Topik: PTM

  • Pemerintah didesak prioritaskan penerapan cukai MBDK 

    Pemerintah didesak prioritaskan penerapan cukai MBDK 

    Jakarta (ANTARA) – Forum Warga Kota (Fakta) Indonesia mendesak agar pemerintah memprioritaskan penerapan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) dalam rangka menekan peningkatan penyakit tidak menular (PTM) seperti obesitas, diabetes, dan gagal ginjal.

    “Anak muda dan remaja kini menjadi korban penyakit tidak menular akibat konsumsi gula berlebih, termasuk dari minuman berpemanis,” kata Ketua Fakta Indonesia, Ary Subagio Wibowo dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.

    Ary menyesalkan pernyataan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang menyampaikan bahwa pemerintah belum berencana menerapkan cukai MBDK pada tahun 2026.

    Ia menilai, pernyataan tersebut menunjukkan bahwa pemerintah lebih berpihak pada kepentingan industri dibandingkan dengan kesehatan masyarakat.

    “Pernyataan itu sangat disayangkan dan terkesan mementingkan industri serta mengabaikan hak kesehatan masyarakat,” ujarnya.

    Ary mengingatkan, berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 4 Tahun 2025 tentang Cukai Minuman Berpemanis dalam Kemasan (MBDK), kebijakan tersebut telah resmi menjadi bagian dari program penyusunan Peraturan Pemerintah (PP). Tujuannya adalah untuk mengendalikan konsumsi minuman berpemanis yang akan diberlakukan pada tahun 2026.

    Menurut dia, penundaan penerapan cukai MBDK bertentangan dengan semangat pemerintah dalam menekan peningkatan penyakit tidak menular (PTM) seperti obesitas, diabetes, dan gagal ginjal.

    “Berdasarkan data Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), kasus diabetes pada anak mencapai 1.645 jiwa per Januari 2023,” kata dia.

    Fakta Indonesia bersama Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) juga pernah melakukan penelitian yang menunjukkan bahwa sebagian besar pasien gagal ginjal yang disurvei sebanyak 117 responden terdiagnosis akibat Diabetes Melitus Tipe 2, salah satunya dipicu konsumsi tinggi gula dari minuman berpemanis dalam kemasan.

    “Selain itu, hasil Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 menunjukkan hampir separuh penduduk berusia tiga tahun ke atas mengonsumsi minuman berpemanis lebih dari satu kali sehari,” ucapnya.

    Ary mengingatkan, dalam audiensi FAKTA dan CISDI dengan Ketua Komisi XI DPR, Misbakhun, pada 2 Oktober 2025. Pada kesempatan itu, Misbakhun menyebut bahwa cukai MBDK harus sudah diterapkan tahun depan.

    “Namun, pernyataan terbaru Menkeu justru menimbulkan kesan ketidakpastian dan bertentangan dengan kesepakatan antara eksekutif dan legislatif. Padahal, dalam Program Legislasi Pemerintah (Progsun) 2025, penerapan cukai MBDK sudah ditetapkan dan bahkan tercantum dalam APBN,” katanya.

    Menurut Ary, jika pemerintah tidak menjalankan amanat Keppres tersebut pada 2026, maka hal itu menunjukkan ketidakhadiran negara dalam melindungi rakyatnya dari ancaman penyakit akibat konsumsi gula berlebih.

    “Penundaan penerapan cukai MBDK sama saja dengan menunggu bom waktu meningkatnya kasus penyakit tidak menular dan membengkaknya biaya kesehatan. Ini jelas bertentangan dengan visi SDM unggul sebagaimana Nawacita Presiden,” kata Ary.

    Pewarta: Khaerul Izan
    Editor: Syaiful Hakim
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • CISDI Ingatkan Risiko Jika Cukai Minuman Berpemanis Diundur Terus

    CISDI Ingatkan Risiko Jika Cukai Minuman Berpemanis Diundur Terus

    Jakarta

    Wacana pengenaan cukai pada minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) sebenarnya bukan hal baru. Isu ini sudah mencuat sejak 2016, tetapi lebih dari satu dekade berlalu, kebijakan tersebut belum juga terealisasi. Pemerintah kembali menunda penerapannya hingga tahun depan, 2026.

