Korban Pelecehan Mengaku Pernah Diintimidasi Rektor UP, Kasus Bakal SP3
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Eks Rektor
Universitas Pancasila
,
ETH
, pernah memberikan intimidasi kepada para korban yang dilecehkan saat kasus ini mulai mendapat sorotan publik di tahun 2024.
“Pada saat pelecehan terjadi di PIM itu, dalam proses itu pun pelecehan terjadi intimidasi. Dalam hal ini, ada hubungan keluarga dengan jenderal-jenderal kepolisian dan yang lain,” ujar kuasa hukum para korban, Yansen Ohoirat, saat ditemui di Lobi
Bareskrim
Polri, Jakarta, Jumat (25/4/2025).
Intimidasi ini disampaikan oleh ETH secara verbal, bahkan di hadapan Yansen dan kuasa hukumnya.
Peristiwa ini terjadi pada 1 Februari 2024, sekitar pukul 13.00 WIB.
Saat itu, dua orang korban sudah melaporkan ETH ke Polda Metro Jaya.
ETH sempat menyinggung kedekatannya dengan para jenderal sehingga bisa membuat kasus ini dihentikan oleh polisi lewat penerbitan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan).
“Ya intinya begini, ‘Buat apa kalian
capek-capek
pulang pergi. Ini nanti juga SP3 ini perkara. Saya yang tahu dan saya paling tahu.’ Itu kata-katanya dari ETH,” jelas Yansen.
Hari ini, dua orang korban kembali melaporkan ETH atas
pelecehan seksual
yang mereka alami.
Para korban, AIR dan AM, adalah pegawai swasta yang perusahaannya dahulu pernah bekerja sama dengan Universitas Pancasila.
Saat itu, ETH menyalahgunakan kewenangannya dan melakukan pelecehan seksual kepada kedua korban, masing-masing dalam kesempatan yang berbeda.
“Peristiwa tahun 2019 di salah satu tempat di Jakarta Selatan itu pelecehan secara fisik. Jadi, ada pemaksaan dari ETH kepada korban untuk memegang alat kelamin dari si ETH,” lanjut Yansen.
Sementara itu, satu korban lagi mengalami pelecehan seksual secara verbal ketika proses mediasi berlangsung.
Saat itu, di tahun 2024, korban yang ditemani oleh Yansen dan timnya tengah bertemu dengan ETH dan jajarannya.
Ketika itu, proses mediasi tengah berlangsung di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan, dan ETH melontarkan perkataan yang melecehkan korban di hadapan semua yang hadir dalam mediasi.
“Ketika kita melakukan mediasi di PIM 2 itu, secara verbal disampaikan dengan kata-kata yang tidak sepantasnya di hadapan umum, dan kata-kata verbal itu direspon oleh tim yang hadir saat itu dengan tertawa,” jelas Yansen.
Saat ini, kedua korban, yaitu AIR dan AM, sudah memberikan keterangan kepada penyidik di Mabes Polri.
Atas tindakannya, ETH dijerat dengan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana
Kekerasan Seksual
.
Laporan mereka juga sudah diterima oleh penyidik dan tercatat dengan nomor STTL/196/IV/2025/
BARESKRIM
.
Saat ini, Direktorat Tindak Pidana Perdagangan Perempuan dan Anak (PPA)-Tindak Pidana Perdagangan Orang (PPO) Bareskrim Polri juga telah memberikan asistensi terhadap kasus ini.
Dir PPA-PPO akan memberikan bantuan berupa rujukan ahli pidana agar kasus ini segera diusut tuntas oleh Polda Metro Jaya, minimal untuk segera menetapkan tersangka dalam kasus ini.
Sebelum dilaporkan ke Bareskrim Polri, ETH sudah dilaporkan lebih dahulu ke Polda Metro Jaya pada Januari 2024 oleh dua orang korban, yaitu RZ dan DF.
Hingga saat ini, Polda Metro Jaya belum menetapkan satupun tersangka dalam kasus ini.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Topik: SP3
-

Korban Dugaan Penganiayaan di Batam Trauma, Keluarga Desak Pelaku WNA Dideportasi – Halaman all
TRIBUNNEWS.COM, BATAM – IRS (20), perempuan muda asal Jodoh, Kota Batam, yang menjadi korban dugaan penganiayaan oleh Warga Negara Asing (WNA) asal Tiongkok, Mr CS, masih mengalami trauma mendalam dan enggan keluar rumah sejak insiden yang terjadi pada akhir Februari lalu.
Hal ini disampaikan oleh Butong, salah satu anggota keluarga korban, yang mengungkapkan bahwa kondisi psikis IRS belum pulih hingga saat ini.
“Korban masih trauma, bahkan tidak mau keluar dari rumah. Dia sangat takut dan merasa tidak aman, apalagi tahu pelaku masih bebas dan bekerja di Batam,” ujar Butong, Kamis (24/4/2025).
Kasus ini sempat menarik perhatian publik setelah CS, yang sempat diamankan dan dikabarkan dideportasi ke Singapura, ternyata kembali berada di Batam dan bekerja secara legal dengan Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS).
Keluarga korban pun merasa kecewa karena janji yang sebelumnya disampaikan pihak Imigrasi Batam untuk mendeportasi pelaku tidak ditepati.
“Waktu itu orang Imigrasi bilang sudah dicabut izin tinggalnya dan pelaku akan dideportasi. Tapi kenyataannya sekarang dia masih kerja seperti biasa di Batam,” tambah Butong dengan nada kesal.
