Topik: Proyek Strategis Nasional

  • Pokja PBB untuk Bisnis dan HAM apresiasi Prisma Kementerian HAM RI

    Pokja PBB untuk Bisnis dan HAM apresiasi Prisma Kementerian HAM RI

    Jakarta (ANTARA) – Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Bisnis dan Hak Asasi Manusia (HAM) Pichamon Yeophantong mengapresiasi sistem Penilaian Risiko Bisnis dan HAM (Prisma) yang digaungkan Kementerian HAM RI.

    “Menurut Ketua Pokja, penggunaan Prisma sangat mudah dipahami bagi pelaku usaha dan bermanfaat,” kata Wakil Menteri HAM Mugiyanto dalam keterangan diterima di Jakarta setelah pertemuan dengan Pichamon di Jenewa, Swiss, Jumat.

    Pertemuan dengan Pokja PBB untuk Bisnis dan HAM merupakan salah satu bagian dari aktivitas Kementerian HAM di Jenewa untuk mendorong penghormatan, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan (P5) HAM.

    Pada pertemuan tersebut, Mugiyanto menjelaskan upaya pengarusutamaan nilai-nilai HAM oleh pemerintah Indonesia, seperti melalui Prisma, Strategi Nasional Bisnis dan HAM, dan penyiapan regulasi Uji Tuntas Bisnis dan HAM.

    Menurut Mugiyanto, Ketua Pokja Pichamon mengapresiasi perkembangan bisnis dan HAM di Indonesia, terutama terkait arah kebijakan dan regulasi yang dikembangkan dari bersifat sukarela (voluntary) menjadi kewajiban (mandatory).

    Selain itu, Pichamon disebut turut mengapresiasi kinerja pemerintah Indonesia dalam merespons berbagai pengaduan yang diterima Pokja PBB, seperti terkait isu pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika, Nusa Tenggara Barat; penambangan nikel di Sulawesi; serta Proyek Strategis Nasional di Merauke, Papua Selatan.

    “Ketua Pokja juga mengapresiasi rencana pemerintah Indonesia untuk hadir dan berpartisipasi secara aktif dalam UN Forum on Business and Human Rights pada 24–26 November 2025,” katanya.

    Partisipasi Indonesia diyakini dapat mengangkat komitmen regional Asia dalam mempromosikan praktik bisnis yang menghormati HAM.

    Adapun Prisma merupakan program aplikatif mandiri bagi perusahaan untuk menganalisis risiko pelanggaran HAM dari kegiatan bisnisnya di Indonesia. Program yang diprakarsai oleh Kementerian HAM ini hadir untuk mengisi kekosongan alat ukur bisnis dan HAM.

    Prisma memiliki 12 indikator meliputi kebijakan HAM, tenaga kerja, kondisi kerja, serikat pekerja, privasi, diskriminasi, lingkungan, agraria dan masyarakat adat, tanggung jawab sosial (CSR), mekanisme pengaduan, rantai pasok, serta dampak HAM bagi perusahaan.

    Perusahaan dapat mendaftar secara mandiri ke laman Prisma guna mengetahui risiko pelanggaran HAM untuk kemudian dianalisis oleh Kementerian HAM.

    Direktur Jenderal Pelayanan dan Kepatuhan HAM Munafrizal Manan menjelaskan dari hasil analisis tersebut, akan ada pengategorian tingkat risiko, mulai dari merah, kuning, hingga hijau.

    “Nanti bisa masuk kategori merah, yang paling bawah, berarti kurang sekali itu, potensi [pelanggaran] HAM-nya tinggi. Ada yang kuning, sedang. Ada yang hijau, itu kategori baik,” kata Manan saat ditemui usai pemberian penghargaan kepada perusahaan yang mematuhi prinsip HAM di Jakarta Jumat (19/9).

    Pewarta: Fath Putra Mulya
    Editor: Edy M Yakub
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Progres Pipa Gas Cisem II 86,1%, Ditargetkan Rampung Maret 2026

    Progres Pipa Gas Cisem II 86,1%, Ditargetkan Rampung Maret 2026

    Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan progres pembangunan jaringan pipa gas bumi Cirebon-Semarang tahap II (Cisem II) telah mencapai 86,1% per September 2025.

    Koordinator Perencanaan Pembangunan Ditjen Migas Kementerian ESDM Sugiarto mengatakan, realisasi itu lebih cepat dibandingkan dengan rencana awal sebesar 84,8%.

    “Progres fisik lebih cepat 1,3% dari target. Kami optimistis proyek ini dapat selesai sesuai kontrak pada Maret 2026,” ujarnya melalui keterangan resmi dikutip Minggu (28/9/2025).

    Adapun proyek strategis nasional (PSN) senilai Rp2,8 triliun ini didanai melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan dilaksanakan dengan skema pengadaan konstruksi terintegrasi rancang dan bangun (design and build).

    Sugiarto mengatakan, pipa gas sepanjang 245 kilometer (km) ini akan menyalurkan pasokan dari Jawa Timur ke Jawa Barat untuk memperkuat ketahanan energi sekaligus menekan biaya distribusi.

    Dia menambahkan, keberadaan Cisem II akan memperluas akses suplai gas dari berbagai sumber, termasuk dari wilayah timur dan temuan baru di Jawa Tengah.

    Sistem jaringan pipa yang terintegrasi dari Riau hingga Jawa Timur diharapkan mampu menurunkan harga gas, terutama untuk memenuhi kebutuhan industri dan masyarakat di Jawa Tengah serta Jawa Barat.

    “Pembangunan Pipa Cisem II akan menciptakan sistem pipa transmisi gas yang terintegrasi dari Riau hingga Jawa Timur sehingga mendukung penurunan harga gas dengan memperluas akses suplai dari berbagai sumber, termasuk dari wilayah timur dan temuan baru di Jawa Tengah, ke daerah-daerah dengan kebutuhan gas yang tinggi seperti Jawa Barat dan Jawa Tengah,” jelas Sugiarto.

    Pada kesempatan yang sama, Kepala Biro Keuangan Ditjen Migas Ari Gemini Parbinoto menegaskan bahwa pengawasan proyek tidak hanya fokus pada aspek konstruksi, tetapi juga tata kelola administrasi.

    “Kami memastikan proyek Cisem berjalan sesuai ketentuan melalui pengawasan ketat dan audit dari BPK agar seluruh proses akuntabel,” katanya.

    Sementara itu, Kepala Pusat Pengelolaan Barang Milik Negara Sumartono menekankan, pemerintah terus melakukan percepatan. Ini termasuk penyelesaian tarif dan skema komersial.

    “Koordinasi lintas instansi serta dukungan dari pemerintah pusat dan daerah menjadi faktor penting untuk mempercepat operasionalisasi proyek ini,” ujarnya.

    Dia berharap keberadaan Pipa Gas Cisem II dapat menjadi tulang punggung distribusi gas nasional, menekan biaya transportasi energi, memperkuat ketahanan energi, serta mendorong pertumbuhan industri di Pulau Jawa.

    Cisem II merupakan kelanjutan dari Proyek Cisem I, yang telah mengalirkan gas ke kawasan industri Kendal, Jawa Tengah, sejak November 2023.