    Padahal, pada 2025 pemerintah telah menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 4 Tahun 2025 tentang rancangan peraturan pemerintah mengenai barang kena cukai berupa MBDK. Namun, keputusan itu urung dijalankan karena pertimbangan kondisi ekonomi dan daya beli masyarakat yang dinilai masih lemah.

    Menurut Nida Adzilah Auliani, Project Lead for Food Policy di Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), penundaan penerapan cukai justru bisa membawa konsekuensi serius terhadap kesehatan masyarakat.

    “Kalau molor terus, bebannya bukan hanya di ekonomi, tapi juga di kesehatan publik. Beban pembiayaan negara akibat penyakit tidak menular akan terus meningkat,” ujarnya dalam Temu Media di Kantor CISDI, Jakarta Pusat, Kamis (9/10/2025).

    Berdasarkan riset CISDI tahun 2024, penerapan cukai MBDK sebesar 20 persen dinilai ideal karena berpotensi menurunkan konsumsi minuman berpemanis hingga 18 persen, sekaligus mencegah lebih dari 455 ribu kasus diabetes melitus tipe 2 dan kematian terkait dalam kurun waktu 10 tahun ke depan.

    Nida menjelaskan, puluhan negara di dunia sudah lebih dulu menerapkan cukai MBDK, dengan besaran tarif rata-rata di kisaran 15 hingga 20 persen. Idealnya dengan skenario volumetrik, yakni tarif yang dihitung berdasarkan kadar gula dalam produk.

    “Angka 20 persen itu evidence based dan hasil pembelajaran global. Negara seperti Malaysia misalnya, menetapkan tarif yang terlalu rendah, efeknya terhadap penurunan penyakit tidak menular (PTM) tidak signifikan. Akhirnya mereka harus mengulang proses revisi yang panjang,” jelasnya.

    Ia menambahkan, penetapan tarif cukai memang harus berdasarkan bukti ilmiah agar kebijakan tersebut tidak berulang kali dikaji ulang tanpa hasil konkret.

    Salah satu alasan penundaan penerapan cukai sering dikaitkan dengan kekhawatiran penurunan pendapatan industri. Namun, menurut Nida, sejumlah kajian internasional menunjukkan bahwa kekhawatiran tersebut justru tidak benar.

    “Data menunjukkan bahwa ketika cukai diterapkan, masyarakat justru beralih ke air putih atau air mineral dalam kemasan (AMDK). Jadi konsumsi bergeser, bukan hilang. Pendapatan industri bisa tetap berjalan, hanya komposisi produknya yang berubah,” terangnya.

    Nida menyebutkan, reformulasi produk menjadi konsekuensi positif dari kebijakan ini. Produsen akan terdorong untuk mengurangi kadar gula atau berinovasi dengan produk yang lebih sehat.

    Menariknya, CISDI juga menyoroti tren produsen yang mengganti gula dengan pemanis buatan nol kalori (zero-calorie sweetened beverages) sebagai solusi menghindari cukai. Padahal, menurut rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pemanis buatan tidak direkomendasikan sebagai substitusi jangka panjang karena tetap dapat memengaruhi preferensi rasa manis seseorang.

    “Intinya bukan soal mengganti bahan, tapi soal mengurangi ketergantungan pada rasa manis itu sendiri,” tegas Nida.

    Nida menegaskan, jika cukai MBDK diterapkan, air putih akan menjadi produk substitusi alami yang lebih sehat. Masyarakat akan lebih sadar bahwa harga kesehatan jauh lebih mahal dibanding harga minuman manis.

    “Pada akhirnya, cukai bukan soal menekan konsumsi semata, tapi juga mendorong perubahan perilaku. Ini soal keberlanjutan kesehatan bangsa,” tutupnya.

    Halaman 2 dari 2

    (naf/up)

  • CISDI Ingatkan Risiko Jika Cukai Minuman Berpemanis Diundur Terus

    CISDI Ingatkan Risiko Jika Cukai Minuman Berpemanis Diundur Terus

    Jakarta

    Wacana pengenaan cukai pada minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) sebenarnya bukan hal baru. Isu ini sudah mencuat sejak 2016, tetapi lebih dari satu dekade berlalu, kebijakan tersebut belum juga terealisasi. Pemerintah kembali menunda penerapannya hingga tahun depan, 2026.

