Topik: SPT

  • Baru 2 Juta Wajib Pajak Aktivasi Akun, Kemenkeu Imbau Wajib Pajak Segera Aktivasi

    Baru 2 Juta Wajib Pajak Aktivasi Akun, Kemenkeu Imbau Wajib Pajak Segera Aktivasi

    JAKARTA – Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengimbau masyarakat untuk segera mengaktifkan akun wajib pajak (WP) mereka.

    Adapun, imbauan ini disampaikan seiring dengan rencana penggunaan sistem Coretax dalam pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan mulai tahun depan untuk SPT Tahun Pajak 2025.

    Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Kementerian Keuangan Rosmauli menyatakan bahwa Ditjen Pajak menargetkan pelaporan SPT tahun depan bisa mencapai 14,5 juta wajib pajak, mengacu pada data pelaporan SPT 2024.

    Ia menjelaskan dari target tersebut, sekitar 13 juta merupakan WP orang pribadi, sementara 1,5 juta sisanya adalah WP badan. Namun, hingga saat ini, tingkat aktivasi akun WP masih tergolong rendah.

    “Dari target tadi 14,5 juta WP yang diharapkan lapor SPT, sampai 20 Oktober yang sudah melakukan aktivasi akun wajib pajak sebanyak 2 juta atau 15 persen untuk orang pribadi. Sedangkan badan baru 500 ribu,” ujarnya dalam Media Briefing Ditjen Pajak, Senin, 20 Oktober.

    Ia menegaskan bahwa sistem Coretax tidak dapat diakses tanpa akun yang telah diaktifkan, sehingga WP yang belum melakukan aktivasi tidak akan bisa melaporkan SPT melalui sistem ini.

    “Untuk pelaporan SPT tahunan yang pertama kali menggunakan Coretax tidak bisa dilakukan tanpa WP yang akan lapor aktivasi akun wajib pajaknya. Sangat tidak mungkin masuk sistem Coretax kalau belum aktivasi akun,” jelasnya.

    Lebih lanjut, Rosmauli mengingatkan bahwa proses tidak berhenti hanya pada aktivasi akun, tetapi WP juga perlu menyelesaikan proses hingga memperoleh kode otorisasi dan sertifikat elektronik.

    “tidak hanya sampai di aktivasi akun, tapi juga harus sampai tahap berikutnya, mendapatkan kode otorisasi dan sampai mendapatkan sertifikat elektronik. Karena, nggak akan bisa sign elektronik kalau tidak dapat kode otorisasi atau sertifikat elektronik,” tuturnya.

  • Warga RI Buruan Aktifkan Akun, Biar Bisa Lapor SPT 2025 di Coretax

    Warga RI Buruan Aktifkan Akun, Biar Bisa Lapor SPT 2025 di Coretax

    Jakarta, CNBC Indonesia – Perpindahan sistem pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) dari DJP Online ke Coretax membuat wajib pajak harus kembali melakukan aktivasi akun. Hal ini karena perpindahan ini tidak bisa dilakukan secara otomatis sehingga wajib pajak harus melakukan kegiatan aktivasi akun kembali di Coretax.

    Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan Rosmauli menuturkan, pihaknya memperkirakan pelaporan SPT Tahun 2025 nanti bisa tembus 14,5 juta. Angka ini berdasarkan realisasi perhitungan SPT tahun 2023 dan 2024.

    Dari total target 14,5 juta WP, Rosmauli menuturkan baru 2 juta atau sekitar 15% WP orang pribadi yang mengaktifkan akun. Sementara itu, WP badan baru mencapai 500 ribu.

    “Dari target tadi 14,5 juta WP yang diharapkan lapor SPT, sampai 20 Oktober yang sudah melakukan aktivasi akun wajib pajak sebanyak 2 juta atau 15% untuk orang pribadi. Sedangkan badan baru 500 ribu,” ujar Rosmauli, dalam Media Briefing Ditjen Pajak di Kantor DPJ, Jakarta, Senin (20/10/2025).

    Rosmauli mengimbau wajib pajak agar segera melakukan aktivasi akun di Coretax. Pasalnya, pelaporan SPT Tahun 2025 yang dilakukan tahun depan akan menggunakan Coretax.

    Tidak hanya sekedar aktivasi, dia meminta agar WP harus memastikan dapat masuk dan mendapatkan kode otorisasi serta sertifikat elektroniknya dari akun Coretax-nya. Jika ini tidak didapatkan WP, maka mereka tidak akan bisa mengakses Coretax.

