Topik: SP3

  • Korban Pelecehan Mengaku Pernah Diintimidasi Rektor UP, Kasus Bakal SP3
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        25 April 2025

    Korban Pelecehan Mengaku Pernah Diintimidasi Rektor UP, Kasus Bakal SP3 Nasional 25 April 2025

    Korban Pelecehan Mengaku Pernah Diintimidasi Rektor UP, Kasus Bakal SP3
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Eks Rektor
    Universitas Pancasila
    ,
    ETH
    , pernah memberikan intimidasi kepada para korban yang dilecehkan saat kasus ini mulai mendapat sorotan publik di tahun 2024.
    “Pada saat pelecehan terjadi di PIM itu, dalam proses itu pun pelecehan terjadi intimidasi. Dalam hal ini, ada hubungan keluarga dengan jenderal-jenderal kepolisian dan yang lain,” ujar kuasa hukum para korban, Yansen Ohoirat, saat ditemui di Lobi
    Bareskrim
    Polri, Jakarta, Jumat (25/4/2025).
    Intimidasi ini disampaikan oleh ETH secara verbal, bahkan di hadapan Yansen dan kuasa hukumnya.
    Peristiwa ini terjadi pada 1 Februari 2024, sekitar pukul 13.00 WIB.
    Saat itu, dua orang korban sudah melaporkan ETH ke Polda Metro Jaya.
    ETH sempat menyinggung kedekatannya dengan para jenderal sehingga bisa membuat kasus ini dihentikan oleh polisi lewat penerbitan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan).
    “Ya intinya begini, ‘Buat apa kalian
    capek-capek
    pulang pergi. Ini nanti juga SP3 ini perkara. Saya yang tahu dan saya paling tahu.’ Itu kata-katanya dari ETH,” jelas Yansen.
    Hari ini, dua orang korban kembali melaporkan ETH atas
    pelecehan seksual
    yang mereka alami.
    Para korban, AIR dan AM, adalah pegawai swasta yang perusahaannya dahulu pernah bekerja sama dengan Universitas Pancasila.
    Saat itu, ETH menyalahgunakan kewenangannya dan melakukan pelecehan seksual kepada kedua korban, masing-masing dalam kesempatan yang berbeda.
    “Peristiwa tahun 2019 di salah satu tempat di Jakarta Selatan itu pelecehan secara fisik. Jadi, ada pemaksaan dari ETH kepada korban untuk memegang alat kelamin dari si ETH,” lanjut Yansen.
     
    Sementara itu, satu korban lagi mengalami pelecehan seksual secara verbal ketika proses mediasi berlangsung.
    Saat itu, di tahun 2024, korban yang ditemani oleh Yansen dan timnya tengah bertemu dengan ETH dan jajarannya.
    Ketika itu, proses mediasi tengah berlangsung di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan, dan ETH melontarkan perkataan yang melecehkan korban di hadapan semua yang hadir dalam mediasi.
    “Ketika kita melakukan mediasi di PIM 2 itu, secara verbal disampaikan dengan kata-kata yang tidak sepantasnya di hadapan umum, dan kata-kata verbal itu direspon oleh tim yang hadir saat itu dengan tertawa,” jelas Yansen.
    Saat ini, kedua korban, yaitu AIR dan AM, sudah memberikan keterangan kepada penyidik di Mabes Polri.
    Atas tindakannya, ETH dijerat dengan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana
    Kekerasan Seksual
    .
    Laporan mereka juga sudah diterima oleh penyidik dan tercatat dengan nomor STTL/196/IV/2025/
    BARESKRIM
    .
    Saat ini, Direktorat Tindak Pidana Perdagangan Perempuan dan Anak (PPA)-Tindak Pidana Perdagangan Orang (PPO) Bareskrim Polri juga telah memberikan asistensi terhadap kasus ini.
    Dir PPA-PPO akan memberikan bantuan berupa rujukan ahli pidana agar kasus ini segera diusut tuntas oleh Polda Metro Jaya, minimal untuk segera menetapkan tersangka dalam kasus ini.
    Sebelum dilaporkan ke Bareskrim Polri, ETH sudah dilaporkan lebih dahulu ke Polda Metro Jaya pada Januari 2024 oleh dua orang korban, yaitu RZ dan DF.
    Hingga saat ini, Polda Metro Jaya belum menetapkan satupun tersangka dalam kasus ini.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Korban Dugaan Penganiayaan di Batam Trauma, Keluarga Desak Pelaku WNA Dideportasi – Halaman all

    Korban Dugaan Penganiayaan di Batam Trauma, Keluarga Desak Pelaku WNA Dideportasi – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, BATAM – IRS (20), perempuan muda asal Jodoh, Kota Batam, yang menjadi korban dugaan penganiayaan oleh Warga Negara Asing (WNA) asal Tiongkok, Mr CS, masih mengalami trauma mendalam dan enggan keluar rumah sejak insiden yang terjadi pada akhir Februari lalu.

    Hal ini disampaikan oleh Butong, salah satu anggota keluarga korban, yang mengungkapkan bahwa kondisi psikis IRS belum pulih hingga saat ini.

    “Korban masih trauma, bahkan tidak mau keluar dari rumah. Dia sangat takut dan merasa tidak aman, apalagi tahu pelaku masih bebas dan bekerja di Batam,” ujar Butong, Kamis (24/4/2025).

    Kasus ini sempat menarik perhatian publik setelah CS, yang sempat diamankan dan dikabarkan dideportasi ke Singapura, ternyata kembali berada di Batam dan bekerja secara legal dengan Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS).

    Keluarga korban pun merasa kecewa karena janji yang sebelumnya disampaikan pihak Imigrasi Batam untuk mendeportasi pelaku tidak ditepati.

    “Waktu itu orang Imigrasi bilang sudah dicabut izin tinggalnya dan pelaku akan dideportasi. Tapi kenyataannya sekarang dia masih kerja seperti biasa di Batam,” tambah Butong dengan nada kesal.

    Padahal, menurut keluarga korban, IRS telah menjalani visum di rumah sakit sebagai bukti tindak kekerasan fisik yang dialaminya, dan hasil visum tersebut sudah diserahkan kepada pihak berwajib.

    Selain itu, tindakan CS dinilai telah melanggar ketertiban umum, yang seharusnya bisa menjadi dasar kuat bagi Imigrasi untuk melakukan deportasi dan pencekalan.

    Ketidakjelasan penanganan kasus ini semakin menyulut kemarahan publik.

    Aksi demonstrasi digelar di halaman Kantor Imigrasi Kelas I Khusus TPI Batam pada Senin (21/4/2025) lalu. 

    Massa menuntut agar pelaku dideportasi secara permanen dan dicekal masuk kembali ke Indonesia.

    Mereka juga meminta pencopotan Kepala Kantor Imigrasi Batam, Hajar Aswad, yang dinilai tidak bertindak tegas dalam menangani persoalan ini.

    Namun, pihak Imigrasi Batam melalui Kepala Seksi Informasi dan Komunikasi Keimigrasian, Kharisma Rukmana, menyatakan bahwa tidak ditemukan pelanggaran keimigrasian dari CS.

    “Sudah dilakukan tahap mediasi terhadap perwakilan demonstran kemarin. Kita menjelaskan bahwa tidak ada pelanggaran keimigrasian, sebab sudah ada surat SP3 terkait kasus dari CS. Kami juga melakukan pemeriksaan, dan ternyata memang tidak ada pelanggaran keimigrasian,” jelas Kharisma.

    Sementara kuasa hukum korban, Dr. Rolas Sitinjak, menilai bahwa meskipun kasus telah diselesaikan secara damai di kepolisian melalui mekanisme Restorative Justice, langkah hukum lain seperti deportasi dan pencekalan seharusnya tetap dilakukan.

    “Kami kecewa karena tidak ada tindak lanjut terhadap pelaku. Korban dibiarkan hidup dalam ketakutan, sementara pelaku bisa bebas kembali seperti tidak terjadi apa-apa,” tegas Rolas.