    Padahal, pada 2025 pemerintah telah menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 4 Tahun 2025 tentang rancangan peraturan pemerintah mengenai barang kena cukai berupa MBDK. Namun, keputusan itu urung dijalankan karena pertimbangan kondisi ekonomi dan daya beli masyarakat yang dinilai masih lemah.

    Menurut Nida Adzilah Auliani, Project Lead for Food Policy di Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), penundaan penerapan cukai justru bisa membawa konsekuensi serius terhadap kesehatan masyarakat.

    “Kalau molor terus, bebannya bukan hanya di ekonomi, tapi juga di kesehatan publik. Beban pembiayaan negara akibat penyakit tidak menular akan terus meningkat,” ujarnya dalam Temu Media di Kantor CISDI, Jakarta Pusat, Kamis (9/10/2025).

    Berdasarkan riset CISDI tahun 2024, penerapan cukai MBDK sebesar 20 persen dinilai ideal karena berpotensi menurunkan konsumsi minuman berpemanis hingga 18 persen, sekaligus mencegah lebih dari 455 ribu kasus diabetes melitus tipe 2 dan kematian terkait dalam kurun waktu 10 tahun ke depan.

    Nida menjelaskan, puluhan negara di dunia sudah lebih dulu menerapkan cukai MBDK, dengan besaran tarif rata-rata di kisaran 15 hingga 20 persen. Idealnya dengan skenario volumetrik, yakni tarif yang dihitung berdasarkan kadar gula dalam produk.

    “Angka 20 persen itu evidence based dan hasil pembelajaran global. Negara seperti Malaysia misalnya, menetapkan tarif yang terlalu rendah, efeknya terhadap penurunan penyakit tidak menular (PTM) tidak signifikan. Akhirnya mereka harus mengulang proses revisi yang panjang,” jelasnya.

    Ia menambahkan, penetapan tarif cukai memang harus berdasarkan bukti ilmiah agar kebijakan tersebut tidak berulang kali dikaji ulang tanpa hasil konkret.

    Salah satu alasan penundaan penerapan cukai sering dikaitkan dengan kekhawatiran penurunan pendapatan industri. Namun, menurut Nida, sejumlah kajian internasional menunjukkan bahwa kekhawatiran tersebut justru tidak benar.

    “Data menunjukkan bahwa ketika cukai diterapkan, masyarakat justru beralih ke air putih atau air mineral dalam kemasan (AMDK). Jadi konsumsi bergeser, bukan hilang. Pendapatan industri bisa tetap berjalan, hanya komposisi produknya yang berubah,” terangnya.

    Nida menyebutkan, reformulasi produk menjadi konsekuensi positif dari kebijakan ini. Produsen akan terdorong untuk mengurangi kadar gula atau berinovasi dengan produk yang lebih sehat.

    Menariknya, CISDI juga menyoroti tren produsen yang mengganti gula dengan pemanis buatan nol kalori (zero-calorie sweetened beverages) sebagai solusi menghindari cukai. Padahal, menurut rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pemanis buatan tidak direkomendasikan sebagai substitusi jangka panjang karena tetap dapat memengaruhi preferensi rasa manis seseorang.

    “Intinya bukan soal mengganti bahan, tapi soal mengurangi ketergantungan pada rasa manis itu sendiri,” tegas Nida.

    Nida menegaskan, jika cukai MBDK diterapkan, air putih akan menjadi produk substitusi alami yang lebih sehat. Masyarakat akan lebih sadar bahwa harga kesehatan jauh lebih mahal dibanding harga minuman manis.

    “Pada akhirnya, cukai bukan soal menekan konsumsi semata, tapi juga mendorong perubahan perilaku. Ini soal keberlanjutan kesehatan bangsa,” tutupnya.

    Halaman 2 dari 2

    (naf/up)

  • Usai Robohnya Gedung Ponpes Al Khoziny, Muhammadiyah Jatim Bakal Audit Kelayakan Bangunan Pendidikan

    Usai Robohnya Gedung Ponpes Al Khoziny, Muhammadiyah Jatim Bakal Audit Kelayakan Bangunan Pendidikan

    Surabaya (beritajatim.com) – Peristiwa ambruknya bangunan di Pondok Pesantren Al-Khoziny, Buduran, Sidoarjo, menjadi perhatian serius bagi Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur (PWM Jatim).

