Topik: RPJMN

  • Revisi Garis Kemiskinan Punya ‘Efek Samping’, Ini Strategi Mengatasinya

    Revisi Garis Kemiskinan Punya ‘Efek Samping’, Ini Strategi Mengatasinya

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah tidak akan mempertebal atau menambah bantuan sosial alias bansos, meskipun jumlah penduduk miskin bisa bertambah akibat adanya revisi garis kemiskinan nasional.

    Deputi Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Kependudukan, dan Ketenagakerjaan, Kementerian PPN/Bappenas Maliki menjelaskan bahwa pemerintah sedang menggodok metode perhitungan garis kemiskinan nasional yang baru.

    Maliki mengakui bahwa konsekuensi perbaikan garis kemiskinan adalah peningkatan jumlah penduduk miskin. Dia menekankan bahwa perubahan jumlah penduduk miskin dan tingkat kemiskinan ini menjadi patokan kebijakan sistem penargetan program bantuan sosial (bansos) dan pemberdayaan. 

    Selama ini target perlindungan sosial tidak hanya untuk penduduk miskin, tetapi juga untuk penduduk rentan miskin. Oleh sebab itu, diyakini penduduk kategori miskin yang bertambah akan tetap terlindungi oleh berbagai program bantuan pemerintah.

    Maliki mencontohkan data BPS menunjukkan penduduk miskin mencapai 8,57% dari total populasi atau setara 24,06 juta orang, sementara penerima bantuan iuran jaminan kesehatan nasional (JKN) sekitar 40% penduduk termiskin. 

    Selain itu, sambungnya, program keluarga harapan (PKH) diterima oleh 10 juta keluarga miskin. Jika satu keluarga miskin rata-rata memiliki 5 anggota maka PKH mencakup 50 juta penduduk.

    Dia menekankan ke depan yang menjadi perhatian adalah akurasi penyaluran program tersebut. Menurutnya, hal itu sudah menjadi fokus utama pemerintah melalui penyusunan DTSEN atau Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional.

    “Program bantuan pemerintah tetap, meskipun ada wacana penebalan, tetapi yang harus kita fokuskan nanti adalah konsolidasi supaya program-program tersebut betul-betul bisa menyasar orang-orang yang tepat dengan manfaat yang lebih optimal,” jelas Maliki kepada Bisnis, dikutip pada Sabtu (14/6/2025).

    Dia menggarisbawahi yang harus menjadi fokus ke depan adalah, apakah berbagai program bansos itu berhasil menekan angka kemiskinan yang dihitung dengan metode terbaru.

    Artinya jika metode perhitungan garis kemiskinan yang baru mulai berlaku pada tahun ini harus mampu konsisten dengan upaya penanggulangan kemiskinan, baik itu melalui bantuan sosial maupun pemberdayaan lainnya. Dengan perubahan metodologi yang tepat, pengukuran kemiskinan tahun depan harus dapat menggambarkan perubahan yang objektif.

    “Jadi sebenarnya masalahnya adalah seberapa efektif sih program yang kita kucurkan, karena uangnya udah cukup besar menurut saya. Jadi itu yang harus menjadi concern [perhatian] kita ke depan,” ungkapnya.

    Senada, Koordinator Bidang Kajian Pengentasan Kemiskinan dan Ketimpangan FEB UGM Wisnu Setiadi Nugroho mengungkapkan bahwa program-program jaminan sosial sudah siap menangkap peningkatan jumlah penduduk kategori miskin apabila metode perhitungan garis kemiskinan diperbaharui.

    Dia pun mengutip pernyataan anggota Dewan Ekonomi Nasional Arief Anshory Yusuf yang mengusulkan Indonesia mengikuti standar garis kemiskinan negara berpendapatan menengah-bawah versi Bank Dunia sebesar US$4,2 PPP per orang per bulan atau sekitar Rp765.000 per orang per bulan. Dengan standar itu, maka penduduk miskin akan naik dari 8,57% enjadi 20% dari total populasi pada 2024.

    Sementara itu, jaminan sosial sudah mencakup hingga 40% rumah tangga termiskin dengan variasi program dan anggaran. Oleh sebab itu, kenaikan jumlah penduduk kategori miskin tidak akan terlalu berdampak ke bansos.

    “Mungkin yang perlu dicermati untuk memastikan bahwa data yang ada ter-update [diperbaharui] dengan baik sehingga sasaran program lebih akurat dan lebih baik,” ujar Wisnu kepada Bisnis.

    Selain itu, dia mendorong dipikirkan alternatif selain bansos untuk mengurangi angka kemiskinan. Wisnu mengingatkan bahwa bansos hanya sekadar jaringan pengaman yang sifatnya sementara.

    “Sudah mulai harus dipikirkan, [bagaimana] mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan merata sehingga menarik RTSM [rumah tangga sangat miskin] dari garis kemiskinan absolut yang baru,” tutupnya.

    Urgensi Revisi Garis Kemiskinan

    Sementara itu, Maliki mengungkapkan metode perhitungan garis kemiskinan nasional belum pernah diperbaharui sejak 1997. Padahal, sambungnya, selama itu kondisi sosial ekonomi masyarakat sudah banyak berubah.

