Topik: Prolegnas

  • Kembalinya Pembahasan RUU Perlindungan Data Pribadi oleh DPR

    Kembalinya Pembahasan RUU Perlindungan Data Pribadi oleh DPR

    JAKARTA – Di era digital seperti sekarang, data pribadi menjadi salah satu hal penting yang tidak bisa diabaikan. Terlebih negeri ini terbilang merupakan pengguna media sosial terbesar, yang cukup rentan dengan pencurian data pribadi.

    Oleh karena itu, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) bersama Komisi I DPR berkomitmen untuk menyelesaikan rancangan dari Undang-undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP). Pembahasan RUU ini akan mulai dikerjakan pada awal tahun 2020 mendatang.

    Komitmen itu tertuang dalam, poin kesimpulan rapat dengar pendapat Kominfo dengan Komisi I DPR yang berlangsung pada Selasa (5/11). Menkominfo Johnny G Plate berjanji untuk mendorong RUU ini menjadi prioritas di Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020. 

    “Ditargetkan bulan Desember tahun ini draf RUU tersebut akan dikirimkan ke DPR agar bisa dibahas bersama DPR dari bulan Januari hingga Juli 2020. Diharapkan dapat disahkan jadi UU pada bulan Oktober,” kata Johnny di DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.

    Aturan soal perlindungan data pribadi sejatinya sudah ditetapkan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Rudiantara, dalam bentuk Peraturan Menteri (Permen) No. 20 Tahun 2016. Hanya saja, aturan itu lebih bersifat internal, untuk memastikan operator telekomunikasi yang menyimpan data pribadi pelanggan tak memanfaatkannya dengan sewenang-wenang.

    Sampai akhirnya, RUU ini sempat dikembalikan ke Kominfo setelah beberapa poin aturannya dikoreksi oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Kejaksaan Agung, pada pertengahan Oktober lalu. Berikut poin RUU PDP yang direvisi:

    – Pasal 7 RUU PDP mengenai hak untuk memperbarui dan atau memperbaiki data prbadi. – Pasal 20 mengenai perjanjian yang di dalamnya terdapat permintaan data pribadi. – Pasal 1 angka 7 RUU PDP mengenai definisi korporasi. 

    – Pasal 10 RUU PDP mengenai hak untuk mengajukan keberatan. 

    – Pasal 17 ayat 2 huruf a RUU PDP mengenai prinsip perlindungan data pribadi. – Pasal 22 ayat 2 mengenai pengecualian pemasangan alat pemroses atau pengolah data visual. 

    – Pasal 44 RUU PDP mengenai pengecualian kewajiban pengendali data pribadi. 

    Sejatinya UU PDP dianggap semakin penting, mengingat tren big data telah meluas ke berbagai lini. Masyarakat pun sadar atau tanpa sadar telah menyerahkan informasi personal ke berbagai layanan internet. 

    Bukan cuma perusahaan swasta yang mengoleksi data pribadi pengguna, melainkan juga pemerintah. Salah satunya dilihat dari kewajiban registrasi kartu SIM prabayar dengan NIK dan KK.

    Kedaulatan data pribadi

    Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sempat menyoroti secara khusus pentingnya kedaulatan data pribadi. Hal itu disampaikannya dalam pidato kenegaraan dalam rangka HUT ke-74 RI di sidang bersama DPD dan DPR, Jumat (16/8).

    Dikatakan Jokowi, masalah perlindungan data pribadi saat ini tengah menjadi sebuah pembahasan hangat, secara khusus terkait dengan maraknya kasus yang berkaitan dengan pelanggaran privasi dan penyalahgunaan data pribadi.

    “Data adalah jenis kekayaan baru bangsa kita, kini data lebih berharga dari minyak. Karena itu, kedaulatan data harus diwujudkan hak warga negara atas data pribadi harus dilindungi. Regulasinya harus segera disiapkan tidak boleh ada kompromi,” kata Jokowi seperti dikutip dari laman detik.com.

    Pernyataan Presiden Jokowi itu ditanggapi Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) Jamalul Izza. Menurutnya, dengan semakin meningkatnya pengguna internet di Indonesia yakni 171,17 juta jiwa, maka mutlak hukumnya regulasi perlindungan data pribadi harus segera diterbitkan.

    Menurut Jamal, di era digital seperti sekarang ini, perlindungan data pribadi sudah semakin mendesak. Berdasarkan data hasil survei penetrasi dan perilaku pengguna internet di Indonesia yang dilakukan APJII dan Polling Indonesia tahun 2018, mencatat bahwa media sosial seperti Facebook, Instagram, dan YouTube paling sering dikunjungi.

    “Apalagi di media sosial, banyak ditemui data pribadi masyarakat yang mudah didapatkan. Maka dari itu, APJII mendukung upaya dari pemerintah untuk segera menyiapkan regulasi tersebut,” ungkap dia.

