Topik: Proyek Smelter

  • Waswas Dejavu Booming Nikel, Hilirisasi Bauksit Perlu Strategi Pengendalian

    Waswas Dejavu Booming Nikel, Hilirisasi Bauksit Perlu Strategi Pengendalian

    Bisnis.com, JAKARTA — Pelaku usaha menilai pemerintah perlu menjaga keseimbangan antara produksi bauksit dan alumina serta memastikan konsistensi regulasi untuk memperkuat daya saing industri alumina nasional di tengah upaya hilirisasi mineral.

    Tingginya minat investor asal China untuk masuk ke rantai hilirisasi bauksit dalam negeri membuat pelaku usaha waswas. Di satu sisi, meningkatnya investasi dapat menggairahkan hilirisasi bauksit yang selama ini masih stagnan. Namun, di sisi lain, semarak investasi smelter tanpa pengendalian berpotensi membuat harga bauksit dan produk olahannya, seperti alumina dan aluminium bisa jatuh di pasar global sebagaimana yang terjadi pada komoditas nikel. 

    Ketua Umum Asosiasi Bauksit Indonesia (ABI) Ronald Sulistyanto mengatakan, langkah pemerintah mendorong hilirisasi bauksit menjadi alumina harus diikuti dengan pengaturan produksi yang seimbang agar tidak menimbulkan kelebihan pasokan di pasar.

    “Jangan terlalu banyak produksi alumina. Produksi alumina itu harus mengejawantahkan produksi bauksitnya. Kalau alumina oversupply, harga pasar dunia bisa turun,” ujar Ronald kepada Bisnis, Rabu (15/10/2025).

    Menurutnya, keseimbangan antara ketersediaan bauksit dan kapasitas produksi alumina menjadi faktor penting untuk menjaga stabilitas harga dan keberlanjutan industri.

    “Kalau alumina banyak, otomatis kebutuhan bauksit juga meningkat. Jadi harus seimbang antara output alumina dengan supply bauksitnya,” tambahnya.

    Ronald pun menilai pemerintah perlu berhati-hati dalam menentukan volume produksi bauksit agar tidak menciptakan ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran di pasar.

    Sementara itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia memastikan harga alumina tidak akan jatuh meski banyak investor berencana membangun smelter di Tanah Air.

    Menurut Bahlil, kebutuhan produk turunan bauksit di dalam negeri masih jauh lebih tinggi dibandingkan kapasitas industri yang ada saat ini. Kebutuhan tersebut masih dipenuhi dari impor sehingga kekhawatiran oversupply alumina belum akan terjadi. 

    “Sekarang kita masih banyak impor untuk produk turunan dari bauksit, seperti aluminium. Jadi antara kebutuhan dalam negeri dan kapasitas industri, kebutuhannya masih lebih besar. Jadi tidak ada masalah,” kata Bahlil di Jakarta, Rabu (15/10/2025).

    Dia pun menegaskan komoditas bauksit menjadi salah satu fokus utama pemerintah dalam mendorong agenda hilirisasi mineral dan batu bara (minerba) nasional. Pemerintah telah menghentikan ekspor bahan mentah bauksit sejak 2023 untuk mempercepat tumbuhnya industri pengolahan di dalam negeri.

    “Bauksit ini salah satu komoditas yang akan kita dorong untuk hilirisasi. Sekarang ekspor bahan mentahnya sudah dilarang. Ini bagian dari upaya untuk meningkatkan investasi,” kata Bahlil.

    Menurutnya, pemerintah menargetkan investasi di sektor hilirisasi minerba tahun ini mencapai sekitar US$7 miliar hingga US$8 miliar. Adapun, hingga Agustus 2025, realisasi investasi tercatat telah mencapai kisaran US$3 miliar hingga US$4 miliar.

    “Realisasinya sampai Agustus sekitar US$3 miliar sampai US$4 miliar. Ini bagian dari langkah pemerintah untuk terus mendorong hilirisasi bauksit,” ujarnya.

    Potensi Serbuan Investasi China

    Direktur Utama PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) Melati Sarnita mengungkapkan bahwa Indonesia berpotensi kebanjiran pasokan aluminium seiring investasi perusahaan-perusahaan China yang mulai membangun smelter aluminium di Tanah Air. 

    Langkah perusahaan China membangun smelter di Indonesia bukan tanpa alasan. Melani menjelaskan, para perusahaan asal Negeri Tirai Bambu itu sudah tak bisa membangun smelter baru di negara asal mereka. Pasalnya, pemerintah China hanya mengizinkan smelter aluminium untuk memproduksi maksimal 45 juta ton per tahun.

    “Di atas itu dia sudah tidak boleh membangun di China. Makanya banyak pemain-pemain China akhirnya membangun smelter di Indonesia untuk aluminium,” ucap Melati dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi VI DPR RI, Senin (29/9/2025).