    “Tidak hanya sampai di aktivasi akun, tapi juga harus sampai tahap berikutnya, mendapatkan kode otorisasi dan sampai mendapatkan sertifikat elektronik. Karena, nggak akan bisa sign elektronik kalau tidak dapat kode otorisasi atau sertifikat elektronik,” tambahnya.

    (haa/haa)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Kepatuhan Masih Rendah, Baru 51% Perusahaan Lapor Pemilik Manfaat

    Kepatuhan Masih Rendah, Baru 51% Perusahaan Lapor Pemilik Manfaat

    Bisnis.com, JAKARTA — Tingkat kepatuhan pelaporan terkait dengan kepemilikan manfaat atau beneficial ownership (BO) atas entitas usaha baru mencapai 51,7%.

    Pemerintah pun mendorong agar mekanisme deklarasi kepemilikan manfaat dipertebal dengan upaya konfirmasi langsung dan diintegrasikan dengan data pajak hingga penegak hukum.

    Berdasarkan data Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum (Ditjen AHU Kemenkum) per 14 Oktober 2025 yang diterima Bisnis, total korporasi yang terdata di pangkalan data pemerintah mencapai 3.578.765 entitas. 

    Sampai dengan data terbaru itu, tingkat pelaporan baru mencapai 1.853.371 entitas atau 51,7% dari total entitas yang wajib melaporan kepemilikan manfaat. 

    Secara terperinci, misalnya jumlah korporasi yang terdata di AHU adalah berbentu perseroan terbatas (PT) yakni 1.475.401 entitas. Namun, yang sudah melapor BO melalui notaris baru 786.192 atau 53,2%. Sementara itu, entitas berbentuk CV yang sudah melapor adalah 554.625 atau 67,8% dari total 816.882 entitas. 

    Kemudian, sebanyak 160.999 perseroan perseorangan sudah melapor BO atau 57,1% dari total 281.580 entitas. Adapun koperasi yang sudah melapor BO berjumlah 127.716 atau 37,2% dari total 342.803 entitas. 

    Direktur Jenderal AHU Kemenkum, Widodo menyebut pihaknya ingin meningkatkan pelaporan BO oleh korporasi ke depannya.

    Salah satu cara baru yang didorong adalah peluncuran sistem BO gateway, di mana data AHU korporasi terintegrasi dengan data dari kementerian/lembaga lain seperti Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) hingga Otoritas Jasa Keuangan (OJK). 

    Selama ini, terang Widodo, pelaporan BO dilakukan dengan deklarasi secara mandiri atau self-declare melalui notaris. Tidak ada upaya konfirmasi atau verifikasi lebih lanjut, sehingga otoritas menduga terdapat berbagai modus ketidakpatuhan pemilik manfaat. 

    “Banyak kejadian kadang-kadang orangnya [pemilik manfaat] enggak terkonfirmasi. Misalnya, ada orang bikin perusahaan terus mencatumkan A sebagai penerima manfaat, dengan alamat ini, nomor telepon ini, email ini, segala macam. Ini tidak terkonfirmasi, ini beberapa kasus yang terjadi,” terangnya saat dihubungi Bisnis, dikutip Kamis (16/10/2025).

    Sampai dengan akhir tahun, Ditjen AHU berupaya agar sistem pelaporan BO nantinya bisa terintegrasi dengan berbagai institusi seperti Ditjen Pajak Kemenkeu, OJK, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) hingga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 

    Widodo menyebut sejatinya saat ini data korporasi di AHU sudah bisa dilihat oleh instansi-instansi tersebut. Upaya konfirmasi BO ini diklaim sudah bisa dimanfaatkan oleh Ditjen Pajak, sehingga mendorong penerimaan pajak lebih tinggi dengan deklarasi BO yang terkonfirmasi. 

    “Kemarin Ditjen Pajak berterima kasih, dengan mirroring [data AHU dan pajak] naik pendapatannya menjadi Rp500 miliar lebih. Kami sudah bekerja sama dan dia [Ditjen Pajak] melihat itu sebagai peluang yang bisa terus ditingkatkan,” paparnya.

    Adapun dengan sistem BO gateway, pemilik manfaat korporasi bisa dipastikan identitasnya dan bisa dicocokkan dengan data-data pajak, OJK, PPATK hingga penegak hukum. 

    “Ada sinkronisasi [dengan] data laporan pajak. Bagi teman-teman penegak hukum juga bisa jelas, oh ternyata yang bersangkutan [pemilik manfaat] ini asetnya di mana-mana. Sehingga ketika terjadi perbuatan melawan hukum dan merugikan keuangan negara ya bisa dibekukan [asetnya] atau ditindaklanjuti dari pertanggungjawaban keuangannya itu,” terang Widodo.