Padahal, menurut keluarga korban, IRS telah menjalani visum di rumah sakit sebagai bukti tindak kekerasan fisik yang dialaminya, dan hasil visum tersebut sudah diserahkan kepada pihak berwajib.
Selain itu, tindakan CS dinilai telah melanggar ketertiban umum, yang seharusnya bisa menjadi dasar kuat bagi Imigrasi untuk melakukan deportasi dan pencekalan.
Ketidakjelasan penanganan kasus ini semakin menyulut kemarahan publik.
Aksi demonstrasi digelar di halaman Kantor Imigrasi Kelas I Khusus TPI Batam pada Senin (21/4/2025) lalu.
Massa menuntut agar pelaku dideportasi secara permanen dan dicekal masuk kembali ke Indonesia.
Mereka juga meminta pencopotan Kepala Kantor Imigrasi Batam, Hajar Aswad, yang dinilai tidak bertindak tegas dalam menangani persoalan ini.
Namun, pihak Imigrasi Batam melalui Kepala Seksi Informasi dan Komunikasi Keimigrasian, Kharisma Rukmana, menyatakan bahwa tidak ditemukan pelanggaran keimigrasian dari CS.
“Sudah dilakukan tahap mediasi terhadap perwakilan demonstran kemarin. Kita menjelaskan bahwa tidak ada pelanggaran keimigrasian, sebab sudah ada surat SP3 terkait kasus dari CS. Kami juga melakukan pemeriksaan, dan ternyata memang tidak ada pelanggaran keimigrasian,” jelas Kharisma.
Sementara kuasa hukum korban, Dr. Rolas Sitinjak, menilai bahwa meskipun kasus telah diselesaikan secara damai di kepolisian melalui mekanisme Restorative Justice, langkah hukum lain seperti deportasi dan pencekalan seharusnya tetap dilakukan.
“Kami kecewa karena tidak ada tindak lanjut terhadap pelaku. Korban dibiarkan hidup dalam ketakutan, sementara pelaku bisa bebas kembali seperti tidak terjadi apa-apa,” tegas Rolas.
Keluarga korban berharap agar pihak Imigrasi dan instansi terkait tidak mengabaikan aspek keadilan dan rasa aman bagi warganya. Mereka tetap menuntut agar CS segera dideportasi dan dicekal masuk kembali ke wilayah Indonesia.
Kronologi Penganiayaan
Seperti diberitakan Tribun Batam, wanita IRS (20) warga Jodoh, Batam menjadi korban Mr CS.
Peristiwa penganiayaan terjadi di Apartemen Pollux Habibie, Kelurahan Teluk Tering, Kecamatan Batam Kota, Kota Batam pada 26 Februari 2025 lalu.
Akibat kejadian itu, wajah IRS lebam membiru.
Wanita itu pun trauma dan cenderung menjadi takut jika bertemu dengan orang lain.
Didampingi keluarganya, IRS melaporkan kejadian ini ke Polsek Batam Kota.
Laporan IRS diterima oleh Polsek Batam Kota dengan Surat Tanda Penerimaan Laporan Nomor: LP/B/043/II/2025/SPKT/Polsek Batam Kota/Polresta Barelang/Polda Kepri dan ditandatangani oleh Kepala SPK B, Aiptu Yose Rizal.
IRS berharap, laporannya dapat ditindaklanjuti oleh Polsek Batam Kota dan pelaku dapat diproses secara hukum yang berlaku.
“Kami berharap pelaku ini dapat dideportasi dan dicekal, supaya dia tidak berbuat pelanggaran di negara orang,” harap IRS.
Namun dalam proses laporan kasusnya, Imigrasi dikabarkan telah menangkap pelaku dan melakukan deportasi terhadap WNA tersebut.
Anehnya setelah dideportasi, keesokan harinya pelaku justru kembali ke Batam.
Korban kaget melihat pelaku kembali lagi ke Batam hanya selang beberapa hari.
Korban kini merasa keselamatannya terancam. Sebab telah melaporkan pelaku ke kantor polisi.
Korban bersama keluarga didampingi kuasa hukum lantas mendatangi Kantor Imigrasi Batam, Senin (17/3/2025).
Mereka menyampaikan kekecewaan terhadap Imigrasi. Pelaku dideportasi ke Singapura, namun kembali masuk ke Indonesia, tanpa ada pencekalan dari pihak berwenang.
“Padahal yang kami lihat pihak Imigrasi telah menggelar konfrensi pers pada Rabu (12/3/2025) lalu dan menyampaikan keputusan akan mendeportasi pelaku. Namun hingga kini pencekalan belum dilakukan,” ujar Kuasa Hukum Korban, Rolas Sitinjak, Selasa (18/3/2025).
-

Amnesty International Desak Komisi III DPR Panggil Kapolri, Usut Dugaan Pelanggaran HAM Sirkus OCI – Halaman all
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Amnesty International Indonesia mendesak Komisi III DPR untuk memanggil Kapolri usut dugaan praktik eksploitasi dan penyiksaan yang dialami sejumlah mantan pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI).
Diketahui sejumlah mantan pemain OCI mengadu ke Komisi III DPR RI di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (21/4/2025) kemarin.
“Audiensi dengan Komisi III DPR RI adalah momen penting dalam upaya para korban mencari keadilan atas dugaan pelanggaran HAM berat yang mereka alami di masa lalu,” kata Usman Hamid, Selasa (22/4/2025).