    Selain itu, perusahaan China memlilih membangun smelter di Indonesia juga karena RI telah melarang ekspor bauksit mentah sebagai bahan baku utama alumina.

    “Jadi di alumina refinery sekarang kita lihat peningkatan pemakaian bauksitnya cukup tinggi,” kata Melati.

    Sementara itu, Inalum saat ini juga tengah menyiapkan smelter aluminium baru di Mempawah, Kalimantan Barat dengan kapasitas produksi hingga 600.000 ton per tahun yang ditargetkan rampung pada 2029. Pembangunan smelter baru ini akan meningkatkan kapasitas produksi aluminium perseroan menjadi 900.000 ton per tahun. 

    Dengan potensi pasokan berlebih aluminium ke depan, Melati menuturkan, 30% dari total produksi aluminium perseroan pada 2029 akan dialokasikan untuk ekspor. 

    “Jadi dalam proyeksi kita sendiri ketika kita mencapai di 900.000 itu ada sekitar 30% yang kita alokasikan untuk ekspor. Jadi tidak hanya untuk dalam negeri,” ujarnya.

    Sejalan dengan upaya peningkatan produksi aluminium, anak usaha MIND ID itu juga telah mempercepat penyelesaian pembangunan Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) Fase I berkapasitas 1 juta ton alumina per tahun di Mempawah, Kalimantan Barat pada tahun ini.

    Selain itu, pengembangan SGAR Fase II juga tengah dipersiapkan dan akan menambah kapasitas produksi alumina sebesar 1 juta ton per tahun pada 2028.

    Aturan HPM

    Di sisi lain, pelaku usaha juga menekankan pentingnya konsistensi kebijakan agar iklim investasi di sektor pertambangan bauksit tetap kondusif. Ketua Umum Asosiasi Bauksit Indonesia (ABI) Ronald Sulistyanto menyoroti seringnya perubahan aturan, mulai dari harga patokan mineral (HPM) hingga jangka waktu rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB), yang dinilai membuat investor ragu menanamkan modal di Indonesia.

    “Peraturan jangan sampai berubah-ubah. Baru tanda tangan belum kering tintanya, sudah diubah lagi. Investor pasti bertanya, jaminan saya apa? Dalam masa izin usaha saya, berapa kali aturan berubah?” katanya.

    Dia berharap pemerintah dapat memperkuat kepastian hukum dan arah kebijakan jangka panjang sektor bauksit dan alumina. Dengan demikian, hilirisasi mineral yang sedang digencarkan pemerintah tidak hanya meningkatkan nilai tambah di dalam negeri, tetapi juga menarik investasi baru ke sektor pengolahan mineral.

    “Kunci daya saing industri alumina bukan hanya pada produksi, tapi juga pada kepastian berusaha. Kalau regulasinya stabil dan terprediksi, investor pasti datang,” tutup Ronald.

    Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesian Mining Association (IMA) Hendra Sinadia menilai pemerintah perlu meninjau kembali kebijakan HPM untuk komoditas bauksit guna memperkuat daya saing hilirisasi alumina di dalam negeri.

    Dia mengatakan, saat ini industri bauksit masih menghadapi sejumlah hambatan dalam mengembangkan proyek hilirisasi. Salah satunya adalah ketentuan HPM yang dinilai belum sepenuhnya mendukung keekonomian rantai pasok dari tambang hingga smelter.

    “Menurut informasi dari pengusaha bauksit, masih terkendala di HPM. Pasokannya berlebih, harga turun. Jadi, hal itu cukup memengaruhi kelanjutan proyek hilirisasi,” ujar Hendra.

    Asal tahu saja, pemerintah kini memperbolehkan transaksi antara penambang dengan smelter dengan mengacu tarif di bawah HPM. Namun, pengenaan royalti, perpajakan, hingga iuran produksi tetap mengacu pada HPM.

    Hal itu sebagaimana diatur dalam Kepmen ESDM Nomor 268.K/MB.01/MEM.B/2025 tentang Pedoman Penetapan Harga Patokan untuk Penjualan Komoditas Mineral Logam dan Batu Bara yang diteken pada 8 Agustus 2025.

    Adapun, aturan itu dibuat demi menjaga harga mineral dan batu bara agar tak turun ketika ekspor melemah, serta mengoptimalkan penerimaan negara. Di sisi lain, aturan itu malah merugikan penambang bauksit lantaran saat ini bauksit dilarang untuk diekspor.

    Aturan tersebut dinilai dapat membunuh penambang bauksit. Adapun, sejumlah kerugian dari aturan itu seperti kesulitan penambang untuk mendapat harga jual bauksit yang ekonomis, mengganggu kemampuan pendanaan untuk melaksanakan good mining practice, hingga menciptakan ketidakadilan dalam tata niaga mineral bauksit.