    Menyikapi musibah yang menelan korban jiwa tersebut, PWM Jatim akan segera menginventarisasi dan mengaudit kelayakan seluruh bangunan pendidikan dan pesantren di bawah naungannya di Jatim.

    Ketua PWM Jatim, Sukadiono menyatakan keprihatinan mendalam atas musibah di Sidoarjo. Sebagai langkah antisipatif agar kejadian serupa tak terulang, PWM Jatim mengambil inisiatif untuk melakukan pendataan menyeluruh.

    “Pertama, kita ingin inventarisasi berapa jumlah pondok dan sekolah Muhammadiyah. Selanjutnya, akan ada investigasi terkait kelayakan bangunan, apakah sudah sesuai standar dan layak untuk dihuni,” jelas Suko di Universitas Muhammadiyah Surabaya, Sabtu (4/10/2025).

    Untuk memastikan kajian kelayakan berjalan profesional, PWM Jatim akan melibatkan tim ahli dari perguruan tinggi Muhammadiyah (PTM) yang memiliki program studi Arsitektur dan Teknik Sipil. Tim ahli ini akan berkolaborasi dengan Majelis Dikdasmen dan Lembaga Pengembangan Pesantren Muhammadiyah.

    Menurut Suko, perencanaan bangunan pendidikan harus memperhitungkan banyak aspek, terutama karena Jatim termasuk daerah rawan gempa. “Karena itu, perlu perhitungan matang dari para ahli, mulai dari kekuatan fondasi hingga struktur bangunannya,” imbuhnya.

    PWM Jatim mencatat terdapat delapan PTM di wilayahnya yang memiliki prodi terkait. Dosen-dosen dari kampus tersebut akan dikerahkan untuk memverifikasi dan memberikan rekomendasi perbaikan yang diperlukan.

    Langkah tegas ini diambil sebagai upaya penting untuk mencegah terulangnya musibah seperti yang dialami Pondok Pesantren Al-Khoziny. [ipl/ian]

  • RI Bakal Terapkan Nutri-level! Susu Formula Dikecualikan, BPOM Ungkap Alasannya

    RI Bakal Terapkan Nutri-level! Susu Formula Dikecualikan, BPOM Ungkap Alasannya

    Jakarta

    Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI Taruna Ikrar buka suara terkait rencana penerapan label nutri-level pada kemasan produk minuman manis. Diharapkan, pemasangan label ini bisa membuat masyarakat lebih paham dengan jumlah gula garam lemak (GGL) yang masuk tubuh sehingga porsi lebih terkontrol.

    Dengan usulan ini, diharapkan nantinya tingkat angka penyakit tidak menular (PTM) yang berkaitan erat dengan konsumsi GGL bisa lebih ditekan.

    “Pelabelan pada depan sebutan ‘Nutri-Level’. Apa niatnya kita? Ini sudah rancangannya sudah kami selesaikan peraturannya, untuk mengawal peraturan dari UU tadi (penanggulangan PTM), jadi bukan hanya sekedar memberi pengetahuan, juga ingin kita didik sehingga nanti sekaligus suatu ketika bisa diwajibkan, supaya angka kematian yang 73 persen (disebabkan oleh PTM) tadi bisa menurun,” kata Taruna dalam rapat kerja bersama DPD Komite III, Selasa (23/9/2025).

    Nutri-level merupakan sistem penandaan gizi pada kemasan pangan untuk membantu konsumen memahami kandungan nutrisi produk secara lebih mudah. Skemanya akan menggunakan kode warna dan huruf A-D untuk menunjukkan produk tergolong sehat atau perlu dibatasi konsumsinya.

    Sebagai contoh, produk dengan kode A dan warna hijau tergolong produk sehat, sedangkan produk kode D dengan warna merah tergolong produk yang harus dibatasi konsumsinya.

    “Jadi ini baru usulan, sudah kami sosialisasikan ke para pelaku usaha dan masyarakat, jadi nanti cantumannya nanti ada leveling ini. Itu usulan kami,” ujar Taruna.