Oleh karena itu Komisi III, kata Usman Hamid harus menindaklanjuti pertemuan tersebut dengan memanggil Polri.
Hal itu dinilainya penting agar Komisi III dapat menanyakan langsung kepada Polri terkait alasan mereka melakukan SP3 terhadap kasus tersebut di masa lalu.
“Komisi III harus meminta Kapolri untuk membuka kembali penyidikan terhadap kasus ini agar kegagalan negara di masa lalu dalam menghadirkan keadilan bagi korban tidak terulang,” imbuhnya.
Komisi III dikatakan Usman Hamid perlu membentuk tim pencari fakta untuk menginvestigasi dugaan pelanggaran HAM berat yang dialami oleh eks pemain sirkus OCI ini.
“Tim pencari fakta ini penting untuk mengungkap kegagalan negara di masa lalu dalam menghadirkan keadilan bagi para korban. Di saat yang sama Polri dan Komnas HAM juga harus tetap melaksanakan tugas mereka menginvestigasi kasus ini secara terpisah,” jelasnya.
Sebelumnya sejumlah mantan pemain Oriental Circus Indonesia (OCI) mengadu ke Komisi III DPR RI.
Mereka mengungkapkan pengalaman mendapatkan kekerasan fisik dan perlakuan tidak manusiawi yang dialami puluhan tahun lalu selama bekerja di lingkungan sirkus.
Salah satu mantan pemain, Yuli, mengaku bahwa dirinya dan sejumlah rekannya terpaksa melarikan diri dari OCI karena merasa terancam
“Kita nih semua, kabur dari circus itu. Jadi kita memang sebisa mungkin bersembunyi dari mereka. Agar enggak ketangkep,” kata Yuli dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU).
Yuli menuturkan, ia sempat mencoba melarikan diri pada tahun 1986. Namun, usahanya gagal dan berujung pada tindakan kekerasan yang diterimanya.
“Soalnya saya pernah kabur tahun 86, saya ditangkap, dipukuli. Kakak saya pun gitu, kabur, ditangkap, dipukuli,” ujarnya.
Menurutnya, tindakan kekerasan itu dilakukan oleh pihak Oriental Circus Indonesia. “Pihak Circus (yang melakukan pemukulan). Itu yang melakukan Pak Frans Manansang,” ungkapnya.
Kepada Komisi III DPR, Yuli meminta keadilan atas perlakuan yang ia dan rekan-rekannya terima.
“Ya kita bagaimana baiknya lah. Kita pengennya mereka diadili apa bagaimana. Soalnya kan kalau saya tidak menerima yang seperti Vivi sampai disetrum, seperti Butet dikasih kotoran gajah mulutnya,” ucapnya.
-

OCI Utamakan Jalur Kekeluargaan, Langkah Hukum Jadi Opsi Terakhir Hadapi Eks Pemain Sirkusnya – Halaman all
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kuasa hukum Oriental Circus Indonesia (OCI), Ricardo Kumontas, menegaskan kliennya memilih untuk mengutamakan jalur kekeluargaan dalam menghadapi polemik yang tengah berlangsung, terkait dugaan eksploitasi pemain sirkus.
Menurutnya, langkah hukum hanya akan diambil sebagai opsi terakhir apabila situasi sudah tidak memungkinkan untuk diselesaikan secara damai.
“Jadi menurut Pak Jansen (Pendiri OCI) ya, apapun yang terjadi beliau tetap mengutamakan penyelesaian kekeluargaan. Karena mereka seperti adik-adiknya,” kata Ricardo.
Ricardo menyebut bahwa kliennya merasa terpukul dengan berbagai narasi yang beredar di media sosial.
Dia menilai banyak informasi yang berpotensi menyesatkan publik dan tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya.
“Jadi sebenarnya tindakan hukum itu pilihan terakhir buat beliau. Makanya beliau tuh sebenarnya terpukul sekali ya sama cerita-cerita yang muncul di medsos ya, sedih sekali gitu loh,” ujarnya.
Menanggapi kemungkinan adanya gugatan dari pihak yang mengaku korban, Ricardo memastikan bahwa OCI akan bersikap kooperatif dan menanggapi sesuai ketentuan hukum.
Ricardo mengklaim jika pihaknya siap menghadapi gugatan perdata atau laporan pidana dari pihak mantan pemain sirkus OCI.
“Ya kami akan counter sesuai dengan perundangan yang berlaku,” tutupnya.
Kuasa Hukum Eks Pemain Sirkus Desak Kasus Diusut Lewat Pengadilan HAM
Sejumlah mantan pemain Oriental Circus Indonesia (OCI) mengadu ke Komisi III DPR RI di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (21/4/2025).
Kuasa Hukum Mantan Pemain Sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI), Muhammad Soleh, menyampaikan kekecewaannya terhadap respons dari pihak OCI dan pengelola Taman Safari.
“Kalau ada itikad baik dari OCI maupun Taman Safari kita akan terima, tetapi kalau dilihat dari sambutan jawaban di media kok menurut saya kecil untuk bisa. Sebab, mereka juga sangat tersakiti karena jawabannya tidak mengakui,” kata Soleh dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU).
Soleh menegaskan, meskipun pembuktian kekejaman sulit, ada aspek pelanggaran HAM yang dapat dibuktikan dengan mudah, seperti pemisahan anak-anak dari orang tuanya sejak usia dini.
Menurutnya, praktik tersebut merupakan bentuk pelanggaran HAM berat yang harus diusut tuntas.