    Perusahaan Wajib Lapor

    Di sisi lain, Widodo menerangkan bahwa data 3,5 juta korporasi yang berada di pangkalan data AHU masih terus diverifikasi lebih lanjut. Selain mendorong kejelasan kepemilikan manfaat, pemerintah turut memastikan lebih lanjut apabila perusahaan itu masih aktif dan bukan sekadar perusahaan cangkang. 

    Salah satu upaya untuk memastikan perusahaan tersebut jelas adalah dengan mewajibkan setiap perusahaan khususnya yang memiliki pendapatan menengah ke atas turut menyampaikan laporan tahunan ke AHU. 

    Pada pekan lalu, Senin (6/10/2025), Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menyampaikan bahwa akan mulai mensosialisasikan kewajiban bagi perseroan terbatas untuk menyampaikan laporan keuangan serta bukti pembayaran pajaknya kepada Ditjen AHU Kemenkum. 

    Supratman menyebut telah berkomunikasi dengan Menteri Keuangan dan Dirjen Pajak Kemenkeu mengenai hal tersebut. Perusahaan-perusahaan yang akan diwajibkan melapor akan dibedakan juga berdasarkan klasifikasi besaran modalnya. 

    Kewajiban itu, terang Supratman, akan mulai diberlakukan mulai tahun depan tepatnya pada satu hingga dua bulan setelah pelaporan SPT yakni April 2026.

    “Kewajiban perseroan terbatas adalah melaporkan kepada Kementerian Hukum lewat Dirjen AHU, lewat Sistem Administrasi Badan Hukum dua hal: yang pertama adalah laporan keuangan yang sudah diambil, dan yang kedua bukti pembayaran pajak. Kalau ini tidak dilakukan, maka sistem otomatis akan memblokir perusahaan yang bersangkutan,” terangnya di kantor Kementerian Hukum, Jakarta.

    Supratman menitikberatkan bahwa kewajiban itu guna mendorong penerimaan negara dari kewajiban yang belum ditunaikan oleh perusahaan-perusahaan khususnya yang berukuran besar. 

    “Ini adalah keupayaan kita semua untuk transparansi, akuntabilitas, tetapi yang lebih penting adalah meningkatkan penerimaan negara yang memang seharusnya negara berhak untuk terima. Tidak membebani kepada dunia usaha, tapi itu adalah kewajiban yang sudah ditentukan di dalam undang-undang,” paparnya. 

  • Tilap Pajak Rp2,51 Miliar, Direktur PT ENI Asal Gresik Ditangkap

    Tilap Pajak Rp2,51 Miliar, Direktur PT ENI Asal Gresik Ditangkap

    Gresik (beritajatim.com) – Direktur PT Erza Nusa Indonesia (ENI) berinisial FA, warga Gresik, ditangkap tim gabungan setelah terbukti menilap pajak senilai Rp2,51 miliar. Penangkapan dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jawa Timur II bersama Jaksa Peneliti Kejaksaan Tinggi Jawa Timur dan Tim Korwas Reskrimsus Polda Jawa Timur.

    FA diduga kuat melakukan pungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang tidak disetorkan ke kas negara, tidak menyampaikan SPT Masa PPN, serta menyampaikan laporan pajak yang tidak benar sejak Maret 2019 hingga Oktober 2023.

    Kepala Kantor Wilayah DJP Jawa Timur II, Kindy Rinaldy Syahrir, menegaskan bahwa kasus ini menjadi pengingat bagi para pelaku usaha untuk tidak mempermainkan kewajiban perpajakan.

    “Modus tindak pidana perpajakan yang dilakukan FA terungkap dari adanya faktur pajak keluaran yang telah diterbitkan dan digunakan oleh lawan transaksi sebagai kredit pajak. Namun pajak yang telah dipungut tersebut tidak disetorkan ke kas negara dan tidak dilaporkan dalam SPT Masa PPN,” kata Kindy, Kamis (16/10/2025).

    Perkara FA telah dinyatakan lengkap (P-21) oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Timur. Karena kasus ini berada di wilayah hukum Pengadilan Negeri Gresik, proses pelimpahan tanggung jawab dilakukan ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Gresik.

    Perusahaan yang dipimpin FA diketahui bergerak di bidang jasa instalasi jaringan listrik. Atas perbuatannya, FA dijerat dengan Pasal 39 ayat (1) huruf c dan huruf d Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023. Ancaman hukumannya berupa pidana penjara paling singkat enam bulan dan paling lama enam tahun, serta denda dua hingga empat kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.