    “Yang level D tentu merupakan level pangan olahan dengan GGL yang paling tinggi. Kita tidak melarang. Tentu nanti akan berdampak, kalau dia ada tinggi begini, berpengaruh pada cukainya. Jadi itu usulan kami,” sambungnya.

    Jika akhirnya usulan ini dilanjutkan, Taruna menuturkan pemberlakuannya akan dilakukan secara bertahap. Perapan tidak dilakukan secara langsung karena dampaknya cukup besar bagi dunia usaha.

    Pada tahap awal, pihaknya akan menargetkan minuman manis dalam kemasan siap minum terlebih dahulu.

    “Pada tahapan pertama ditargetkan pada minuman siap konsumsi dulu, termasuk konsentrat dalam bentuk cair, serta minuman bubuk dengan kandungan GGL pada level C dan D,” jelas Taruna.

    “Kemudian kewajiban pencantuman nutri-level dikecualikan untuk formula bayi, karena kadang bayi membutuhkan lebih tinggi dari orang-orang dewasa, jadi formula lanjut untuk usia misalnya mengalami penyakit tertentu tentu kita tidak diwajibkan itu,” sambungnya.

    Kewajiban kebijakan Nutri-Level akan dibuat sejalan antara pangan olahan yang tetapkan oleh BPOM RI dengan pangan olahan siap saji yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes).

    Halaman 2 dari 2

    (avk/avk)

  • Kemenkes Bicara Alasan Cukai Minuman Berpemanis Molor Lagi ke 2026

    Kemenkes Bicara Alasan Cukai Minuman Berpemanis Molor Lagi ke 2026

    Jakarta

    Kepala Pusat Kebijakan Ketahanan Kesehatan Kemenkes RI Anas Ma’ruf memastikan pertimbangan mundurnya cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) didasari penyesuaian sejumlah pihak.

    Ketentuan termasuk kemungkinan besaran penetapan cukai MBDK sebagai penanggulangan penyakit tidak menular (PTM) tengah dibahas bersama kementerian dan lembaga terkait, termasuk menyesuaikan kadar gula garam dan lemak (GGL).

    “Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) penanggulangan penyakit termasuk substansi PTM-GGL sedang proses harmoni,” tekannya saat ditemui di kawasan Jakarta Selatan, Rabu (10/9/2025).

    “Rencana kebijakan minuman berpemanis, edukasi gula garam dan lemak, juga Peraturan Kepala BPOM juga sedang dibahas, diharapkan bersama segera launching,” sambungnya.

    Menyikapi pro-kontra terkait penerapan MBDK, Anas mengajak seluruh pihak termasuk industri ikut menyesuaikan penerapan regulasi baru di 2026.

    “Jadi ini mau kita dudukkan, kita bahas bersama agar nanti implementasinya tidak lagi muncul pro dan kontra,” tegas dia.

    Pihaknya juga memastikan terus membahas detail regulasi tersebut dalam rapat kerja Komisi IX DPR RI bersama dengan Kementerian Keuangan. Meski begitu, Anas belum bisa memastikan bentuk cukai seperti apa yang nantinya diterapkan. Termasuk apakah menyesuaikan usulan Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) yakni 20 persen.

    Ia hanya memastikan penerapan benar-benar dilakukan tahun depan. “Rencana cukai MBDK diberlakukan 2026,” pungkasnya.

    (naf/kna)

  • Menkes Bantah ‘NutriGrade’ di RI Ditunda 2 Tahun usai Dilobi AS, Ini Penjelasannya

    Menkes Bantah ‘NutriGrade’ di RI Ditunda 2 Tahun usai Dilobi AS, Ini Penjelasannya

    Jakarta

    Ramai kabar penundaan label sehat ‘Nutri-level’ pada pangan olahan maupun siap saji pasca adanya lobi dari Amerika Serikat (AS). Disebut-sebut, Presiden Prabowo Subianto diminta AS untuk kembali mengkaji regulasi ini.

    Seperti diberitakan sebelumnya, ‘Nutri-level’ adalah wacana pemerintah untuk meningkatkan pola makan sehat di Indonesia, berkaca dari apa yang dilakukan Singapura dengan NutriGrade.

    Label ini bisa menunjukkan pangan apa yang paling sehat dengan tidak sehat, berdasarkan abjad A, B, C, dan D. Mengingat, tren kasus penyakit tidak menular (PTM) terus meningkat signifikan.