“Ini pelanggaran HAM berat apalagi di dalamnya terjadi perbudakan dan terus terang ini sejarah kelam yang menurut saya, ayo kita ungkap, kita akhiri,” tegas Soleh.
Oleh karena itu, Soleh berharap aduan mereka ke Komisi III DPR berbuah keadilan bagi para korban.
“Tolong jangan langsung diberikan kepada pihak kepolisian, nyatanya kasus ini sudah pernah di-SP3 oleh pihak kepolisian dan itu sungguh mengecewakan buat kita, 1997 dilaporkan, 1999 SP3 tanpa pelapor juga dikasih tahu,” ujarnya.
Dia berharap Komisi III dapat mendorong penggunaan Undang-undang tentang Pengadilan HAM untuk mengusut dugaan pelanggaran tersebut secara menyeluruh.
“Jadi sekali lagi kami berharap ada keadilan di sini ada peluang Undang-undang HAM digunakan Undang-undang pengadilan HAM digunakan supaya sejarah kelam ini bisa mendapatkan keadilan,” ucap Soleh.
-
/data/photo/2025/04/17/680098d4a401c.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
9 OCI Akhirnya Buka Suara Soal Dugaan Eksploitasi Eks Pemain Sirkusnya Nasional
OCI Akhirnya Buka Suara Soal Dugaan Eksploitasi Eks Pemain Sirkusnya
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
–
Oriental Circus Indonesia
(OCI) buka suara terkait dengan perseteruannya dengan mantan pemain sirkus binaan mereka.
Founder OCI sekaligus Komisaris Taman Safari Indonesia,
Tony Sumampau
, mengatakan, pembentukan OCI berawal dari situasi politik Indonesia yang memanas pasca peristiwa G30S pada tahun 1966.
Saat itu, kebutuhan hiburan untuk prajurit yang bertugas menjaga keamanan mendorong lahirnya kelompok akrobatik yang akhirnya dikenal sebagai Oriental Circus.
“ABRI waktu itu butuh hiburan. Kostrad punya band, kita punya tim akrobat. Gabung jadi satu, lalu keliling ke berbagai daerah pakai pesawat Hercules, tampil di markas-markas militer, mulai dari Tasik sampai Jawa Tengah,” ujar Tony, saat jumpa pers, Kamis (17/4/2025).
Seiring berjalannya waktu, Tony menilai bahwa performa tim sirkus di bawah naungan OCI tidak cukup maksimal.
Akhirnya, orangtua Tony mengajak anak-anak perempuan dari sebuah panti asuhan di kawasan Kalijodo, Penjaringan, Jakarta Utara untuk bergabung ke dalam kelompok tersebut.
“Anak-anak itu dari bayi dibesarkan, usia 6-7 tahun baru diajak bergabung dan mulai berlatih di sirkus,” kata Tony.
Tony mengakui bahwa pada medio tahun 1970-1980, didikan yang diberikan OCI kepada para pemain sirkusnya cukup keras, jika dibandingkan dengan upaya pendisiplinan pada saat ini.
“Tahun 70-80-an itu, dan memang ada tindakan disiplin untuk mendisiplinkan anak-anak. Waktu itu kita bisa bilang eranya keras lah ya,” kata Tony.
Namun, ia mengklaim bahwa pendisiplinan keras merupakan hal yang wajar bila melihat kultur sosial pada tahun tersebut. Ia pun mengklaim turut merasakan hal serupa.
“Tapi kalau anak-anak itu malas, tidak mau keluar tenaga, kalau (dipukul) pakai rotan itu biasa (saat itu), dan konteksual pada masa tahun itu, memang begitu itu kulturnya. Bukan cuma di sirkus saja,” ujarnya.
“Di luar sirkus pun kita di rumah pun mengalami gitu ya. Di sekolah juga gitu. Dipukul pakai rotan sama guru. Jadi konteksual pendidikan memang ada ketika itu,” tambahnya.
Walaupun ada pendisiplinan keras, Tony membantah, pihaknya melakukan praktik eksploitasi dan perbudakan kepada para pemain sirkus di bawah naungan OCI.
Tony menegaskan, proses latihan di sirkus memang memerlukan kedisiplinan tinggi yang kerap kali melibatkan tindakan tegas.
Namun ia menyebut hal tersebut wajar dalam dunia olahraga dan bukan bentuk kekerasan yang disengaja.
“Betul, pendisiplinan itu kan dalam pelatihan ya, pasti ada. Saya harus akui. Cuma kalau sampai dipukul pakai besi, itu nggak mungkin,” ujar Tony saat jumpa pers di Jakarta, Kamis (17/4/2025). “Kalau mereka luka, justru nggak bisa tampil atraksi,” ujarnya.
Tony juga menepis tudingan soal penyiksaan yang dialami mantan pemain sirkus. Menurutnya, pernyataan yang disampaikan mereka hanyalah pernyataan sensasional, yang tidak logis dan bertujuan untuk menarik simpati publik.
“Kalau dibilang penyiksaan, ya itu membuat sensasi saja. Supaya orang yang dengar jadi kaget, serius gitu ya. Kalau benar-benar seperti itu, ya tidak masuk akal,” ujarnya.
Di balik itu semua, Tony menilai ada sosok yang memiliki peran inti yang berusaha melakukan pemerasan kepadanya. Hanya saja, karena OCI sudah tidak beroperasi lagi, maka tuntutan disuarakan kepada Taman Safari Indonesia.