    Dia mencontohkan pola konsumsi masyarakat sudah sangat berbeda dari dua dekade lalu, misalnya kini orang-orang banyak yang memesan makanan jadi daripada memasak sendiri. Selain itu kondisi kesejahteraan masyarakat juga relatif lebih baik, tercerminkan dari status Indonesia yang saat ini sudah menjadi negara kelas menengah-atas.

    Oleh sebab itu, Bappenas bersama Badan Pusat Statistik (BPS) dan para ahli sepakat merancang metode perhitungan garis kemiskinan yang lebih pas memotret kondisi masyarakat.

    “Amanat untuk perubahan pengukuran [garis kemiskinan nasional] ini sudah ada di dalam RPJMN 2025—2029 dan persiapannya sudah 5 tahun ke belakang,” ujar Maliki.

    Apalagi, sambungnya, banyak negara lain yang sudah merevisi garis kemiskinannya. Hal itu tercermin dari publikasi Bank Dunia yang mengadopsi basis perhitungan paritas daya beli atau purchasing power parity (PPP) 2021, tak lagi PPP 2017.

    Akibatnya, kini garis kemiskinan negara berpenghasilan rendah naik dari US$2,15 menjadi US$3 per orang per hari, garis kemiskinan negara berpenghasilan menengah-bawah naik dari US$3,65 menjadi US$4,2 per orang per hari, dan garis kemiskinan negara berpenghasilan menengah-atas naik dari US$6,85 menjadi US$8,3 per orang per hari.

    Maliki menerangkan bahwa standar garis kemiskinan Bank Dunia itu ditentukan berdasarkan median atau nilai tengah dari garis kemiskinan negara berpenghasilan rendah, negara berpenghasilan menengah-bawah, dan negara berpenghasilan menengah-atas.

    Artinya, jika terjadi kenaikan garis kemiskinan internasional versi Bank Dunia maka banyak negara yang sudah terlebih dahulu merevisi ke atas garis kemiskinan nasionalnya.

    “Banyak sekali negara-negara itu sudah meng-update [membarui] garis kemiskinan mereka. Jadi hampir kalau tidak salah sekitar 60% negara-negara itu sudah meng-update. Jadi ini sekarang kita harus meng-update, betul-betul harus meng-update,” ujarnya.

  • Kementan Revisi Target Impor Sapi Perah dari 250.000 jadi 150.000 Ekor pada 2025

    Kementan Revisi Target Impor Sapi Perah dari 250.000 jadi 150.000 Ekor pada 2025

    Bisnis.com, JAKARTA  — Wakil Menteri Pertanian (Wamentan) Sudaryono menargetkan Indonesia dapat mendatangkan 150.000 ekor sapi perah pada 2025. Jumlah ini berbeda dari target awal yang sebesar 250.000 ekor.

    Ini merupakan bagian dari target pemerintah untuk mendatangkan 1 juta ekor sapi hingga 2029.

    Sudaryono mengatakan, pemerintah melibatkan sektor swasta untuk mendatangkan 1 juta ekor sapi secara bertahap dalam kurun waktu lima tahun ke depan. 

    “Kalau nggak salah dari 250.000 yang kita harapkan tahun ini, ya minimal kita bisa datangkan 150.000 lah,” kata Sudaryono saat ditemui di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Pangan, Jakarta Pusat, Jumat (13/6/2025).

    Sudaryono mengakui, tidak mudah untuk bisa merealisasikan target tersebut. Dia mengatakan, perlu adanya kesiapan dalam hal ini dari sisi lahan yang akan dimanfaatkan sebagai peternakan sapi hingga kesiapan dari petani mitra.

    Adapun, kata dia, pemerintah tengah mempersiapkan lahan yang akan digunakan untuk mengembangkan peternakan sapi perah di Indonesia.

    “Saya harus akui bahwa kita memang mesti push lebih keras lagi untuk bisa mencapai realisasi,” ujarnya.

    Kementerian Pertanian (Kementan) melaporkan, hingga akhir Mei 2025 sebanyak 196 pelaku usaha telah menyatakan komitmennya untuk mendatangkan 1 juta ekor sapi perah dalam lima tahun ke depan. Ini dilakukan untuk mendukung program percepatan susu dan daging nasional.

    Hal tersebut diungkapkan oleh Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan Agung Suganda dalam keterangannya beberapa waktu lalu.

    “Hingga akhir Mei 2025, sebanyak 196 pelaku usaha menyatakan komitmen mendatangkan hampir satu juta ekor sapi perah dalam kurun lima tahun ke depan,” kata Agung dalam keterangan tertulisnya, dikutip Senin (2/6/2025).

    Saat ini, kata Agung, sebanyak 9.736 ekor sapi impor asal Australia sudah masuk ke Indonesia secara bertahap, baik melalui jalur laut dan udara. 

    Untuk mendukung pengembangan peternakan sapi perah skala besar, dibutuhkan lahan seluas 1,45 juta hektare. Pemerintah juga mendorong model kemitraan antara investor dan peternak rakyat agar distribusi manfaat ekonomi lebih merata. 

    Agung menuturkan, langkah strategis ini diperkuat dengan masuknya program percepatan produksi susu dan daging sebagai salah satu dari 77 proyek strategis nasional atau PSN dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029. Proyek ini akan dilaksanakan di 29 lokasi di berbagai provinsi.

    Selain itu, pemerintah telah menyiapkan regulasi tambahan guna mendukung keberlanjutan sektor persusuan. 

