hal ini akan lebih efisien.

    “Yang diperlukan tentu nanti baterai penyimpanan. Jadi sekali lagi yang terakhir, ini potensi yang luar biasa,” ujar Zulhas.

    Sumber : Antara

  • Menkes Soroti Data Penerima Iuran BPJS Tak Standar: Sekjen Saya Dibayarin Pemda

    Menkes Soroti Data Penerima Iuran BPJS Tak Standar: Sekjen Saya Dibayarin Pemda

    Menkes Soroti Data Penerima Iuran BPJS Tak Standar: Sekjen Saya Dibayarin Pemda
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Menteri Kesehatan (Mereka)
    Budi Gunadi Sadikin
    menyoroti kategori Peserta Bantuan Iuran (PBI) dan Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU)
    BPJS Kesehatan
    yang belum terstandarisasi.
    Ketiadaan standar baku ini menyebabkan sasaran pemberian jaminan kesehatan oleh pemerintah daerah (pemda) berbeda-beda.
    Padahal, standar baku diperlukan agar pemberian bantuan iuran lebih tepat sasaran.
    “PBPU (dari) pemda ini biasanya diberikan oleh pemerintah daerah untuk desil 5 dan 6. Tapi karena berbeda-beda datanya, pemerintah daerah masih berbeda-beda juga memberikannya. Kami sedang diskusi juga ini dimasukkan ke dalam BPS supaya bisa lebih terstandarisasi,” kata Budi dalam rapat bersama Komisi IX DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (15/7/2025).
    Budi lantas mencontohkan konsekuensi dari ketiadaan standar penerima bantuan. Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta misalnya, memilih menerapkan kebijakan universal coverage.
    Lewat kebijakan itu, setiap warga didaftarkan sebagai peserta BPJS Kesehatan kelas III tanpa memandang status sosial dan ekonomi. Mereka dibiayai lewat skema PBPU pemda dengan total iuran yang telah ditetapkan per bulan.
    Tak heran, salah satu eselon I di kementeriannya juga mendapat bantuan tersebut.
    “Sekjan saya, Pak Kunta Wibawa (Dasa Nugraha) itu juga dibayarin PBPU-nya karena dia di DKI Jakarta pada saat itu. Bapak ibu pernah dengar kan DKI Jakarta semua dibayarin sama pemda, termasuk Pak Kunta. Dan ada orang lain yang lebih kaya dari beliau juga dibayarin,” ucap Budi.
    Oleh karenanya, pihaknya ingin merapikan data penerima bantuan iuran. Hal ini kata dia, sejalan dengan instruksi Presiden Prabowo Subianto yang menginginkan kesatuan data.
    Masyarakat yang dikategorikan miskin dan mendapat bantuan sosial di bidang ekonomi juga mendapatkan bantuan di bidang kesehatan.
    “Jadi kalau bisa miskin di kesehatan, miskin di ekonomi, miskin di subsidi listrik kalau bisa sama (penerimanya),” jelasnya.
    “Jadi itu sebabnya ditugaskan semua data harus ditaruh di BPS, penerima subsidi listrik, penerima PBI, penerima PKH, penerima subsidi BBM, subsidi pupuk, nanti diusahakan sebaiknya orangnya kategorinya sama,” imbuh Budi.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Bansos Rp 500 Triliun Bocor! Sebanyak Ini yang Salah Sasaran

    Bansos Rp 500 Triliun Bocor! Sebanyak Ini yang Salah Sasaran

    Jakarta

    Menteri Sosial Saifullah Yusuf atau Gus Ipul mengungkap besarnya angka salah sasaran pada program bantuan sosial (bansos) dan subsidi. Program yang dimaksud mencakup Program Keluarga Harapan (PKH) dan Sembako, Program Indonesia Pintar (PIP) hingga bansos lainnya.

    Anggaran bansos dan subsidi tahun ini diketahui mencapai Rp 504,7 triliun. Sayangnya banyak program yang dicanangkan pemerintah justru salah sasaran dan mengalir ke pihak yang tidak berhak.

    “Bantuan sosial yang besarannya Rp 500 triliun lebih besar juga ya, Rp 500 triliun lebih, di situ jelas untuk PKH dan Sembako, untuk PIP, untuk Gas 3 kg, BBM, listrik Bantuan Sosial lainnya termasuk PBI,” ujarnya dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR RI di Senayan, Jakarta Pusat. Selasa (15/7/2025).

    “Nah ini yang menarik, ditengarai untuk PKH dan Sembako misalnya itu 45% mistargeted atau salah sasaran. Jadi hampir bantuan sosial dan subsidi sosial kita itu ditengarai tidak tepat sasaran,” tambah Gus Ipul.