    Adapun penerima manfaat dari pembangunan proyek Cisem II adalah Kilang Balongan, berbagai industri di wilayah Jawa Barat, jaringan gas rumah tangga, serta tambahan kebutuhan PT Pupuk Kujang.  

    Pemerintah memulai proyek Pipa Gas Cisem Tahap II pada September 2024. Hal tersebut ditandai dengan pengelasan perdana (first welding) oleh Menteri ESDM Bahlil Lahadalia di Kawasan Industri Terpadu Batang, Jawa Tengah. 

    Penandatanganan kontrak Cisem II dilakukan pada Agustus 2024. Adapun, kontrak senilai Rp2,8 triliun itu telah ditandatangani oleh pemenang lelang yaitu KSO PT Timas Suplindo-PT Pratiwi Putri Sulung.   

    Proyek tahap kedua Pipa Cisem yang sudah diresmikan itu bakal membentang sepanjang 245 km dari Batang hingga Kandang Haur Timur.

  • Paradoks Jokowi di Panggung Global: Antara Citra dan Realitas
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        27 September 2025

    Paradoks Jokowi di Panggung Global: Antara Citra dan Realitas Nasional 27 September 2025

    Paradoks Jokowi di Panggung Global: Antara Citra dan Realitas
    Direktur Indonesian Society Network (ISN), sebelumnya adalah Koordinator Moluccas Democratization Watch (MDW) yang didirikan tahun 2006, kemudian aktif di BPP HIPMI (2011-2014), Chairman Empower Youth Indonesia (sejak 2017), Direktur Maluku Crisis Center (sejak 2018), Founder IndoEast Network (2019), Anggota Dewan Pakar Gerakan Ekonomi Kreatif Nasional (sejak 2019) dan Executive Committee National Olympic Academy (NOA) of Indonesia (sejak 2023). Alumni FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (2006), IVLP Amerika Serikat (2009) dan Political Communication Paramadina Graduate School (2016) berkat scholarship finalis ‘The Next Leaders’ di Metro TV (2009). Saat ini sedang menyelesaikan studi Kajian Ketahanan Nasional (Riset) Universitas Indonesia, juga aktif mengisi berbagai kegiatan seminar dan diskusi. Dapat dihubungi melalui email: ikhsan_tualeka@yahoo.com – Instagram: @ikhsan_tualeka
    KABAR
    bahwa Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo, resmi bergabung sebagai anggota “Global Advisory Board Bloomberg New Economy” sontak memancing atensi publik.
    Kedengarannya memang megah. 
    Kompas.com
    , 22 September 2025, bahkan menurunkan berita dengan judul “Jokowi Ditunjuk Jadi Dewan Penasehat Global Bloomberg New Economy”.
    Ulasannya menarik, dengan menempatkan Jokowi sejajar dengan tokoh-tokoh yang ikut menentukan arah percakapan dunia.
    Namun, apakah betul demikian?
    Jika mau ditelisik lebih jauh, penunjukan ini lebih banyak bicara atau didasarkan soal citra ketimbang substansi.
    Mari kita letakkan kursi ini pada konteks yang tepat. “Bloomberg New Economy” bukanlah satu forum strategis pengambilan keputusan global.
    Jangan sampai membayangkannya seperti PBB, bukan pula setingkat G20, bahkan tidak setara dengan World Economic Forum di Davos.
    Bloomberg New Economy
    lebih menyerupai satu klub eksklusif, diinisiasi oleh media keuangan raksasa, dengan agenda diskusi besar, tapi tanpa kewajiban nyata untuk melahirkan kesepakatan.
    Kehadirannya boleh di kata lebih banyak untuk pencitraan. Sebuah panggung yang mempertemukan elite bisnis, politik, dan akademisi dalam kemasan prestisius.
    Dengan kata lain, posisi ini tidak lebih dari kursi kehormatan, bukan ruang pengaruh strategis.
    Penunjukan Jokowi jelas membawa simbolisme, tapi tidak otomatis menambah bobot diplomasi Indonesia di pentas internasional.
    Lalu, apa yang sebenarnya membuat Jokowi menarik bagi forum seperti ini? Jawabannya terletak pada satu hal: stabilitas dalam paradoks.
    Sepuluh tahun ia memimpin, Indonesia mengalami ledakan pembangunan infrastruktur, sekaligus lonjakan utang negara yang luar biasa, hingga lebih dari tiga kali lipat.
    Uniknya, di tengah beban fiskal yang meningkat tajam, Indonesia tetap menjaga peringkat
    investment grade
    dan kepercayaan pasar.
    Dari perspektif pasar global, ini prestasi. Bisa menambah utang tanpa menimbulkan gejolak.
    Namun, jika kita menengok dari dalam negeri, narasi ini penuh kontradiksi atau paradoks. Utang yang melonjak itu tidak selalu berbanding lurus dengan peningkatan kualitas hidup masyarakat.
    Faktanya, banyak proyek infrastruktur justru menyisakan beban fiskal dan masalah sosial, mulai dari pembengkakan biaya, dampak lingkungan, hingga ketidakmerataan manfaat.
    Kereta cepat Whoosh adalah contoh nyata yang tak terbantahkan. Proyek ini menghadapi utang besar mencapai sekitar Rp 116 triliun (7,2 miliar dollar AS), yang sebagian besar berasal dari pinjaman China Development Bank (CDB).
    Beban bunga tahunan dari utang ini diperkirakan mencapai Rp 2 triliun. Hal ini menyebabkan kerugian yang terus berlanjut bagi konsorsium PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), yang pada semester I 2025 mencapai sekitar Rp 1,6 triliun.
    Itu baru satu proyek. Belum lagi kalau kita mau bahas soal Ibukota Nusantara (IKN), Bandara Kertajati, LRT Sumatera Selatan dan sejumlah Proyek Strategis Nasional (PSN) lainnya yang terkesan tanpa perencanaan yang jelas dan lebih mengakomodasi kepentingan elite atau oligarki.
    Lebih jauh dan dampak jangka pendeknya, Jokowi memang meninggalkan warisan stabilitas ekonomi, tetapi dengan harga mahal. Salah satunya adalah penyusutan kualitas demokrasi.
    Laporan berbagai lembaga internasional menunjukkan penurunan indeks demokrasi, pelemahan peran oposisi, dominasi oligarki, hingga berkurangnya ruang kebebasan sipil.
    Pemilu 2024 menjadi puncak dari paradoks itu. Stabilitas politik yang dipuji pasar global justru lahir dari praktik yang bagi banyak pihak dinilai sebagai manipulasi aturan dan rekayasa kekuasaan.
    Ironi kemudian muncul ketika figur dengan catatan telah berkontribusi bagi demokrasi yang kian suram di negaranya sendiri justru diangkat sebagai penasihat global.
    Pertanyaan mendasar pun patut diajukan: apakah dunia benar-benar membutuhkan model kepemimpinan yang menukar demokrasi dengan stabilitas fiskal?
    Jika ya, maka kita sedang berjalan ke arah yang keliru—menormalisasi otoritarianisme pragmatis sebagai jalan keluar bagi negara berkembang, yang kemudian meninggalkan cacat bawaan.
    Perbandingan dengan pemimpin lain bisa mempertegas ironi ini. Mantan Perdana Menteri Inggris, Tony Blair, misalnya, aktif dalam berbagai forum internasional pasca-jabatannya, tetapi kontribusinya jelas, berbagi pengalaman dalam kebijakan luar negeri dan reformasi institusional.
    Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), pendahulu Jokowi, juga kerap diundang ke forum global, terutama terkait isu demokrasi, perdamaian, dan perubahan iklim—tema yang memang ia dorong selama satu dekade pemerintahannya.
    Bahkan sosok seperti Mahathir Mohamad di Malaysia yang sudah sangat sepuh, masih terus mengisi forum global. Ia memang diakui di berbagai forum internasional karena gagasan politik luar negerinya yang kritis terhadap Barat.
    Dibandingkan itu semua, posisi Jokowi tampak berbeda. Ia tidak dikenal karena gagasan besar, visi global, atau terobosan diplomatik, melainkan karena kemampuannya menjaga keseimbangan politik domestik sambil mengelola fiskal yang berat.
    Artinya, dalam konteks ini yang dijual bukanlah visi dunia, melainkan trik teknokratis. Yaitu bagaimana menambah utang luar negeri tanpa kehilangan legitimasi politik di dalam negeri.
    Forum seperti
    Bloomberg New Economy
    tentu saja menyukai narasi semacam ini. Namun sekali lagi, itu tidak otomatis menjadikan Jokowi tokoh berpengaruh secara strategis. Karena yang dirayakan adalah citra, bukan substansi.
    Indonesia memang bisa berbangga bahwa nama presidennya diundang ke panggung global. Namun kebanggaan itu sebaiknya tidak menutup mata bahwa pencapaian yang dipuji dunia sering kali adalah sisi yang problematis di dalam negeri.
    Kursi di
    Bloomberg New Economy
    lebih tepat dibaca sebagai refleksi paradoks Jokowi sendiri. Ia barangkali stabil di mata pasar, tapi meninggalkan demokrasi yang rapuh di Tanah Air.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • AHY Harap Proyek Jalan Tol Harbour Road II Tekan Biaya Logistik-Kemacetan