    Hendra pun menjelaskan, beberapa fasilitas pemurnian (smelter) yang dibangun perusahaan tambang bersifat terintegrasi dengan tambangnya. Namun, apabila harga jual bauksit di tingkat tambang terlalu rendah, maka kelayakan finansial proyek smelter turut tertekan.

    “Kalau tambangnya mereka produksi, tapi harganya rendah dan tidak ekonomis, kelanjutan pembangunan smelternya juga bisa terpengaruh,” tambahnya.

    Hendra menilai, agar hilirisasi bauksit dapat berjalan berkelanjutan dan menarik investasi baru, pemerintah perlu memastikan kebijakan harga patokan mineral mencerminkan kondisi pasar dan biaya produksi yang wajar.

    “Kalau dari pengusaha bauksit seperti itu, ya, yang harus diluruskan dulu memang soal HPM,” ujarnya.

  • RI Nego China buat Tambah Saham di Proyek Baterai Raksasa

    RI Nego China buat Tambah Saham di Proyek Baterai Raksasa

    Jakarta

    Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengaku telah membuka pembicaraan kepada CATL untuk membuka jalan bagi Indonesia menambah porsi di proyek baterai raksasa.

    Seperti diketahui CATL yang membuat konsorsium bersama Brunp dan Lygend (CBL) berkolaborasi dengan Antam dan Indonesia Battery Corporation (IBC) untuk menggarap proyek pengembangan ekosistem baterai listrik terintegrasi.

    Proyek ini dapat memproduksi baterai untuk kendaraan listrik hingga kapasitas maksimal 15 Gw dari hulu ke hilir. Kapasitas produksi sebesar itu menurut Bahlil dapat digunakan untuk 250-300 ribu kendaraan listrik.

    Proyek besar itu terdiri dari beberapa subproyek. Bahlil bilang saham Indonesia hanya dominan di subproyek pertambangannya saja. Indonesia ingin agar ada tambahan saham di subproyek pengelolaan nikel, baik di subproyek HPAL dan juga smelter.

    Menurutnya sejauh ini CATL dan konsorsiumnya tidak ada masalah bila Indonesia mau menambah saham di proyek tersebut.

    “Kita kolaborasikan 51% saham BUMN yang sekarang ada di ANTAM, di hulunya, di tambangnya, kemudian di HPAL, kemudian smelter Itu kurang lebih sekitar 31% dan 36%,” sebut Bahlil dalam groundbreaking proyek tersebut, Minggu (29/6/2025).

    “Saya sudah bicara dengan mereka untuk potensi kepentingan saham negara lagi, dan mereka pada prinsipnya tidak ada masalah,” katanya melanjutkan.

    Sebagai informasi, ekosistem baterai listrik hasil kerja sama perusahaan Indonesia dan China ini mencakup enam sub-proyek utama. Lima di antaranya bertempat di Kabupaten Halmahera Timur dan satunya lagi di Kabupaten Karawang.

    Pertama, di Halmahera, Antam bekerja sama dengan Hong Kong CBL Limited (HK CBL) resmi membentuk perusahaan patungan PT Feni Haltim (PT FHT) untuk mengembangkan kawasan industri energi baru di Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara.

    Kawasan Industri ini mencakup lima subproyek utama, yaitu, pertambangan nikel, proyek smelter pirometalurgi, proyek smelter hidrometalurgi, proyek Bahan Baterai dengan produk Bahan Katoda Nickel Cobalt Manganese (NCM), hingga proyek daur ulang baterai menghasilkan produk Nikel Cobalt Mangan Sulfat dan Lithium dan Lithium Karbonat. Bahlil ingin agar Indonesia menambah porsi saham pada pengolahan nikel setelah pertambangan.

    Kedua, berlokasi di Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat telah dimulai proyek pengembangan pabrik baterai Lithium Ion yang merupakan Perusahaan Patungan antara Indonesia Battery Corporation (IBC) dan Konsorsium CBL. Proyek ini dibangun di kawasan Artha Industrial Hills (AIH), Kabupaten Karawang dengan luas 43 Ha, proses pembangunan sudah dimulai sejak bulan November 2024.

    Bahlil melanjutkan kerja sama perusahaan Indonesia dan China ini sesungguhnya adalah realisasi dari gagasan awal untuk melakukan kolaborasi antara negara yang punya sumber daya alam dengan negara yang punya teknologi dan pasar.

    Indonesia menurutnya kaya akan sumber daya alam pembentuk baterai. Seperti nikel, mangan, hingga kobalt. Tetapi teknologi pengembangannya yang memang belum terlalu dimiliki secara komprehensif. Maka dari itu Indonesia mengajak perusahaan China untuk bekerja sama.

