Topik: Prolegnas

  • Sahut-sahutan di Senayan untuk revisi UU Pemilu

    Sahut-sahutan di Senayan untuk revisi UU Pemilu

    sudah 26 tahun reformasi, … kita sepakat bahwa demokrasi kita harus bergeser dari demokrasi prosedural ke demokrasi substansial

    Jakarta (ANTARA) – “Pengalaman adalah guru terbaik,” merupakan pepatah yang semestinya selalu dimaknai dalam aktivitas demokrasi yang paling konkret dilakukan masyarakat di Indonesia, yakni dalam pemilihan umum.

    Tak terasa negara Indonesia yang sepakat untuk menerapkan sistem demokrasi ini tak lama lagi menginjak usia 80 tahun. Selama itu pula, sistem pemilu terus berubah-ubah mengikuti perkembangan situasi politik.

    Walaupun Pemilu Presiden dan Wakil Presiden secara langsung baru digelar lima kali sejak tahun 2004, pesta demokrasi di negeri ini sebetulnya sudah ada sejak tahun 1955 dengan adanya pemilu legislatif.

    Dahulu, pemilu legislatif merupakan gerbang awal untuk pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Sebab, Majelis Permusyawaratan Rakyat yang berperan untuk menentukan sosok pemimpin bangsa.

    Dari beragam pengalaman yang muncul selama perjalanannya, sistem pemilu akhirnya diganti dengan sistem pemilihan secara langsung. Kini, rakyat pun bisa secara langsung memilih calon eksekutif maupun legislatif dengan mencoblos kertas berisi foto beserta nama kandidat.

    Namun seperti pepatah di awal, sistem pemilu terkini yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 masih menyisakan kompleksitas, berdasarkan penilaian sejumlah pihak. Maka ide untuk transformasi kian berkembang, agar sistem pemilu selalu bisa disempurnakan.

    Kini, DPR RI melalui Badan Legislasi sedang menyerap masukan dari berbagai kalangan untuk menyusun Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025–2029. Salah satu aspirasi yang kerap menjadi pembahasan hangat adalah untuk merevisi sistem pemilu dengan memasukkan RUU Pemilu dalam Prolegnas.

    Keserentakan

    Pemilu 2019 merupakan sejarah bagi Indonesia karena menjadi pesta demokrasi yang pertama kalinya dilaksanakan secara serentak, dengan memilih Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPR RI, Anggota DPD RI, Anggota DPRD Provinsi, dan Anggota DPRD Kabupaten/Kota.

    Dengan begitu, ada lima surat suara yang musti dicoblos oleh masyarakat di dalam bilik suara. Setelah membuka lipatan dan melipat kembali lima surat suara, tentunya mereka pun memasukkan satu per satu surat suara ke dalam lima kotak yang berbeda.

    Adanya sistem pemilu serentak merupakan hasil dari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14 Tahun 2013. Putusan tersebut menyatakan bahwa Pemilu 2019 dan seterusnya harus dilaksanakan secara serentak dengan lima kotak.

    Pertimbangannya, MK mendorong agar pemilu serentak itu menciptakan efektivitas terhadap sistem presidensial, serta mempertimbangkan efisiensi penyelenggaraan pemilu.

    Editor: Achmad Zaenal M
    Copyright © ANTARA 2024

  • Pimpinan Baleg DPR Pertanyakan Diksi ‘Perampasan’ Aset: Apa Itu Baik?

    Pimpinan Baleg DPR Pertanyakan Diksi ‘Perampasan’ Aset: Apa Itu Baik?

    Jakarta

    Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI, Ahmad Doli Kurnia, mempertanyakan diksi ‘perampasan’ dalam nama RUU Perampasan Aset yang saat ini didorong untuk masuk Prolegnas 2025. Doli mengatakan sebenarnya saat ini telah ada undang-undang yang berkaitan dengan pemberantasan korupsi.