    Sebelum masuk tahap penyidikan, Kanwil DJP Jawa Timur II sempat melakukan pemeriksaan bukti permulaan dan memberikan kesempatan kepada FA untuk menghentikan proses pemeriksaan dengan memenuhi kewajiban perpajakannya. Namun kesempatan itu tidak dimanfaatkan, sehingga kasus ini berlanjut ke proses hukum.

    Kindy menegaskan, penyelesaian kasus ini menunjukkan komitmen dan profesionalisme penyidik pajak dalam menegakkan hukum serta menjaga kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan nasional. [dny/beq]

  • Kerek Angka Kepatuhan Pajak, Sinergi Tripartit Capai 97% Wilayah

    Kerek Angka Kepatuhan Pajak, Sinergi Tripartit Capai 97% Wilayah

    Bisnis.com, JAKARTA — Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kemenkeu, dan pemerintah daerah (Pemda) memperluas sinergi optimalisasi penerimaan pajak melalui penandatanganan Perjanjian Kerja Sama (PKS) Tripartit Tahap VII.

    Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto mengatakan bahwa kerja sama tripartit ini menjadi momentum penting untuk mempererat kolaborasi berkelanjutan antarinstansi dalam mendukung penerimaan negara serta pelaksanaan tugas di bidang perpajakan.

    “Kerja sama antara tripartit selama ini sudah berjalan melalui beberapa aktivitas-aktivitas yang terkait dengan pertukaran data dan informasi sesuai dengan PP 31/2012 dan PMK 228/2017. Data dan informasi itu telah kami manfaatkan secara optimum untuk menguji kepatuhan formal dan kepatuhan material wajib pajak,” ujar Bimo dalam acara Penandatanganan PKS Tripartit 2025 secara daring, Rabu (15/10/2025).

    Dia menjelaskan bahwa PKS Tripartit telah memasuki tahap ketujuh sejak dimulai sebagai proyek percontohan pada 2019 bersama tujuh pemerintah daerah. Kali ini, sambungnya, penandatanganan melibatkan DJP, DJPK, serta 109 Pemda provinsi, kabupaten, dan kota.

    Dari total 546 Pemda di Indonesia, sebanyak 493 atau 90% telah memiliki PKS Tripartit hingga Oktober 2025. Adapun pada tahap ketujuh ini, 32 Pemda bergabung sebagai peserta baru, sedangkan 77 Pemda memperpanjang kerja sama sebelumnya.

    “Sehingga penandatanganan PKS Tahap VII OP4D [Optimalisasi Pemungutan Pajak Pusat dan Daerah] tercatat mencapai 97% atau 527 dari 546 Pemda,” ungkap Bimo.

    Dia memaparkan bahwa hingga Februari 2025, telah diterbitkan 26 surat izin Menteri Keuangan untuk pembukaan data dan informasi kepada 280 Pemda, mencakup 13.985 wajib pajak dalam 533 daftar sasaran pengawasan bersama (DSPB). Kegiatan ini dilakukan antara DJP dan Pemda secara terkoordinasi.

    Hanya saja, Bimo menyampaikan bahwa tingkat kepatuhan agregat wajib pajak baru mencapai 44,3%, sedangkan tingkat kelengkapan data 55,63% berdasarkan rekapitulasi 2019–2024.

    “Tentu ini menjadi kerjaan rumah bersama untuk meningkatkan tingkat kepatuhan maupun tingkat kelengkapan antara DJP, DJPK, dan para Pemda,” katanya.

    Lebih lanjut dalam pelaksanaan pengawasan penerimaan, DJP mencatat realisasi penerimaan pajak pusat hingga kuartal II/2025 mencapai Rp26,8 miliar, sementara penerimaan pajak daerah hasil pengawasan bersama mencapai Rp175,98 miliar.

    Bimo juga menyoroti kontribusi Pemda dalam kegiatan Konfirmasi Status Wajib Pajak (KSWP) yang terbukti meningkatkan pendaftaran NPWP sebesar 13% serta kepatuhan penyampaian SPT sebesar 13% hingga akhir 2024.

    Dia pun berharap sinergi antara DJP, DJPK, dan Pemda terus diperkuat untuk meningkatkan kualitas pertukaran data dan informasi, memperluas edukasi perpajakan, dan mendorong kepatuhan yang lebih baik ke depan.

    “Semoga [kerja sama] ini bisa meningkat secara kualitas, tidak hanya kuantitas. Oleh karena itu, kami sangat terbuka untuk menerima saran, masukan dan diskusi yang saling membangun. Kami juga sangat terbuka untuk kembali meningkatkan kolaborasi-kolaborasi apabila di tahap-tahap sebelumnya, di enam tahap sebelumnya masih terdapat banyak kekurangan,” tutup Bimo.

    Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kemenkeu Askolani menambahkan bahwa penguatan sinergi antara pemerintah pusat dan daerah dalam pemungutan pajak tidak boleh berhenti pada seremoni penandatanganan perjanjian kerja sama.

    Dia menggarisbawahi bahwa implementasi di lapangan menjadi kunci agar optimalisasi penerimaan benar-benar berdampak terhadap penguatan fiskal nasional.

    Asko mencatat pada 2025 ini, realisasi pendapatan daerah telah mencapai Rp850 triliun, dengan pendapatan asli daerah (PAD) sebesar Rp256 triliun atau 30% dari total pendapatan. Menurutnya, capaian tersebut menunjukkan pentingnya konsolidasi lebih lanjut terkait kebijakan pajak secara harmonis antara pusat dan daerah.

    “Kita mungkin sama visinya, kita bukan berburu di kebun binatang. Ini selalu diingatkan oleh pimpinan dan juga Presiden, kita harusnya juga melihat peluang-peluang yang bisa juga menjadi potensi di luar kebun binatang,” katanya pada kesempatan yang sama.

    Dia menambahkan, kebijakan perpajakan ke depan perlu lebih diarahkan pada sektor ekonomi produktif, agar pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah saling memperkuat. Kegiatan ekonomi, menurutnya, yang meningkat akan memperluas basis pajak baik di pusat maupun daerah sehingga dampaknya bisa dirasakan masyarakat.

    “Jangan kemudian kita dominan mengarahkan kepada masyarakat, individual, yang tentunya harus kita support dan kita sikapin secara seimbang,” ujar Askolani.

  • Kemplang Pajak, Dirut SBI Divonis 3 Tahun 8 Bulan dan Denda Rp17 Miliar

    Kemplang Pajak, Dirut SBI Divonis 3 Tahun 8 Bulan dan Denda Rp17 Miliar

    Surabaya (beritajatim.com) – Majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya menjatuhkan vonis pidana terhadap H. Berni, Direktur Utama PT Standar Beton Indonesia (SBI), selama tiga tahun delapan bulan atau 44 bulan penjara. Selain hukuman badan, hakim juga menjatuhkan pidana denda sebesar Rp17 miliar.

    H. Berni dinyatakan terbukti bersalah ikut serta melakukan tindak pidana berupa penyetoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya.

    “Menjatuhkan pidana penjara terhadap H. Berni, yakni pidana penjara selama tiga tahun delapan bulan dan denda 17 miliar dibayar dengan harta benda yang mencukupi, jika tidak dibayar diganti pidana kurungan selama satu tahun,” ujar hakim dalam amar putusannya.

    Vonis ini lebih ringan dibandingkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri Surabaya yang menuntut pidana penjara selama lima tahun lima bulan.

    JPU meyakini bahwa H. Berni terbukti bersalah sesuai pasal 39A huruf a dan pasal 39 ayat (1) huruf d juncto pasal 43 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang RI Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.

    Kasus ini bermula ketika H. Berni diangkat sebagai Direktur PT Standar Beton Indonesia pada 2009, bersama Direktur Utama M. Thoeriq dan Komisaris Sungkono Saputro. Ketiganya diduga melakukan manipulasi pajak pada masa pajak tahun 2014 hingga 2015.

    Dalam dakwaan JPU, H. Berni disangka sengaja menerbitkan atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi sebenarnya dari CV. Puri Merta Sari dan CV. Mitra Kusuma Jaya. Faktur pajak ini kemudian dikreditkan dalam SPT Masa PPN untuk periode pajak 2014–2015.

    Proses pembuatan faktur pajak fiktif dilakukan dengan peran Adi Sucipto yang diperintahkan oleh direksi menyerahkan dokumen faktur pajak asli PT Standar Beton Indonesia kepada Zaenal Fattah. Zaenal Fattah kemudian menyusun SPT berdasarkan transaksi asli dan transaksi yang tidak sebenarnya dengan membuat faktur pajak masukan dari perusahaan CV. Puri Merta Sari dan CV. Mitra Kusuma Jaya, yang faktanya tidak pernah melakukan transaksi dengan PT Standar Beton Indonesia.

    Zaenal Fattah dan orang suruhannya, yaitu Rizal, Widodo, dan Bambang Soemitro, menagih ke PT Standar Beton Indonesia untuk dilakukan penyetoran serta pembayaran fee atas jasa mereka. Adi Sucipto kemudian melaporkan kuitansi tagihan tersebut kepada direksi, termasuk M. Thoeriq dan H. Berni, yang selanjutnya menginstruksikan pembayaran tunai kepada Zaenal Fattah.