    Regulasi itu diantaranya mewajibkan industri pengolahan susu menyerap susu segar dalam negeri, merevisi regulasi terkait lokasi sentra sapi perah, dan membentuk rumah susu sebagai pusat hilirisasi yang mampu menyuplai susu pasteurisasi untuk kebutuhan program gizi.

  • Bappenas Pastikan Perhitungan Garis Kemiskinan Sedang Direvisi

    Bappenas Pastikan Perhitungan Garis Kemiskinan Sedang Direvisi

    Bisnis.com, JAKARTA — Badan Perencanaan Pembangunan Nasional alias Bappenas atau Kementerian PPN memastikan terdapat revisi atau pembaruan metode perhitungan garis kemiskinan nasional.

    Deputi Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Kependudukan, dan Ketenagakerjaan, Kementerian PPN/Bappenas Maliki mengungkapkan metode perhitungan garis kemiskinan belum pernah diperbaharui sejak 1997. Padahal, sambungnya, selama itu kondisi sosial ekonomi masyarakat sudah banyak berubah.

    Dia mencontohkan pola konsumsi masyarakat sudah sangat berbeda dari dua dekade lalu, misalnya kini orang-orang banyak yang memesan makanan jadi daripada memasak sendiri. Selain itu kondisi kesejahteraan masyarakat juga relatif lebih baik, tercermin dari status Indonesia yang saat ini sudah menjadi negara kelas menengah-atas. 

    Oleh sebab itu, Bappenas bersama Badan Pusat Statistik (BPS) dan para ahli sepakat merancang metode perhitungan garis kemiskinan yang lebih pas memotret kondisi masyarakat.

    “Amanat untuk perubahan pengukuran [garis kemiskinan nasional] ini sudah ada di dalam RPJMN 2025—2029 dan persiapannya sudah 5 tahun ke belakang,” ujar Maliki kepada Bisnis, Kamis (12/6/2025).

    Apalagi, sambungnya, banyak negara lain yang sudah merevisi garis kemiskinannya. Hal itu tampak dari publikasi Bank Dunia yang mengadopsi basis perhitungan paritas daya beli atau purchasing power parity (PPP) 2021, tak lagi PPP 2017.

    Akibatnya, kini garis kemiskinan negara berpenghasilan rendah naik dari US$2,15 menjadi US$3 per orang per hari, garis kemiskinan negara berpenghasilan menengah-bawah naik dari US$3,65 menjadi US$4,2 per orang per hari, dan garis kemiskinan negara berpenghasilan menengah-atas naik dari US$6,85 menjadi US$8,3 per orang per hari.

    Maliki menerangkan bahwa standar garis kemiskinan Bank Dunia itu ditentukan berdasarkan median atau nilai tengah dari garis kemiskinan negara berpenghasilan rendah, negara berpenghasilan menengah-bawah, dan negara berpenghasilan menengah-atas.

    Artinya, jika terjadi kenaikan garis kemiskinan internasional versi Bank Dunia maka banyak negara yang sudah terlebih dahulu merevisi ke atas garis kemiskinan nasionalnya.

    “Banyak sekali negara-negara itu sudah mengupdate garis kemiskinan mereka. Jadi hampir kalau tidak salah sekitar 60% negara-negara itu sudah meng-update [pembaharui]. Jadi ini sekarang kita harus meng-update, betul-betul harus meng-update,” ujarnya.

    Bansos Harus Lebih Efektif

    Maliki mengakui bahwa konsekuensi perbaikan garis kemiskinan adalah peningkatan jumlah penduduk miskin. Dia menekankan bahwa perubahan jumlah penduduk miskin dan tingkat kemiskinan ini menjadi patokan kebijakan sistem penargetan program bantuan sosial (bansos) dan pemberdayaan. 

    Selama ini target perlindungan sosial tidak hanya untuk penduduk miskin, tetapi juga untuk penduduk rentan miskin. Oleh sebab itu, diyakini penduduk kategori miskin yang bertambah akan tetap terlindungi oleh berbagai program bantuan pemerintah.

    Maliki mencontohkan data BPS menunjukkan penduduk miskin mencapai 8,57% dari total populasi atau setara 24,06 juta orang, sementara penerima bantuan iuran jaminan kesehatan nasional (JKN) sekitar 40% penduduk termiskin. 

    Selain itu, sambungnya, program keluarga harapan (PKH) diterima oleh 10 juta keluarga miskin. Jika satu keluarga miskin rata-rata memiliki 5 anggota maka PKH mencakup 50 juta penduduk.

    Dia menekankan ke depan yang menjadi perhatian adalah akurasi penyaluran program tersebut. Menurutnya, hal itu sudah menjadi fokus utama pemerintah melalui penyusunan DTSEN atau Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional.

    “Program bantuan pemerintah tetap, meskipun ada wacana penebalan, tetapi yang harus kita fokuskan nanti adalah konsolidasi supaya program-program tersebut betul-betul bisa menyasar orang-orang yang tepat dengan manfaat yang lebih optimal,” jelas Maliki.

    Dia menggarisbawahi yang harus menjadi fokus ke depan adalah, apakah berbagai program bansos itu berhasil menekan angka kemiskinan yang dihitung dengan metode terbaru.

    Artinya jika metode perhitungan garis kemiskinan yang baru mulai berlaku pada tahun ini harus mampu konsisten dengan upaya penanggulangan kemiskinan, baik itu melalui bantuan sosial maupun pemberdayaan lainnya. Dengan perubahan metodologi yang tepat, pengukuran kemiskinan tahun depan harus dapat menggambarkan perubahan yang objektif. 