    “Undang-undang apa yang penting, nah kalau berkaitan dengan pemberantasan korupsi, kita sudah punya UU TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang), UU Tipikor misalnya,” kata Doli dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan LBH Apik, JPPR, dan ICJR, di Kompleks Parlemen RI, Jakarta, Kamis (31/10/2024).

    Doli menyebut saat ini banyak desakan untuk menindaklanjuti penandatangan ratifikasi United Nations Convention against Corruption (UNCAC). Doli lantas mempertanyakan sebagai bagian dasar apakah kata ‘perampasan’ ini menjadi dianggap baik untuk diterapkan di Indonesia.

    “Nah dan sebenernya saya perlu tanya sama teman-teman hukum, kira-kira kalau lihat lucu-lucunya saja deh, gitu ya, UU Perampasan Aset, apakah diksi ‘perampasan’ itu baik untuk negara ini?” tanya Doli.

    “Kalau kita setiap hari ketemu orang dirampas atau merampas kira-kira itu berlaku baik atau tidak? Gitu,” tambahnya.

    Adapun Doli menyebut dalam UNCAC, istilah yang digunakan adalah stolen asset recovery. Ia menekankan kata ‘pemulihan’ dalam diksi di bahasa Indonesia.

    “Nah saya mau kasih contoh maksudnya kami di Baleg di DPR ini pun sebetulnya sedang membahas itu, belum mengambil keputusan apa-apa soal ini perlu atau tidak,” sambungnya.

    Rapat Baleg DPR RI, 31 Oktober 2024. (Dwi Rahmawati/detikcom)

    Ia menyebut hal ini juga harus mempertimbangkan mazhab politik Tanah Air. Pimpinan Baleg ini mengusulkan pengubahan nama Perampasan Aset.

    “Jadi bagi tadi yang mengusulkan Perampasan Aset, coba kami nanti dikasih masukan, dari judulnya saja masih perlu nggak pakai ‘perampasan’, kira-kira gitu,” imbuhnya.

    (dwr/idn)

  • Koalisi Masyarakat Sipil Audiensi dengan PDIP Bahas Revisi UU TNI

    Koalisi Masyarakat Sipil Audiensi dengan PDIP Bahas Revisi UU TNI

    Jakarta, Gatra.com – Koalisi Masyarakat Sipil terdiri Imparsial, Setara Institute, KontraS, PBHI, hingga Elsam melakukan audiensi dengan PDI Perjuangan (PDIP) mengenai pembahasan Revisi Undang-Undang (UU) TNI yang saat ini masuk Prolegnas DPR.

    Audiensi tersebut dilakukan di kantor DPP PDIP, Jalan Pangeran Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat, pada Kamis (11/7). Adapun perwakilan dari PDIP yang hadir adalah Tubagus Hasanuddin, Andi Widjajanto, dan Andreas Hugo Pareira.

    “Maksud tujuan audiensi kami pada hari ini yaitu terkait dengan Revisi UU TNI. Menurut kami, terkait draft tersebut terdapat beberapa hal yang secara substansi dapat melemahkan demokrasi dan juga menghambat kemajuan HAM di Indonesia,” kata Koordinator Peneliti Imparsial, Ardi Manto Adiputra.

    Sementara itu, Direktur Eksekutif Elsam, Wahyudi Djafar, mengungkapkan bahwa yang menjadi kekhawatiran para koalisi masyarakat sipil adalah selalu ada UU terkait militer yang disahkan pada setiap akhir periode DPR.

    “Yang jadi pertanyaan adalah di akhir 2024 periode ini kira-kira apa yang mau disahkan oleh DPR? Itu yang kemudian kenapa kami was-was masyarakat sipil, karena kita menanti nih akhir periode DPR kira-kira akan mengesahkan apa,” tutur dia.

    Lebih lanjut, dirinya menyoroti bahwa pembahasan Revisi UU TNI terkesan buru-buru dibahas pada periode saat ini.