    SPT yang telah disusun kemudian dilaporkan oleh Zaenal Fattah, dan fotokopi SPT Masa PPN yang telah dilaporkan diserahkan kepada PT Standar Beton Indonesia. Penandatanganan SPT Masa PPN periode Januari 2013 hingga Desember 2015 dilakukan oleh H. Berni. Namun, terdapat beberapa SPT yang juga ditandatangani oleh Zaenal Fattah menggunakan nama H. Berni.

    Diketahui dan dikehendaki oleh H. Berni, total PPN berdasarkan faktur pajak masukan yang tidak sesuai transaksi dari CV. Puri Merta Sari dan CV. Mitra Kusuma Jaya dikreditkan dalam SPT Masa PPN PT Standar Beton Indonesia periode 2014–2015 dengan tujuan agar nilai yang disetorkan ke kas negara lebih kecil daripada selisih faktur pajak keluaran dan faktur pajak masukan yang sebenarnya. [uci/beq]

  • Baru 2,6 Juta Wajib Pajak Aktivasi Coretax, DJP Dorong Percepatan Sebelum Laporan SPT 2025 – Page 3

    Baru 2,6 Juta Wajib Pajak Aktivasi Coretax, DJP Dorong Percepatan Sebelum Laporan SPT 2025 – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mencatat hingga pertengahan Oktober 2025 sudah ada 2,6 juta wajib pajak (WP) yang mengaktifkan akun Sistem Inti Administrasi Perpajakan atau Coretax. Jumlah tersebut masih jauh dari target 14 juta wajib pajak orang pribadi yang diharapkan dapat teraktivasi sebelum periode pelaporan SPT Tahunan tahun depan.

    Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto menjelaskan, dari total tersebut, sekitar 2,05 juta merupakan wajib pajak orang pribadi, sementara 550 ribu sisanya adalah wajib pajak badan. Ia menekankan pentingnya percepatan aktivasi karena masih banyak wajib pajak yang belum menyelesaikan prosesnya secara penuh di sistem baru DJP tersebut.

    Bimo juga mengingatkan masyarakat untuk segera mengaktifkan akun Coretax dan memperoleh sertifikat elektronik agar proses pelaporan SPT 2025 berjalan lancar.

    “Khusus wajib pajak orang pribadi, dari dua juta itu baru 1,2 juta yang sudah memiliki kode otorisasi dan sertifikat elektronik,” ujarnya dikutip dari Antara, Rabu (15/10/2025).

     

  • SPT Tahunan 2025 Pakai Coretax, Bos Pajak Pastikan Sistem Siap

    SPT Tahunan 2025 Pakai Coretax, Bos Pajak Pastikan Sistem Siap

    Jakarta

    Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto menyampaikan pelaporan surat pemberitahuan (SPT) tahunan 2025 sudah memakai Coretax. Bimo menyebut akan melakukan uji stres (stress test) bulan ini.

    Bimo memastikan sistem Coretax telah siap menerima SPT tahunan baik orang pribadi maupun badan tahunan 2025. Sejauh ini, pihaknya juga telah melakukan edukasi, baik internal maupun secara langsung pada wajib pajak (WP).

    “Jadi Coretax udah siap untuk menerima SPT tahunan orang pribadi dan badan tahun 2025,” ujar Bimo dalam acara konferensi pers APBNKita di kantornya, Jakarta Pusat, Selasa (14/10/2025).

    Bimo menerangkan sosialisasi dilakukan kepada WP baik melalui konseling maupun penyuluhan secara langsung. Tak hanya itu, Bimo juga menyebut pihaknya tengah menyiapkan simulator SPT tahunan badan maupun orang pribadi.

    Bahkan, Bimo menjelaskan sebanyak 20 ribu pegawai Kemenkeu dikerahkan untuk ikut serta dalam uji stres di bulan ini.

    “Ada simulator SPT tahunan badan dan juga simulator yang OP sedang kami siapkan dan kami akan stress test bulan ini 20 ribu internal karyawan kami akan melakukan stress test dalam waktu yang bersamaan,” imbuh Bimo.

    Sebelumnya, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengimbau wajib pajak segera aktivasi akun Coretax. Sistem coretax akan digunakan untuk pelaporan surat pemberitahuan (SPT) Tahunan pajak 2025, periode lapor Januari-Maret 2026.

    Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal mengatakan pihaknya akan melakukan sosialiasi secara masif. Harapannya, wajib pajak tidak mengalami masalah atau kendala dalam pelaporan SPT.