    Dari data yang dipaparkan, anggaran untuk PKH dan Sembako adalah Rp 78 triliun, namun 45% salah sasaran. Kemudian anggaran PIP adalah Rp 13,4 triliun, tapi 43% salah sasaran.

    Pemerintah juga menganggarkan Rp 87,6 triliun untuk subsidi LPG 3 kg namun 60,6% di antaranya salah sasaran. Sementara 58,6% dari total subsidi listrik yang sebesar Rp 90,2 triliun salah sasaran. Begitu juga dengan bansos dan subsidi lainnya senilai Rp 207,8 triliun, 40% di antaranya salah sasaran.

    Karena alasan itu, Presiden Prabowo Subianto menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 Tahun 2025 tentang Data Tunggal Sosial dan Ekonomi Nasional (DTESN). Nantinya akan ada satu data terpadu supaya penyaluran program pemerintah menjadi lebih tepat sasaran.

    “Ini adalah suatu sejarah baru buat Indonesia, di mana kita diwajibkan, baik itu kementerian, lembaga maupun pemerintah daerah Menjadikan DTSEN sebagai satu-satunya sumber untuk melaksanakan program-program pembangunan,” tutupnya.

    Potensi efisiensi jika subsidi dan bansos tepat sasaran diprediksi mencapai Rp 101 triliun sampai Rp 127 triliun. Potensi ini berasal dari efisiensi pada program-program bantuan sosial yang saat ini berjalan.

    (ily/fdl)

  • Ekonom Sebut Subsidi Listrik Perlu Diatur Ulang – Page 3

    Ekonom Sebut Subsidi Listrik Perlu Diatur Ulang – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Pemerintah mengusulkan subsidi listrik 2026 sebesar Rp 97,37 triliun-Rp 104,97 triliun. Subsidi listrik ini naik dibandingkan 2025 sebesar Rp 87,72 triliun.

    Jika realisasi kurs melemah ke Rp16.900 per dolar AS dan ICP bertahan di USD 80 per barel, subsidi bisa melambung hingga Rp105 triliun.

    Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai angka tersebut sangat besar, setara hampir 5% dari total belanja negara untuk kesehatan dan pendidikan di RAPBN.

    Namun, yang ia pertanyakan apakah tambahan subsidi listrik sebesar itu akan membantu mereka yang benar-benar membutuhkan yaitu masyarakat miskin dan rentan atau justru dinikmati kelompok menengah-atas yang memiliki daya beli lebih tinggi.

    “Pertanyaan ini bukan sekadar menyoal angka anggaran, melainkan menyoal keadilan distribusi fiskal dan efektivitas kebijakan publik kita,” ujar Achmad, di Jakarta, Senin (7/7/2025).

    Berdasarkan data World Bank (2017) dan Asian Development Bank (2021) menunjukkan 40% rumah tangga terkaya (desil 7–10) menikmati 50–60% subsidi listrik, sedangkan 40% rumah tangga termiskin hanya menikmati sekitar 20–25% subsidi.

    “Mengapa bisa demikian? Karena desain subsidi kita berbasis tarif dan golongan, bukan berbasis kondisi sosial ekonomi riil,” ujarnya.

    Sebagai contoh, banyak rumah tangga kaya di perumahan elite yang masih menggunakan golongan subsidi 900VA atau bahkan 450VA dengan nama kerabat atau staf rumah tangga mereka.

    Di sisi lain, rumah tangga miskin di wilayah rural terpencil kerap belum teraliri listrik PLN sama sekali, atau jika pun ada, konsumsinya sangat kecil sehingga subsidi yang mereka nikmati pun minimal.

     

  • Alokasi Utang Negara Sebaiknya Jadi Insentif Daya Beli Kelas Menengah

    Alokasi Utang Negara Sebaiknya Jadi Insentif Daya Beli Kelas Menengah

    Jakarta, Beritasatu.com – Pengamat menilai bahwa penambahan utang negara sebaiknya diarahkan untuk memperkuat daya beli masyarakat. Meski pemerintah telah meluncurkan lima paket stimulus selama Juni dan Juli 2025, tetapi upaya peningkatan daya beli masih perlu ditingkatkan.

    Pengamat Ekonomi dari Center of Reform on Economics (CORE Indonesia) Yusuf Rendy Manilet mengatakan, utang yang ditarik pemerintah pada pertengahan tahun ini seharusnya bisa memperluas ruang fiskal untuk menggelontorkan stimulus lanjutan.