    “Karena itu, kita lakukan kerja sama dengan teman-teman dari Tiongkok, khususnya CATL. CATL ini adalah pemain baterai mobil terbesar di dunia,” sebut Bahlil.

    (hal/kil)

  • Indonesia-China Garap Proyek Baterai Mobil Listrik

    Indonesia-China Garap Proyek Baterai Mobil Listrik

    Jakarta

    Perusahaan Indonesia dan China bekerja sama menggarap proyek baterai kendaraan listrik. Presiden Prabowo Subianto melakukan peresmian groundbreaking ekosistem industri baterai kendaraan listrik.

    Industri baterai kendaraan listrik terintegrasi garapan Konsorsium Antam-IBC-CBL akan berdiri di Kawasan Artha Industrial Hills (AIH) di Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Proyek ini digarap oleh Antam, konsorsium BUMN Indonesia Battery Corporation, dan juga konsorsium perusahaan China CATL, Brunp, dan Lygend.

    Industri baterai kendaraan listrik yang akan digarap perusahaan Indonesia dan China ini bakal memproduksi baterai kendaraan listrik dengan kapasitas maksimal 15 GWh dalam dua tahap. Tahap pertama akan menghasilkan 6,9 GWh pada tahun depan.

    “Groundbreaking ini bukti keseriusan pimpinan kita, kerja sama kita dengan mitra, sahabat, mitra kita kawan kita saudara kita dari Tiongkok kita bekerja sama dengan program yang menurut saya bisa dikatakan kolosal,” kata Prabowo dalam peresmian yang ditayangkan secara virtual, seperti dikutip detikFinance, Minggu (29/6/2025).

    “Bisa dikatakan ini terobosan luar biasa. Dari sini kita hasilkan energi terbarukan dan ramah lingkungan, ini yang dicita-citakan seluruh dunia,” ujar Prabowo.

    Proyek ini mencakup enam sub proyek proyek utama. Lima di antaranya bertempat di Kabupaten Halmahera Timur dan satunya lagi di Kabupaten Karawang.

    Pertama di Halmahera, Antam bekerja sama dengan Hong Kong CBL Limited (HK CBL) resmi membentuk perusahaan patungan PT Feni Haltim (PT FHT) untuk mengembangkan kawasan industri energi baru di Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara.

    Kawasan Industri ini mencakup lima subproyek utama, yaitu, pertambangan nikel, proyek smelter pirometalurgi, proyek smelter hidrometalurgi, proyek Bahan Baterai dengan produk Bahan Katoda Nickel Cobalt Manganese (NCM), hingga proyek daur ulang baterai menghasilkan produk Nikel Cobalt Mangan Sulfat dan Lithium dan Lithium Karbonat.

    Kedua, berlokasi di Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat, telah dimulai proyek pengembangan pabrik baterai Lithium Ion yang merupakan perusahaan patungan antara Indonesia Battery Corporation (IBC) dan Konsorsium CBL.

    Prabowo mengapresiasi kerja keras kebinetnya mewujudkan hilirisasi. Ia berharap hilirisasi akan terwujud dalam waktu dekat.

    “Dan dengan mengucap bismillahirrahmanirrahim, pada siang hari ini, hari Minggu, 29 Juni 2025, saya Prabowo Subianto, Presiden Republik Indonesia, dengan penuh kebanggaan, meresmikan groundbreaking Ekosistem Industri Baterai Kendaraan Listrik Terintegrasi. Konsorsium ANTAM, Indonesia Battery Corporation, dan CBL, Contemporary Brunt Ligand. Terima kasih. Dengan demikian, saya nyatakan dimulai,” ujar Prabowo.

    (rgr/lua)

  • Proyek Baterai Listrik Raksasa RI-China Ciptakan Nilai Tambah 8 Kali Lipat

    Proyek Baterai Listrik Raksasa RI-China Ciptakan Nilai Tambah 8 Kali Lipat

    Jakarta

    Presiden Prabowo Subianto menyatakan proyek pengembangan ekosistem industri baterai listrik terintegrasi garapan Konsorsium Antam-IBC-CBL di Kawasan Artha Industrial Hills (AIH) di Kabupaten Karawang, Jawa Barat dapat menciptakan nilai tambah besar.

    Menurutnya nilai tambah hingga 8 kali lipat dapat terjadi dari proyek tersebut. Prabowo memaparkan investasi proyek tersebut senilai US$ 5,9 miliar atau sekitar Rp 95,43 triliun (kurs Rp 16.175). Namun dengan investasi tersebut, proyek ini mampu menghasilkan US$ 48 miliar atau sekitar Rp 776 triliun untuk ekonomi Indonesia.

    “Jadi memang tadi saya katakan proyek ini terobosan dengan investasi US$ 5,9 miliar akan hasilkan nilai US$ 48 miliar diperkirakan, 8 kali nilai tambahnya,” sebut Prabowo saat melakukan groundbreaking proyek di Halmahera Selatan dan Karawang itu, Minggu (29/6/2025).