    Keluarga korban berharap agar pihak Imigrasi dan instansi terkait tidak mengabaikan aspek keadilan dan rasa aman bagi warganya. Mereka tetap menuntut agar CS segera dideportasi dan dicekal masuk kembali ke wilayah Indonesia.

    Kronologi Penganiayaan

    Seperti diberitakan Tribun Batam, wanita IRS (20)  warga Jodoh, Batam menjadi korban  Mr CS.

    Peristiwa penganiayaan terjadi di Apartemen Pollux Habibie, Kelurahan Teluk Tering, Kecamatan Batam Kota, Kota Batam pada 26 Februari 2025 lalu. 

    Akibat kejadian itu, wajah IRS lebam membiru.

    Wanita itu pun trauma dan cenderung menjadi takut jika bertemu dengan orang lain.

    Didampingi keluarganya, IRS melaporkan kejadian ini ke Polsek Batam Kota. 

    Laporan IRS diterima oleh Polsek Batam Kota dengan Surat Tanda Penerimaan Laporan Nomor: LP/B/043/II/2025/SPKT/Polsek Batam Kota/Polresta Barelang/Polda Kepri dan ditandatangani oleh Kepala SPK B, Aiptu Yose Rizal.

    IRS berharap, laporannya dapat ditindaklanjuti oleh Polsek Batam Kota dan pelaku dapat diproses secara hukum yang berlaku. 

    “Kami berharap pelaku ini dapat dideportasi dan dicekal, supaya dia tidak berbuat pelanggaran di negara orang,” harap IRS. 

    Namun dalam proses laporan kasusnya, Imigrasi dikabarkan telah menangkap pelaku dan melakukan deportasi terhadap WNA tersebut. 

    Anehnya setelah dideportasi, keesokan harinya pelaku justru kembali ke Batam.

    Korban kaget melihat pelaku kembali lagi ke Batam hanya selang beberapa hari.

    Korban kini merasa keselamatannya terancam. Sebab telah melaporkan pelaku ke kantor polisi. 

    Korban bersama keluarga didampingi kuasa hukum lantas mendatangi Kantor Imigrasi Batam, Senin (17/3/2025). 

    Mereka menyampaikan kekecewaan terhadap Imigrasi. Pelaku dideportasi ke Singapura, namun kembali masuk ke Indonesia, tanpa ada pencekalan dari pihak berwenang.

    “Padahal yang kami lihat pihak Imigrasi telah menggelar konfrensi pers pada Rabu (12/3/2025) lalu dan menyampaikan keputusan akan mendeportasi pelaku. Namun hingga kini pencekalan belum dilakukan,” ujar Kuasa Hukum Korban, Rolas Sitinjak, Selasa (18/3/2025). 

     

  • Kasus Dugaan Eksploitasi OCI, Polri Telusuri Kembali Data yang Pernah Dilaporkan Tahun 1997 – Halaman all

    Kasus Dugaan Eksploitasi OCI, Polri Telusuri Kembali Data yang Pernah Dilaporkan Tahun 1997 – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Polisi kembali menelusuri kasus dugaan eksploitasi yang dialami para korban Oriental Circus Indonesia (OCI).

    Direktur Tindak Pidana Perdagangan Perempuan dan Anak (PPA)-Tindak Pidana Perdagangan Orang (PPO) Bareskrim Polri Brigjen Pol Nurul Azizah mengatakan kasus tersebut pernah dilaporkan 28 tahun silam.

    “Terkait dengan laporan di tahun 1997 tentu kami masih proses mencari datanya mengingat kejadian sudah sangat lama,” ungkapnya kepada wartawan, Kamis (24/4/2025).

    Polisi juga sudah berkoordinasi dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) yang turut mendampingi para korban.

    Beberapa pertemuan sudah dilakukan untuk memperbarui informasi dan mendalami penanganan kasus ini.

    “Dan kami sudah bersurat ke fungsi yang membidangi (Kemen PPPA),” tandasnya.

    Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI Sugiat Santoso mengungkapkan bahwa kasus dugaan pelanggaran HAM oleh Oriental Circus Indonesia (OCI) mengandung unsur-unsur tindak pidana.

    Termasuk dugaan perdagangan anak, eksploitasi, dan penyiksaan. 

    Komisi XIII pun mendesak agar Polri membuka kembali kasus ini yang sebelumnya telah diberi status SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan).

    Hal itu disampaikannya usai audiensi Komisi XIII DPR bersama eks pegawai OCI, Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan Kementerian HAM.

    “Ada banyak tindakan kejahatan yang terjadi terkait kasus ini. Misalnya, ditemukan bahwa sejak umur bayi, ada yang usia 2 tahun, 5 tahun, mereka diperdagangkan, katakanlah oleh oknum orang tuanya ke OCI dan dieksploitasi untuk bekerja sebagai pemain sirkus,” kata Sugiat di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (23/4/2025).

    Sugiat mengungkapkan, dari berbagai keterangan para korban, ditemukan indikasi kuat adanya penyiksaan dan berbagai bentuk kekerasan lainnya yang dialami mereka selama bertahun-tahun.

    Bahkan, para korban telah memperjuangkan keadilan sejak tahun 1997, namun belum mendapatkan kejelasan hukum hingga kini.

    “Dan dari beberapa penjelasan mereka, ternyata banyak sekali tindak kejahatan, penyiksaan, dan sebagainya. Mereka sudah melakukan pencarian keadilan sejak tahun 1997,” ujarnya.

    Komisi XIII telah menyepakati untuk mendorong Polri membuka kembali penyelidikan kasus tersebut, dengan pintu masuk pada indikasi perdagangan manusia. 

    Sugiat mengakui bahwa untuk pembuktian kekerasan fisik mungkin sudah sulit, mengingat kasus ini terjadi puluhan tahun lalu.

    “Kalau pintu masuknya adalah tadi saya katakan, bisa saja terkait dengan kejahatan perdagangan manusia. Kalau penyiksaan fisik karena sudah 28 tahun, mungkin agak sulit menemukan bukti-bukti atau visum. Tapi OCI dan eks-karyawan ini sudah sepakat bahwa sejak umur bayi mereka sudah diperdagangkan di OCI. Saya pikir itu bisa jadi pintu masuk,” kata Sugiat.

    Ia juga menekankan pentingnya kehadiran negara dalam proses pemulihan para korban yang selama ini merasa ditelantarkan dan dieksploitasi sejak anak-anak.

    “Kehadiran negara dalam proses pemulihan itu penting. Mereka rakyat Indonesia, mereka sejak dari umur bayi sudah ditelantarkan dan dieksploitasi oleh oknum OCI. Saya pikir harus ada kehadiran negara untuk proses pemulihan itu,” ujar Sugiat.

    Menurutnya, berdasarkan keterangan korban, kuasa hukum, serta hasil investigasi dari Komnas HAM dan Komnas Perempuan, kasus ini sudah layak dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat.

    “Kalau dilihat dari temuan, saya pikir sudah dijelaskan kuasa hukum, para korban, dan dikuatkan oleh temuan investigasi Komnas HAM dan Komnas Perempuan, ini pelanggaran HAM berat,” ucapnya.

    Sebagai tindak lanjut, Komisi XIII sepakat untuk berkolaborasi antara Kementerian HAM sebagai leading sector bersama Komnas HAM dan Komnas Perempuan guna mendorong Polri membuka kembali kasus ini.

    Kekerasan dan Pelecehan

    Sejumlah mantan pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI) mengungkapkan pengalaman pahit mereka menjadi korban kekerasan fisik, eksploitasi, hingga pelecehan seksual selama bertahun-tahun terlibat dalam pertunjukan.

    Pengakuan ini mereka sampaikan di hadapan Komisi XIII DPR RI pada Rabu (23/4/2025).

    Rapat Dengar Pendapat (RDP) ini menghadirkan perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).