    “Kami berharap dengan penambahan utang baru ini, pemerintah tetap memberikan stimulus serupa di bulan-bulan berikutnya, khususnya yang langsung menyentuh daya beli masyarakat seperti bantuan sosial atau subsidi listrik,” ujar Yusuf kepada Beritasatu.com, Jumat (4/7/2025).

    Ia mencontohkan, subsidi listrik merupakan salah satu bentuk bantuan yang terbukti efektif menjaga konsumsi rumah tangga, terutama dari kalangan menengah ke bawah. Meski wacana pemberian diskon tarif listrik sempat muncul pada Juni dan Juli, program tersebut batal direalisasikan.

    “Padahal menurut kami, diskon tarif listrik sangat bermanfaat bagi masyarakat kelas menengah ke bawah,” jelasnya.

    Lebih lanjut, Yusuf menekankan bahwa bila pemerintah memutuskan menambah utang, maka alokasi anggaran idealnya diarahkan pada kebijakan yang menyentuh langsung kebutuhan kelompok rentan. Evaluasi terhadap cakupan penerima stimulus juga perlu diperhatikan agar program yang diberikan lebih tepat sasaran.

    “Bukan hanya melanjutkan kebijakan lama, tetapi juga memastikan siapa yang benar-benar membutuhkan dan mendapatkan manfaat dari stimulus tersebut,” katanya.

    Pada sisi lain, Yusuf menilai kondisi penerimaan negara yang rendah sementara belanja program cukup agresif menjadi alasan logis bagi pemerintah untuk kembali menambah utang. Program-program, seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), rumah subsidi, hingga Koperasi Desa Merah Putih tentu membutuhkan dana besar.

    “Memang pemerintah membutuhkan pembiayaan tambahan karena penerimaan belum optimal, sementara harus menjalankan kebijakan fiskal yang sifatnya counter-cyclical,” ujarnya.

    Kebijakan fiskal counter-cyclical yang dimaksud, kata Yusuf, adalah penggunaan anggaran untuk mendorong ekonomi di saat pendapatan negara lemah, salah satunya karena rasio pajak nasional yang stagnan.

    “Kalau kita lihat dari sisi waktu, cukup sulit berharap rasio pajak naik secara signifikan dalam setahun. Selama lima hingga sepuluh tahun terakhir, rasio pajak masih stagnan, bahkan belum mencapai 12% dari PDB,” tambah Yusuf.

    Ia menyimpulkan bahwa selama rasio pajak belum meningkat, dan di tengah ketidakpastian ekonomi global serta perlambatan ekonomi domestik, utang masih akan menjadi motor utama penggerak ekonomi.

    “Bukan tidak mungkin, di akhir tahun atau awal tahun depan, Presiden Trump kembali menerapkan kebijakan proteksionisme, dan itu akan berdampak buruk bagi negara berkembang seperti Indonesia,” tutupnya.

  • Menteri ESDM usulkan kuota BBM bersubsidi 19,28 juta KL di RAPBN 2026

    Menteri ESDM usulkan kuota BBM bersubsidi 19,28 juta KL di RAPBN 2026

    Jakarta (ANTARA) – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengusulkan kuota bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, yakni minyak tanah dan solar, berada dalam rentang 19,05 juta –19,28 juta kilo liter (KL) untuk RAPBN 2026.

    “Usulan volume BBM bersubsidi dalam RAPBN tahun 2026 sebesar 19,05 juta –19,28 juta KL,” ucap Bahlil dalam Rapat Kerja dengan Komisi XII DPR di Jakarta, Rabu.

    Adapun rincian dari usulan tersebut, yakni sebesar 0,52 juta – 0,54 juta KL untuk minyak tanah dan 18,53 juta –18,74 juta KL untuk BBM jenis solar.

    Kuota BBM bersubsidi yang diusulkan oleh Bahlil lebih rendah apabila dibandingkan dengan kuota APBN 2025, yakni sebesar 19,41 juta KL, dengan rincian minyak tanah sebesar 0,53 juta KL, dan solar sebesar 18,88 juta KL.

    Dengan demikian, Bahlil memangkas kuota BBM bersubsidi jenis solar untuk RAPBN 2026.

    “Kalau untuk impor solar, kalau kita akan konversi ke B50, Insya Allah kita tidak akan impor lagi, dengan catatan produksi kita tidak boleh turun,” ucap Bahlil.

    Akan tetapi, bila masyarakat tetap menggunakan B40, Bahlil menyampaikan Indonesia tetap harus mengimpor solar karena masih ada selisih antara konsumsi dan produksi minyak di dalam negeri.

    “Jadi, mungkin masih impor sedikit,” kata Bahlil.