    Prabowo meyakini nilai tambah sebesar itu tidak hanya dirasakan di Provinsi Maluku Utara ataupun Jawa Barat saja. Namun, kawasan-kawasan di sekitar pengembangan ekosistem baterai ini diyakini bakal dapat berkah ekonomi juga.

    “Nilai tambah sebesar itu tidak hanya Maluku Utara yang dipercepat pembangunannya, provinsi lain akan menikmatinya, seluruh bangsa akan menikmatinya,” beber Prabowo.

    Pengembangan ekosistem baterai listrik hasil kerja sama perusahaan Indonesia dan China ini mencakup enam sub-proyek utama. Lima di antaranya bertempat di Kabupaten Halmahera Timur dan satunya lagi di Kabupaten Karawang.

    Pertama, di Halmahera, Antam bekerja sama dengan Hong Kong CBL Limited (HK CBL) resmi membentuk perusahaan patungan PT Feni Haltim (PT FHT) untuk mengembangkan kawasan industri energi baru di Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara.

    Kawasan Industri ini mencakup LIMA subproyek utama, yaitu, pertambangan nikel, proyek smelter pirometalurgi, proyek smelter hidrometalurgi, proyek Bahan Baterai dengan produk Bahan Katoda Nickel Cobalt Manganese (NCM), hingga proyek daur ulang baterai menghasilkan produk Nikel Cobalt Mangan Sulfat dan Lithium dan Lithium Karbonat.

    Kedua, berlokasi di Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat telah dimulai proyek pengembangan pabrik baterai Lithium Ion yang merupakan Perusahaan Patungan antara Indonesia Battery Corporation (IBC) dan Konsorsium CBL.

    Proyek ini dibangun di kawasan Artha Industrial Hills (AIH), Kabupaten Karawang dengan luas 43 Ha, proses pembangunan sudah dimulai sejak bulan November 2024.

    (hal/kil)

  • MIND ID Garap 4 Proyek Strategis Dukung Ekosistem Kendaraan Listrik

    MIND ID Garap 4 Proyek Strategis Dukung Ekosistem Kendaraan Listrik

    Bisnis.com, JAKARTA — Holding Industri Pertambangan Indonesia, MIND ID mengungkap sejumlah upaya untuk menjadikan Indonesia hub ekosistem industri kendaraan listrik (electric vehcile/EV) global. 

    Wakil Direktur Utama MIND ID Dany Amrul Ichdan mengatakan pihaknya berkomitmen untuk memasok kebutuhan industri ekosistem EV guna menjawab permintaan pasar yang terus meningkat.

    Menurut dia, EV merupakan ruang pasar baru yang penuh potensi. Apalagi saat ini banyak negara tengah berlomba-lomba untuk menembus pasar kendaraan listrik. 

    “Namun, Indonesia memiliki kekuatan yang sangat fundamental, kekayaan sumber daya alam dan kemampuan hilirisasi yang solid. Kami yakin Indonesia dapat menjadi pemain kunci dalam rantai pasok ekosistem EV global,” kata Dany dalam keterangan resminya, Sabtu (21/6/2025). 

    Dalam hal ini, MIND ID bersama seluruh perusahaan anggotanya akan memaksimalkan kapasitas dan membuka peluang kolaborasi dengan berbagai pihak agar potensi pasar ini dapat dimanfaatkan oleh industri dalam negeri.

    Dany menerangkan, sejumlah proyek-proyek strategis yang menghasilkan bahan baku mineral penting untuk industri turunan EV.

    Proyek pertama, Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR), Mempawah, Kalimantan Barat telah beroperasi dan mampu memproduksi 1 juta ton alumina per tahun sebagai baku utama untuk produksi aluminium, yang menjadi material dasar rangka dan bodi kendaraan listrik.

    Kedua yaitu Smelter Pemurnian Nikel yang sedang dikembangkan di Pomalaa, Morowali, Sorowako, dan Halmahera Timur untuk memproduksi Nickel Pig Iron (NPI) dan Mixed Hydroxide Precipitate (MHP), yakni bahan baku utama baterai EV.

    Ketiga, proyek smelter Tembaga di Gresik yang memiliki kapasitas produksi 600.000 ton katoda tembaga per tahun, yang menjadi komponen penting dalam sistem kelistrikan di dalam EV.

    Keempat yakni pilot proyek Coal-to-Graphite di Sumatra Selatan yang mampu mengonversi batu bara menjadi grafit sintetis dan anode sheet yang merupakan komponen utama baterai EV. 

    “Proyek ini merupakan solusi inovatif bagi Indonesia yang belum memiliki tambang grafit alam yang ekonomis,” tuturnya. 