    Misalnya, obesitas sentral, saat lingkar perut sudah melampaui 80 sentimeter bagi pria dan 90 sentimeter bagi wanita. Obesitas sentral di Indonesia meningkat lebih pesat dari semula 18,8 persen pada 2007, menjadi 36,8 persen pada 2023 dengan 56 persen lebih banyak terjadi pada perempuan dan pria 48 persen.

    Kondisi ini menjadi salah satu faktor risiko terbesar seseorang mengalami masalah jantung hingga diabetes.

    Menkes Angkat Bicara

    Menyoal kabar tersebut, Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin menjamin tidak ada lobi-lobi dari negara lain mengenai kebijakan pemerintah.

    “Tidak ada intervensi dari negara apapun termasuk Nutri-Grade, Nutri-Grade ini memang sedang kita proses bersama dengan BPOM RI untuk bisa kita kerjakan, biar masyarakat sehat,” tandasnya.

    Adapun penundaan penetapan mengacu pada penyesuaian beberapa produsen untuk melakukan reformulasi produk sebelum akhirnya dicantumkan NutriGrade.

    Penundaan penetapan tersebut juga sempat disinggung Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM RI) Prof Taruna Ikrar.

    “Kan stakeholder yang berhubungan dengan asosiasi industri kan, mereka (industri) juga harus paraf (aturan Nutri-Grade). Kedua masih ada kontradiktif yang labeling dan yang kemasan siap saji, jadi masih complicated,” kata Taruna di Jakarta Pusat, Kamis (20/3/2025).

    Taruna Ikrar menambahkan aturan ini juga akan berdampak pada pengubahan sedikit banyak sistem bisnis industri pangan, sehingga pihaknya masih terus mengupayakan titik tengah.

    “Pastilah berpengaruh (pada bisnis mereka), karena berpengaruh makannya mereka keberatan kan,” tambahnya.

    Halaman 2 dari 2

    (naf/up)

  • Fakta Indonesia deklarasi Kampung Siaga Diabetes dan Obesitas

    Fakta Indonesia deklarasi Kampung Siaga Diabetes dan Obesitas

    Forum Warga Kota (Fakta) Indonesia mendeklarasikan Kampung Siaga diabetes dan obesitas di Rukun Warga (RW) 07, Kelurahan/Kecamatan Tanah Sereal, Kota Bogor, Jawa Barat, Sabtu (23/8/2025). ANTARA/HO-Fakta Indonesia

    Fakta Indonesia deklarasi Kampung Siaga Diabetes dan Obesitas
    Dalam Negeri   
    Editor: Novelia Tri Ananda   
    Minggu, 24 Agustus 2025 – 07:19 WIB

    Elshinta.com – Forum Warga Kota (Fakta) Indonesia mendeklarasikan Kampung Siaga Diabetes dan Obesitas di Rukun Warga (RW) 07, Kelurahan/Kecamatan Tanah Sereal, Kota Bogor, Jawa Barat. Deklarasi itu menandai dimulainya gerakan kolaboratif warga bersama Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor, dan Fakta Indonesia dalam memerangi prevalensi penyakit tidak menular (PTM) yang kian mengkhawatirkan.

    “Deklarasi ini menjadi platform untuk menyuarakan dukungan terhadap kebijakan kesehatan publik yang lebih luas,” kata Ketua Fakta Indonesia Ari Subagyo dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Minggu. 

    Menurut dia, warga di RW 07, Kelurahan Tanah Sereal mendorong pemerintah pusat untuk segera mengimplementasikan tiga kebijakan kunci. Pertama, penerapan cukai Minuman Berpemanis dalam Kemasan (MBDK) sebagai bentuk perlindungan kesehatan masyarakat. Kedua, penerapan label peringatan kesehatan bergambar pada kemasan produk yang tinggi gula.

    “Tidak kalah penting, warga menginginkan ada pembatasan iklan dan promosi MBDK, khususnya yang menyasar anak-anak maupun remaja,” ucapnya.

    Ari menjelaskan, deklarasi ini adalah puncak dari kesadaran warga akan pentingnya kesehatan sebagai investasi masa depan. Fakta Indonesia merasa bangga dapat memfasilitasi inisiatif yang dipimpin warga tersebut karena sejalan dengan advokasi untuk kebijakan kota yang sehat.