    “Jadi sebenarnya masalahnya adalah seberapa efektif sih program yang kita kucurkan, karena uangnya udah cukup besar menurut saya. Jadi itu yang harus menjadi concern [perhatian] kita ke depan,” ungkapnya.

  • Pemkot Tangsel Bersiap Sambut MRT, Kajian Trase Dimatangkan Tahun Ini
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        12 Juni 2025

    Pemkot Tangsel Bersiap Sambut MRT, Kajian Trase Dimatangkan Tahun Ini Megapolitan 12 Juni 2025

    Pemkot Tangsel Bersiap Sambut MRT, Kajian Trase Dimatangkan Tahun Ini
    Penulis
    TANGERANG SELATAN, KOMPAS.com
    – Pemerintah Kota Tangerang Selatan memastikan proyek perluasan
    Moda Raya Terpadu
    (MRT) Jakarta ke wilayahnya terus bergerak.
    Wakil Wali Kota Tangsel,
    Pilar Saga Ichsan
    , menyebut kajian ulang terhadap rencana trase MRT tengah dikebut untuk memastikan rute terbaik.
    “Ya, MRT saat ini sedang kita kaji ulang bersama Pemprov Jakarta karena kajian lama sudah tidak sesuai kondisi sekarang. Tahun ini dilakukan
    feasibility study
    (FS) baru,” ujar Pilar saat dikonfirmasi
    Kompas.com
    , Kamis (12/6/2025).
    Menurut Pilar, kajian ini penting untuk menentukan dua pilihan jalur potensial, yaitu jalur selatan melalui Pondok Cabe, atau jalur utara melalui Pondok Aren atau Bintaro.
    Kedua opsi dinilai punya nilai strategis dan potensi penumpang harian yang tinggi karena menghubungkan pusat hunian, aktivitas ekonomi, hingga kawasan pendidikan di Tangsel.
    “FS ini akan menentukan trase mana yang paling layak dibangun. Karena skema bisnis dan investasi harus benar-benar tepat. Pemerintah pusat, Pemprov DKI, dan Banten sudah satu suara untuk mempercepat proyek ini,” kata Pilar.
    Pilar juga menegaskan, proyek MRT ini menjadi bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan telah masuk dalam agenda prioritas nasional.
    Sementara itu, Gubernur Jakarta
    Pramono Anung
    sebelumnya menegaskan. wilayah Tangerang Selatan akan menjadi prioritas utama dalam ekspansi
    MRT Jakarta
    .
    Hal ini disampaikan sebagai tanggapan atas aspirasi Pemkot Depok yang juga berharap wilayahnya segera dijangkau MRT.
    “MRT, untuk sementara kami akan lebih dulu ke Tangerang Selatan,” ujar Pramono saat ditemui di Balai Kota Jakarta, Rabu (4/6/2025).
    Pemprov Jakarta siap menanggung biaya awal pembangunan MRT ke Tangsel, selama skema bisnis yang ditawarkan menguntungkan bagi kedua belah pihak.
    “Kalau perlu modal dasarnya dari Pemerintah Provinsi DKI, ya kami siap. Tapi tentu tergantung hitungan bisnis ke bisnisnya,” kata Pramono.
    Proyek MRT ke Tangsel kini telah memasuki tahap uji kelayakan dan diskusi kelompok terarah (FGD) dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk Bappenas, Kementerian Perhubungan, serta Pemprov Banten dan Jakarta.
    Dua rute utama yang sedang dipertimbangkan adalah:
    Keduanya dinilai strategis karena akan terkoneksi langsung ke Stasiun MRT Lebak Bulus dan memperkuat akses warga Tangsel menuju pusat Jakarta.
    Dengan dukungan penuh dari pemerintah daerah dan pusat, proyek MRT ke Tangsel diharapkan segera masuk tahap konstruksi dan menjadi solusi nyata atas kemacetan yang selama ini membelit jalur perbatasan selatan Jakarta.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Wawali Semarang: Retret Pemprov Jateng perkuat kolaborasi

    Wawali Semarang: Retret Pemprov Jateng perkuat kolaborasi

    Retret ini menjadi ruang untuk memastikan bahwa arah pembangunan dari pusat hingga daerah selaras dalam satu garis lurus.

    Semarang (ANTARA) – Wakil Wali Kota Semarang Iswar Aminuddin menilai kegiatan Manunggal Leadership Retreat: Ngopeni Nglakoni Jawa Tengah yang digelar Pemerintah Provinsi Jateng sebagai upaya memperkuat kolaborasi antarelemen.

    “Dahulu, sebelum pemilu serentak, visi dan misi serta RPJMD pusat, provinsi, dan daerah bisa berjalan sendiri-sendiri. Retret ini menjadi ruang untuk memastikan bahwa arah pembangunan dari pusat hingga daerah selaras dalam satu garis lurus,” kata Iswar Aminuddin di Semarang, Rabu.

    Iswar merupakan salah satu peserta kegiatan retret yang berlangsung di Kantor Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Daerah (BPSDMD) Jateng.

    Kegiatan retret berlangsung selama sepekan ini diikuti oleh 438 peserta dari berbagai unsur kepemimpinan daerah seperti pimpinan organisasi perangkat daerah (OPD), termasuk 35 wakil bupati/wakil wali kota se-Jateng.