    “Secara proses, ini seperti diburu-buru, karena kan DPR akan segera berakhir pada 30 September 2024. Sementara masa sidang tinggal tersisa satu kali masa sidang itu, kan. Jadi, apakah itu memungkinkan untuk bisa membahas secara komprehensif sejumlah persoalan terkait dengan implementasi UU TNI?” ujar Wahyudi.

    Wahyudi berpendapat bahwa lebih baik Revisi UU TNI diperbincangkan pada masa DPR periode baru, bukan justru diajukan kepada DPR yang akan segera berakhir masa jabatannya. “Yang semestinya secara moral menghindari usul inisiatif pembahasan RUU baru,” tuturnya.

    Merespons hal tersebut, Politisi PDIP sekaligus Anggota Komisi I DPR RI, TB Hasanuddin, menyampaikan rasa terima kasih kepada para koalisi masyarakat sipil yang mewakili masyarakat pada umumnya.

    “Yang paling penting kami akan mendengar pendapat publik dan hari ini terima kasih dari masyarakat sipil serta mewakili masyarakat pada umumnya,” katanya dalam kesempatan yang sama.

    Kendati demikian, dirinya mengingatkan bahwa hal tersebut juga perlu disampaikan ke fraksi-fraksi yang lain.

    “Tetapi perlu diingat, saya kira apa yang disampaikan beliau-beliau sudah ada kesepahaman ya, tetapi juga di DPR sistem kerja kami tidak bisa mendengarkan satu ide dari satu fraksi. Jadi, ya ide yang bagus ini tolong disampaikan juga kepada fraksi yang lain,” ucap Hasanuddin.

    57

  • Pimpinan Baleg DPR Pertanyakan Diksi ‘Perampasan’ Aset: Apa Itu Baik?

    Waka Baleg DPR Usul Revisi 8 UU Politik dengan Metode Omnibus Law

    Jakarta

    Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Ahmad Doli Kurnia berbicara soal upaya menyempurnakan sistem politik termasuk penyelenggaraan pemilu. Terkait ini, Doli mengusulkan revisi sejumlah Undang-Undang (UU) politik dengan metode Omnibus Law.

    Hal itu disampaikan Doli dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) Baleg DPR bersama Komnas HAM, Perludem dan AMAN di gedung MPR/DPR/DPD RI, Senayan, Jakarta, Rabu (30/10/2024). Rapat itu berisi agenda penyusunan Prolegnas 2025-2029.

    “Saya ingin mengkompilasi seluruh alasan, baik itu alasan konsepsional, alasan empirik, dan alasan berdasarkan pengalaman kita, yang kesimpulannya adalah bahwa memang kita harus segera menyempurnakan sistem politik termasuk di dalamnya sistem pemilu,” kata Doli.

    Doli kemudian mengungkit kritikan terhadap penyelenggaraan pemilu yang masih meninggalkan persoalan. Menurut dia, gelaran pemilu dapat disempurnakan dengan regulasi yang dipaketkan seperti Omnibus Law.

    “Bagaimana menyetopnya, apakah kita semua punya komitmen untuk segera melakukan revisi terhadap undang-undang politik atau termasuknya undang-undang pemilu, dan waktunya itu sekarang,” kata Doli.

    “Jadi kalau kita serahkan ke komisi masing-masing mungkin nanti dibatasi satu-satu gitu, ya, jadi nggak selesai. Padahal saya melihat sebetulnya ini tidak bisa dipisahkan. Mungkin kita, Baleg, harus sudah berpikir tentang metodologi membentuk undang-undang politik secara Omnibus Law. Kita harus punya undang-undang politik yang paketnya lengkap. Karena tadi itu nggak bisa satu-satu,” lanjutnya.

    “Kalau yang dulu saya menganggap, kami (Komisi II DPR periode 2019-2024) itu ada 8 (UU) itu kan terkait dengan penyelenggaraan pemerintahannya,” kata Doli kepada wartawan.