    AHY Harap Proyek Jalan Tol Harbour Road II Tekan Biaya Logistik-Kemacetan

    Jakarta

    Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), meninjau progres pembangunan Jalan Tol Harbour Road II, kemarin. Terbentang dari Ancol Timur hingga Pluit, Proyek Strategis Nasional ini digadang menjadi solusi mengurai kemacetan dan memperlancar arus logistik di kawasan utara Jakarta.

    “Hari ini saya meninjau sebuah proyek jalan yang sedang dikerjakan, digarap oleh CMNP bersama Bapak Jusuf Hamka dan tentunya teman-teman dari Kementerian Pekerjaan Umum serta semua pihak yang telah bergabung dalam proyek strategis ini. Sepanjang kurang lebih 9,67 km akan menghubungkan Ancol Timur menuju Pluit. Kalau di belakang kita bisa terlihat Tanjung Priok, dermaga, peti kemas yang tentunya padat,” ujar AHY dalam keterangannya, Sabtu (27/9/2025).

    Tol elevated sepanjang hampir 10 km ini dirancang dengan standar kecepatan 80 km/jam dan lebar lajur 3,5 meter. Tol ini juga dilengkapi junction di Ancol Timur serta Pluit, termasuk ramp penghubung dengan Harbour Road I. Adapun pembangunan ditargetkan rampung pada 31 Desember 2026, dengan masa konstruksi 1.697 hari kalender dan masa pemeliharaan 730 hari.

    “Artinya, dengan hadirnya nanti insyaAllah jalur selatan ini akan bisa digunakan di awal tahun 2026, dan jalur utara pada 2027. Kehadiran jalan tol ini akan meningkatkan kapasitas, membuka konektivitas untuk mobilitas kendaraan, baik masyarakat maupun barang/logistik. Dengan demikian, harapannya biaya logistik akan turun, kemacetan terurai, dan kepadatan lalu lintas berkurang. Mudah-mudahan ini akan meningkatkan aktivitas ekonomi serta memperkuat pengembangan ekonomi wilayah,” lanjut AHY.

    Hingga Juni 2025, progres pembebasan lahan mencapai 53,6% atau 209.059 m² dari total 390.091 m². Sementara progres konstruksi fisik sudah 24,9%, mencakup pembangunan box girder, pier, pile cap, hingga bored pile.

    “Investasi tadi bisa dijelaskan sekitar Rp15,8 triliun. Proyek ini berbentuk jalan tol elevated, dan sekali lagi kita berharap sektor transportasi yang semakin baik didukung dengan infrastruktur dasar jalan yang juga semakin kuat. Inilah yang akan meningkatkan ekonomi kita,” pungkas AHY.

    (akd/akd)

  • 3
                    
                        Kala Menteri-menteri Prabowo “Disemprot” Aktivis Agraria di Rapat DPR
                        Nasional