    Wawali Semarang ini menekankan pentingnya retret ini sebagai upaya menyatukan langkah antarjenjang pemerintahan, khususnya dalam menyelaraskan rencana pembangunan jangka menengah (RPJMN, RPJMD provinsi, dan RPJMD kabupaten/kota).

    Menurut dia, sinergi bukan sekadar program, melainkan juga soal naluri kebersamaan yang harus tumbuh kuat dalam komunikasi antarjenjang pemerintahan.

    Ia mencontohkan di Kota Semarang terkait dengan semangat kolaborasi sudah digaungkan oleh Wali Kota Agustina dalam berbagai kesempatan, dan menjadi dasar dalam menggerakkan partisipasi semua elemen.

    Iswar juga menyinggung isu penanganan banjir sebagai contoh nyata pentingnya kolaborasi antarwilayah, mengingat Kota Semarang yang berbatasan langsung dengan kabupaten lain sehingga tak bisa bekerja sendiri.

    “Perlu kerja sama lintas daerah agar solusi yang dibangun bersifat menyeluruh dan saling memahami kekuatan serta tantangan masing-masing wilayah,” katanya.

    Sebelumnya, retret kepemimpinan tersebut dibuka oleh Gubernur Jateng Ahmad Luthfi, Selasa (10/6), dengan peserta dari unsur wakil kepala daerah, kepala OPD, direktur BUMD, pejabat administrator, hingga analis kebijakan.

    Mereka akan mendapatkan pembekalan intensif dari lembaga nasional seperti Bappenas, KemenPAN-RB, Kemendagri, KPK, hingga tokoh agama dan widyaiswara.

    Materi utama yang disampaikan, antara lain, geopolitik dan wawasan kebangsaan dengan tujuan membentuk karakter negarawan pada setiap birokrat.

    Selain itu, peserta juga akan mendalami Astacita sebagai arah pembangunan nasional yang perlu diinternalisasi hingga ke level pelaksana daerah.

    Retret kepemimpinan tersebut dirancang bersama Lembaga Ketahanan Nasional RI dan menjadi bagian dari upaya memperkuat harmoni kepemimpinan di Jateng.

    Pewarta: Zuhdiar Laeis
    Editor: D.Dj. Kliwantoro
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • RI Butuh Rp 1.905 Triliun untuk Bangun Infrastruktur Hingga 2029 – Page 3

    RI Butuh Rp 1.905 Triliun untuk Bangun Infrastruktur Hingga 2029 – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta Menteri Pekerjaan Umum (PU) Dody Hanggodo mengungkapkan bahwa Indonesia membutuhkan anggaran sebesar Rp 1.905 triliun untuk mendukung pembangunan infrastruktur sampai 2029.

    Kebutuhan anggaran tersebut tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) periode 2025-2029.

    Tetapi Dody mencatat, masih ada kerterbatasan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk memenuhi pendanaan tersebut.

    “Untuk memenuhi target (pembangunan infrastruktur) 2025-2029, kami perlu sekitar Rp 1.900 triliun dalam pendanaan,” kata Dody dalam kegiatan International Conference on Infrastructure (ICI) 2025 di JICC Senayan, Jakarta, Rabu (11/6/2025).

    “Namun dengan keterbatasan fiskal pemerintah yang hanya sekitar 60%, berarti sisanya harus berasal dari pembiayaan yang cerdas dan kolaboratif,” ungkapnya.

    Dari kebutuhan anggaran Rp 1.905 triliun, Dody merinci, 60,47% di antaranya akan dipenuhi melalui APBN sebesar Rp 678,91 triliun dan Rp473,28 triliun dari APBD.

    Dengan demikian, masih ada kekurangan pendanaan hingga 39,53% atau Rp753,11 triliun.

    Dody menargetkan kekurangan pendanaan Rp651,46 triliun bisa ditutupi dari skema KPBU dengan jumlah proyek sebanyak 55.

    “Kami siap menawarkan sekitar 55 proyek KPBU,” bebernya.

    55 proyek yang ditawarkan tersebut terdiri dari 24 proyek sumber daya air (SDA), 19 proyek di sektor jalan, dan 12 proyek di sektor permukiman.

    “Mari kita bergandengan tangan dan membangun infrastruktur yang benar-benar penting, terutama untuk Indonesia,” ucap Dody.

     

  • Danantara Siap Kawal Instruksi Prabowo Akselerasi Proyek Waste to Energy

    Danantara Siap Kawal Instruksi Prabowo Akselerasi Proyek Waste to Energy

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah menegaskan komitmennya untuk menuntaskan persoalan sampah nasional sebelum tahun 2029, sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029. 

    Target tersebut ditegaskan dalam rapat terbatas yang dipimpin langsung oleh Presiden Prabowo Subianto bersama sejumlah menteri di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (10/6/2025).

    Peran strategis Danantara juga ditegaskan oleh Menteri Investasi sekaligus Kepala BPI Danantara, Rosan Roeslani. Dia menyampaikan bahwa Danantara siap berinvestasi dalam proyek-proyek WTE di berbagai daerah, sambil memastikan semua aspek kelayakan terpenuhi.

    “Kami juga akan mengajak dunia swasta untuk berinvestasi bersama dengan Danantara di Waste to Energy ini,” kata Rosan.