Tony mencium adanya provokator yang diduga sengaja menggiring mantan pemain sirkus untuk membuat narasi negatif.
“Ya, di belakang semua ini memang ada sosok provokator yang memprovokasi mereka. Kita sudah tahu siapa, karena sebelumnya juga dia sempat minta sesuatu kepada kami,” ujar Tony.
Tony menyebut, pihaknya tidak berniat memperkarakan para mantan pemain sirkus, yang disebutnya sudah seperti anak sendiri.
Namun berbeda dengan “aktor” yang berada di balik tuduhan tersebut.
“Kalau anak-anak, ya kasihan. Tapi kalau provokatornya, itu lain cerita. Kita sedang mengupayakan langkah hukum terhadap pihak yang memanfaatkan mereka,” kata Tony.
Menurut Tony, pihaknya telah mengantongi bukti-bukti terkait dugaan adanya upaya pemerasan yang sempat menuntut angka hingga lebih dari Rp 3,1 miliar.
Namun, Tony menegaskan bahwa dari awal pihaknya memilih untuk diam agar tidak melukai perasaan mantan anak didiknya.
“Kita memang tidak merespon, karena mau lihat siapa dalangnya. Anak-anak itu hanya ‘alat’. Kita nggak mau cederai mereka. Tapi siapa yang ada di belakang ini, ya itu yang jadi perhatian kami,” ungkap Tony.
Tony mengaku sebagian bukti sudah dikantongi, meskipun belum sempat bertemu langsung dengan para korban.
“Sebagian bukti sudah ada. Kalau mereka (anak-anak) yang kemarin itu, saya belum pernah ketemu lagi. Mungkin karena merasa malu setelah ramai bicara seperti ini,” ujarnya.
Sementara itu, Vice President Legal & Corporate Secretary Taman Safari Indonesia, Barata Mardikoesno, menegaskan persoalan ini tidak ada kaitannya dengan Taman Safari Indonesia.
“Langkah hukum ini nanti akan diambil oleh OCI. Taman Safari Indonesia tidak ada hubungannya dengan persoalan ini, bisnisnya memang terpisah,” tegas Barata.
Barata juga menilai ada motif tertentu yang berusaha menyeret nama Taman Safari ke dalam polemik yang seharusnya tidak terkait.
“Kenapa mereka mengincar TSI, kami juga tidak paham. Yang jelas, secara posisi hukum dan dokumen, TSI berdiri terpisah dari OCI. Jadi kalau ada langkah hukum, itu murni dari Pak Tony, bukan atas nama TSI,” tandasnya.
Pengacara para korban, Muhammad Soleh, mengungkapkan bahwa salah satu kliennya, Fifi, sempat melaporkan dugaan pelanggaran itu ke Mabes Polri sejak tahun 1997, dengan sangkaan pelanggaran Pasal 277 KUHP tentang penghilangan asal-usul.
Namun, kasus tersebut dihentikan dengan alasan tidak cukup bukti.
“Dulu Bu Fifi pernah melaporkan ke Mabes Polri tentang penghilangan asal-usul, tapi akhirnya SP3 dikeluarkan. Alasannya, bukti tidak ada,” kata Soleh usai melaporkan kasus ini ke Kementerian HAM, Selasa (15/4/2025).
“Kami bingung, karena dari 16 korban yang kami dampingi, hingga hari ini baru lima orang yang berhasil menemukan orang tua mereka, itu pun hasil usaha pribadi. Sementara 11 orang lainnya masih belum mengetahui siapa orang tua kandung mereka,” tambah dia.
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Republik Indonesia (RI), Uli Parulian Sihombing, mengatakan, di awal tahun pihaknya sempat memberikan saran kepada para mantan pemain sirkus OCI untuk menempuh jalur hukum dalam memperjuangkan hak-hak mereka.
Sebelumnya, para mantan pemain sirkus OCI, sempat melaporkan dugaan
pelanggaran HAM
berat yang dialami kepada Komnas HAM pada tahun 1997, atau tepat 28 tahun yang lalu.
Sayangnya, kasus ini nyatanya tidak terselesaikan hingga saat ini.
“Pada 6 Januari 2025, Komisioner pengaduan Komnas HAM memberikan saran menyelesaikan permasalahannya melalui jalur hukum,” kata Uli saat dihubungi Kompas.com, Rabu (16/4/2025).
Dia mengatakan, saat itu Komnas HAM sudah melakukan identifikasi masalah dan mengeluarkan rekomendasi atas pengaduan pekerja OCI Taman Safari Indonesia.
Komnas HAM juga menyatakan adanya pelanggaran HAM atas hak-hak anak.
“Pelanggaran tersebut di antaranya, hak untuk mengetahui asal usul, identitas, dan hubungan kekeluargaan. Kemudian, hak untuk bebas dari eksploitasi ekonomi,” ujarnya.
“Lalu, hak untuk memperoleh pendidikan yang layak yang dapat menjamin masa depannya, serta hak untuk memperoleh perlindungan keamanan, dan jaminan sosial, sesuai peraturan perundang-undangan,” tambah dia.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/04/15/67fe20293beca.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Komnas HAM Pernah Beri Rekomendasi soal Eksploitasi Pemain Sirkus pada 1997 Nasional 16 April 2025
Komnas HAM Pernah Beri Rekomendasi soal Eksploitasi Pemain Sirkus pada 1997
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (
Komnas HAM
) pernah mengeluarkan rekomendasi atas kasus dugaan eksploitasi pemain sirkus pada
Oriental Circus Indonesia
(OCI), tetapi tak membuahkan hasil.