    3 Kala Menteri-menteri Prabowo “Disemprot” Aktivis Agraria di Rapat DPR Nasional

    Kala Menteri-menteri Prabowo “Disemprot” Aktivis Agraria di Rapat DPR
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Dua menteri kabinet Merah Putih kena “semprot” ketika pemerintah dan DPR RI pada peringatan Hari Tani Nasional.
    Momentum ini terjadi di Ruang Rapat Komisi XIII, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (24/9/2025).
    Pertemuan di ruang rapat dihadiri lima menteri, yaitu Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni, Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN) Nusron Wahid, dan Menteri Pariwisata Widiyanti Putri Wardhana.
    Kemudian, Pelaksana Tugas (Plt) Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dony Oskaria, Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (Mendes PDTT) Yandri Susanto, serta Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Muhammad Qodari.
    Dalam momen pertemuan itu, pemerintah, DPR, dan organisasi petani membahas sejumlah konflik agraria yang tidak kunjung selesai selama puluhan tahun dan merugikan petani.
    Sekretaris Jenderal (Sekjen) Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, akhirnya menyemprot Menhut Raja Juli karena dinilai tidak bisa menyelesaikan konflik agraria yang berlangsung selama puluhan tahun.
    Selama puluhan tahun itu, kata Dewi, masyarakat telah menyampaikan aduan dan persoalan yang mereka rasakan. Namun, persoalan ini tidak kunjung ditangani pemerintah.
    Salah satunya adalah konflik agraria lahan pertanian dengan perusahaan BUMN, Perum Perhutani, di Desa Bulupayung, Kecamatan Kesugihan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.
    “Di Kementerian Kehutanan, Bapak Raja Juli, akhirnya kita bisa bertemu lagi. Saya pernah mengajak Bapak Raja Juli itu ke salah satu Desa Bulupayung di Cilacap,” ujar Dewi di Ruang Rapat Komisi XIII, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu.
    “Itu adalah konflik agraria puluhan tahun yang berkonflik dengan Perhutani,” lanjut Dewi.
    Aktivis agaria ini menjelaskan bahwa 9.000 hektar lahan pertanian di Cilacap merupakan lumbung pangan nasional.
    Saat bersama Raja Juli di daerah itu, kata Dewi, pihaknya sudah menunjukkan kejanggalan konflik lahan pertanian yang diklaim sebagai lahan Perhutani.
    Misalnya, di lokasi itu tidak ada kawasan hutan, tetapi diklaim sebagai kawasan hutan.
    “Mana ada hutan? Kenapa tanah-tanah pertanian produktif yang dikerjakan oleh kaum tani itu tidak kunjung dibebaskan dari klaim-klaim kawasan hutan? Tidak kunjung dilepaskan dari klaim Perhutani?” tanya Dewi.
    Akibatnya, para petani tidak bisa mengangkut hasil panen, dan program-program pertanian tidak bisa masuk.
    “Karena alasannya itu, ini adalah masih klaim Perhutani, masih PTPN (Perkebunan Nasional), masih kawasan hutan, masih di dalam HGU (Hak Guna Usaha),” tutur Dewi.
    Menanggapi itu, Raja Juli mengakui pernah datang ke Cilacap melihat hamparan padi yang menguning.
    Ia juga mengaku sudah berupaya melepaskan lahan pertanian itu dari kawasan hutan, namun terhambat.
    “Karena memang ada macet di Perhutani. Jadi memang kehutanan Perhutani ini menjadi satu kunci penting,” tutur Raja Juli.
    Nusron Wahid Tak Proses Data
    Bukan cuma Raja Juli, Dewi juga menyemprot Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN) Nusron Wahid karena tidak pernah memproses data-data yang diberikan oleh KPA.
    Dewi menyampaikan bahwa Kementerian ATR merupakan salah satu kementerian yang paling banyak diadukan terkait kasus-kasus pertanahan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Ombudsman RI.
    “Ada banyak kanal pengaduan, di Kementerian Agraria, Kementerian Kehutanan, bahkan mungkin di DPR. Tapi hanya untuk tempat mengadu, tidak ada kanal penyelesaian,” ujar Dewi.
    Padahal, KPA sudah berkali-kali menemui pihak ATR, bahkan bertemu langsung dengan Nusron Wahid untuk menyerahkan data yang dibutuhkan.
    “Jadi ada problem, data-data kami itu ditumpuk, diarsipkan, tapi tidak dikerjakan,” tutur Dewi.
    Nusron mengakui bahwa banyak data-data KPA yang diserahkan ke Kementerian ATR/BPN tetapi belum digarap.
    Ia menyatakan sependapat dengan usul KPA mengenai prinsip keadilan dalam redistribusi tanah.
    “Karena itu, sebagai bentuk komitmen kami mengamini data itu, kami sudah 10 bulan diangkat dipercaya menjadi Menteri ATR/BPN, kami belum tandatangani satupun perpanjangan dan pembaruan,” kata Nusron.
     
    Para petani di Desa Bulupayung yang sudah menggarap lahan pertanian sejak 1962, tetapi Perhutani mengeklaim kepemilikan Desa Bulupayung dan statusnya berubah menjadi bagian dari kawasan hutan.
    Meski masih diperbolehkan tinggal dan menggarap lahan pertanian di tanah seluas 2.000 hektar, sebanyak 3.000 keluarga petani tidak memperoleh bantuan dari negara, seperti pembangunan jalan dan irigasi, serta subsidi pupuk.
    Padahal, Desa Bulupayung termasuk sentra pertanian pangan di Cilacap.
    “Mereka harus mengeluarkan
    cost
    yang lebih ekstra atau biaya produksi pertanian. Belum terkait jaringan pasar yang memang tidak menentu dan juga dampak-dampak diklaim sebagai kawasan hutan. Akhirnya, dengan konflik yang terjadi di kehutanan ini, semakin terhimpit nasib para petani itu,” ujar Benny dalam diskusi Polemik Harga Beras dan Kebijakan Pangan di Tengah Krisis Iklim di Jakarta, Selasa (16/9/2025).
    Kedua, para petani dari desa-desa di Kecamatan Sukasari, Kabupaten Sumedang, juga bernasib sama seperti petani di Desa Bulupayung.
    Petani Sukasari sudah menggarap lahan pertanian sejak 1965.
    Namun, status desa-desa di Kecamatan Sukasari berubah menjadi kawasan hutan pada 1996.
    Alhasil, para petani di Kecamatan Sukasari juga merasakan ketidakhadiran negara akibat diklaim sebagai kawasan hutan.
    Mereka memprotes tidak adanya pembangunan infrastruktur seperti jalan dan irigasi di Kecamatan Sukasari.
    Ketimpangan Penguasaan Tanah
    Menurut data yang ada, satu persen kelompok elite menguasai 58 persen tanah, kekayaan alam, dan sumber produksi di Indonesia, sementara 99 persen penduduk harus berebut sisa lahan yang ada.
    Dewi mengatakan, kondisi ini akhirnya semakin memperburuk ketimpangan ekonomi di sektor agraria.
    “Ketimpangan ini mengarah pada meningkatnya jumlah konflik agraria yang terjadi di berbagai wilayah,” jelas Dewi.
    Konflik-konflik agraria ini berdampak langsung pada 1,8 juta keluarga yang kehilangan tanah serta mata pencaharian mereka.
    Dewi juga menyoroti bahwa proyek-proyek investasi besar seperti Proyek Strategis Nasional (PSN), food estate, kawasan ekonomi khusus, hingga militerisasi pangan terus meluas ke wilayah desa dan kampung, yang menyebabkan lahan petani dan wilayah adat semakin tergerus.
    “Proyek-proyek besar ini merampas tanah petani dan wilayah adat, serta menutup akses mereka terhadap laut dan wilayah tangkapnya. Hal ini terjadi karena lahan sudah dikapling-kapling oleh pengusaha besar,” ungkap Dewi.
    KPA mengingatkan bahwa kegagalan reforma agraria yang terjadi dalam 10 tahun terakhir harus menjadi pelajaran bagi pemerintah untuk segera bertindak.
    “Berkaca pada kegagalan GTRA selama 10 tahun terakhir, kami mendesak Presiden Prabowo untuk segera membentuk Badan Pelaksana Reforma Agraria Nasional yang lebih otoritatif, yang berada langsung di bawah kendali Presiden,” kata Dewi mengakhiri pernyataan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Menanti Reforma Agraria Sejati
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        25 September 2025