    Menteri Lingkungan Hidup dan Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq menyatakan bahwa Presiden memberikan instruksi untuk mempercepat penyelesaian masalah sampah, dengan keterlibatan aktif dari pemerintah daerah.

    “Bapak sudah menargetkan di dalam RPJMN-nya beliau, 2029 mestinya sampah selesai, sehingga segala strategi telah kita susun bersama melalui beberapa pendekatan,” ujar Hanif kepada media usai rapat.

    Pendekatan tersebut mencakup pengelolaan di hulu, seperti pengembangan Tempat Pengolahan Sampah Reduce, Reuse, Recycle (TPS-3R) dan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST), hingga pengelolaan hilir, termasuk teknologi Waste to Energy (WTE) dan Refuse-derived Fuel (RDF).

    Presiden juga meminta agar koordinasi dengan pemerintah daerah diperkuat, sesuai mandat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.

    “Sehingga nanti kami dengan Pak Mendagri akan bersama-sama, sesuai arahan Pak Presiden, untuk kemudian diskusi langkah-langkah penyelesaian lebih lanjut,” lanjut Hanif.

    Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyebut bahwa Presiden sangat memberi perhatian terhadap isu lingkungan, termasuk persoalan sampah yang menumpuk di banyak daerah. Pemerintah telah memetakan 33 lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang akan dikonversi menjadi fasilitas pengelolaan sampah berbasis energi.

    “Itulah yang akan digunakan mekanisme namanya Waste to Energy, mengubah sampah menjadi energi. Nanti Danantara berperan di sana,” ujar Tito.

  • Bapemperda DPRD DKI sesuaikan RPJMD dengan RPJMN agar selaras

    Bapemperda DPRD DKI sesuaikan RPJMD dengan RPJMN agar selaras

    Jakarta (ANTARA) – Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD DKI Jakarta akan menyesuaikan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) agar selaras dan tidak saling bertentangan.

    “Pemerintah DKI adalah bagian dari Pemerintah Pusat, sehingga RPJMN ini harus menjadi acuan,” kata Ketua Bapemperda DPRD DKI Jakarta Abdul Aziz di Jakarta, Selasa.

    Menurut dia, dalam pembahasan pasal-pasal Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang RPJMD 2025-2029, anggota dewan menyoroti belum masuknya RPJMN sebagai acuan.

    Oleh karena itu, kata Azis, Bapemperda memasukkan RPJMN menjadi acuan dalam menyusun RPJMD DKI Jakarta untuk memastikan semua pembangunan daerah mengacu pada pemerintah pusat.

    Dia mengatakan, dengan dijadikannya RPJMN sebagai acuan, maka nantinya Pemprov DKI dalam mengambil keputusan tidak bertentangan dengan pusat.

    “Jangan sampai ada salah persepsi atau merasa bahwa pemerintah pusat begini, DKI harus begini. Kami tidak setuju, ini yang diantisipasi,” ujarnya.

    Azis menilai RPJMN sangat penting karena memuat evaluasi, tantangan pembangunan, kebijakan pembangunan, dan prioritas nasional.

    Begitu pula terkait arah pembangunan wilayah, pendanaan pembangunan, pengendalian, evaluasi, dan tata kelola data pembangunan.

    RPJMD, harap Aziz, bisa menjadi landasan pembangunan Kota Jakarta pada lima tahun ke depan. Bahkan, bisa sejalan mendukung Program Strategis Nasional (PSN).

    “Kita berharap, dokumen yang terkait Perda ini sifatnya berkelanjutan. Jadi dari tingkat pusat arahannya, dan DKI yang mengeksekusi. Sehingga pembangunan berjalan lancar,” katanya.

    RPJMN dimasukkan dalam Pasal 3 Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Tahun 2025-2029.

    Pewarta: Khaerul Izan
    Editor: Syaiful Hakim
    Copyright © ANTARA 2025

  • UMKM Naik Kelas, Bukan Sekadar Banyak

    UMKM Naik Kelas, Bukan Sekadar Banyak

    Bisnis.com, JAKARTA – Laporan terbaru Bank Dunia bertajuk “Accelerating Growth through Entrepreneurship, Technology Adoption, and Innovation” memberikan pesan tegas bahwa pertumbuhan ekonomi yang tangguh dan berkelanjutan tak cukup ditopang oleh konsumsi semata, tetapi harus digerakkan oleh inovasi, transformasi produktivitas, dan dinamika kewirausahaan.

    Kawasan Eropa dan Asia Tengah (ECA), yang menjadi fokus utama laporan ini, menghadapi tantangan besar: banyak perusahaan kecil tak tumbuh, dominasi BUMN menutup ruang inovasi, dan investasi litbang yang masih minim. Sekilas, ini terasa jauh dari konteks Indonesia. Namun justru dari situ, kita bisa menarik pelajaran penting.

    Indonesia memiliki lebih dari 66 juta UMKM pada tahun 2023 berdasarkan data pada kadin.id, yang menyumbang 61% dari Produk Domestik Bruto (PDB) nasional atau sekitar Rp9.580 triliun, serta menyerap sekitar 117 juta tenaga kerja atau 97% dari total angkatan kerja. Namun, hanya sebagian kecil dari UMKM tersebut yang tumbuh signifikan.