    Fifi Nurhidayah, korban yang hadir dalam audiensi, menuturkan bahwa ia dibawa ke OCI oleh Frans Manansang sejak usia belia, ia bahkan tidak mengetahui pasti umurnya saat itu.

    Kekerasan fisik seperti pukulan, tendangan, dan cambukan rotan, menjadi bagian tak terpisahkan dari kesehariannya jika ia gagal menampilkan pertunjukan dengan baik.

    Akibat penyiksaan yang terus-menerus selama bertahun-tahun, membuat Fifi akhirnya melarikan diri dari Taman Safari.

    Namun, pelariannya hanya berlangsung tiga hari sebelum ia ditangkap kembali oleh pihak keamanan dan dibawa pulang.

    Akibat pelarian itu, ia mengaku mendapatkan hukuman berupa setruman di badan hingga alat kelamin, yang kemudian membuatnya mengompol.

    “Setelah saya melarikan diri, 3 hari saya menghirup udara luar, saya ditangkap lagi dengan security. Di tengah jalan saya dipukulin, dikata-katain kasar seperti binatang. Sampai rumah saya dimasukkan ke kantor dan saya disetrum pakai setruman gajah. Sampai saya lemas. Sampai alat kelamin saya disetrum. Akhirnya saya jatuh, saya lemas, saya minta ampun, saya sakit. Tapi dia tidak mendengarkan omongan saya, malah dia menambahkan pukulan itu,” ungkap Fifi dengan suara bergetar.

    “Setelah itu, saya jatuh lemas, ditarik lagi rambut saya, dijedotin ke dinding, dan saya ditampar. Akhirnya saya ngompol di situ. Setelah itu, saya dirantai selama 2 minggu, dipasung. Setelah 2 minggu dipasung, saya dibebaskan. Dan seperti biasa, saya latihan seperti biasa,” lanjutnya.

    Bertahun-tahun kemudian, Fifi akhirnya menemukan celah untuk kabur dan meninggalkan Taman Safari dengan bantuan sang mantan kekasih.

    Hingga sekarang, menurut Fifi, rangkaian peristiwa di Taman Safari masih membekas dan meninggalkan trauma mendalam.

    Dalam kesempatan yang sama, Ida mengatakan bahwa ia pernah terjatuh dari ketinggian 13-14 meter saat melakukan atraksi di Bandar Lampung pada tahun 1989.

    Ironisnya, setelah jatuh, pihak sirkus tidak langsung membawanya ke rumah sakit.

    Ia mengaku hanya dipijat di belakang panggung.

    “Setelah kira-kira beberapa jam (setelah jatuh) baru saya dibawa ke rumah sakit. Kejadiannya di Bandar Lampung. Satu malaman saya menunggu rasa sakit, belum ditangani sama dokter. Pagi baru mendapat penanganan, di-gips. Di-gips itu saya sudah tidak merasa sakit, karena mungkin dibius ya,” katanya.

    Setelah di gips, Ida dibawa ke Jakarta oleh pihak OCI untuk menjalani operasi dan terapi.

    Ia kemudian tak lagi menjadi pemain sirkus.

    Dalam keterbatasan fisik, Ida kemudian bekerja dalam naungan manajemen Taman Safari dengan kondisi menggunakan kursi roda.

    Pada tahun 1997 ia akhirnya mengajukan diri untuk keluar dari Taman Safari.

    “Sekitar tahun 1997 saya lalu izin keluar. Saya sudah tidak mau ikut lagi di situ. Setelah saya keluar, saya diminta buat surat pengunduran diri. Padahal saya pikir untuk apa saya bikin, karena saya sebetulnya kan bagian dari keluarga katanya. Tapi saya dipaksa membuat surat sebelum saya meninggalkan Taman Safari. Jadi setelah saya tanda tangan, saya diizinkan keluar, tapi saya tidak menerima apa-apa. Jadi saya keluar, tidak dapat satu rupiah pun, saya keluar meninggalkan Taman Safari pada saat itu seperti itu gitu,” katanya.

    Lisa, mantan pemain sirkus OCI lainnya, mengungkapkan bagaimana pihak OCI tidak mengizinkannya untuk bertemu keluarga kandungnya.

    Menurut pengakuannya, istri dari Yansen, seorang pengelola sirkus, mengatakan bahwa Lisa adalah anak yang dijual oleh orang tuanya.

    “Setelah usia saya 12 tahun, saya minta sama Pak Tony untuk dipertemukan dengan keluarga saya. Tapi Tony bilang, nanti suatu saat kalau kamu ada waktunya, kamu akan saya pertemukan. Setelah 15 tahun, saya juga minta lagi dengan Ibu Yansen. Kita panggil dia Sausau. Sau, saya ingin ketemu orang tua saya. Sausau terus bilang, kamu itu dijual. Kamu itu anak yang dijual. Saya sedih dari saat itu,” ungkapnya.

    Lisa juga mengaku bahwa ia tidak diizinkan untuk memiliki KTP pada usia 17 tahun.

    Ia akhirnya berhasil keluar dari sirkus pada usia 19 tahun setelah memiliki seorang pacar, namun hingga kini ia tak tahu asal usul keluarganya dan tidak menerima upah sepeserpun selama menjadi pemain sirkus.

    “Sampai sekarang saya pun belum bisa ketemu orang tua saya. Identitas saya juga tidak tahu. Dari mana saya, nama orang tua saya itu siapa,” imbuh Lisa.

  • DPR Desak Polisi Buka Lagi Kasus Eks Pemain Sirkus OCI

    DPR Desak Polisi Buka Lagi Kasus Eks Pemain Sirkus OCI

    Jakarta, Beritasatu.com – Komisi XIII DPR mendesak Bareskrim Polri untuk membuka kembali kasus dugaan kekerasan dan eksploitasi terhadap eks pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI) yang sempat dihentikan atau Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).

    Wakil Ketua Komisi XIII Sugiat Santoso menegaskan, kasus ini bisa dibuka kembali dengan pintu masuk tindak pidana perdagangan orang.

    Hal ini disampaikan Sugiat seusai rapat dengar pendapat umum (RDPU) bersama para eks pemain sirkus di kompleks parlemen, Senayan, Rabu (23/4/2025). Menurutnya, banyak korban yang sejak kecil sudah diperjualbelikan lalu dieksploitasi untuk menjadi pemain sirkus.

    Diduga Diperdagangkan Sejak Usia Balita

    “Berdasarkan keterangan para korban, mereka sudah diperjualbelikan sejak usia 2-8 tahun. Setelah itu, mereka mengalami eksploitasi berkepanjangan dan kekerasan selama menjadi pemain sirkus,” ujarnya.

    Sugiat menyebut, kendala terbesar dalam mengungkap kasus dugaan kekerasan dan eksploitasi terhadap eks pemain sirkus OCI adalah lamanya waktu yang telah berlalu sehingga banyak bukti hilang.

    Namun, menurutnya, pasal perdagangan orang dapat menjadi dasar hukum yang lebih kuat untuk membuka kembali penyidikan kasus tersebut sehingga dapat menjadi terang.

    DPR Janji Kawal Proses Hukum

    Komisi XIII DPR berjanji akan terus mengawal proses hukum terhadap kasus ini dan memastikan negara hadir dalam pemulihan korban.

    “Negara harus hadir dalam pemulihan mereka. Mereka adalah warga negara yang sejak kecil sudah ditelantarkan dan dieksploitasi. Ini tanggung jawab negara,” tegas Sugiat.

    Sebagai informasi, Mabes Polri sempat menangani kasus ini pada 1997. Namun penyidikan dihentikan alias SP3 pada 1999 karena dianggap kurang bukti.

    Kini, dengan desakan DPR dan munculnya bukti serta pengakuan baru dari para korban, tekanan publik untuk membuka kembali kasus dugaan kekerasan dan eksploitasi terhadap eks pemain sirkus OCI semakin kuat.