    Menanti Reforma Agraria Sejati Nasional 25 September 2025

    Menanti Reforma Agraria Sejati
    Mahasiswa Magister Hukum Kenegaraan UNNES, Direktur Eksekutif Amnesty UNNES, dan Penulis
    SETIAP
    24 September, Hari Tani Nasional selalu hadir dengan pelbagai seremoni, slogan, dan janji-janji yang terdengar heroik. Namun, di balik semua itu, kenyataan di lapangan tetap pahit: petani masih terpinggirkan, akses terhadap tanah semakin sempit, sementara penguasaan lahan justru terkonsentrasi pada korporasi besar dan elite politik.
    UUPA 1960 pernah diproyeksikan sebagai tonggak lahirnya tatanan agraria yang adil. Amanat tentang tanah sebagai sumber kemakmuran rakyat dan fungsi sosial hak atas tanah seharusnya menjadi pijakan utama pembangunan. Namun, setelah lebih dari enam dekade, implementasi reforma agraria masih berjalan di tempat, bahkan sering dipelintir menjadi sekadar legalisasi ketimpangan melalui program sertifikasi massal tanpa menyentuh akar persoalan.
    Reforma agraria sejati menuntut keberanian politik untuk merombak struktur penguasaan tanah yang timpang. Selama negara masih menempatkan modal besar sebagai prioritas utama, petani akan terus menjadi korban—terpinggirkan di tanahnya sendiri, sementara keadilan agraria hanya menjadi jargon yang diperdagangkan di ruang-ruang kekuasaan.
    Lonjakan konflik agraria dalam beberapa tahun terakhir menyingkap wajah buram reforma agraria di Indonesia. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, sepanjang 2024 saja terjadi hampir tiga ratus kasus konflik agraria dengan cakupan lahan lebih dari satu juta hektare. Puluhan ribu keluarga di ratusan desa menjadi korban, mayoritas dari mereka adalah petani kecil, masyarakat miskin kota, dan komunitas adat yang kehilangan ruang hidupnya.
    Sektor perkebunan menempati posisi teratas sebagai penyumbang konflik, dengan lebih dari seratus kasus, dua pertiganya berasal dari ekspansi sawit. Perkebunan sawit yang diklaim menyerap tenaga kerja dan mendatangkan devisa, justru menjadi sumber perampasan tanah terbesar, mengusir hampir 15 ribu keluarga dari lahan garapannya.
    Di belakangnya, proyek infrastruktur yang dibungkus label Proyek Strategis Nasional turut menyumbang puluhan kasus, sementara pertambangan batubara dan nikel menambah daftar luka di wilayah agraria.
    Konflik agraria kini menjangkau hampir seluruh provinsi di Indonesia, dengan angka tertinggi di Sulawesi Selatan, Sumatra Utara, Kalimantan Timur, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Dari kota besar hingga desa terpencil, petani dan warga kecil sama-sama menghadapi ancaman penggusuran dan kriminalisasi. Catatan KPA menunjukkan ratusan orang dikriminalisasi, puluhan mengalami kekerasan, bahkan ada yang tewas di tangan aparat yang seharusnya melindungi.
    Fakta-fakta ini memperlihatkan bahwa konflik agraria bukan sekadar sengketa tanah biasa, melainkan krisis struktural yang berakar pada ketimpangan penguasaan lahan. Negara justru hadir sebagai fasilitator modal besar, baik lewat kebijakan perkebunan, proyek infrastruktur, maupun regulasi yang memberi ruang bagi badan usaha swasta hingga Bank Tanah untuk menguasai lahan rakyat.
    Reforma agraria yang seharusnya menjadi jalan keluar, tereduksi menjadi program sertifikasi, sementara akar ketidakadilan terus dibiarkan menyebar.
    Lonjakan konflik agraria bukan sekadar statistik, melainkan potret nyata kegagalan negara dalam menjalankan amanat UUPA 1960. Alih-alih menata struktur penguasaan tanah, kebijakan agraria justru menormalisasi praktik perampasan.
    Proyek strategis nasional, ekspansi perkebunan, hingga tambang mineral dibentangkan sebagai simbol pembangunan, padahal di baliknya ribuan keluarga terusir dari tanah garapan, dipaksa hengkang dari kampung halaman, bahkan kehilangan status hukum atas tanah yang telah mereka kelola turun-temurun.
    Keterlibatan aparat dalam melindungi kepentingan modal besar semakin memperlebar jurang ketidakadilan.
    Tahun 2024 KPA mencatat sedikitnya 556 orang menjadi korban kekerasan dan kriminalisasi di wilayah konflik agraria. Dari jumlah itu, 399 orang dikriminalisasi, 149 orang mengalami kekerasan fisik, sementara 4 orang ditembak dan 4 orang tewas akibat tindakan aparat. Korban-korban tersebut mayoritas berasal dari kelompok petani, masyarakat adat, dan warga miskin kota yang mempertahankan ruang hidupnya.
    Negara tampil bukan sebagai penengah, melainkan sebagai tangan represif yang memastikan kepentingan korporasi berjalan mulus. Reforma agraria pun kehilangan makna: bukan lagi tentang pemerataan dan fungsi sosial tanah, melainkan instrumen legalisasi ketimpangan. Petani, yang semestinya diposisikan sebagai tulang punggung ketahanan pangan, justru terus digusur.
    Kontradiksi ini menyingkap wajah sesungguhnya dari pembangunan agraria di Indonesia: sebuah pembangunan yang berdiri di atas pengorbanan rakyat kecil.
    Reforma agraria di Indonesia sejak awal dimaksudkan sebagai agenda perubahan struktural, yakni merombak ketimpangan penguasaan tanah melalui
    landreform
    . Konsep ini sejalan dengan pandangan agraria klasik ala Marx tentang pentingnya distribusi ulang alat produksi agar tidak terkonsentrasi di tangan segelintir elite (Marx, 1867).
    Dalam hukum Indonesia, UUPA 1960 mengafirmasi prinsip tersebut melalui pasal-pasal mengenai pembatasan luas tanah dan fungsi sosial hak atas tanah. Akan tetapi, dalam praktik, arah kebijakan agraria justru mengalami distorsi. Harsono (2008) menegaskan bahwa UUPA 1960 sejatinya merupakan instrumen hukum progresif untuk mewujudkan keadilan sosial, tetapi pelaksanaannya sering kali diselewengkan menjadi sekadar administrasi pertanahan, bukan redistribusi struktural.
    Hal ini terbukti dari program sertifikasi massal yang dikampanyekan pemerintah sejak era Orde Baru hingga sekarang. Sertifikasi tanah yang dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum, justru kerap menjadi instrumen legalisasi
    status quo
    dan melanggengkan ketimpangan.
    Dalam perspektif teori akses ala Ribot dan Peluso, ketidakadilan bukan hanya persoalan kepemilikan formal, tetapi juga akses aktual terhadap tanah, sumber daya, dan keuntungan ekonomi.
    Negara yang berpihak pada modal besar memperkuat akses korporasi terhadap tanah, sementara masyarakat kecil kehilangan akses meski memiliki klaim historis. Di sinilah reforma agraria kehilangan esensinya: redistribusi digantikan dengan legalisasi, dan keadilan agraria direduksi menjadi sekadar kepastian administrasi.
    Sejatinya, reforma agraria di Indonesia telah terjebak dalam “reforma agraria administratif”—yakni fokus pada sertifikat, pendaftaran tanah, dan data teknis, tanpa menyentuh akar ketimpangan struktur agraria. Padahal, tujuan awal reforma agraria adalah membongkar konsentrasi penguasaan tanah yang timpang.
    Dengan kerangka teori dan pandangan para ahli tersebut, jelas bahwa problem agraria hari ini bukan sekadar konflik horizontal atau sengketa lokal, melainkan kegagalan negara dalam mengembalikan reforma agraria pada esensi sejatinya: redistribusi tanah yang adil sebagai basis keadilan sosial dan kedaulatan pangan.
    Mewujudkan reforma agraria sejati membutuhkan keberanian politik yang lebih dari sekadar program sertifikasi dan jargon pembangunan. Negara harus kembali pada mandat UUPA 1960 dan Pasal 33 UUD NRI 1945: tanah bukan komoditas belaka, melainkan sumber kehidupan yang harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Tanpa penataan ulang struktur penguasaan tanah, setiap janji kedaulatan pangan hanya akan menjadi mitos yang terus diproduksi dari panggung kekuasaan.
    Agenda redistribusi tanah harus dipulihkan sebagai inti reforma agraria, bukan digeser menjadi proyek administratif. Tanah-tanah yang selama ini terkonsentrasi di tangan korporasi besar, badan usaha negara, hingga bank tanah perlu didistribusikan kembali kepada petani kecil dan masyarakat adat. Dengan cara itu, ketimpangan struktural bisa dipangkas dan potensi konflik dapat ditekan.
    Reforma agraria bukanlah hadiah dari negara kepada rakyat, melainkan prasyarat bagi demokrasi ekonomi yang berkeadilan. Selain itu, pelindungan terhadap kelompok rentan harus menjadi prioritas. Catatan ratusan korban kriminalisasi sepanjang 2024 menunjukkan bahwa aparat negara kerap digunakan sebagai instrumen represi. Pola ini harus diputus. Aparat semestinya hadir melindungi rakyat, bukan memfasilitasi perampasan tanah.
    Penegakan hukum yang berpihak pada keadilan agraria, bukan pada modal besar, menjadi fondasi penting agar reforma agraria tidak lagi terjebak dalam pusaran kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia.
    Reforma agraria sejati tidak mungkin terwujud tanpa keberpihakan jelas: berpihak pada petani, masyarakat adat, dan kelompok kurang mampu yang selama ini dikorbankan atas nama pembangunan. Hanya dengan keberanian politik seperti itu, cita-cita UUPA 1960 untuk menghadirkan keadilan sosial dapat benar-benar hidup, bukan sekadar diulang dalam seremoni Hari Tani Nasional.
    Tanpa langkah itu, reforma agraria akan terus menyimpang arah, dan keadilan agraria hanya akan menjadi retorika kosong di tengah luka rakyat yang tidak kunjung sembuh.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Memaknai kehadiran Presiden Prabowo di Sidang Umum PBB