    “Kami percaya, aksi lokal seperti ini adalah penggerak terkuat untuk perubahan nasional,” tuturnya.

    Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), Indonesia menghadapi beban ganda malnutrisi dengan angka obesitas pada dewasa mencapai 21,8 persen dan diabetes melitus sebesar 10,9 persen. Pemkot Bogor, kata Ari, mendukung penuh keberadaan inisiatif kampung siaga itu karena menjadi bukti nyata semangat gotong royong warganya dalam menciptakan lingkungan yang mendukung gaya hidup sehat.

    “Hal ini juga menjadi bukti nyata Pemda hadir dalam mendukung inisiatif Kampung Siaga,” ujarnya.

    Sumber : Antara

  • Transportasi di Jakarta bisa jadi pelajaran untuk daerah lain

    Transportasi di Jakarta bisa jadi pelajaran untuk daerah lain

    Penumpang Transjabodetabek rute S61 Alam Sutera – Blok M tiba di Halte Transjakarta Blok M, Kamis (24/4/2025). ANTARA/Lifia Mawaddah Putri.

    MTI: Transportasi di Jakarta bisa jadi pelajaran untuk daerah lain
    Dalam Negeri   
    Editor: Calista Aziza   
    Senin, 11 Agustus 2025 – 09:45 WIB

    Elshinta.com – Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) mengemukakan pembenahan transportasi umum di Jakarta bisa menjadi pelajaran untuk daerah lain, salah satunya kebijakan transportasi umum yang berkesinambungan.

    “Kesinambungan adalah kunci. Kebijakan transportasi membutuhkan waktu lebih 10 tahun untuk berbuah,” kata Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah MTI Pusat, Djoko Setijowarno di Jakarta, Senin.

    Di mana, transportasi di Jakarta terintegrasi layanan, yakni mikrotrans, bus, dan kereta serta kolaborasi lintas daerah.

    Dia mengatakan, angkutan umum seperti Transjakarta 24 jam, trotoar manusiawi, hingga integrasi tarif antarmoda merupakan hasil estafet kepemimpinan yang saling melanjutkan.

    Pada era Gubernur Sutiyoso (2004–2007) melalui peluncuran Transjakarta koridor 1, yang merupakan sistem Bus Rapid Transit (BRT) pertama di Asia Tenggara. Sutiyoso meletakkan fondasi hukum melalui Pola Transportasi Makro (PTM), cetak biru yang menjadi DNA pengembangan transportasi Ibu Kota.

    “Tanpa terobosan ini, Jakarta mungkin masih terperangkap dalam kemacetan abadi,” kata Djoko.

    Selanjutnya, era Gubernur Fauzi Bowo (2007–2012), terjadi transformasi kelembagaan Transjakarta menjadi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) memberi fleksibilitas operasional.

    Kemudian, era Gubernur Joko Widodo (2012–2014), melalui Peraturan Daerah Penyelenggaraan BRT yang menjamin alokasi anggaran jangka panjang, kemudian peremajaan armada, dan sistem kontrak operator berbasis Service Level Agreement (SLA) menjadi standar baru.

    Trotoar dan jalur sepeda juga dibenahi, ada kursi-kursi disiapkan di sejumlah trotoar bagi pejalan kaki yang akan beristirahat. Pada era ini juga diluncurkan MRT Jakarta fase 1 Lebak Bulus – Bundaran HI (15,8 kilometer).

    Berikutnya, era Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (2014–2017), yakni mengintegrasikan angkot ke dalam sistem BRT sebagai layanan feeder.

    “Kebijakan ini menyatukan angkutan kecil dengan transportasi massal, sekaligus membuka akses bagi warga pinggiran. Membatasi gerak sepeda motor dengan melarang beroperasi di Jalan Jenderal Sudirman dan Thamrin,” ujar Djoko.

    Pada era ini, 13 koridor Transjakarta terbangun, jaringan BRT merentang dari Taman Mini hingga Kalideres, Lebak bulus hingga Pulogadung.

    Selanjutnya, era Gubernur Anies Baswedan (2017–2022), dengan trotoar membentang sepanjang 500 km, jalur sepeda permanen menghubungkan pusat kota, dan kawasan integrasi antarmoda (seperti, Bundaran HI, CSW, Dukuh Atas) menjadi ruang hidup.