    Doli menyebutkan kedelapan UU itu. Pertama, UU Pemilu dan UU Pilkada yang hendak disatukan. Kedua, UU Partai Politik. Ketiga, UU MPR/DPR/DPRD/DPD (MD3) yang hendak dipisahkan per lembaga, DPRD tidak termasuk.

    (fca/taa)

  • Komisi XI DPR Akan Usul RUU Ekonomi Syariah Jadi Prolegnas Prioritas 2025

    Komisi XI DPR Akan Usul RUU Ekonomi Syariah Jadi Prolegnas Prioritas 2025

    Bisnis.com, JAKARTA — Komisi XI DPR akan mengusulkan RUU tentang Ekonomi Syariah menjadi salah satu Program Legislasi Nasional atau Prolegnas Prioritas 2025.

    Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Anis Byarwati menjelaskan, usulan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Ekonomi Syariah muncul dari rapat internal Komisi XI pada Selasa (29/10/2024). Sebelumnya, RUU Ekonomi Syariah tidak masuk usulan Komisi XI periode 2019—2024.

    Menurutnya, semua anggota Komisi XI setuju RUU Ekonomi Syariah menjadi satu dari setidaknya tiga rancangan beleid yang diusulkan ke Badan Legislasi (Baleg) DPR untuk menjadi Prolegnas Prioritas 2025.

    “Yang kita usulkan untuk Prolegnas Prioritas 2025 berdasarkan tadi masukan-masukan dari anggota [Komisi XI], ada masuk RUU Ekonomi Syariah, ada RUU tentang Pengadaan Barang dan Jasa Publik, ada RUU Pengelolaan Kekayaan Negara yang dipisahkan,” jelas Anis saat ditemui Bisnis di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (29/10/2024).

    Kendati demikian, dia menegaskan bahwa usulan Prolegnas Prioritas 2025 dari Komisi XI tersebut belum final karena masih akan dibahas lagi di Baleg DPR. Keputusan, sambungnya, ada di Baleg DPR.

    Selain Prolegnas Prioritas 2025, Anis menjelaskan Komisi XI juga sudah menyetujui sejumlah RUU lain untuk diusulkan masuk ke dalam Prolegnas 2025-2029. Menurutnya, semua rancangan beleid tersebut diusulkan agar mempermudah pemerintah mengelola keuangan negara dengan lebih baik.

    “Yang jelas kepentingannya adalah selaras dengan visi Indonesia Emas. Sebagaimana kita bisa, RUU itu yang mengakomodir bagaimana pemerintah bisa menjaga keuangan negara, stabilitas keuangan negara,” kata Anis.

    Sementara itu, Pimpinan Baleg DPR Ahmad Doli Kurnia Tanjung menjelaskan bahwa Prolegnas 2025—2029 harus ditetapkan paling lambat 18 November 2024. Oleh sebab itu, Baleg DPR punya waktu sekitar 20 hari untuk merumuskan dan menetapkan daftar RUU yang akan masuk Prolegnas 2025—2029.

    Dalam rapat pleno Baleg DPR pada Senin (28/10/2024), setiap alat kelengkapan dewan DPR periode 2019—2024 mengusulkan usulan RUU yang ingin dimasukkan ke dalam Prolegnas 2025—2029, termasuk Komisi XI yang mengawasi soal pembangunan, keuangan, hingga moneter negara.

    “Mulai hari ini kita sudah mulai membahas kira-kira Rancangan Undang-Undang apa saja yang selama lima tahun dan nanti kita akan bagi per tahun, bahkan juga nanti per masa sidang, apa yang menjadi prioritas kita,” jelas Doli ketika membuka rapat, Senin (28/10/204).