  • Amnesty International Desak Komisi III DPR Panggil Kapolri, Usut Dugaan Pelanggaran HAM Sirkus OCI – Halaman all

    Amnesty International Desak Komisi III DPR Panggil Kapolri, Usut Dugaan Pelanggaran HAM Sirkus OCI – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Amnesty International Indonesia mendesak Komisi III DPR untuk memanggil Kapolri usut dugaan praktik eksploitasi dan penyiksaan yang dialami sejumlah mantan pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI).

    Diketahui sejumlah mantan pemain OCI mengadu ke Komisi III DPR RI di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (21/4/2025) kemarin.

    “Audiensi dengan Komisi III DPR RI adalah momen penting dalam upaya para korban mencari keadilan atas dugaan pelanggaran HAM berat yang mereka alami di masa lalu,” kata Usman Hamid, Selasa (22/4/2025).

    Oleh karena itu Komisi III, kata Usman Hamid harus menindaklanjuti pertemuan tersebut dengan memanggil Polri. 

    Hal itu dinilainya penting agar Komisi III dapat menanyakan langsung kepada Polri terkait alasan mereka melakukan SP3 terhadap kasus tersebut di masa lalu. 

    “Komisi III harus meminta Kapolri untuk membuka kembali penyidikan terhadap kasus ini agar kegagalan negara di masa lalu dalam menghadirkan keadilan bagi korban tidak terulang,” imbuhnya.

    Komisi III dikatakan Usman Hamid perlu membentuk tim pencari fakta untuk menginvestigasi dugaan pelanggaran HAM berat yang dialami oleh eks pemain sirkus OCI ini. 

    “Tim pencari fakta ini penting untuk mengungkap kegagalan negara di masa lalu dalam menghadirkan keadilan bagi para korban. Di saat yang sama Polri dan Komnas HAM juga harus tetap melaksanakan tugas mereka menginvestigasi kasus ini secara terpisah,” jelasnya.

    Sebelumnya sejumlah mantan pemain Oriental Circus Indonesia (OCI) mengadu ke Komisi III DPR RI.

    Mereka mengungkapkan pengalaman mendapatkan kekerasan fisik dan perlakuan tidak manusiawi yang dialami puluhan tahun lalu selama bekerja di lingkungan sirkus.

    Salah satu mantan pemain, Yuli, mengaku bahwa dirinya dan sejumlah rekannya terpaksa melarikan diri dari OCI karena merasa terancam

    “Kita nih semua, kabur dari circus itu. Jadi kita memang sebisa mungkin bersembunyi dari mereka. Agar enggak ketangkep,” kata Yuli dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU).

    Yuli menuturkan, ia sempat mencoba melarikan diri pada tahun 1986. Namun, usahanya gagal dan berujung pada tindakan kekerasan yang diterimanya.

    “Soalnya saya pernah kabur tahun 86, saya ditangkap, dipukuli. Kakak saya pun gitu, kabur, ditangkap, dipukuli,” ujarnya.

    Menurutnya, tindakan kekerasan itu dilakukan oleh pihak Oriental Circus Indonesia. “Pihak Circus (yang melakukan pemukulan). Itu yang melakukan Pak Frans Manansang,” ungkapnya.

    Kepada Komisi III DPR, Yuli meminta keadilan atas perlakuan yang ia dan rekan-rekannya terima.

    “Ya kita bagaimana baiknya lah. Kita pengennya mereka diadili apa bagaimana. Soalnya kan kalau saya tidak menerima yang seperti Vivi sampai disetrum, seperti Butet dikasih kotoran gajah mulutnya,” ucapnya.
     

     

  • OCI Utamakan Jalur Kekeluargaan, Langkah Hukum Jadi Opsi Terakhir Hadapi Eks Pemain Sirkusnya – Halaman all

    OCI Utamakan Jalur Kekeluargaan, Langkah Hukum Jadi Opsi Terakhir Hadapi Eks Pemain Sirkusnya – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kuasa hukum Oriental Circus Indonesia (OCI), Ricardo Kumontas, menegaskan kliennya memilih untuk mengutamakan jalur kekeluargaan dalam menghadapi polemik yang tengah berlangsung, terkait dugaan eksploitasi pemain sirkus.

    Menurutnya, langkah hukum hanya akan diambil sebagai opsi terakhir apabila situasi sudah tidak memungkinkan untuk diselesaikan secara damai.

    “Jadi menurut Pak Jansen (Pendiri OCI) ya, apapun yang terjadi beliau tetap mengutamakan penyelesaian kekeluargaan. Karena mereka seperti adik-adiknya,” kata Ricardo.

    Ricardo menyebut bahwa kliennya merasa terpukul dengan berbagai narasi yang beredar di media sosial.

    Dia menilai banyak informasi yang berpotensi menyesatkan publik dan tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya.

    “Jadi sebenarnya tindakan hukum itu pilihan terakhir buat beliau. Makanya beliau tuh sebenarnya terpukul sekali ya sama cerita-cerita yang muncul di medsos ya, sedih sekali gitu loh,” ujarnya.

    Menanggapi kemungkinan adanya gugatan dari pihak yang mengaku korban, Ricardo memastikan bahwa OCI akan bersikap kooperatif dan menanggapi sesuai ketentuan hukum.

    Ricardo mengklaim jika pihaknya siap menghadapi gugatan perdata atau laporan pidana dari pihak mantan pemain sirkus OCI. 

    “Ya kami akan counter sesuai dengan perundangan yang berlaku,” tutupnya.

    Kuasa Hukum Eks Pemain Sirkus Desak Kasus Diusut Lewat Pengadilan HAM

    Sejumlah mantan pemain Oriental Circus Indonesia (OCI) mengadu ke Komisi III DPR RI di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (21/4/2025).

    Kuasa Hukum Mantan Pemain Sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI), Muhammad Soleh, menyampaikan kekecewaannya terhadap respons dari pihak OCI dan pengelola Taman Safari.

    “Kalau ada itikad baik dari OCI maupun Taman Safari kita akan terima, tetapi kalau dilihat dari sambutan jawaban di media kok menurut saya kecil untuk bisa. Sebab, mereka juga sangat tersakiti karena jawabannya tidak mengakui,” kata Soleh dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU).

    Soleh menegaskan, meskipun pembuktian kekejaman sulit, ada aspek pelanggaran HAM yang dapat dibuktikan dengan mudah, seperti pemisahan anak-anak dari orang tuanya sejak usia dini.

    Menurutnya, praktik tersebut merupakan bentuk pelanggaran HAM berat yang harus diusut tuntas.

    “Ini pelanggaran HAM berat apalagi di dalamnya terjadi perbudakan dan terus terang ini sejarah kelam yang menurut saya, ayo kita ungkap, kita akhiri,” tegas Soleh.

    Oleh karena itu, Soleh berharap aduan mereka ke Komisi III DPR berbuah keadilan bagi para korban.

    “Tolong jangan langsung diberikan kepada pihak kepolisian, nyatanya kasus ini sudah pernah di-SP3 oleh pihak kepolisian dan itu sungguh mengecewakan buat kita, 1997 dilaporkan, 1999 SP3 tanpa pelapor juga dikasih tahu,” ujarnya.

    Dia berharap Komisi III dapat mendorong penggunaan Undang-undang tentang Pengadilan HAM untuk mengusut dugaan pelanggaran tersebut secara menyeluruh.

    “Jadi sekali lagi kami berharap ada keadilan di sini ada peluang Undang-undang HAM digunakan Undang-undang pengadilan HAM digunakan supaya sejarah kelam ini bisa mendapatkan keadilan,” ucap Soleh.