“Pada 1997, komisioner Komnas HAM pada waktu itu mengeluarkan rekomendasi atas kasus anak-anak atlet/eks-atlet OCI,” kata Komisioner Komnas HAM Uli Parulian Sihombing saat dihubungi Kompas.com, Rabu (16/4/2025).
Uli menjelaskan, pada 28 tahun lalu, para mantan pemain sirkus sempat mengadukan pelanggaran HAM yang mereka alami ke Komnas HAM.
Komnas HAM pun memantau mengeluarkan rekomendasi atas pengaduan pekerja OCI Taman Safari Indonesia, dan menyatakan adanya pelanggaran HAM atas hak-hak anak.
“Pelanggaran tersebut di antaranya hak untuk mengetahui asal usul, identitas, dan hubungan kekeluargaan. Kemudian, hak untuk bebas dari eksploitasi ekonomi,” kata Uli.
“Lalu, hak untuk memperoleh pendidikan yang layak yang dapat menjamin masa depannya, serta hak untuk memperoleh perlindungan keamanan dan jaminan sosial, sesuai peraturan perundang-undangan,” ujar dia.
Komnas HAM juga memberikan rekomendasi untuk mengakhiri dan mencegah terjadinya tindakan yang menimbulkan pelanggaran HAM tersebut.
“Komnas HAM juga merekomendasikan untuk menjernihkan asal-usul pemain sirkus OCI yang belum jelas asal-usulnya,” kata Uli.
Dia menjelaskan, dalam surat rekomendasi itu, disebutkan bahwa OCI akan bekerja sama dengan Komnas HAM untuk memberikan publikasi dan langkah-langkah yang diperlukan, termasuk praktik-praktik pelatihan anak-anak atlet sirkus.
“Pelatihan dengan disiplin keras tidak boleh menjurus penyiksaan, baik fisik maupun mental. Sengketa antara OCI dengan anak-anak atlet/eks-atlet sirkus OCI hendaknya diselesaikan secara kekeluargaan,” ungkap dia.
Uli menyebutkan, kasus ini juga sempat dilaporkan ke kepolisian pada 1999, tetapi dihentikan penyidikannya.
“Menurut catatan Komnas HAM, memang ada SP3 atas penyidikan dugaan pelanggaran pasal 277 KUHP pada tahun 1999. Tapi hal ini mohon juga diklarifikasi ke kepolisian,” kata dia.
Setelah 28 tahun berlalu, Komnas HAM kembali menyarankan para korban untuk menyelesaikan permasalahan mereka lewat jalur hukum.
“Pada 6 Januari 2025, komisi pengaduan Komnas HAM memebrikan saran menyelesaikan permasalahannya melalui jalur hukum,” ujar Uli.
Kuasa hukum para mantan pemain sirkus, Muhammad Soleh, menyebutkan bahwa salah satu kliennya, Fifi, sempat melaporkan dugaan pelanggaran itu ke Mabes Polri sejak tahun 1997, dengan sangkaan pelanggaran Pasal 277 KUHP tentang penghilangan asal-usul.
Namun, kasus tersebut dihentikan dengan alasan tidak cukup bukti.
“Dulu Bu Fifi pernah melaporkan ke Mabes Polri tentang penghilangan asal-usul, tapi akhirnya SP3 dikeluarkan. Alasannya, bukti tidak ada,” kata Soleh usai melaporkan kasus ini ke Kementerian HAM, Selasa (15/4/2025).
Fifi, salah satu korban yang melapor sejak tahun 1997, mengaku kecewa atas hasil penanganan kasusnya di kepolisian.
Ia bahkan tidak memahami prosedur hukum saat pertama kali membuat laporan, termasuk ketika polisi memintanya melakukan visum.
“Saya pernah melaporkan kekerasan dan penghilangan asal-usul. Polisi waktu itu minta visum, tapi saya tidak tahu harus seperti apa. Saya kecewa, karena saya disiksa dan sakit, tapi tidak ada yang bisa membela saya,” ujar Fifi.
Sementara itu, pihak Taman Safari Indonesia mengeklaim tidak punya keterkaitan dengan para mantan pemain sirkus yang mengaku mengalami kekerasan.
Manajemen Taman Safari mengatakan bahwa masalah tersebut melibatkan individu tertentu.
“Taman Safari Indonesia Group sebagai perusahaan ingin menegaskan bahwa kami tidak memiliki keterkaitan, hubungan bisnis, maupun keterlibatan hukum dengan eks pemain sirkus yang disebutkan dalam video tersebut,” tulis Manajemen Taman Safari Indonesia dalam keterangan resmi.
“Kami menilai bahwa permasalahan tersebut bersifat pribadi dan tidak ada kaitannya dengan Taman Safari Indonesia Group secara kelembagaan,” ujar mereka.
Taman Safari Indonesia meminta agar kasus dugaan kekerasan dan eksploitasi tersebut tidak disangkutpautkan dengan pihak mereka.
“Hak setiap individu untuk menyampaikan pengalaman pribadinya, namun kami berharap agar nama dan reputasi Taman Safari Indonesia Group tidak disangkutpautkan dalam permasalahan yang bukan menjadi bagian dari tanggung jawab kami,” tuls Taman Safari Indonesia.
“Terutama tanpa bukti yang jelas karena dapat berimplikasi kepada pertanggungjawaban hukum,” ujar mereka.