    Bocoran 10 usulan RUU Prolegnas 2025—2029 dari Komisi XI:

    RUU tentang Pengadaan Barang dan Jasa Publik
    RUU tentang Statistik
    RUU tentang Pengelolaan Kekayaan Negara yang dipisahkan
    RUU tentang Ekonomi Syariah
    RUU tentang Penghapusan Piutang Negara
    RUU tentang Integrasi Data Pembangunan
    RUU tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
    RUU tentang Keuangan Negara
    RUU tentang Perbendaharaan Negara
    RUU tentang Badan Pemeriksaan Keuangan

    Komisi XI juga mengusulkan setidaknya 3 RUU yang akan menjadi Prolegnas Prioritas 2025:

    RUU tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pubik
    RUU tentang Ekonomi Syariah
    RUU tentang Pengelolaan Kekayaan Negara yang dipisahkan

  • DPR Usul Revisi UU Keuangan Negara, Jalan Masuk Pembentukan Badan Penerimaan Negara?

    DPR Usul Revisi UU Keuangan Negara, Jalan Masuk Pembentukan Badan Penerimaan Negara?

    Bisnis.com, JAKARTA – Komisi XI DPR mengusulkan RUU tentang Keuangan Negara agar masuk dalam Program Legislatif Nasional atau Prolegnas 2024—2029. Akankah revisi beleid tersebut menjadi jalan masuk pembentukan Badan Penerimaan Negara?

    Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Anis Byarwati mengakui, rekan-rekannya di Komisi XI sudah menyetujui RUU Keuangan Negara menjadi salah satu usulan Prolegnas 2024—2029 yang akan diajukan ke Badan Legislatif (Baleg) DPR.

    Persetujuan tersebut didapatkan dalam rapat internal Komisi XI pada Selasa (19/10/2024). Meski demikian, Anis menegaskan bahwa usulan tersebut belum final karena masih akan dibahas lagi di Baleg DPR.

    “Perancangan Prolegnas dari Komisi XI kan ada sekitar 9 yang akan diusulkan. Itu nanti akan digodok lagi. Ini sifatnya usulan. Dari usulan itu akan digodok di Baleg,” ujar Anis saat ditemui Bisnis di Kompleks Parlemen Senayan, Selasa (29/10/2024).

    Dia tidak menjelaskan fraksi mana yang mengusulkan revisi UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara tersebut. Hanya saja, dia menegaskan bahwa beleid tersebut sudah berumur lebih dari 20 tahun.

    Oleh sebab itu, sambungnya, anggota Komisi XI ingin menyesuaikan agar UU Keuangan Negara tetap relevan dengan keadaan saat ini—terutama dengan pemerintahan baru.

    “Yang jelas kepentingannya adalah selaras dengan visi Indonesia Emas. Sebagaimana kita bisa, RUU itu yang mengakomodir bagaimana pemerintah bisa menjaga keuangan negara, stabilitas keuangan negara,” kata Anis.

    Lebih lanjut, dia juga tidak menampik revisi UU Keuangan Negara berhubungan dengan rencana pembentukan Badan Penerimaan Negara sesuai keinginan Presiden Prabowo Subianto.

    “Kan sekarang kita belum rapat lagi dengan Kementerian Keuangan, dan belum ada penjelasan juga apakah memang pemerintah jadi membentuk itu [Badan Penerimaan Negara]. Kita lihat perkembangannya nanti,” jelasnya.

    Hanya saja, Anis meminta setiap pihak bersabar karena revisi UU Keuangan Negara tidak diusulkan masuk Prolegnas Prioritas 2025—namun sekadar Prolegnas 2025—2029.

    Sejalan dengan itu, dia menjelaskan daftar inventaris masalah (DIM) RUU Keuangan Negara belum ada. Menurutnya, nantinya Baleg DPR yang akan menyusun DIM-nya.

    Rencana Pembentukan Badan Penerimaan Negara

    Adapun, pembentukan Badan Penerimaan Negara sudah digadang-gadang oleh Presiden Prabowo Subianto sejak masa kampanye Pilpres 2024. Kendati demikian, pembentukannya tertunda usai Sri Mulyani Indrawati kembali menjadi menteri keuangan (Menkeu).