    Dany juga menegaskan bahwa perseroan memahami pentingnya keberlanjutan riset dan pengembangan teknologi dalam menopang transformasi industri EV di masa depan. 

    Melalui payung riset Indonesia Mining & Minerals Research Institute (IMMRI), MIND ID berkomitmen untuk terus menghadirkan inovasi mineral yang relevan dengan kebutuhan industri.

    “Kunci untuk memenangkan perlombaan ini adalah semangat untuk terus melakukan riset dan pengembangan. Kami tidak akan berhenti pada proyek yang sudah berjalan — inovasi harus terus hidup, agar posisi Indonesia semakin kuat dalam rantai pasok global,” terangnya. 

  • 5 Tahun Lagi Produksi Alumina Inalum Bakal Nambah Jadi 2 Juta Ton

    5 Tahun Lagi Produksi Alumina Inalum Bakal Nambah Jadi 2 Juta Ton

    Jakarta, CNBC Indonesia – PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) berencana untuk menggenjot kapasitas produksi aluminium di Indonesia. Hal ini seiring dengan permintaan aluminium yang diperkirakan akan melonjak dalam beberapa tahun ke depan.

    Direktur Utama PT Inalum Melati Sarnita mengatakan bahwa pihaknya saat ini tengah megupayakan agar pembangunan proyek Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) fase 2 yang merupakan ekspansi dari Proyek SGAR Fase 1, berlokasi di Mempawah, Kalimantan Barat dapat segera dimulai.

    Dengan demikian, produksi alumina domestik dapat meningkat hingga mencapai 2 juta ton per tahun dengan beroperasinya fase 2 pada 2028. Adapun, masing-masing proyek SGAR fase 1 dan 2 memiliki kapasitas produksi alumina 1 juta ton per tahun.

    “Target MIND ID kita tahun ini untuk fase kedua, jadi di tahun 2028 kita bisa produksi alumina 2 juta ton,” ujar Melati dalam Economic Update 2025, CNBC Indonesia Rabu, (18/06/2025).

    Lebih lanjut, Melati menilai dengan adanya kegiatan hilirisasi bauksit yang telah dilakukan, Indonesia diharapkan dapat swasembada aluminium, sebagai mineral kritis di dunia. Hal ini menyusul langkah perusahaan yang akan menggenjot kapasitas produksi aluminium dari yang semula 275 ribu ton menjadi 900 ribu ton.

    “Ini seiring langkah dengan kita menambah alumina refinery, ketika kita punya 2 juta, Inalum harus bisa punya aluminium 900 ribu ton,” katanya.

    (pgr/pgr)

    [Gambas:Video CNBC]

  • DPR Ungkap Penyebab Banyak Proyek Smelter Bauksit Mangkrak

    DPR Ungkap Penyebab Banyak Proyek Smelter Bauksit Mangkrak

    Jakarta

    Ketua Komisi XII DPR RI Bambang Patijaya bicara tentang kondisi sejumlah proyek hilirisasi yang mangkrak. Hal ini merupakan salah satu persoalan yang menjadi bahan curhatan para pengusaha tambang.

    Bambang mengatakan, para pengusaha ini mengalami masalah yang beragam. Ia pun mencontohkannya dengan smelter alumina Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) yang dulu sempat mangkrak hingga 2 tahun lamanya.

    “Ternyata masalahnya banyak pada saat itu. Karena mitranya, Chalieco dari China, ternyata lagi Covid (di China) pada saat itu. Nah, akhirnya kan kita panggil dan kita berusaha uraikan,” kata Bambang, dalam Economic Update 2025 di Hotel Borobudur, Jakarta, Rabu (18/6/2025).

    Selain itu, menurutnya pada kala itu pemerintah juga baru merilis kebijakan untuk penghentian ekspor barang bauksit dan juga mineral-mineral mentah. Alhasil, ekspor hanya bisa dilakukan untuk barang-barang yang sudah diolah.

    Namun akhirnya, per hari ini smelter alumina tersebut sudah mulai berjalan dan sudah dalam tahap delivery product. Keberadaan smelter bauksit sendiri menurutnya sangat penting, di mana per hari ini di Indonesia hanya ada 4 smelter beroperasi.

    Sementara dalam beberapa waktu terakhir, kondisi banyaknya proyek smelter bauksit mangkrak juga mendapat sorotan. Setelah ditelusuri, kondisi ini muncul karena berbagai sebab.

    Bambang menyoroti dua hal utama menyangkut hal ini. Pertama,terkait dengan persoalan pendanaan, lalu yang kedua terkait dengan investor. Menurutnya, kedua hal ini saling berkaitan untuk bisa membantu menyelesaikan persoalan ini.