    “SPT tahun ini (2025) adalah SPT pertama kali kita akan menggunakan Coretax. Tahun depan tepatnya, Maret (2026) kita semuanya yang melaporkan SPT, yang belum pernah menggunakan Coretax, saatnya akan menggunakan Coretax,” kata Yon dalam Media Gathering di Bogor, Jawa Barat, Jumat (10/10/2025).

    (rea/rrd)

  • Mulai 2026 Isi SPT Tahunan Wajib Pakai Coretax, Tidak akan Error?

    Mulai 2026 Isi SPT Tahunan Wajib Pakai Coretax, Tidak akan Error?

    Bisnis.com, JAKARTA — Pelaporan pajak dengan SPT tahunan akan mulai menggunakan sistem inti administrasi perpajakan atau Coretax pada tahun ini, bagi wajib pajak (WP) pribadi. Pengisian SPT mulai awal 2026 menjadi yang pertama kali menggunakan Coretax. 

    Selama ini, pengisian SPT dilakukan melalui situs resmi Direktorat Jenderal Pajak atau DJP Online. Masyarakat akan diminta untuk mengaktivasi akun Coretax guna melaporkan pembayaran pajak mereka tahun ini. 

    Pada acara Media Gathering APBN 2026, Jumat (10/10/2025), Staf Ahli Bidang Kepatuhan Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Yon Arsal menyebut para WP akan diminta membuat kode sandi (password) dan kode frasa (passphrase) untuk mengaktivasi akun Coretax mereka. 

    “Cuma ada beberapa langkah saja. Dan kemudian dengan sudah mengaktivasi, ini nanti sudah bisa kita melakukan transaksi termasuk mengisi SPT,” ujar Yon di Bogor, Jawa Barat, dikutip pada Minggu (12/10/2025).

    Penggunaan Coretax sebelumnya telah dilakukan untuk pelaporan pajak 2024 pada awal tahun ini. Namun, penggunaannya baru sebatas oleh perusahaan yang memotong, memungut dan membuat faktur. 

    Pada Maret 2026, seluruh WP akan diwajibkan menggunakan Coretax untuk mengisi SPT mereka. 

    “Dari DJP dan Kementerian Keuangan juga akan selalu mengajak untuk mengaktifkan akun Coretax sebagai salah satu langkah pertama untuk teman-teman wajib pajak untuk dapat mengakses dan menyampaikan SPT nantinya,” pungkas Yon. 

    Secara simultan, saat ini Ditjen Pajak Kemenkeu juga tengah menyiapkan seluruh infrastrukturnya dan sekaligus melakukan sosialisasi. 

    Adapun mengutip situs resmi Ditjen Pajak, WP yang terdaftar pada layanan DJP Online dapat langsung menggunakan Coretax dengan melakukan set ulang kata sandi melalui menu Lupa Kata Sandi.

    Tautan (link) untuk pengaturan ulang kata sandi akan dikirimkan melalui email atau SMS dari otoritas pajak. Para WP diimbau untuk menggunakan alamat email dan nomor HP yang valid dan aktif agar bisa segera diakses.

    Sementara itu, WP yang sudah memiliki NPWP tetapi belum memiliki akun DJP Online bisa mengaktivasi Coretax dengan mengajukan permintaan aktivasi melalui menu aktivasi akun wajib pajak.  

  • Aturan Pemeriksaan Data Konkret Bisa Tingkatkan Kepatuhan Pajak?

    Aturan Pemeriksaan Data Konkret Bisa Tingkatkan Kepatuhan Pajak?

    Bisnis.com, JAKARTA — Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia Prianto Budi Saptono menilai Peraturan Direktur Jenderal (Perdirjen) Pajak Nomor PER-18/PJ/2025 tentang Tindak Lanjut Data Konkret bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan karena mempercepat proses penegakan hukum di bidang perpajakan.

    Menurut Prianto, aturan tersebut merupakan bentuk naskah dinas internal Kementerian Keuangan, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 164/PMK.01/2021.

    “Naskah dinas adalah informasi tertulis yang berfungsi sebagai alat komunikasi kedinasan, norma hukum, atau dokumen teknis yang dibuat pejabat berwenang di lingkungan Kementerian Keuangan dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan di bidang keuangan dan kekayaan negara,” jelasnya kepada Bisnis, Selasa (7/10/2025).

    Perdirjen 18/2025 itu menurutnya tidak terlepas dari PMK Nomor 15/2025 tentang Pemeriksaan Pajak, yang menjadi dasar teknis pelaksanaan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan. Salah satu aspek pemeriksaan adalah data konkret, yakni tiga jenis data yang dimiliki atau diperoleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

    Pertama, faktur pajak yang telah disetujui sistem DJP tetapi belum dilaporkan pada surat pemberitahuan pajak pertambahan nilai (SPT PPN).