Taman Safari Indonesia mengeklaim berkomitmen untuk menjalankan kegiatan usaha dengan mengedepankan prinsip Good Corporate Governance (GCG), kepatuhan hukum, serta etika bisnis yang bertanggung jawab.
Taman Safari Indonesia juga mengajak masyarakat untuk bersikap bijak dalam menyikapi informasi yang beredar di ruang digital.
“Dan tidak mudah terpengaruh oleh konten yang tidak memiliki dasar fakta maupun keterkaitan yang jelas,” tulis Taman Safari Indonesia.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/04/15/67fe20293beca.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
10 Sisi Gelap Panggung Sirkus Taman Safari, Pemain Mengaku Dijejali Kotoran dan Dipaksa Tampil Saat Hamil Nasional
Sisi Gelap Panggung Sirkus Taman Safari, Pemain Mengaku Dijejali Kotoran dan Dipaksa Tampil Saat Hamil
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Kesaksian memilukan disampaikan oleh para
mantan pemain sirkus
Oriental Circus Indonesia (OCI) dalam audiensi dengan
Kementerian HAM
, Selasa (15/4/2025).
Mereka menceritakan secara langsung di hadapan Wakil Menteri HAM, Mugiyanto, termasuk pengalaman pahit yang dialami selama bertahun-tahun, mulai dari kekerasan fisik, eksploitasi, hingga perlakuan tidak manusiawi.
Kejadian ini berawal dari sebuah kelompok sirkus asal Indonesia yang mencari talenta untuk dididik sebagai pemain sirkus.
Sayangnya, cara-cara yang dipakai kala itu tidaklah manusiawi.
Mereka menjanjikan pendidikan dan kehidupan yang layak bagi anak-anak yang diambil untuk diadopsi.
Mereka bahkan membayar sejumlah uang untuk “membeli” anak-anak yang masih berusia 5-7 tahun dan membawa anak tersebut untuk dilatih sirkus.
Salah satu kesaksian yang menyedihkan disampaikan oleh seorang mantan pemain sirkus bernama Ida.
Ida, di atas kursi rodanya, menceritakan bagaimana dirinya mengalami kecelakaan serius saat tampil di Lampung.
Namun, alih-alih segera mendapatkan pertolongan, ia justru harus menahan sakit dalam waktu yang lama.
“Saya mengalami jatuh dari ketinggian saat
show
di Lampung. Setelah jatuh, saya tidak langsung dibawa ke rumah sakit,” kata Ida.
“Setelah pinggang saya mulai bengkak, barulah saya dibawa ke rumah sakit dan ternyata saya patah tulang. Tidak lama kemudian saya dibawa ke Jakarta dan dioperasi,” lanjutnya.
“Dari situ, saya akhirnya dipertemukan dengan orang tua saya,” ujar Ida dengan suara bergetar.
Kesaksian memilukan juga diungkapkan oleh Butet, seorang mantan pemain sirkus perempuan lainnya.
Ia mengaku sering mendapatkan perlakuan kasar bahkan ketika sedang hamil.
“Kalau main saat
show
tidak bagus, saya dipukuli. Pernah dirantai pakai rantai gajah di kaki, bahkan untuk buang air saja saya kesulitan,” kata Butet.
“Saat hamil pun saya dipaksa tetap tampil. Setelah melahirkan, saya dipisahkan dari anak saya, saya tidak bisa menyusui. Saya juga pernah dijejali kotoran gajah hanya karena ketahuan mengambil daging empal,” ungkap Butet sambil menahan tangis.
Butet juga mengungkapkan, selama hidupnya ia tidak mengetahui siapa dirinya sebenarnya, termasuk nama asli, usia, maupun keluarganya.
Identitas yang hilang itu menjadi luka batin lain yang ia bawa hingga kini.
“Saya tidak tahu identitas saya, nama, keluarga, dan bahkan usia saya,” ujar dia.
Kesaksian serupa datang dari Fifi, yang mengaku telah berada di lingkungan sirkus sejak bayi.
Fifi diambil oleh salah satu bos OCI saat ia baru lahir.
Fifi merupakan anak dari Butet dan ia menyadari hal itu setelah tumbuh dewasa.
Butet mengaku menyerahkan Fifi untuk diasuh orang lain karena belum memiliki kehidupan yang layak.
“Saya sempat diseret dan dikurung di kandang macan, susah buang air besar. Saya enggak kuat, akhirnya saya kabur lewat hutan malam-malam, sampai ke Cisarua. Waktu itu sempat ditolong warga, tapi akhirnya saya ditemukan lagi,” tutur Fifi.
Namun, nasibnya malah semakin tragis setelah tertangkap kembali.
Fifi mengalami penyiksaan yang berkali-kali lipat lebih kejam dari sebelumnya.
“Saya diseret, dibawa ke rumah, terus disetrum. Kelamin saya disetrum sampai saya lemas. Rambut saya ditarik, saya ngompol di tempat, lalu saya dipasung,” kenangnya dengan suara lirih.
Wakil Menteri HAM Mugiyanto memastikan akan segera memanggil manajemen
Taman Safari Indonesia
dalam waktu dekat.
“Setelah kami mendengar laporan dari para korban, kami juga akan mengupayakan untuk mendapatkan informasi dari pihak yang dilaporkan sebagai pelaku tindak kekerasan. Kami akan lakukan secepatnya,” ujar Mugiyanto.
Ia menegaskan langkah ini harus segera diambil untuk memastikan tidak ada lagi praktik serupa yang terus berlangsung.