    “Pada proses berjalan yang kemarin-kemarin, banyak sekali yang tidak ada progres (proyek smelter). Nah, inilah banyak hal sekali yang mendasari dan pada akhirnya ada dua hal. Pertama terkait dengan persoalan pendanaan dan yang kedua terkait dengan investor. Nah, ini dua hal yang saling berkaitan,” ujarnya.

    Sebelumnya, Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Tri Winarno sempat menyebut, ada tujuh proyek fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) bauksit yang pembangunannya masih mangkrak. Proyek-proyek tersebut progresnya masih di bawah 60%.

    “Nah untuk bauksit ini dari tujuh smelter yang direncanakan keseluruhan ini belum terbangun Bapak-Ibu sekalian. Dengan mayoritas kendala masih proses pencarian investor untuk pendanaan,” ujar Tri dalam RDP bersama Komisi XII DPR RI, Rabu (19/2/2025).

    Selain itu, kondisi ini cukup berbeda apabila dibandingkan dengan smelter nikel yang jauh lebih pesat. Menurutnya, smelter bauksit dari sisi keekonomian relatif lebih berat dan menantang. Tantangan lainnya adalah dari sisi permintaan pasar dalam negeri, di mana kebutuhan untuk aluminium domestik saat ini masih cukup rendah.

    (shc/kil)

  • Inalum Terima Pengiriman Perdana 21.000 Ton Alumina dari SGAR Mempawah

    Inalum Terima Pengiriman Perdana 21.000 Ton Alumina dari SGAR Mempawah

    Bisnis.com, JAKARTA – PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) menerima pengiriman perdana alumina, bahan dasar untuk memproduksi aluminium, sebanyak 21.000 ton dari PT Borneo Alumina Indonesia (BAI).

    Direktur Utama Inalum Ilhamsyah Mahendra mengatakan, pengiriman perdana alumina dari proyek Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) Mempawah tersebut adalah hasil nyata dari sinergi antara BUMN dalam ekosistem MIND ID.

    Adapun, PT BAI merupakan usaha patungan antara PT Inalum dengan PT Aneka Tambang Tbk. (Antam).

    “Bauksit dari PT Antam, diproses oleh PT BAI menjadi alumina, kemudian diolah oleh PT Inalum menjadi aluminium. Distribusinya didukung Sinergi Mitra Lestari. Ini contoh kolaborasi ideal,” ujar Ilhamsyah, dikutip dari Antara, Selasa (29/4/2025). 

    Pengiriman alumina dari PT BAI, kata Ilhamsyah, akan dilakukan secara berkala hingga kapasitas produksi mencapai 100%. Dengan pasokan dari PT BAI, ketergantungan terhadap impor alumina akan berkurang signifikan dan suplai domestik akan meningkat.

    “Kami harap pengiriman kedua akan lebih optimal. Ini adalah awal dari pelaksanaan proyek strategis lain yang sudah direncanakan,” katanya.

    Direktur Pengembangan Usaha Inalum Melati Sarnita menambahkan bahwa ini adalah kali pertama Indonesia memiliki sumber alumina dari dalam negeri. Terbangunnya smelter alumina PT BAI melengkapi rantai pasok aluminium dalam negeri. 

    “Kita sekarang hampir memiliki seluruh rantai pasok untuk produksi aluminium secara nasional,” tutur Melati. 

    Langkah besar itu membuktikan bahwa hilirisasi bukan sekadar wacana, melainkan strategi konkret untuk memperkuat ketahanan industri nasional.

    Dengan ekosistem terintegrasi dari hulu ke hilir, Indonesia kini semakin dekat menuju swasembada aluminium. Saat ini, PT Inalum telah memenuhi 70% kebutuhan aluminium secara domestik dan mengekspor sisanya sebanyak 30%.

    Berdasarkan catatan Bisnis, PT BAI juga berencana mengembangkan SGAR Mempawah Fase II di Kalimantan Barat. Pengembangan smelter alumina Fase II akan menjadikan total kapasitas produksi SGAR Mempawah menjadi 2 juta ton. 

    Adapun, proyek SGAR Fase I dan II total investasinya hampir mencapai US$2 miliar. Perinciannya, untuk Fase I menelan investasi US$941 juta, dan Fase II berkisar US$800 juta hingga US$900 juta, serta pembangunan fasilitas pendukung lainnya, sehingga total mencapai sekitar US$2 miliar.

  • Pemerintah Mau Naikkan Tarif Royalti Nikel, Begini Tanggapan Bos Antam

    Pemerintah Mau Naikkan Tarif Royalti Nikel, Begini Tanggapan Bos Antam

    Jakarta, CNBC Indonesia – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berencana mengerek tarif royalti di sektor mineral. Langkah ini diambil untuk meningkatkan kontribusi penerimaan negara dari sektor pertambangan.

    Direktur Utama PT Aneka Tambang Tbk (Antam), Nicolas D. Kanter menilai pemerintah perlu melihat kembali secara cermat terkait perbedaan tarif royalti antara bijih nikel (ore) dan produk akhir hasil pengolahan.