    Kedua, bukti pemotongan atau pemungutan PPh yang tidak dilaporkan pada SPT Masa pajak penghasilan (PPh). Ketiga, bukti transaksi atau data perpajakan lain yang dapat digunakan untuk menghitung kewajiban pajak.

    Prianto menjelaskan bahwa pemeriksaan atas data konkret dilakukan melalui pengujian secara sederhana, atau metode yang berbasis pada data matching antara laporan wajib pajak dan data yang dimiliki DJP.

    “Kata kunci dari pemeriksaan pajak itu adalah data matching [pencocok data]. Pemeriksa akan membandingkan dan mencocokkan satu data dengan data lainnya. Karena itu, penyebutannya adalah dengan pengujian secara sederhana,” jelasnya.

    Dia melihat bahwa mekanisme pemeriksaan ini tidak berkaitan dengan pernyataan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa tentang penagihan wajib pajak dalam perkara pajak yang telah inkrah.

    “Kasus hukum pajak telah inkrah dan ada utang pajak, proses pemeriksaannya sudah selesai dan tidak ada lagi sengketa pajak. Langkah selanjutnya adalah proses penagihan pajak oleh juru sita pajak di setiap KPP [kantor pelayanan pajak],” tegasnya.

    Ketua Pengawas Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) ini menambahkan bahwa pemeriksaan berbasis data konkret relatif lebih mudah diterima wajib pajak karena prosesnya jelas dan terukur. Dengan cara itu, lanjutnya, diharapkan wajib pajak tidak melakukan upaya hukum lanjutan dan bisa langsung melunasi utang pajak setelah ada penetapan dari KPP.

    Menurut dia, aturan itu juga berpotensi mempercepat realisasi penerimaan pajak agar mendekati target APBN 2025, karena penyelesaian sengketa dapat dipangkas melalui kesepahaman berbasis data yang transparan.

    Adapun PER-18/PJ/2025 tentang Tindak Lanjut Data Konkret ini terbit pada 24 September 2025. Data kontret adalah data yang diperoleh atau dimiliki otoritas pajak, yang mencakup faktur pajak yang tidak dilaporkan dalam SPT Masa PPN, bukti potong atau bukti pungut PPh yang tidak dilaporkan, hingga bukti transaksi atau data perpajakan yang dapat digunakan untuk menghitung wajib pajak.

    Bukti transaksi atau data perpajakan yang masuk kategori data konkret sebagai berikut:

    Pertama, kelebihan kompensasi pada SPT Masa PPN yang tidak didukung dengan kelebihan bayar pada SPT PPN. Kedua, penghitungan kembali pajak masukan sebagai pengurang pajak keluaran oleh WP yang tidak berhak menggunakan pedoman pengkreditan pajak masukan bagi pengusaha kena pajak yang melakukan penyerahan yang terutang dan penyerahan yang tidak terutang pajak.

    Ketiga, PPN disetor di muka yang tidak atau kurang dibayar. Keempat, pemanfaatan insentif pajak yang tidak sesuai ketentuan. Kelima, pengkreditan pajak masukan yang tidak sesuai ketentuan. 

    Keenam, penghasilan yang tidak atau kurang dilaporkan berdasarkan data bukti potong yang dimiliki Direktorat Jenderal Pajak dan/atau kekeliruan sehubungan dengan penggunaan norma penghitungan penghasilan neto.

    Ketujuh, data atau keterangan yang bersumber dari ketetapan atau keputusan di bidang perpajakan termasuk putusan atas sengketa penerapan ketentuan peraturan perundangan-undangan di bidang perpajakan, yang bersifat inkrah, yang dapat langsung digunakan untuk menghitung kewajiban perpajakan yang tidak atau kurang dilaporkan oleh WP dalam SPT.

    Kedelapan, data atau keterangan yang telah diterbitkan surat permintaan penjelasan atas data atau keterangan; dibuat berita acara permintaan penjelasan atas data dan/atau keterangan yang memuat persetujuan Wajib Pajak atas pemenuhan kewajiban perpajakan dan telah ditandatangani Wajib Pajak, wakil Wajib Pajak, atau kuasa, namun pemenuhan kewajiban perpajakan tersebut belum atau tidak dipenuhi sampai dengan batas waktu yang telah disetujui oleh Wajib Pajak, yang dapat digunakan untuk menghitung kewajiban perpajakan Wajib Pajak.