    Memaknai kehadiran Presiden Prabowo di Sidang Umum PBB

    Jakarta (ANTARA) – Pidato Presiden Prabowo pada Sesi Debat Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, bukan sekadar acara protokoler tahunan. Bagi seorang pemimpin dunia, ia membawa makna strategis dan simbolis yang sangat dalam, baik untuk posisi Indonesia di panggung global, juga khususnya bagi Presiden Indonesia yang baru saja menjabat.

    Forum ini merupakan panggung diplomasi multilateral yang paling strategis dan bergengsi. Kehadiran seorang presiden di Sidang Umum PBB memiliki makna yang jauh melampaui sekadar menyampaikan pidato, ia adalah sebuah pernyataan politik, sebuah momentum untuk membentuk narasi, meneguhkan gerakan diplomasi dan sebuah kesempatan langka untuk memperjuangkan kepentingan nasional di hadapan seluruh dunia.

    Tampil di hadapan 193 negara sebagai kepala negara yang diakui secara internasional akan memperkuat legitimasi dan wibawanya di mata rakyat Indonesia. Ini menunjukkan bahwa dunia menerima dan menghormati hasil proses demokrasi Indonesia dan kepemimpinannya. Inilah yang kemudian kita namakan sebagai gerakan sistematis mengonsolidasikan legitimasi dan otoritas domestik

    Di tengah dunia yang penuh gejolak (perang, ketegangan geopolitik, resesi), kehadiran pemimpin dari negara demokrasi terbesar ketiga di dunia yang relatif stabil dan ekonominya mulai tumbuh adalah pesan yang kuat. Indonesia hadir bukan sebagai sumber masalah, tetapi sebagai bagian dari solusi dan penjaga stabilitas.

    Prabowo datang bukan hanya sebagai pemimpin Indonesia, tetapi juga sebagai representasi dari suara negara-negara berkembang atau Global South Countries, ASEAN, dan dunia Muslim yang moderat. Pidatonya menjadi instrumen untuk memperkuat posisi Indonesia sebagai kekuatan menengah yang dapat menjembatani kepentingan berbagai blok negara. Tentunya ini akan menggerek status Indonesia sebagai middle power dan global swing state.

    Bagi Prabowo, Sidang Umum PBB 2025 menjadi debut globalnya yang paling resmi, meski sebelumnya telah menghadiri forum APEC di Peru, G20 dan BRICS di Brazil, serta ASEAN Summit di Malaysia.

    Lima tahun ke belakang, dunia internasional mengenalnya sebagai Menteri Pertahanan RI dengan pendirian yang tegas. Kini, Prabowo tampil sebagai kepala negara dari negara demokrasi terbesar ketiga dan kekuatan ekonomi utama G20.

    Pidato pertamanya di mimbar PBB adalah kesempatan untuk mentransformasi persepsi internasional dari figur militer menjadi seorang negarawan global yang visioner. Kehadirannya memberikan legitimasi dan pengakuan de facto dari komunitas internasional terhadap kepemimpinannya, memperkuat posisinya, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

    Mimbar Sidang Umum PBB adalah medium terbaik untuk mendemonstrasikan komitmen Indonesia pada politik luar negeri “bebas dan aktif”, bukan hanya dalam retorika, tetapi dalam tindakan. Di tengah polarisasi global akibat isu Palestina, perang Rusia-Ukraina, ketegangan AS-China, dan krisis lainnya, dunia menanti posisi dan peran nyata Indonesia.

    Prabowo dapat menggunakan kesempatan ini untuk menegaskan bahwa Indonesia tidak akan masuk dalam blok manapun, tetapi aktif menjadi jembatan perdamaian dan penengah konflik.

    Dengan menyampaikan pesan perdamaian, keadilan, dan kerja sama dari podium yang sama yang pernah digunakan oleh Bung Karno, puluhan tahun lalu, Prabowo dapat menghubungkan diri dengan tradisi besar diplomasi Indonesia, sekaligus menawarkan sudut pandang Indonesia untuk menyelesaikan masalah global.

    Sidang Umum PBB adalah “pasar dunia” bagi kepentingan nasional. Bagi Indonesia, setidaknya ada tiga kepentingan utama yang bisa diperjuangkan.

    Pertama, kepentingan politik. Dukungan untuk Palestina adalah prinsip dasar diplomasi Indonesia. Pidato di Sidang Umum PBB adalah momentum, tidak hanya mengulang komitmen, tetapi untuk menggalang dukungan internasional yang lebih konkret, mungkin dengan menawarkan inisiatif perdamaian baru atau mengecam ketidakadilan yang terus berlangsung. Ini juga peluang memperkuat kepemimpinan Indonesia di ASEAN dan memperjuangkan isu-isu kawasan, seperti di Laut China Selatan.

    Kedua, kepentingan ekonomi. Forum ini adalah ajang soft diplomacy ekonomi yang sangat efektif. Pertemuan bilateral dengan para pemimpin negara dan CEO perusahaan global di sela-sela sidang dapat digunakan untuk mempromosikan investasi, terutama dalam proyek strategis nasional, seperti hilirisasi industri, pembangunan infrastruktur dan transisi energi.