    Usai bertemu dengan Prabowo sebelum diangkat menjadi Menkeu, Sri Mulyani memang menegaskan bahwa Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan tetap satu. Dia menampik pemisahan Bea Cukai dan Dirjen Pajak dari Kemenkeu untuk menjadi Badan Penerimaan Negara.

    Kendati demikian, Wakil Komandan TKN Pemilih Muda Prabowo-Gibran Anggawira menegaskan bahwa peluang pembentukan Badan Penerimaan Negara masih terbuka lebar ke depannya. Dia berpendapat, pernyataan Sri Mulyani hanya sekadar menggambar kondisi saat ini.

    Bagaimanapun, kata Angga, Prabowo mengusulkan pembentukan Badan Penerimaan Negara sebagai strategi jangka panjang sehingga tidak harus langsung terbentuk. Lembaga tersebut akan bertugas untuk mengoptimalkan keuangan pemerintah terutama terkait penarikan pajak.

    Menurut ketua sekretaris jenderal HIPMI ini, akan ada pembahasan lebih lanjut di pemerintahan terutama terkait penyesuaian peraturan perundang-undangan yang ada.

    “Jadi, rencana pembentukan Badan Penerimaan Negara belum tentu batal, tetapi bisa mengalami penyesuaian atau revisi tergantung pada hasil diskusi antara presiden dan tim ekonomi kabinet,” kata Angga kepada Bisnis, Rabu (16/10/2024).

    Bocoran 10 usulan RUU Prolegnas 2025—2029 dari Komisi XI:

    RUU tentang Pengadaan Barang dan Jasa Publik
    RUU tentang Statistik
    RUU tentang Pengelolaan Kekayaan Negara yang dipisahkan
    RUU tentang Ekonomi Syariah
    RUU tentang Penghapusan Piutang Negara
    RUU tentang Integrasi Data Pembangunan
    RUU tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
    RUU tentang Keuangan Negara
    RUU tentang Perbendaharaan Negara
    RUU tentang Badan Pemeriksaan Keuangan

    Komisi XI juga mengusulkan setidaknya 3 RUU yang akan menjadi Prolegnas Prioritas 2025:

    RUU tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pubik
    RUU tentang Ekonomi Syariah
    RUU tentang Pengelolaan Kekayaan Negara yang dipisahkan

  • KPK Dorong Pembahasan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal di DPR
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        29 Oktober 2024

    KPK Dorong Pembahasan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal di DPR Nasional 29 Oktober 2024

    KPK Dorong Pembahasan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal di DPR
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Komisi Pemberantasan Korupsi (
    KPK
    ) mengatakan, selain Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset, pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pembatasan Transaksi Uang Kartal juga perlu dilakukan di DPR.
    “Sebagaimana yang sama-sama kita ketahui bahwa selain
    RUU Perampasan Aset
    , kita juga mendorong terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Pembatasan Uang Kartal di DPR,” kata Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto di Gedung Merah Putih, Jakarta, Selasa (29/10/2024).
    “Informasi terakhir bahwa RUU tersebut (RUU Perampasan Aset dan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal) belum menjadi prioritas oleh para wakil rakyat di Senayan,” ucapnya.
    Tessa mengatakan, para anggota DPR harus memahami bahwa kehadiran RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal akan memitigasi temuan kasus korupsi dalam bentuk uang tunai.
    Ia mengatakan, tanpa RUU tersebut pemberantasan korupsi cukup menyulitkan aparat penegak hukum seperti KPK, Kejaksaan Agung, dan kepolisian.
    “Rancangan undang-undang tersebut yang mana bertujuan untuk bisa memitigasi risiko seperti yang sudah disampaikan tadi, ditemukannya suap dalam bentuk uang tunai, baik itu rupiah maupun valuta asing,” ujarnya.
    Sebelumnya, Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Perampasan Aset tidak ada di dalam daftar usulan RUU yang masuk ke program legislasi nasional (prolegnas).
    Hal itu berdasarkan daftar yang dibacakan dalam rapat Badan Legislasi (Baleg) pada Senin (28/10/2024), yang membahas evaluasi periode sebelumnya dan usulan prolegnas 2025-2029.
    Berdasarkan surat Komisi III DPR RI per 24 Oktober lalu, hanya ada RUU tentang hukum acara perdata dan RUU tentang hukum perdata internasional yang dicanangkan di dalam prolegnas.
    Anggota Baleg yang juga eks Ketua Fraksi PAN DPR RI, Saleh Daulay, mengungkapkan bahwa secara politik RUU ini memang tidak mudah.
    “Kami sudah membahas itu dan kami sudah komunikasi dengan partai-partai lain. Tetapi kelihatannya di partai-partai lain juga tidak mudah, kan mereka semuanya sama seperti kita,” ujar Saleh usai rapat Baleg, Senin (28/10/2024).
    “Saya juga menunggu inisiatif dari pemerintah seperti apa. Ini kan inisiatif pemerintah. Jadi jangan semua mata tertuju ke Baleg DPR,” katanya. 