  • SP3 Bukan Kunci Mati, Komisi III Desak Buka Kembali Kasus Kekerasan Eks Pemain Sirkus OCI
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        21 April 2025

    SP3 Bukan Kunci Mati, Komisi III Desak Buka Kembali Kasus Kekerasan Eks Pemain Sirkus OCI Nasional 21 April 2025

    SP3 Bukan Kunci Mati, Komisi III Desak Buka Kembali Kasus Kekerasan Eks Pemain Sirkus OCI
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com

    Komisi III DPR
    RI mendesak agar kasus dugaan penganiayaan dan eksploitasi para eks pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI) diusut kembali meskipun pihak kepolisian sudah menghentikan penyidikan.
    Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PKS Nasir Djamil mengatakan, meski kasus dugaan pelanggaran oleh OCI pernah dihentikan melalui Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) oleh kepolisian, bukan berarti kasus tersebut tidak bisa dibuka kembali.
    “Bila ada bukti atau fakta baru yang terungkap, proses hukum masih bisa berlanjut,” kata Nasir saat dihubungi Kompas.com, Minggu (20/4/2025).
    “SP3 itu bukan kunci mati, itu gembok yang masih bisa dibuka lagi. Makanya kita dengar dulu nih, apa potensi pidana yang kira-kira ada dalam pengaduan itu,” imbuhnya.
    Sebagai informasi, Komisi III DPR RI rencananya hari ini, Senin (21/4/2025), akan memanggil para mantan pemain sirkus OCI untuk mendengar langsung kesaksian mereka terkait dugaan praktik eksploitasi yang dialami saat bekerja di lingkungan sirkus tersebut.
    Selain itu, Komisi III juga akan melangsungkan Rapat Dengar Pendapat dan Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Dirreskrimum Polda Jabar, kuasa hukum mantan pemain sirkus, dan pengelola Sirkus
    Taman Safari
    .
    Rapat ini terkait dengan dugaan adanya penganiayaan terhadap mantan pemain OCI di Taman Safari.
    “Kalau memang situ ada potensi pidana, tentu kita dorong aparat penegak hukum untuk memproses pidana tersebut. Jadi, Komisi III akan melihat apakah ada potensi pidana dalam kasus itu,” kata dia.
    Dia menyatakan, pemanggilan ini merupakan tindak lanjut dari pengaduan para korban yang sebelumnya juga telah menyampaikan keluhan mereka ke Kementerian Hukum dan HAM.
    Menurutnya, pengakuan para mantan pemain sirkus tersebut menggambarkan perlakuan yang tidak manusiawi, bahkan membuka kemungkinan adanya unsur tindak pidana.
    “Ada mengundang korban (yang diduga mengalami kekerasan). Jadi memang kami menindaklanjuti pengaduan karena secara sepintas memang sangat tidak manusiawi,” ujar Nasir.
    Nasir menegaskan, Komisi III akan mengkaji lebih dalam apakah pada kasus ini terdapat unsur pidana yang bisa ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum.
    Ia mencontohkan, kasus ini memiliki kemiripan dengan peristiwa kerangkeng manusia di Langkat, Sumatera Utara, yang beberapa waktu lalu menyeret pelaku ke meja hijau meskipun awalnya berdalih soal rehabilitasi narkoba.
    “Walaupun tidak sama, tapi barangkali ada perlakuan yang tidak manusiawi,” ujarnya.
    “Nah, makanya kalau memang ada potensi pidana di situ, kita akan dorong para penegak hukum untuk menindaklanjuti dan menyelidikinya,” katanya.
    Selain mendengarkan kesaksian korban, DPR juga membuka opsi untuk memanggil pihak-pihak lain yang terlibat, termasuk aparat penegak hukum dan instansi terkait, jika nantinya dinilai perlu untuk pendalaman kasus.
    “Ya, kita dengar dulu dari korban, nanti bisa jadi kita tindaklanjuti dengan memanggil para pihak, apakah itu APH, penegak hukum, atau pihak-pihak lain yang kita nilai punya irisan di situ,” pungkas Nasir.
    Saat ditanya soal komunikasi dengan Taman Safari, yang disebut-sebut memiliki hubungan dengan manajemen OCI, Nasir menyatakan belum ada komunikasi sejauh ini.
    “Belum, belum ada komunikasi dengan Taman Safari,” ucapnya.
    Hal senada disampaikan oleh Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Abdullah.
    Abdullah mengatakan, Komisi III akan memanggil korban untuk mendapatkan keterangan.
    Dia bilang, sejauh ini pihaknya sudah berkomunikasi dengan pihak Taman Safari Indonesia, tapi belum mendapatkan jawaban.
    “Kita lagi coba memanggil dari tim Taman Safari untuk klarifikasi, tapi belum ada jawaban,” kata Abdullah.
    “Ya, kalau tidak kita coba panggil korbannya dulu. Habis itu baru kita bantu (panggil) yang terkait. Kita akan panggil bareng-bareng semua dari Taman Safari,” jelasnya.
    Adapun pertemuan untuk mendapatkan keterangan dari korban akan dilakukan tertutup.
    “Tapi kita mau rapat internal dulu jam 1. Memang benar, kita mau panggil pihak korban. Iya (tertutup),” tegas dia.
    Sementara itu, mantan pemain sirkus yang diduga merupakan korban kekejaman OCI, Vivi, mengatakan bahwa dirinya bersama rekan mantan pemain sirkus lainnya akan datang untuk memenuhi panggilan Komisi III DPR RI pada Senin.
    “Iya, kami semua akan datang untuk memberikan keterangan di hadapan Komisi III, Senin pada pukul 14.00 WIB,” kata Vivi saat dihubungi Kompas.com, Sabtu malam.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 9
                    
                        OCI Akhirnya Buka Suara Soal Dugaan Eksploitasi Eks Pemain Sirkusnya
                        Nasional

    9 OCI Akhirnya Buka Suara Soal Dugaan Eksploitasi Eks Pemain Sirkusnya Nasional

    OCI Akhirnya Buka Suara Soal Dugaan Eksploitasi Eks Pemain Sirkusnya
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com

    Oriental Circus Indonesia
    (OCI) buka suara terkait dengan perseteruannya dengan mantan pemain sirkus binaan mereka.
    Founder OCI sekaligus Komisaris Taman Safari Indonesia,
    Tony Sumampau
    , mengatakan, pembentukan OCI berawal dari situasi politik Indonesia yang memanas pasca peristiwa G30S pada tahun 1966.
    Saat itu, kebutuhan hiburan untuk prajurit yang bertugas menjaga keamanan mendorong lahirnya kelompok akrobatik yang akhirnya dikenal sebagai Oriental Circus.
    “ABRI waktu itu butuh hiburan. Kostrad punya band, kita punya tim akrobat. Gabung jadi satu, lalu keliling ke berbagai daerah pakai pesawat Hercules, tampil di markas-markas militer, mulai dari Tasik sampai Jawa Tengah,” ujar Tony, saat jumpa pers, Kamis (17/4/2025).
    Seiring berjalannya waktu, Tony menilai bahwa performa tim sirkus di bawah naungan OCI tidak cukup maksimal.
    Akhirnya, orangtua Tony mengajak anak-anak perempuan dari sebuah panti asuhan di kawasan Kalijodo, Penjaringan, Jakarta Utara untuk bergabung ke dalam kelompok tersebut.
    “Anak-anak itu dari bayi dibesarkan, usia 6-7 tahun baru diajak bergabung dan mulai berlatih di sirkus,” kata Tony.
    Tony mengakui bahwa pada medio tahun 1970-1980, didikan yang diberikan OCI kepada para pemain sirkusnya cukup keras, jika dibandingkan dengan upaya pendisiplinan pada saat ini.
    “Tahun 70-80-an itu, dan memang ada tindakan disiplin untuk mendisiplinkan anak-anak. Waktu itu kita bisa bilang eranya keras lah ya,” kata Tony.
    Namun, ia mengklaim bahwa pendisiplinan keras merupakan hal yang wajar bila melihat kultur sosial pada tahun tersebut. Ia pun mengklaim turut merasakan hal serupa.
    “Tapi kalau anak-anak itu malas, tidak mau keluar tenaga, kalau (dipukul) pakai rotan itu biasa (saat itu), dan konteksual pada masa tahun itu, memang begitu itu kulturnya. Bukan cuma di sirkus saja,” ujarnya.
    “Di luar sirkus pun kita di rumah pun mengalami gitu ya. Di sekolah juga gitu. Dipukul pakai rotan sama guru. Jadi konteksual pendidikan memang ada ketika itu,” tambahnya.
     