    Puncaknya, layanan terpadu JakLingko yang memperluas integrasi angkutan perkotaan dengan MRT, LRT, TransJakarta, dan KRL dalam satu kartu.

    Kemudian, era Penjabat Gubernur Jakarta Heru Budi dilanjutkan Gubernur Pramono Anung melalui integrasi Jabodetabek sebagai satu ekosistem transportasi.

    Kemudian, penyelesaian integrasi tarif regional menggunakan kartu JakLingko, memangkas biaya dan waktu perpindahan antarmoda, kebijakan insentif fiskal untuk pemerintah daerah penyangga yang mengembangkan BRT feeder, dan menggratiskan 15 golongan warga Jakarta menggunakan Bus Transjakarta.

    “Hasilnya, volume kendaraan pribadi masuk Jakarta turun 18 persen (2023–2025), dan waktu tempuh Bekasi–Jakarta berkurang 40 menit. Angkutan umum di Jakarta telah mengcover 89,5 persen wilayah Jakarta,” kata Djoko.

    Dia mengatakan, Jakarta kini bukan lagi kota termacet di Indonesia. Berdasarkan Indeks TomTom Traffic 2024, Jakarta berada di peringkat kelima nasional dan ke-90 dunia.

    Capaian ini, tambah Djoko, bukan kebetulan, melainkan buah transformasi sistemik yang berjalan konsisten sejak tahun 2004.

    “Tidak ada kota yang gagal membangun transportasi umum karena kurang dana, melainkan karena kurang keberanian untuk melanjutkan,” katanya.

    Sumber : Antara

  • Gaduh Makanan-Camilan Asin Ikut Kena Cukai, Kemenkes Bilang Gini

    Gaduh Makanan-Camilan Asin Ikut Kena Cukai, Kemenkes Bilang Gini

    Jakarta

    Belum lama ini ramai camilan dan makanan asin akan ikut dikenakan cukai. Hal ini salah satunya dikaitkan dengan risiko peningkatan penyakit tidak menular (PTM).

    Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan RI dr Siti Nadia Tarmizi menyebut hingga kini wacana yang berjalan baru menyasar minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK). Targetnya diterapkan tahun ini, meski rencananya sudah dibahas sejak 2007.

    “Kalau di makanan siap saji belum ada rencana penerapan cukai, lebih pada minuman manis dalam kemasan,” tandas dr Nadia saat dihubungi detikcom Rabu (6/8/2025).

    Perlu diingat, masyarakat memang perlu mewaspadai risiko dari konsumsi tinggi garam atau berlebih. Pasalnya, kebiasaan tersebut rentan memicu tekanan darah tinggi.

    “Kalau konsumsi garam berlebihan, akan mempengaruhi kadar natrium dalam darah kita sehingga bisa memicu peningkatan tekanan darah,” jelas dia.

    Tekanan darah tinggi akibat konsumsi garam berlebih, terlebih setiap hari, bisa membuat ginjal otomatis bekerja lebih keras untuk membuang zat-zat yang tidak diperlukan.

    Strategi penerapan cukai pada makanan maupun minuman ditegaskan dr Nadia menjadi salah satu upaya pemerintah untuk menekan pola konsumsi tidak sehat di masyarakat. Pemerintah ingin mendorong lebih banyak pilihan makanan sehat yang bisa diakses lebih murah ketimbang pangan tinggi gula, garam, dan lemak (GGL).

    “Karena kadang kadang pola konsumsi kita berubah karena apa yang tersedia di sekitar kita itu bukan yang sehat, jadi mendorong akhirnya mengonsumsi makanan terlalu manis maupun asin,” sebut dia.

    dr Nadia memberikan contoh tren fried chicken yang booming di Amerika Serikat misalnya, jelas menyumbang kasus obesitas yang meningkat signifikan.

    “Jadi tersedia makanan yang kadar gula garam dan lemak rendah, akan mendorong industri melakukan reformulasi dan mendorong perilaku masyarakat memilih makanan lebih sehat, sehingga otomatis faktor risiko penyakit tidak menular bisa dicegah,” pungkasnya.

    (naf/kna)