    Menurut dia, jika tarif royalti bijih nikel terlalu tinggi, investor kemungkinan enggan untuk membangun smelter. Padahal pemerintah tengah fokus mendorong investor membangun proyek smelter.

    “Jadi itu yang mungkin harus dipikirkan kalau kemarin. Kan kalau enggak orang akan cukup sampai di ore nya aja, ya nggak usah bangun, sampai ke itu aja yang membuat proporsionalnya enggak. Jadi itu maksud saya,” katanya dalam acara CNBC Indonesia Mining Forum di Jakarta, dikutip Rabu (19/3/2025).

    Sebelumnya, Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey mengatakan perubahan tarif royalti akan semakin menekan para pelaku usaha. Terutama di sektor nikel.

    Ia menilai, dengan rencana kenaikan menjadi 14-19%, Indonesia akan memiliki tarif royalti tertinggi apabila dibandingkan negara penghasil nikel lainnya.

    “Jadi kita tarif royalti saat ini kan 10%. Akan ada kenaikan 14-19%. Ternyata dari seluruh negara penghasil nikel kita yang tertinggi yang 10%. Sebelum tambah yang 14-19%,” kata Meidy Senin (17/3/2025).

    Menurut dia, di beberapa negara seperti Amerika Serikat, negara-negara Asia, Eropa, dan bahkan negara tetangga tarif royalti nikel lebih rendah. Beberapa negara bahkan menerapkan royalti berbasis keuntungan (profit-based).

    Di sisi lain, ia menyoroti bahwa para pelaku usaha nikel domestik juga sudah menghadapi berbagai kewajiban yang cukup membebani. Ditambah lagi harga nikel di pasar global tengah anjlok.

    “Coba di highlight baik-baik ada banyak kewajiban. Kewajiban-kewajiban dari beberapa para pelaku usaha khususnya nikel, satu. Kita makin turun. Harga nikel makin turun. Ini dia kewajiban pertambangan. Satu, harga. Kedua operasionalnya,” katanya.

    (pgr/pgr)

  • Vale Indonesia Targetkan Smelter Pomalaa dan Morowali Rampung 2026

    Vale Indonesia Targetkan Smelter Pomalaa dan Morowali Rampung 2026

    JAKARTA – PT Vale Indonesia Tbk (INCO) menargetkan dua proyek smelter dengan teknologi high-pressure acid leaching (HPAL) di Pomalaa, Sulawesi Tenggara dan Morowali di Sulawesi Tengah (Sulteng) akan rampung pada tahun 2026.

    Presiden Direktur Vale Indonesia, Febriany Eddy menyebut saat ini INCO memiliki tiga proyek yang tengah berjalan dengan total investasi mencapai 9 miliar dolar AS atau senilai Rp130 triliun.

    “Saat ini kita punya program investasi besar di PT Vale. Kita punya 3 program investasi yang besar. Tiga-tiganya hilirisasi berbasis energi low carbon dan HPAL,” ujar Febriany kepada awak media di Jakarta yang dikutip Rabu, 19 Maret.

    Ia menjelaskan, untuk proyek smelter HPAL di Pomalaa, INCO menggandeng Ford Motor Company dan Zhejiang Huayou Cobalt Co dan telah merampungkan semua perizinan pada tahun 2024. Dalam waktu dekat, Vale akan mendatangkan alat autoclave atau mesin uap serta akan melakukan upgrade pada pelabuhan untuk mendatangkan alat yang dikerjakan di China tersebut.

    “Itu total investasinya besar ya karena itu kapasitas 120.000 ton HPAL,” sambung dia.

    Kemudian proyek kedua yang berlokasi di Morowali dengan kapasitas 60.000 ton HPAL, lanjut dia, akan memiliki konsep net zero emission sejak hari pertama. Vale juga telah membangun fasilitas research and development (R&D) atau penelitian dan pengembangan. Lembaga R&D tersebut, bertujuan untuk transfer knowledge terkait teknologi dari perusahaan China ke tenaga kerja Indonesia.

    “Dari bagian capexnya kita announce di Sulteng ini termasuk 40 juta dolar AS untuk membangun R&D facility. Saat ini sudah banyak student Indonesia yang dapat beasiswa dan disekolahkan,” terang Febri.

    Dengan pesatnya perkembangan kedua proyek ini Febri yakin akan rampung lebih cepat dari rencana awal yang dicanangkan pada tahun 2027.

    “Akan selesai di 2026, walau kita announce selesai 2027 tapi partner kemarin bicara sama saya, kita akan upayakan lebih cepat 2026. Jadi harapan kita kalau lancar semua 2026 ini 2 pabrik di Sultra dan Sulteng bisa selesai. Kita upayakan,” tandas Febriany.