    Walaupun ada pendisiplinan keras, Tony membantah, pihaknya melakukan praktik eksploitasi dan perbudakan kepada para pemain sirkus di bawah naungan OCI.
    Tony menegaskan, proses latihan di sirkus memang memerlukan kedisiplinan tinggi yang kerap kali melibatkan tindakan tegas.
    Namun ia menyebut hal tersebut wajar dalam dunia olahraga dan bukan bentuk kekerasan yang disengaja.
    “Betul, pendisiplinan itu kan dalam pelatihan ya, pasti ada. Saya harus akui. Cuma kalau sampai dipukul pakai besi, itu nggak mungkin,” ujar Tony saat jumpa pers di Jakarta, Kamis (17/4/2025). “Kalau mereka luka, justru nggak bisa tampil atraksi,” ujarnya.
    Tony juga menepis tudingan soal penyiksaan yang dialami mantan pemain sirkus. Menurutnya, pernyataan yang disampaikan mereka hanyalah pernyataan sensasional, yang tidak logis dan bertujuan untuk menarik simpati publik.
    “Kalau dibilang penyiksaan, ya itu membuat sensasi saja. Supaya orang yang dengar jadi kaget, serius gitu ya. Kalau benar-benar seperti itu, ya tidak masuk akal,” ujarnya.
    Di balik itu semua, Tony menilai ada sosok yang memiliki peran inti yang berusaha melakukan pemerasan kepadanya. Hanya saja, karena OCI sudah tidak beroperasi lagi, maka tuntutan disuarakan kepada Taman Safari Indonesia.
    Tony mencium adanya provokator yang diduga sengaja menggiring mantan pemain sirkus untuk membuat narasi negatif.
    “Ya, di belakang semua ini memang ada sosok provokator yang memprovokasi mereka. Kita sudah tahu siapa, karena sebelumnya juga dia sempat minta sesuatu kepada kami,” ujar Tony.
    Tony menyebut, pihaknya tidak berniat memperkarakan para mantan pemain sirkus, yang disebutnya sudah seperti anak sendiri.
    Namun berbeda dengan “aktor” yang berada di balik tuduhan tersebut.
    “Kalau anak-anak, ya kasihan. Tapi kalau provokatornya, itu lain cerita. Kita sedang mengupayakan langkah hukum terhadap pihak yang memanfaatkan mereka,” kata Tony.
    Menurut Tony, pihaknya telah mengantongi bukti-bukti terkait dugaan adanya upaya pemerasan yang sempat menuntut angka hingga lebih dari Rp 3,1 miliar.
    Namun, Tony menegaskan bahwa dari awal pihaknya memilih untuk diam agar tidak melukai perasaan mantan anak didiknya.
    “Kita memang tidak merespon, karena mau lihat siapa dalangnya. Anak-anak itu hanya ‘alat’. Kita nggak mau cederai mereka. Tapi siapa yang ada di belakang ini, ya itu yang jadi perhatian kami,” ungkap Tony.
     
    Tony mengaku sebagian bukti sudah dikantongi, meskipun belum sempat bertemu langsung dengan para korban.
    “Sebagian bukti sudah ada. Kalau mereka (anak-anak) yang kemarin itu, saya belum pernah ketemu lagi. Mungkin karena merasa malu setelah ramai bicara seperti ini,” ujarnya.
    Sementara itu, Vice President Legal & Corporate Secretary Taman Safari Indonesia, Barata Mardikoesno, menegaskan persoalan ini tidak ada kaitannya dengan Taman Safari Indonesia.
    “Langkah hukum ini nanti akan diambil oleh OCI. Taman Safari Indonesia tidak ada hubungannya dengan persoalan ini, bisnisnya memang terpisah,” tegas Barata.
    Barata juga menilai ada motif tertentu yang berusaha menyeret nama Taman Safari ke dalam polemik yang seharusnya tidak terkait.
    “Kenapa mereka mengincar TSI, kami juga tidak paham. Yang jelas, secara posisi hukum dan dokumen, TSI berdiri terpisah dari OCI. Jadi kalau ada langkah hukum, itu murni dari Pak Tony, bukan atas nama TSI,” tandasnya.
    Pengacara para korban, Muhammad Soleh, mengungkapkan bahwa salah satu kliennya, Fifi, sempat melaporkan dugaan pelanggaran itu ke Mabes Polri sejak tahun 1997, dengan sangkaan pelanggaran Pasal 277 KUHP tentang penghilangan asal-usul.
    Namun, kasus tersebut dihentikan dengan alasan tidak cukup bukti.
    “Dulu Bu Fifi pernah melaporkan ke Mabes Polri tentang penghilangan asal-usul, tapi akhirnya SP3 dikeluarkan. Alasannya, bukti tidak ada,” kata Soleh usai melaporkan kasus ini ke Kementerian HAM, Selasa (15/4/2025).
    “Kami bingung, karena dari 16 korban yang kami dampingi, hingga hari ini baru lima orang yang berhasil menemukan orang tua mereka, itu pun hasil usaha pribadi. Sementara 11 orang lainnya masih belum mengetahui siapa orang tua kandung mereka,” tambah dia.
     
    Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Republik Indonesia (RI), Uli Parulian Sihombing, mengatakan, di awal tahun pihaknya sempat memberikan saran kepada para mantan pemain sirkus OCI untuk menempuh jalur hukum dalam memperjuangkan hak-hak mereka.
    Sebelumnya, para mantan pemain sirkus OCI, sempat melaporkan dugaan
    pelanggaran HAM
    berat yang dialami kepada Komnas HAM pada tahun 1997, atau tepat 28 tahun yang lalu.
    Sayangnya, kasus ini nyatanya tidak terselesaikan hingga saat ini.
    “Pada 6 Januari 2025, Komisioner pengaduan Komnas HAM memberikan saran menyelesaikan permasalahannya melalui jalur hukum,” kata Uli saat dihubungi Kompas.com, Rabu (16/4/2025).
    Dia mengatakan, saat itu Komnas HAM sudah melakukan identifikasi masalah dan mengeluarkan rekomendasi atas pengaduan pekerja OCI Taman Safari Indonesia.
    Komnas HAM juga menyatakan adanya pelanggaran HAM atas hak-hak anak.
    “Pelanggaran tersebut di antaranya, hak untuk mengetahui asal usul, identitas, dan hubungan kekeluargaan. Kemudian, hak untuk bebas dari eksploitasi ekonomi,” ujarnya.
    “Lalu, hak untuk memperoleh pendidikan yang layak yang dapat menjamin masa depannya, serta hak untuk memperoleh perlindungan keamanan, dan jaminan sosial, sesuai peraturan perundang-undangan,” tambah dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Komnas HAM Pernah Beri Rekomendasi soal Eksploitasi Pemain Sirkus pada 1997
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        16 April 2025

    Komnas HAM Pernah Beri Rekomendasi soal Eksploitasi Pemain Sirkus pada 1997 Nasional 16 April 2025