    Prabowo dapat mempresentasikan Indonesia sebagai tujuan yang stabil dan menjanjikan di tengah gejolak ekonomi global.

    Ketiga, kepentingan strategis. Isu-isu, seperti perubahan iklim, krisis pangan, dan tata kelola keuangan global, adalah perhatian seluruh bangsa. Dengan menyuarakan solusi dan komitmen Indonesia, Prabowo dapat memosisikan Indonesia bukan hanya sebagai objek, tetapi sebagai subjek yang aktif membentuk arsitektur global yang lebih adil. Ini sejalan dengan visinya untuk membawa Indonesia menjadi negara yang disegani.

    Nilai praktis terbesar dari kehadiran Prabowo ke Sidang Umum PBB di New York terletak pada pertemuan-pertemuan di sela-sela sidang. Dalam beberapa hari, seorang presiden dapat bertemu dengan ratusan pemimpin dunia yang hampir mustahil dijumpai dalam waktu singkat di tempat lain.

    Membangun jejaring ini sangat berharga untuk membangun hubungan pribadi yang seringkali menjadi kunci dalam menyelesaikan masalah diplomatik atau kesepakatan dagang di masa depan.

    Bagi Prabowo, ini adalah kesempatan emas untuk tidak hanya memperkenalkan diri, namun lebih dari itu untuk membangun kepercayaan dan menciptakan aliansi-aliansi strategis baru untuk Indonesia dalam rangka memperjuangkan kepentingan nasional

    Bagi Prabowo, kehadirannya di Sidang Umum PBB adalah keharusan strategis. Ini lebih dari sekadar kewajiban protokoler, ini adalah investasi politik dan ekonomi untuk masa jabatannya. Pidato di podium hijau PBB adalah pengumuman resmi kepada dunia bahwa Indonesia di bawah kepemimpinannya siap memainkan peran yang lebih besar dan lebih vokal dalam percaturan global.

    Keberhasilan memanfaatkan momen ini bukan diukur dari sambutan atas pidatonya, tetapi dari seberapa efektif ia dapat menerjemahkan kehadiran simbolis itu menjadi legitimasi politik, kemitraan strategis, dan keuntungan nyata bagi rakyat Indonesia.

    Kegagalan untuk tampil dengan kuat di panggung ini bukanlah sebuah opsi, karena dunia akan melihat dan menarik kesimpulannya sendiri tentang tempat Indonesia di bawah kepemimpinan yang baru.

    Konteks historis

    Kehadiran Presiden Indonesia di Sidang Umum PBB bukanlah sekadar kunjungan kerja biasa. Tradisi ini telah berevolusi menjadi ritual diplomatik yang sarat makna, sebuah pernyataan resmi pertama di panggung global yang menandakan arah politik luar negeri seorang pemimpin baru.

    Dari Soekarno hingga Prabowo, setiap kehadiran mencerminkan semangat zaman eranya, sekaligus visi sang pemimpin terhadap peran Indonesia di dunia. Kehadiran Presiden Indonesia di Sidang Umum PBB selalu menjadi momen strategis untuk memproyeksikan suara, kedaulatan, dan kepentingan nasional Indonesia di panggung global. Setiap era kepemimpinan membawa motivasi dan isu yang berbeda, mencerminkan dinamika politik domestik dan geopolitik global pada masanya.

    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • KKP jaring masukan masyarakat Karawang terdampak revitalisasi tambak

    KKP jaring masukan masyarakat Karawang terdampak revitalisasi tambak

    Untuk aktivis dari LSM yang diundang dalam konsultasi publik ini merupakan rekomendasi dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Karawang

    Karawang (ANTARA) – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menjaring saran dan masukan masyarakat di sekitar pesisir utara Kabupaten Karawang, Jawa Barat (Jabar), dalam konsultasi publik terkait penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) revitalisasi tambak Pantura Jabar.

    Direktur Ikan Air Laut KKP Ikhsan Kamil, di Karawang, Senin, menyampaikan konsultasi publik ini merupakan salah satu syarat penyusunan dokumen amdal yang tengah dirumuskan oleh tim konsultan KKP.

    Melalui konsultasi publik, pihaknya menggali informasi mengenai saran dan masukan dari masyarakat yang terdampak proyek revitalisasi tambak Pantura Jabar. Proyek Strategis Nasional (PSN) revitalisasi tambak Pantura Jawa Barat meliputi wilayah Bekasi, Karawang, Subang, dan Indramayu.

    Untuk tahap awal, kata dia, proyek ini akan dilaksanakan di wilayah pesisir utara Karawang, seluas sekitar 6.979,51 hektare yang berlokasi di Kecamatan Batujaya, Cibuaya, Cilamaya Wetan, Pakisjaya, dan Tirtajaya.

    Proyek revitalisasi tambak itu meliputi pembangunan saluran intake, kolam budi daya, kolam nursery, instalasi pengolahan limbah, kawasan pengelola, infrastruktur kawasan serta rencana pengembangan.

    Selain masyarakat umum, hadir dalam konsultasi publik antara lain para camat dan kepala desa yang daerahnya terdampak, pihak kepolisian dan TNI, serta kalangan aktivis.

    “Untuk aktivis dari LSM yang diundang dalam konsultasi publik ini merupakan rekomendasi dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Karawang,” katanya.

    Hadir pula perwakilan dari DLH dan Dinas Perikanan Karawang, DLH Jabar, serta Kementerian Lingkungan Hidup (KLH).

    Pada dialog dalam konsultasi publik ini, sejumlah kepala desa dan para camat menekankan agar KKP memperhatikan tanaman mangrove, infrastruktur saluran air, dan keterlibatan tenaga kerja dari masyarakat lokal.

    Selain itu masyarakat dan kalangan aktivis juga mengimbau agar KKP memperhatikan para pembudidaya ikan di tambak jika proyek revitalisasi itu sudah berjalan.

    Hal lain yang disampaikan masyarakat dan kalangan aktivis ialah mengecek tanda batas lahan area revitalisasi tambak dengan tanah milik masyarakat. Sebab ada beberapa desa yang bahkan tidak mengetahui batas antara tanah negara dengan milik masyarakat.

    Menurut Ikhsan Kamil, semua saran dan masukan masyarakat akan dimasukkan dalam penyusunan dokumen amdal revitalisasi tambak Pantura Jabar yang kini tengah dirumuskan tim konsultan KKP.

    Ia menyebutkan revitalisasi tambak di wilayah Pantura Jabar bertujuan meningkatkan produktivitas lahan tambak tidak produktif menjadi area budi daya perikanan bernilai tinggi dan berkelanjutan, khususnya untuk komoditas ikan nila salin.

    Selain itu mendukung kebijakan swasembada dan ketahanan pangan nasional, berkontribusi dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi, mendorong terciptanya industri hulu-hilir bagi produk berbasis ikan, serta akan menyerap tenaga kerja hingga mencapai sekitar 132 ribu orang.

    Pewarta: M.Ali Khumaini
    Editor: Risbiani Fardaniah
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Menteri PPN: Hilirisasi kelapa masuk PSN akan kembangkan investasi

    Menteri PPN: Hilirisasi kelapa masuk PSN akan kembangkan investasi

    Jakarta (ANTARA) – Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Rachmat Pambudy mengatakan dengan masuknya program hilirisasi kelapa ke dalam proyek strategis nasional (PSN), akan makin mengembangkan investasi.