    Dengan tak masuknya RUU Perampasan Aset ke Prolegnas, artinya RUU yang sudah diusulkan pemerintah ini lagi-lagi tak jelas nasibnya.
    Padahal, DPR periode lalu sempat berdalih bahwa RUU yang diyakini dapat memiskinkan koruptor itu tak dapat dikerjakan karena waktu yang mepet.
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Fraksi NasDem komitmen prioritaskan RUU PPRT di Baleg DPR

    Fraksi NasDem komitmen prioritaskan RUU PPRT di Baleg DPR

    Jakarta (ANTARA) – Anggota Badan Legislasi DPR RI Subardi menegaskan komitmen Fraksi NasDem untuk memprioritaskan Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) di Baleg DPR RI periode 2024–2029.

    “Sejak periode kemarin NasDem menjadi fraksi yang paling aktif menyuarakan pengesahan ini. RUU PPRT butuh political affirmative. Saya memastikan komitmen NasDem tidak berubah,” kata Subardi dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis.

    Hal itu disampaikan Subardi usai menghadiri rapat perdana Baleg DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (23/10).

    Ia mengatakan pada rapat tersebut, RUU yang sudah dibahas sejak tahun 2004 itu masuk daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang akan diselaraskan kembali pada periode 2024–2029.

    Menurut ia, RUU PPRT mendesak untuk disahkan guna memberikan pengakuan dan perlindungan hukum kepada pekerja rumah tangga.

    “Kelompok ini meski sebagai pekerja informal, namun belum setara dalam aspek perlindungan hukum dan hak atas jaminan sosial, seperti akses untuk mendapatkan BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan,” ucapnya.

    Baca juga: Legislator dorong DPR 2024–2029 prioritaskan pengesahan RUU PPRT

    Selain aspek perlindungan sosial, Subardi mengatakan RUU PPRT akan berdampak pula terhadap peningkatan ekonomi kelompok perempuan hingga kepastian status pekerja maupun pemberi kerja.

    “Dari aspek sosial, jaminan hukum bagi pekerja rumah tangga akan membuat status mereka lebih kuat, serta meminimalisir kekerasan, eksploitasi, tindak pidana perdagangan orang, serta pelanggaran lainnya,” tuturnya.

    Ia menambahkan Fraksi NasDem tetap menargetkan RUU PPRT bisa disahkan pada awal periode saat ini, meskipun secara politik tidak menguntungkan.

    “NasDem tidak melihat RUU ini sebagai RUU elektoral, tetapi ini soal keberpihakan kepada kelompok yang selama ini dianggap rentan. Perjuangan NasDem lebih kepada prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab,” kata Ketua DPW NasDem DIY itu.