    Terlalu banyak yang terjebak pada skala mikro subsisten berjalan di tempat tanpa peluang naik kelas. Kita terancam mengalami apa yang disebut Bank Dunia sebagai “missing middle”: terlalu banyak usaha kecil, terlalu sedikit usaha menengah dan besar yang mampu bersaing di pasar regional maupun global.

    Pertumbuhan Bukan Hanya Jumlah

    Selama ini, kebijakan publik kita terlalu fokus pada start-up, yaitu bagaimana membantu orang memulai usaha. Ini tentu penting. Namun, jika tidak diikuti dengan strategi scale-up yang sistematis, maka kita hanya akan memperbanyak pelaku usaha yang tidak tumbuh. Seharusnya, yang perlu diperbanyak adalah perusahaan yang naik kelas, bukan sekadar yang memulai usaha.

    Inilah titik baliknya. Pemerintah perlu mulai mengklasifikasikan UMKM berdasarkan potensi pertumbuhan, bukan hanya sektor atau lokasi. Pendekatan klasterisasi berbasis produktivitas, digitalisasi, dan jejaring rantai pasok jauh lebih relevan. Kita harus membantu pelaku usaha untuk masuk ke dalam ekosistem industri—bukan sekadar membuka lapak sendiri.

    R&D Tulang Punggung Inovasi

    Temuan penting lainnya dalam laporan tersebut menyangkut peran strategis R&D publik. Di kawasan ECA, investasi litbang publik terbukti berkorelasi erat dengan jumlah paten dan PDB per kapita. Negara-negara yang menempatkan riset sebagai fondasi kebijakan ekonomi berhasil menjaga produktivitas jangka panjang, mendorong adopsi teknologi, serta memfasilitasi kolaborasi riset-industri. Sayangnya, banyak negara dalam studi tersebut terlambat menyadari pentingnya investasi jangka panjang ini.

    Pelajarannya jelas, tanpa R&D yang kuat, mustahil membangun inovasi yang berkelanjutan. Di Indonesia, peran BRIN dan universitas riset harus diperkuat, bukan hanya sebagai produsen publikasi ilmiah, tetapi sebagai lokomotif teknologi nasional. Kolaborasi antara lembaga riset dan dunia usaha harus difasilitasi dengan insentif fiskal dan skema pendanaan yang adaptif—mulai dari matching fund hingga pemanfaatan hasil riset dalam sektor industri dan UMKM naik kelas.

    Laporan Bank Dunia juga menyoroti peran negara yang terlalu protektif terhadap BUMN. Akibatnya, perusahaan swasta kesulitan menembus pasar karena sudah didominasi oleh raksasa yang tidak efisien. Di Indonesia, reformasi BUMN tidak boleh berhenti pada efisiensi anggaran. Lebih dari itu, BUMN perlu direposisi: bukan sebagai pemain tunggal di sektor strategis, tapi sebagai enabler yang membuka jalan bagi mitra swasta yang inovatif.

    Terakhir, World Bank mengingatkan bahwa krisis adalah peluang reformasi. Pandemi, perubahan iklim, dan disrupsi teknologi seharusnya menjadi pemantik transformasi. Saat ini, kita telah menuntaskan RPJPN 2025–2045 dan RPJMN 2025-2029. Inilah momentum melanjutkan menyusun fondasi ekonomi Indonesia dalam rencana aksi nyata, dari ekonomi konsumsi menjadi ekonomi berbasis inovasi dan produktivitas.

    Mendorong lebih banyak “middle-size champions” bukan sekadar jargon. Ini soal keberanian untuk mengubah arah, dari subsidi merata ke insentif berbasis kinerja, dari UMKM massal ke perusahaan naik kelas, dari proteksi ke kompetisi sehat. Dari sekadar bertahan menjadi mampu bersaing.

    Karena ujung dari semua ini bukan hanya angka pertumbuhan. Tapi kualitas pertumbuhan itu sendiri, yaitu yang menciptakan pekerjaan, mengangkat produktivitas, dan membuat Indonesia naik kelas—bukan hanya rakyatnya yang disuruh membuka usaha, tapi negara yang serius membantu mereka menjadi besar.

  • Bos Ciputra Buka Suara Soal Batas Minimal Luas Rumah Subsidi

    Bos Ciputra Buka Suara Soal Batas Minimal Luas Rumah Subsidi

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah berencana mengubah luas tanah rumah subsidi dari minimal 60 meter persegi menjadi 25 meter persegi dan luas bangunan minimal dari 21 meter persegi berkurang menjadi 18 meter persegi.

    Di sisi lain, besaran maksimal luas rumah subsidi tidak berubah dimana luas tanah maksimum tetap 200 meter persegi dan luas lantai paling besar 36 meter persegi.

    Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman tengah menggodok regulasi untuk mengubah luas tanah dan luas lantai rumah subsidi. Hal itu tertulis dalam draf Keputusan Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Nomor/KPTS/M/2025 tentang Batasan Luas Tanah, Luas Lantai, dan Batasan Harga Jual Rumah dalam Pelaksanaan Kredit/Pembiayaan Perumahan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan, serta Subsidi Bantuan Uang Muka Perumahan. Draf ini nantinya akan mengubah standar sebelumnya yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Nomor 689/KPTS/M/2023.

    Managing Director PT Ciputra Development Tbk (CTRA) Budiarsa Sastrawinata mengatakan draft Keputusan Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman terkait batasan luas lahan dan luas lantai rumah MBR ini memperluas dan memberikan pilihan bagi pengembang untuk membangun rumah subsidi di tengah lahan yang semakin terbatas dan harga yang tinggi di perkotaan. 