“Karena salah satu upayanya memang mencegah supaya praktik seperti sekarang ini tidak terjadi lagi. Dan itu harus cepat. Mudah-mudahan dalam minggu-minggu ke depan kita sudah bisa lakukan,” katanya.
Dia menyebutkan bahwa pemanggilan ini juga bertujuan untuk mengawal rekomendasi dari Komnas HAM, yang hingga kini belum ditindaklanjuti oleh pihak Taman Safari Indonesia.
“Kami berharap semua pihak
comply
, patuh terhadap aspek-aspek asasi manusia. Karena Kementerian HAM ada untuk memastikan semua pihak, baik pemerintah, swasta, hingga dunia usaha, patuh pada norma HAM,” kata Mugiyanto.
Pengacara para korban, Muhammad Soleh, mengungkapkan bahwa salah satu kliennya, Fifi, sempat melaporkan dugaan pelanggaran itu ke Mabes Polri sejak tahun 1997, dengan sangkaan pelanggaran Pasal 277 KUHP tentang penghilangan asal-usul.
Namun, kasus tersebut dihentikan dengan alasan tidak cukup bukti.
“Dulu Bu Fifi pernah melaporkan ke Mabes Polri tentang penghilangan asal-usul, tapi akhirnya SP3 dikeluarkan. Alasannya, bukti tidak ada,” kata Soleh usai melaporkan kasus ini ke Kementerian HAM, Selasa (15/4/2025).
“Kami bingung, karena dari 16 korban yang kami dampingi, hingga hari ini baru lima orang yang berhasil menemukan orang tua mereka, itu pun hasil usaha pribadi. Sementara 11 orang lainnya masih belum mengetahui siapa orang tua kandung mereka,” tambah dia.
Melihat hal itu, Mugiyanto menyadari bahwa tantangan hukum dalam kasus ini cukup berat, mengingat sebagian besar peristiwa terjadi di era 70-an hingga 80-an — sebelum adanya Undang-Undang HAM di Indonesia.
Meski demikian, ia menegaskan bahwa hukum tetap bisa menjerat pelaku jika ditemukan unsur pidana.
“Memang ini kasus lama. Pada masa itu, kita belum punya Undang-Undang HAM. Namun, bukan berarti tindak pidana yang terjadi tidak bisa dihukum. Kita sudah punya KUHP sejak Indonesia merdeka,” jelasnya.
Mugiyanto menyoroti pentingnya dunia usaha, termasuk bisnis hiburan seperti sirkus, untuk menghormati hak asasi manusia dalam setiap aktivitasnya.
Ia mengingatkan bahwa Indonesia sudah memiliki Strategi Nasional Bisnis dan HAM sejak 2022, yang menjadi panduan penting agar praktik bisnis tidak lagi melanggar hak-hak pekerja.
“Nanti dalam pertemuan dengan pihak Taman Safari, kami juga akan sampaikan tentang UN Guiding Principle on Business and Human Rights. Mereka harus mematuhi prinsip ini. Dunia usaha, apapun bentuknya, harus menghormati hak asasi manusia,” tegasnya.
Ia pun menegaskan bahwa negara tidak lagi boleh membiarkan praktik kekerasan seperti perbudakan yang dialami para pemain sirkus di masa lalu kembali terjadi.
“Indonesia sekarang adalah negara yang menghormati hak asasi manusia dan demokratis. Tidak boleh lagi ada peristiwa seperti itu, apalagi menimpa anak-anak dan perempuan,” pungkasnya.
Manajemen Taman Safari Indonesia mengatakan, masalah tersebut melibatkan individu tertentu.
Dia memastikan, pihaknya tidak memiliki keterikatan hubungan bisnis dengan mantan pemain sirkus tersebut.
“Taman Safari Indonesia Group sebagai perusahaan ingin menegaskan bahwa kami tidak memiliki keterkaitan, hubungan bisnis, maupun keterlibatan hukum dengan eks pemain sirkus yang disebutkan dalam video tersebut,” kata Manajemen Taman Safari Indonesia dalam keterangan resmi.
Manajemen Taman Safari Indonesia menegaskan bahwa pihaknya merupakan badan usaha berbadan hukum yang berdiri secara independen dan tidak terafiliasi dengan pihak yang dimaksud.
“Kami menilai bahwa permasalahan tersebut bersifat pribadi dan tidak ada kaitannya dengan Taman Safari Indonesia Group secara kelembagaan,” lanjut Manajemen Taman Safari Indonesia.
Manajemen Taman Safari Indonesia menegaskan bahwa hak setiap individu untuk menyampaikan pengalaman pribadinya.
Namun, Manajemen Taman Safari Indonesia berharap agar nama dan reputasi Taman Safari Indonesia Group tidak disangkutpautkan dalam permasalahan ini.
“Kami berkomitmen untuk menjalankan kegiatan usaha dengan mengedepankan prinsip Good Corporate Governance (GCG), kepatuhan hukum, serta etika bisnis yang bertanggung jawab,” jelas Manajemen Taman Safari Indonesia.
“Kami mengajak masyarakat untuk bersikap bijak dalam menyikapi informasi yang beredar di ruang digital dan tidak mudah terpengaruh oleh konten yang tidak memiliki dasar fakta maupun keterkaitan yang jelas,” tegas Manajemen Taman Safari Indonesia.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
/data/photo/2024/06/19/6672d3e07707b.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)


/data/photo/2024/11/21/673efd0f9c693.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)