    Komnas HAM Pernah Beri Rekomendasi soal Eksploitasi Pemain Sirkus pada 1997
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com – 
    Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (
    Komnas HAM
    ) pernah mengeluarkan rekomendasi atas kasus dugaan eksploitasi pemain sirkus pada
    Oriental Circus Indonesia
    (OCI), tetapi tak membuahkan hasil.
    “Pada 1997, komisioner Komnas HAM pada waktu itu mengeluarkan rekomendasi atas kasus anak-anak atlet/eks-atlet OCI,” kata Komisioner Komnas HAM Uli Parulian Sihombing saat dihubungi Kompas.com, Rabu (16/4/2025).
    Uli menjelaskan, pada 28 tahun lalu, para mantan pemain sirkus sempat mengadukan pelanggaran HAM yang mereka alami ke Komnas HAM.
    Komnas HAM pun memantau mengeluarkan rekomendasi atas pengaduan pekerja OCI Taman Safari Indonesia, dan menyatakan adanya pelanggaran HAM atas hak-hak anak.
    “Pelanggaran tersebut di antaranya hak untuk mengetahui asal usul, identitas, dan hubungan kekeluargaan. Kemudian, hak untuk bebas dari eksploitasi ekonomi,” kata Uli.
    “Lalu, hak untuk memperoleh pendidikan yang layak yang dapat menjamin masa depannya, serta hak untuk memperoleh perlindungan keamanan dan jaminan sosial, sesuai peraturan perundang-undangan,” ujar dia.
    Komnas HAM juga memberikan rekomendasi untuk mengakhiri dan mencegah terjadinya tindakan yang menimbulkan pelanggaran HAM tersebut.
    “Komnas HAM juga merekomendasikan untuk menjernihkan asal-usul pemain sirkus OCI yang belum jelas asal-usulnya,” kata Uli.
    Dia menjelaskan, dalam surat rekomendasi itu, disebutkan bahwa OCI akan bekerja sama dengan Komnas HAM untuk memberikan publikasi dan langkah-langkah yang diperlukan, termasuk praktik-praktik pelatihan anak-anak atlet sirkus.
    “Pelatihan dengan disiplin keras tidak boleh menjurus penyiksaan, baik fisik maupun mental. Sengketa antara OCI dengan anak-anak atlet/eks-atlet sirkus OCI hendaknya diselesaikan secara kekeluargaan,” ungkap dia.
    Uli menyebutkan, kasus ini juga sempat dilaporkan ke kepolisian pada 1999, tetapi dihentikan penyidikannya.
    “Menurut catatan Komnas HAM, memang ada SP3 atas penyidikan dugaan pelanggaran pasal 277 KUHP pada tahun 1999. Tapi hal ini mohon juga diklarifikasi ke kepolisian,” kata dia.
    Setelah 28 tahun berlalu, Komnas HAM kembali menyarankan para korban untuk menyelesaikan permasalahan mereka lewat jalur hukum.
    “Pada 6 Januari 2025, komisi pengaduan Komnas HAM memebrikan saran menyelesaikan permasalahannya melalui jalur hukum,” ujar Uli.
    Kuasa hukum para mantan pemain sirkus, Muhammad Soleh, menyebutkan bahwa salah satu kliennya, Fifi, sempat melaporkan dugaan pelanggaran itu ke Mabes Polri sejak tahun 1997, dengan sangkaan pelanggaran Pasal 277 KUHP tentang penghilangan asal-usul.
    Namun, kasus tersebut dihentikan dengan alasan tidak cukup bukti.
     
    “Dulu Bu Fifi pernah melaporkan ke Mabes Polri tentang penghilangan asal-usul, tapi akhirnya SP3 dikeluarkan. Alasannya, bukti tidak ada,” kata Soleh usai melaporkan kasus ini ke Kementerian HAM, Selasa (15/4/2025).
    Fifi, salah satu korban yang melapor sejak tahun 1997, mengaku kecewa atas hasil penanganan kasusnya di kepolisian.
    Ia bahkan tidak memahami prosedur hukum saat pertama kali membuat laporan, termasuk ketika polisi memintanya melakukan visum.
    “Saya pernah melaporkan kekerasan dan penghilangan asal-usul. Polisi waktu itu minta visum, tapi saya tidak tahu harus seperti apa. Saya kecewa, karena saya disiksa dan sakit, tapi tidak ada yang bisa membela saya,” ujar Fifi.
    Sementara itu, pihak Taman Safari Indonesia mengeklaim tidak punya keterkaitan dengan para mantan pemain sirkus yang mengaku mengalami kekerasan.
    Manajemen Taman Safari mengatakan bahwa masalah tersebut melibatkan individu tertentu.
    “Taman Safari Indonesia Group sebagai perusahaan ingin menegaskan bahwa kami tidak memiliki keterkaitan, hubungan bisnis, maupun keterlibatan hukum dengan eks pemain sirkus yang disebutkan dalam video tersebut,” tulis Manajemen Taman Safari Indonesia dalam keterangan resmi.
    “Kami menilai bahwa permasalahan tersebut bersifat pribadi dan tidak ada kaitannya dengan Taman Safari Indonesia Group secara kelembagaan,” ujar mereka.
    Taman Safari Indonesia meminta agar kasus dugaan kekerasan dan eksploitasi tersebut tidak disangkutpautkan dengan pihak mereka.
    “Hak setiap individu untuk menyampaikan pengalaman pribadinya, namun kami berharap agar nama dan reputasi Taman Safari Indonesia Group tidak disangkutpautkan dalam permasalahan yang bukan menjadi bagian dari tanggung jawab kami,” tuls Taman Safari Indonesia.
    “Terutama tanpa bukti yang jelas karena dapat berimplikasi kepada pertanggungjawaban hukum,” ujar mereka.
    Taman Safari Indonesia mengeklaim berkomitmen untuk menjalankan kegiatan usaha dengan mengedepankan prinsip Good Corporate Governance (GCG), kepatuhan hukum, serta etika bisnis yang bertanggung jawab.
    Taman Safari Indonesia juga mengajak masyarakat untuk bersikap bijak dalam menyikapi informasi yang beredar di ruang digital.
    “Dan tidak mudah terpengaruh oleh konten yang tidak memiliki dasar fakta maupun keterkaitan yang jelas,” tulis Taman Safari Indonesia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Komnas HAM Pernah Beri Rekomendasi soal Eksploitasi Pemain Sirkus pada 1997
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        16 April 2025

    10 Sisi Gelap Panggung Sirkus Taman Safari, Pemain Mengaku Dijejali Kotoran dan Dipaksa Tampil Saat Hamil Nasional

    Sisi Gelap Panggung Sirkus Taman Safari, Pemain Mengaku Dijejali Kotoran dan Dipaksa Tampil Saat Hamil
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Kesaksian memilukan disampaikan oleh para
    mantan pemain sirkus
    Oriental Circus Indonesia (OCI) dalam audiensi dengan
    Kementerian HAM
    , Selasa (15/4/2025).
    Mereka menceritakan secara langsung di hadapan Wakil Menteri HAM, Mugiyanto, termasuk pengalaman pahit yang dialami selama bertahun-tahun, mulai dari kekerasan fisik, eksploitasi, hingga perlakuan tidak manusiawi.
    Kejadian ini berawal dari sebuah kelompok sirkus asal Indonesia yang mencari talenta untuk dididik sebagai pemain sirkus.
    Sayangnya, cara-cara yang dipakai kala itu tidaklah manusiawi.
    Mereka menjanjikan pendidikan dan kehidupan yang layak bagi anak-anak yang diambil untuk diadopsi.
    Mereka bahkan membayar sejumlah uang untuk “membeli” anak-anak yang masih berusia 5-7 tahun dan membawa anak tersebut untuk dilatih sirkus.
    Salah satu kesaksian yang menyedihkan disampaikan oleh seorang mantan pemain sirkus bernama Ida.
    Ida, di atas kursi rodanya, menceritakan bagaimana dirinya mengalami kecelakaan serius saat tampil di Lampung.
    Namun, alih-alih segera mendapatkan pertolongan, ia justru harus menahan sakit dalam waktu yang lama.
    “Saya mengalami jatuh dari ketinggian saat
    show
    di Lampung. Setelah jatuh, saya tidak langsung dibawa ke rumah sakit,” kata Ida.
    “Setelah pinggang saya mulai bengkak, barulah saya dibawa ke rumah sakit dan ternyata saya patah tulang. Tidak lama kemudian saya dibawa ke Jakarta dan dioperasi,” lanjutnya.
     