    “Dengan memasukkan hilirisasi kelapa ke dalam proyek strategis nasional (PSN), kita bisa mengembangkan investasi, meningkatkan produktivitas, nilai tambah, dan juga meningkatkan kesempatan kerja,” katanya dalam Rapat Koordinasi Tim Perencanaan dan Percepatan Program Hilirisasi Kelapa, sebagaimana dikutip dari keterangan resminya di Jakarta, Senin.

    Selaras dengan amanat Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029, hilirisasi kelapa ditetapkan sebagai salah satu PSN untuk memperkuat ketahanan pangan dan kemandirian ekonomi.

    Sebagai produsen kelapa terbesar di dunia yang berkontribusi 24 persen terhadap produksi kelapa setara kopra dunia, lanjutnya, Indonesia masih menghadapi tantangan dalam industri kelapa nasional mulai dari produktivitas yang rendah, diversifikasi produk olahan terbatas, pemenuhan kebutuhan dalam negeri belum optimal, serta ekosistem pendukung yang terintegrasi belum terbangun.

    Untuk itu, pihaknya bersama Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan menandatangani Nota Kesepahaman tentang Optimalisasi dan Sinergi Pelaksanaan Tugas dan Fungsi di Bidang Perencanaan Pembangunan Nasional serta Bidang Pembangunan Imigrasi dan Pemasyarakatan.

    Hal tersebut dilakukan guna memperkuat implementasi Peta Jalan Hilirisasi Kelapa 2025-2045 sebagai dokumen panduan mewujudkan sektor perkelapaan berkelanjutan, inklusif, dan berdaya saing yang mendorong kesejahteraan petani, pertumbuhan industri, serta ketahanan ekonomi nasional.

    Bappenas telah membentuk Tim Perencanaan dan Percepatan Program Hilirisasi Kelapa dengan tugas mengoordinasikan penyusunan rencana kerja strategis, lalu memfasilitasi investasi yang masuk ke dalam negeri.

    Selain itu, juga merumuskan rekomendasi kebijakan guna memastikan keselarasan langkah seluruh pemangku kepentingan, termasuk memberdayakan balai latihan kerja dan warga binaan lembaga pemasyarakatan.

    Sinergi ini diharapkan dapat memastikan hilirisasi kelapa diterapkan secara inklusif, berkelanjutan, memperkuat kemandirian ekonomi, serta memberi manfaat sosial yang luas, sebagaimana Gerakan Penanaman Pohon Kelapa Serentak dan Ekspor Produk Sabut Kelapa hasil karya warga binaan Lapas Garut.

    “Indonesia adalah negara produsen kelapa utama dunia. Dari kelapa inilah sebenarnya Indonesia pernah bangkit dan mendapatkan devisa besar. Ini adalah langkah kecil untuk lompatan besar. Melalui kolaborasi ini, kita membuat sejarah baru, tidak hanya bergantung pada kelapa sawit, tetapi juga kelapa yang sejak dulu menjadi sumber bahan baku minyak kita,” ungkap Kepala Bappenas.

    Pewarta: M Baqir Idrus Alatas
    Editor: Kelik Dewanto
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • TKDN Hulu Migas Lampui Target, Pakar: Industri Jadi Motor Ekonomi

    TKDN Hulu Migas Lampui Target, Pakar: Industri Jadi Motor Ekonomi

    Bisnis.com, JAKARTA – Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) di sektor hulu minyak dan gas (migas) menunjukkan capaian positif sepanjang 2025. Realisasi TKDN yang melampaui target pemerintah dinilai sebagai bukti nyata peran industri lokal dalam memperkuat perekonomian nasional.

    Data SKK Migas mencatat, hingga Juni 2025, TKDN pada proyek strategis nasional (PSN) telah mencapai 58%, jauh di atas target 18%. Sementara itu, pada proyek non-PSN, TKDN tercatat sebesar 59%, melampaui target 57%.

    Deputi Dukungan Bisnis SKK Migas, Eka Bhayu Setta mengatakan pencapaian TKDN hulu migas menunjukkan multiplier effect yang nyata terhadap perekonomian nasional. 

    “Industri dalam negeri tidak hanya menjadi penonton, tetapi ikut aktif berkontribusi dalam rantai pasok migas,” kata dalam keterangan tertulis, dikutip Minggu (21/9/2025). 

    Sepanjang Semester I/2025, nilai kontrak barang dan jasa di sektor hulu migas mencapai US$3,57 miliar atau sekitar Rp58,7 triliun. 

    Dari jumlah tersebut, belanja dalam negeri menembus US$1,83 miliar atau sekitar Rp30,1 triliun, menunjukkan kontribusi besar bagi industri nasional.

    Tak hanya memberi dampak ekonomi makro, penerapan TKDN juga dirasakan di daerah. Pihaknya juga disebut telah merevisi kebijakan pengadaan, sehingga memungkinkan perusahaan lokal mengakses kontrak hingga Rp50 miliar. 

    Langkah tersebut diyakini mendorong lahirnya lebih banyak pengusaha lokal yang terlibat dalam rantai pasok industri migas.

    “Ke depan, TKDN harus terus ditingkatkan agar setiap dolar investasi migas yang masuk ke Indonesia memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi bangsa,” jelasnya.

    Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, menegaskan penerapan TKDN bukan hanya soal efisiensi, tetapi juga pemberdayaan. 

    “Selain menopang ketahanan energi, sektor hulu migas juga berkontribusi langsung terhadap pemberdayaan industri hulu migas melalui penerapan TKDN,” tuturnya.

    Dengan capaian ini, sektor hulu migas tidak hanya memperkuat ketahanan energi, tetapi juga menjadi motor penting pemberdayaan industri nasional dan daerah, sekaligus mendukung target pertumbuhan ekonomi pemerintah menuju Visi Indonesia Emas 2045.

    Sekretaris Daerah Provinsi Riau, Syahrial Abdi menyebut keberadaan industri hulu migas memberikan dampak baik secara langsung maupun tidak langsung bagi masyarakat daerah.

    Di antara kontribusi paling nyata adalah dana bagi hasil (DBH) migas yang menjadi penopang Anggaran dan Belanja Daerah (APBD). Tahun 2023, DBH Migas untuk Riau tercatat sebesar Rp3,2 triliun, turun menjadi Rp2,3 triliun pada 2024, dan diperkirakan naik sedikit menjadi Rp2,6 triliun pada 2025, dengan asumsi harga minyak US$ 82 per barel.

     Keberadaan industri hulu migas juga turut melengkapi benefit dari sektor hilir migas yang memutar roda ekonomi daerah. Data Badan Pusat Statistik mencatat, ekonomi Riau semester II 2025 tumbuh 4,59% sekaligus menempatkannya sebagai wilayah dengan Produk Regional Domestik Bruto (PDRB) kedua terbesar di Sumatera setelah Sumatera Utara.

     “Ini mungkin bisa langsung mendorong pembangunan daerah secara tidak langsung untuk pertumbuhan ekonomi di masyarakat. Artinya ada uang yang berputar juga di masyarakat,” pungkasnya.