    “Ini menjadi pilihan bagi pengembang untuk membangun rumah subsidi di kota yang lahannya sudah mahal dan juga pilihan bagi konsumen masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang ingin tinggal di kota,” ujarnya saat menghubungi Bisnis, Kamis (5/6/2025). 

    Pihaknya tak menampik saat ini lokasi rumah subsidi berada di pinggiran kota dan tak jarang jauh dari transportasi umum. Hal ini karena lahan di perkotaan yang sudah tinggi sehingga tak bisa dibangun rumah subsidi. Lokasi yang berada di pinggiran kota dan bahkan pelosok membat MBR enggan membeli dan tinggal di rumah subsidi. 

    Menurut Budiarsa, dengan adanya perluasan minimal luas tanah dan bangunan rumah subsidi akan menjadi pilihan bagi MBR agar bisa memiliki rumah pertama. Draft beleid batasan minimal rumah subsidi tersebut bukan menjadi kewajiban yang harus diikuti. Pengembang masih bisa membangun rumah dengan ukuran luas bangunan maksimal 36 meter persegi. 

    Terkait kelayakan huni, rumah dengan ukuran 18 meter persegi ini juga dinilai layak menjadi tempat tinggal bagi MBR yang yang baru mulai bekerja. Dia meyakini seiring dengan kenaikan pendapatan, MBR pasti akan berpindah rumah dengan ukuran lebih besar. 

    “Ini kan pilihan tempat tinggal pertama, kalau dia sudah naik pendapatannya, maka akan mencari dan berpindah hunian yang ukurannya lebih besar,” katanya. 

    Dia berharap pemerintah juga menyesuaikan harga rumah susbidi untuk ukuran luas bangunan 18 meter persegi.

    Untuk diketahui, harga rumah subsidi tahun 2025 masih sesuai dengan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Nomor 689/KPTS/M/2023 tentang Batasan Luas Tanah, Luas Lantai, dan Batasan Harga Jual Rumah Umum Tapak Dalam Pelaksanaan Kredit/Pembiayaan Perumahan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan, serta Besaran Subsidi Bantuan Uang Muka Perumahan. Dalam beleid tersebut, harga rumah subsidi untuk luas bangunan berukuran 21 meter persegi hingga 36 meter persegi mulai dari Rp166 juta hingga Rp240 juta. 

    “Jadi misalnya di kota harga rumah subsidi bisa Rp150 juta dengan ukuran 18 meter persegi, lalu dipinggiran harga rumah subsidi berbeda dengan ukuran yang lebih besar yakni 21 meter persegi hingga 36 meter persegi. Ini kan jadi pilihan untuk MBR. Kalau dia tidak mau rumah subsidi ukuran kecil ya bisa mencari di pinggiran kota yang lebih besar,” ucap Budiarsa. 

    Pihaknya berkomitmen dalam mendukung program pemerintah dalam penyediaan hunian yang layak dan terjangkau bagi masyarakat Indonesia.

    Adapun Ciputra Group telah membangun lebih dari 2.000 unit rumah subsidi yang salah satunya berada di Citra Maja City yang berada di Kota Baru Maja, Banten. Perumahan Citra Maja City salah satu proyek bagian dari Kota Baru Maja yang dicanangkan pemerintah sebagai Kota Baru Publik dalam RPJMN 2019-2024.

    Proyek perumahan terpadu yang menawarkan hunian berkualitas dengan harga terjangkau yang dirancang dan dikembangkan Pemerintah sebagai salah satu kota baru publik berdasarkan Perpres no. 52/2023. Hingga saat ini, Citra Maja City telah membangun 20.000 baik rumah subsidi dan komersial serta ruko yang kini dihuni oleh lebih dari 12.000 jiwa. Kawasan ini menerapkan Konsep Transit Oriented Development (TOD) dengan Stasiun KA Maja sebagai simpul pergerakan.

    Sebelumnya, Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait menuturkan rencana pemangkasan batas luas rumah subsidi menjadi 25 meter persegi itu dilakukan guna memperluas penyaluran rumah bagi masyarakat. Menurutnya, prinsip dari penyusunan draft peraturan tersebut adalah untuk mendorong pembangunan rumah subsidi di kawasan perkotaan di mana lahan yang ada sangat terbatas.

    “Tapi tujuan saya [penyusunan draft peraturan] sangat baik. Kenapa? Supaya makin banyak [masyarakat] yang bisa mendapat manfaat. Dan kira-kira ada nggak ruginya buat konsumen? atau malah nggak ada. Kan dia yang pilih rumahnya. Saya optimis kok peraturan ini sangat baik,” ujarnya. 

    Dia menilai ukuran bangunan rumah yang tidak terlalu luas sangat sesuai dengan kebutuhan dan kondisi lahan yang semakin terbatas. Dia meyakini dengan desain yang baik, rumah subsidi meskipun lahannya terbatas bisa dibangun bertingkat dan sesuai kebutuhan konsumen.

    Pihaknya sangat terbuka dengan berbagai masukan terkait draft Peraturan Menteri PKP tersebut. Terlebih, dengan saran dan kritik yang ada akan membuat pembahasan peraturan tersebut menjadi lebih terbuka dan diketahui oleh banyak pihak.