    Realisasi penyaluran BBM bersubsidi dari Januari – Mei tercatat sebesar 7,41 juta KL, dengan rincian 0,21 juta KL untuk jenis minyak tanah dan 7,20 juta KL untuk jenis minyak solar.

    Selain soal kuota BBM bersubsidi, Bahlil juga mengusulkan kuota LPG 3 kg, dari 8,17 juta metrik ton (MT) pada APBN 2025, naik menjadi 8,31 juta MT untuk RAPBN 2026. Realisasi penyaluran LPG 3 kg pada Januari–Mei 2025 tercatat sebesar 3,49 juta MT.

    Usulan tersebut menuai revisi dari Komisi XII DPR yang membidangi energi dan sumber daya mineral (ESDM). Komisi XII mengusulkan agar kuota LPG 3 kg sebesar 8,79 juta MT, lebih tinggi dari yang diusulkan oleh Bahlil.

    Dalam rapat tersebut, disepakati penggunaan range atau kisaran kuota, yakni 8,31 juta – 8,79 juta MT. Angka pastinya akan dibahas di Badan Anggaran (Banggar) DPR RI.

    Di luar pembahasan kuota BBM bersubsidi dan LPG 3 kg, rapat tersebut juga menyepakati usulan asumsi harga patokan minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Oil Price/ICP) sebesar 60–80 dolar AS per barel; serta lifting minyak dan gas bumi (migas) sebesar 1,558–1,637 juta barel setara minyak per hari (boepd), dengan rincian lifting minyak sebesar 605–620 ribu barel per hari dan lifting gas bumi sebesar 953 ribu–1,017 juta boepd.

    Target lifting minyak yang disepakati dalam simpulan raker berbeda dengan usulan Kementerian ESDM, yang menargetkan lifting minyak berada dalam rentang 605–610 ribu barel per hari.

    Lebih lanjut, disepakati pula usulan anggaran untuk subsidi listrik sebesar Rp97,37 triliun – Rp104,97 triliun untuk RAPBN 2026, naik lebih dari Rp10 triliun apabila dibandingkan dengan subsidi listrik pada APBN 2025 sebesar Rp87,72 triliun.

    Pada Senin (30/6), BPH Migas dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi XII mengusulkan kuota Jenis Bahan Bakar Khusus Penugasan (JBKP) Pertalite untuk RAPBN 2026 sebesar 31,229 juta – 31,23 juta KL.

    Usulan kuota Pertalite untuk RAPBN 2026 relatif sama dengan kuota di APBN 2025, yakni sebesar 31,23 juta KL. Realisasi penyaluran Pertalite sejak Januari–Mei 2025 sebesar 11,6 juta KL.

    Pewarta: Putu Indah Savitri
    Editor: Biqwanto Situmorang
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Bahlil Usulkan Subsidi Listrik Tahun Depan Naik Hingga Rp104,9 Triliun

    Bahlil Usulkan Subsidi Listrik Tahun Depan Naik Hingga Rp104,9 Triliun

    Jakarta, CNBC Indonesia – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengusulkan besaran subsidi listrik dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 di kisaran Rp 97,37-104,97 triliun.

    Usulan tersebut terpantau lebih tinggi dibandingkan subsidi listrik yang ditetapkan dalam APBN 2025 sebesar Rp 87,72 triliun.

    “Subsidi listrik, usulan subsidi listrik dalam RAPBN 2026 sebesar Rp 97,37 triliun sampai dengan Rp 104,97 triliun,” ungkapnya dalam Rapat Kerja (Raker) bersama Komisi XII DPR RI, Jakarta, Rabu (2/7/2025).

    Dia menyebut, usulan tersebut telah mempertimbangkan agar subsidi yang diberikan oleh negara tepat diberikan kepada masyarakat yang membutuhkan.

    “Usulan kebijakan subsidi listrik tahun 2026 yaitu tepat sasaran diberikan hanya kepada golongan yang berhak seperti rumah tangga miskin dan rentang mendorong transisi energi yang lebih efisien,” tambahnya.

    Pihaknya memperhitungkan pada tahun 2026 target pelanggan subsidi listrik mencapai 44,88 juta pelanggan dengan target penjualan subsidi listrik mencapai 81,56 Terra Watt hour (TWh).

    Detail sebaran usulan subsidi listrik 2026 tersebut terdiri dari:

    Golongan pelanggan 450 VA sebesar 43,1% sampai 47,1%
    Golongan 900 VA sebesar 21%
    Bisnis kecil seperti percetakan dan gudang swasta sebesar 19,7% sampai Rp19,9%
    Industri kecil seperti pabrik garam dan pabrik kopi 7,6% sampai 7,8%
    Pemerintah seperti kantor, kepala desa 0,4% sampai 0,5%
    Sosial 14,6% sampai 15,1%
    Lainnya 0,7% sampai 0,8%.