    Subardi menambahkan bahwa hadirnya RUU PPRT akan selaras dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, yakni pada Pasal 5 Ayat (3) memandatkan kepada negara untuk memenuhi kesetaraan hak dan perlindungan bagi setiap warga negara.

    Baca juga: Waka Baleg DPR akan perjuangkan RUU PPRT disahkan di periode 2024-2029
    Baca juga: Komnas Perempuan minta DPR RI percepat bahas RUU PPRT

    Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
    Editor: Didik Kusbiantoro
    Copyright © ANTARA 2024

  • DPD dengarkan usulan Pemprov Maluku Utara terkait otonomi daerah

    DPD dengarkan usulan Pemprov Maluku Utara terkait otonomi daerah

    Jakarta (ANTARA) – Dewan Perwakilan Daerah (DPD) berkomitmen meningkatkan perhatian terhadap berbagai hal yang disoroti oleh masyarakat di wilayah timur Indonesia, salah satunya usulan Pemprov Maluku Utara terkait pembentukan daerah otonomi baru Sofifi.

    Sofifi sebagai ibu kota Provinsi Maluku Utara saat ini menyandang status administratif sebagai kelurahan, bukan sebuah daerah otonom, seperti kota/kabupaten layaknya sebagai ibu kota provinsi di Indonesia.

    “Situasi ini tentu berpengaruh pada proses penyelenggaraan pemerintah yang selama ini tidak bisa bekerja optimal. Hal ini patut menjadi perhatian dan bisa ditindaklanjuti,” kata anggota DPD asal Maluku Utara Graal Taliawo dalam keterangannya yang diterima di Jakarta, Sabtu.

    Mempertimbangkan hal tersebut, ia pun mengundang Pj. Gubernur Maluku Utara untuk menyampaikan permasalahan tersebut dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dalam rangka penyusunan RUU Program Rencana Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025-2029 dan RUU Prolegnas Prioritas Tahun 2025 yang berlangsung di Jakarta, Rabu (16/10).

    “Ketika tahu ada agenda RDP, saya antusias langsung mengusulkan kepada Ketua PPUU untuk mengundang perwakilan pemerintah dari Maluku Utara. Kami menyadari pentingnya membuka ruang khususnya bagi Indonesia bagian timur untuk menyuarakan dan terlibat mendiskusikan kebijakan di level pemerintah,” ucap Graal.

    Ia menyatakan bahwa menyuarakan kebutuhan dan kepentingan daerah merupakan salah satu upaya untuk mendorong optimalisasi peran dan kewenangan legislasi DPD.

    Selain itu, lanjutnya, upaya optimalisasi peran DPD juga dapat dilakukan dengan menguatkan mekanisme internal, meningkatkan kualitas legislasi, serta melaksanakan pemantauan dan peninjauan undang-undang.

    Selain perwakilan pemerintah Maluku Utara, RDP tersebut juga mengundang Ketua DPRD Banten Fahmi Hakim yang berharap ada RUU yang dapat menjawab dan menyelesaikan delapan permasalahan pokok di provinsi tersebut.

    Delapan permasalahan tersebut adalah kemiskinan, stunting, pengangguran, ketimpangan pembangunan, kesiapan bonus demografi, degradasi lingkungan, persoalan infrastruktur, dan ketahanan pangan.

    Graal, yang juga merupakan Wakil Ketua I Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) DPD RI, mengapresiasi berbagai masukan dan respons positif yang diberikan oleh para pemangku kepentingan bagi kerja PPUU ke depan.

    “Semua telah dicatat dan akan ditindaklanjuti sesuai mekanisme di internal DPD. Keterlibatan dan kolaborasi dengan unsur pemerintah, legislatif daerah, serta masyarakat sipil adalah tahapan yang begitu penting dan tidak boleh terlewatkan dalam penyusunan Prolegnas yang dilakukan DPD ini,” imbuhnya.
     

    Pewarta: Uyu Septiyati Liman
    Editor: Hisar Sitanggang
    Copyright © ANTARA 2024