    “Dari situ, saya akhirnya dipertemukan dengan orang tua saya,” ujar Ida dengan suara bergetar.
    Kesaksian memilukan juga diungkapkan oleh Butet, seorang mantan pemain sirkus perempuan lainnya.
    Ia mengaku sering mendapatkan perlakuan kasar bahkan ketika sedang hamil.
    “Kalau main saat
    show
    tidak bagus, saya dipukuli. Pernah dirantai pakai rantai gajah di kaki, bahkan untuk buang air saja saya kesulitan,” kata Butet.
    “Saat hamil pun saya dipaksa tetap tampil. Setelah melahirkan, saya dipisahkan dari anak saya, saya tidak bisa menyusui. Saya juga pernah dijejali kotoran gajah hanya karena ketahuan mengambil daging empal,” ungkap Butet sambil menahan tangis.
    Butet juga mengungkapkan, selama hidupnya ia tidak mengetahui siapa dirinya sebenarnya, termasuk nama asli, usia, maupun keluarganya.
    Identitas yang hilang itu menjadi luka batin lain yang ia bawa hingga kini.
     
    “Saya tidak tahu identitas saya, nama, keluarga, dan bahkan usia saya,” ujar dia.
    Kesaksian serupa datang dari Fifi, yang mengaku telah berada di lingkungan sirkus sejak bayi.
    Fifi diambil oleh salah satu bos OCI saat ia baru lahir.
    Fifi merupakan anak dari Butet dan ia menyadari hal itu setelah tumbuh dewasa.
    Butet mengaku menyerahkan Fifi untuk diasuh orang lain karena belum memiliki kehidupan yang layak.
    “Saya sempat diseret dan dikurung di kandang macan, susah buang air besar. Saya enggak kuat, akhirnya saya kabur lewat hutan malam-malam, sampai ke Cisarua. Waktu itu sempat ditolong warga, tapi akhirnya saya ditemukan lagi,” tutur Fifi.
    Namun, nasibnya malah semakin tragis setelah tertangkap kembali.
    Fifi mengalami penyiksaan yang berkali-kali lipat lebih kejam dari sebelumnya.
    “Saya diseret, dibawa ke rumah, terus disetrum. Kelamin saya disetrum sampai saya lemas. Rambut saya ditarik, saya ngompol di tempat, lalu saya dipasung,” kenangnya dengan suara lirih.
    Wakil Menteri HAM Mugiyanto memastikan akan segera memanggil manajemen
    Taman Safari Indonesia
    dalam waktu dekat.
     
    “Setelah kami mendengar laporan dari para korban, kami juga akan mengupayakan untuk mendapatkan informasi dari pihak yang dilaporkan sebagai pelaku tindak kekerasan. Kami akan lakukan secepatnya,” ujar Mugiyanto.
    Ia menegaskan langkah ini harus segera diambil untuk memastikan tidak ada lagi praktik serupa yang terus berlangsung.
    “Karena salah satu upayanya memang mencegah supaya praktik seperti sekarang ini tidak terjadi lagi. Dan itu harus cepat. Mudah-mudahan dalam minggu-minggu ke depan kita sudah bisa lakukan,” katanya.
    Dia menyebutkan bahwa pemanggilan ini juga bertujuan untuk mengawal rekomendasi dari Komnas HAM, yang hingga kini belum ditindaklanjuti oleh pihak Taman Safari Indonesia.
    “Kami berharap semua pihak
    comply
    , patuh terhadap aspek-aspek asasi manusia. Karena Kementerian HAM ada untuk memastikan semua pihak, baik pemerintah, swasta, hingga dunia usaha, patuh pada norma HAM,” kata Mugiyanto.
    Pengacara para korban, Muhammad Soleh, mengungkapkan bahwa salah satu kliennya, Fifi, sempat melaporkan dugaan pelanggaran itu ke Mabes Polri sejak tahun 1997, dengan sangkaan pelanggaran Pasal 277 KUHP tentang penghilangan asal-usul.
    Namun, kasus tersebut dihentikan dengan alasan tidak cukup bukti.
    “Dulu Bu Fifi pernah melaporkan ke Mabes Polri tentang penghilangan asal-usul, tapi akhirnya SP3 dikeluarkan. Alasannya, bukti tidak ada,” kata Soleh usai melaporkan kasus ini ke Kementerian HAM, Selasa (15/4/2025).
    “Kami bingung, karena dari 16 korban yang kami dampingi, hingga hari ini baru lima orang yang berhasil menemukan orang tua mereka, itu pun hasil usaha pribadi. Sementara 11 orang lainnya masih belum mengetahui siapa orang tua kandung mereka,” tambah dia.
    Melihat hal itu, Mugiyanto menyadari bahwa tantangan hukum dalam kasus ini cukup berat, mengingat sebagian besar peristiwa terjadi di era 70-an hingga 80-an — sebelum adanya Undang-Undang HAM di Indonesia.
    Meski demikian, ia menegaskan bahwa hukum tetap bisa menjerat pelaku jika ditemukan unsur pidana.
    “Memang ini kasus lama. Pada masa itu, kita belum punya Undang-Undang HAM. Namun, bukan berarti tindak pidana yang terjadi tidak bisa dihukum. Kita sudah punya KUHP sejak Indonesia merdeka,” jelasnya.
    Mugiyanto menyoroti pentingnya dunia usaha, termasuk bisnis hiburan seperti sirkus, untuk menghormati hak asasi manusia dalam setiap aktivitasnya.
    Ia mengingatkan bahwa Indonesia sudah memiliki Strategi Nasional Bisnis dan HAM sejak 2022, yang menjadi panduan penting agar praktik bisnis tidak lagi melanggar hak-hak pekerja.
    “Nanti dalam pertemuan dengan pihak Taman Safari, kami juga akan sampaikan tentang UN Guiding Principle on Business and Human Rights. Mereka harus mematuhi prinsip ini. Dunia usaha, apapun bentuknya, harus menghormati hak asasi manusia,” tegasnya.
    Ia pun menegaskan bahwa negara tidak lagi boleh membiarkan praktik kekerasan seperti perbudakan yang dialami para pemain sirkus di masa lalu kembali terjadi.
    “Indonesia sekarang adalah negara yang menghormati hak asasi manusia dan demokratis. Tidak boleh lagi ada peristiwa seperti itu, apalagi menimpa anak-anak dan perempuan,” pungkasnya.
    Manajemen Taman Safari Indonesia mengatakan, masalah tersebut melibatkan individu tertentu.
    Dia memastikan, pihaknya tidak memiliki keterikatan hubungan bisnis dengan mantan pemain sirkus tersebut.
    “Taman Safari Indonesia Group sebagai perusahaan ingin menegaskan bahwa kami tidak memiliki keterkaitan, hubungan bisnis, maupun keterlibatan hukum dengan eks pemain sirkus yang disebutkan dalam video tersebut,” kata Manajemen Taman Safari Indonesia dalam keterangan resmi.
    Manajemen Taman Safari Indonesia menegaskan bahwa pihaknya merupakan badan usaha berbadan hukum yang berdiri secara independen dan tidak terafiliasi dengan pihak yang dimaksud.
    “Kami menilai bahwa permasalahan tersebut bersifat pribadi dan tidak ada kaitannya dengan Taman Safari Indonesia Group secara kelembagaan,” lanjut Manajemen Taman Safari Indonesia.
    Manajemen Taman Safari Indonesia menegaskan bahwa hak setiap individu untuk menyampaikan pengalaman pribadinya.
    Namun, Manajemen Taman Safari Indonesia berharap agar nama dan reputasi Taman Safari Indonesia Group tidak disangkutpautkan dalam permasalahan ini. 
    “Kami berkomitmen untuk menjalankan kegiatan usaha dengan mengedepankan prinsip Good Corporate Governance (GCG), kepatuhan hukum, serta etika bisnis yang bertanggung jawab,” jelas Manajemen Taman Safari Indonesia.
    “Kami mengajak masyarakat untuk bersikap bijak dalam menyikapi informasi yang beredar di ruang digital dan tidak mudah terpengaruh oleh konten yang tidak memiliki dasar fakta maupun keterkaitan yang jelas,” tegas Manajemen Taman Safari Indonesia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.