    (wia)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Bahlil Curhat ke Prabowo: Saya Menteri Bapak yang Belajar Pakai Petromak, Kelihatan Hitam kalau Tidak Mandi

    Bahlil Curhat ke Prabowo: Saya Menteri Bapak yang Belajar Pakai Petromak, Kelihatan Hitam kalau Tidak Mandi

    Bahlil Curhat ke Prabowo: Saya Menteri Bapak yang Belajar Pakai Petromak, Kelihatan Hitam kalau Tidak Mandi
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Menteri ESDM
    Bahlil Lahadalia
    mengaku pernah menyampaikan kepada Presiden
    Prabowo Subianto
    bahwa dirinya adalah salah satu menteri yang pernah merasakan hidup tanpa listrik
    Hal itu dirasakan Bahlil ketika masih tinggal di desa. Menurutnya, ia masih memakai
    lampu pelita
    ketika tinggal di sana.
    “Usulan kebijakan subsidi listrik tahun 2025 itu tepat sasaran, diberikan hanya kepada golongan yang berhak. Seperti rumah tangga miskin dan rentan, mendorong transisi energi yang lebih efisien,” ujar Bahlil dalam rapat bersama Komisi XII DPR di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (2/7/2025).
    “Mengakhiri laporan kami, kami sampaikan bahwa kemarin kami sudah rapat dengan Bapak Presiden, kami sedang memetakan prioritas sambung listrik ke masyarakat yang belum mendapatkan sambung listrik,” sambungnya.
    Bahlil pun membeberkan isi dari laporannya kepada Presiden Prabowo Subianto.
    Bahlil curhat kepada Prabowo bahwa dirinya adalah menteri yang berasal dari desa, yang bahkan hidup tanpa listrik.
    Berhubung dia hanya pakai lampu pelita, wajahnya jadi menghitam. Dia mengeklaim, jika tidak mandi sebelum berangkat sekolah, maka wajahnya akan tetap kotor akibat lampu pelita.
    “Saya sudah lapor kepada Bapak Presiden, ‘Pak Presiden, mungkin dari sekian menteri di anggota kabinet Bapak ini, mungkin salah satu menteri yang lahir di desa, dan cuma pakai lampu pelita, itu saya’,” ujarnya.
    “Saya sampai SD enggak ada listrik. Oh enggak ada petromaks sudah orang kaya itu di kampung. Itu kita pakai kaleng susu, pakai sumbu, pakai minyak tanah. Kalau belajar, bangun pagi, di sini hitam. Syukur kalau ke sekolah kita mandi, kalau enggak mandi pasti kelihatan hitamnya,” kenang Bahlil.
    Maka dari itu, Bahlil menyampaikan kepada Prabowo mengenai visi
    swasembada energi
    di desa-desa. Sejauh ini, sudah ada ribuan desa yang menjadi target swasembada energi.
    “Nah saya sampaikan kepada Bapak Presiden, atas arahan dan visi besar Presiden tentang swasembada energi, jadi energi ini harus juga diletakkan di desa-desa,” imbuhnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Subsidi Listrik Diperkirakan Bengkak Jadi Rp 90 Triliun, Harga Minyak Jadi Biang Keroknya – Page 3

    Subsidi Listrik Diperkirakan Bengkak Jadi Rp 90 Triliun, Harga Minyak Jadi Biang Keroknya – Page 3

    Per Mei 2025, Kementerian ESDM mencatat realisasi subsidi listrik telah mencapai Rp 34,59 triliun, dengan volume penjualan bersubsidi sebesar 31,17 TWh. Sementara, realisasi subsidi listrik tahun 2024 yang telah diaudit tercatat sebesar Rp 77,05 triliun.

    Mayoritas penerima subsidi adalah pelanggan rumah tangga dengan daya listrik 450 VA dan 900 VA. Kedua kelompok ini menyerap sekitar 67,49 persen dari total subsidi listrik. Selain itu, sektor usaha mikro dan industri kecil juga termasuk dalam daftar penerima manfaat.

    Meski dominan, porsi subsidi untuk rumah tangga diproyeksikan sedikit turun menjadi 64,1 persen dalam struktur subsidi APBN 2025.

    Hingga Mei 2025, tercatat sebanyak 24,75 juta pelanggan 450 VA dan 10,49 juta pelanggan 900 VA tidak mampu dari total 85,40 juta pelanggan rumah tangga di Indonesia.