  • Pemerintah Targetkan Penyempurnaan Aturan Grasi, Amnesti, Abolisi, dan Rehabilitasi Rampung 2025

    Pemerintah Targetkan Penyempurnaan Aturan Grasi, Amnesti, Abolisi, dan Rehabilitasi Rampung 2025

    Pemerintah Targetkan Penyempurnaan Aturan Grasi, Amnesti, Abolisi, dan Rehabilitasi Rampung 2025
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas mengatakan pihaknya tengah menyempurnakan aturan perundang-undangan terkait dengan
    grasi
    ,
    amnesti
    ,
    abolisi
    , dan
    rehabilitasi
    .
    Ia menyebut, Wakil Menteri Hukum Edward OS Hiariej bahkan diminta turun langsung untuk mengawal proses penyempurnaan beleid tersebut.
    “Langkah-langkah berikut adalah menyangkut soal regulasi. Tadi kami, saya sudah minta kepada Pak Wamen untuk mengawal pembentukan penyempurnaan undang-undang tentang grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi. Lagi disusun dan ini dikawal oleh Pak Wamen,” kata Supratman di Kantornya, di Jakarta, Jumat (28/12/2024).
    Dalam kesempatan tersebut, Eddy mengatakan bahwa penyempurnaan undang-undang tentang grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi ditargetkan akan rampung tahun depan.
    “RUU grasi itu kan merupakan bagian perintah dari KUHP ya, jadi kita itu dalam satu nafas RUU tentang grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi, tahun 2025 harus selesai, karena 2026 kan KUHP dilaksanakan,” tegasnya.
    Supratman menambahkan bahwa presiden akan melaksanakan penerapan hukum yang maksimal pada pemerintahannya saat ini. Termasuk, menindak aparat penegak hukum yang melanggar.
    “Presidan akan melaksanakan penerapan hukum yang maksimal dan akan menindak aparat penegak hukum yang membentengi semua usaha, merintangi penegakan hukum,” ungkapnya.
    Meski begitu, ia menegaskan, UU merupakan produk politik. Sehingga, berhasil atau tidaknya pembahasan suatu UU tidak bisa hanya bergantung pada pemerintah, tetapi juga DPR selaku pembentuk UU.
    Termasuk dalam hal ini, pembahasan terkait RUU Perampasan Aset Tindak Pidana, yang sudah mencuat sejak beberapa tahun terakhir, bahkan sejak Supratman masih menjadi Ketua Badan Legislasi DPR.
    “Karena itu dari awal saya katakan. Apakah pemerintah akan mengajukan (Rancangan) Undang-Undang Perampasan Aset, (RUU) Pembatasan Transaksi Uang Kartal, ataupun yang lain, sudah jelas di dalam prolegnas,” ujarnya.
    “Kenapa kami belum mengajukan itu? Yang pertama, karena ini adalah proses politik yang tentu butuh pendekatan supaya dia lebih cepat untuk kita bisa putuskan,” tambahnya.
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Soal Revisi KUHAP, Komisi III DPR Soroti Banyak Hak Tersangka Diabaikan

    Soal Revisi KUHAP, Komisi III DPR Soroti Banyak Hak Tersangka Diabaikan

    Soal Revisi KUHAP, Komisi III DPR Soroti Banyak Hak Tersangka Diabaikan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Ketua
    Komisi III DPR
    RI Habiburokhman mengungkapkan sejumlah hal terkait revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP).
    Ia menyoroti beberapa aspek penting, termasuk
    hak tersangka
    dan
    masa penahanan
    .

    Hak tersangka
    , terdakwa, dan seterusnya. Ini yang memang harus kita jadi prioritas bagaimana operasionalnya itu,” kata Habiburokhman di Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (27/12/2024).
    Habiburokhman menegaskan bahwa banyak tersangka merasa hak-haknya diabaikan.
    Beberapa keluhan yang muncul antara lain kesulitan dibesuk keluarga, sulitnya mendapatkan penasihat hukum, dan akses terhadap perawatan kesehatan.
    “Karena de facto, banyak orang yang merasa haknya sebagai tersangka itu diabaikan. Apalagi dalam perkara-perkara misalnya yang ada nuansa politisnya,” ujarnya.
    Ia juga menyoroti masa penahanan yang diatur maksimal selama 120 hari setelah penetapan tersangka.
    Menurutnya, tahanan akan kesulitan membela diri dalam waktu yang lama.
    “Jadi kita, misalnya ini ada orang-orang dilaporkan ujaran kebencian atau apa gitu kan, ditahan dulu 120 hari. Iya kan? Nanti di hari ke-120, baru ini bisa bebas atau enggak demi hukum ya,” ujarnya.
    “Sudah babak belur duluan. Kalau orang ditahan itu kan memiliki keterbatasan untuk membela diri. Ini sangat penting juga di perkara-perkara terkait politik dan ujaran kebencian,” imbuh politikus Partai Gerindra itu.
    Selanjutnya, Komisi III DPR juga akan menyoroti hak advokat.
    Habiburokhman mengungkapkan bahwa hak advokat dalam KUHAP saat ini hampir tidak memiliki nilai.
    “Bisa pun mendampingi sebagai tersangka, itu kan. Hanya bisa duduk, diam, dengar, catat. Padahal lawyer itu, advokat itu adalah mempertahankan hak dari orang yang berpotensi bermasalah hukum, atau orang yang sudah bermasalah hukum. Itu tidak akan maksimalkan,” tuturnya.
    Sebelumnya, Komisi III DPR RI mengusulkan Rancangan KUHAP untuk masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025 kepada Badan Legislasi (Baleg) DPR RI.
    Habiburokhman telah menandatangani surat usulan tersebut pada Rabu (6/11/2024).
    Ia meminta Badan Keahlian Sekretariat Jenderal (Setjen) DPR RI untuk merumuskan lebih lanjut rancangan dan naskah akademik KUHAP tersebut.
    “Perlu kami sampaikan bahwa Komisi III telah menyampaikan usulan rancangan KUHAP. Kalau nggak salah kemarin ya, kemarin bener, yesterday kemarin saya sudah tanda tangan sebagai prolegnas prioritas 2025 kepada Baleg,” kata Habiburokhman dalam rapat bersama Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) di Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat, 7 November 2024.
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • KALEIDOSKOP 2024: Semarak Diskon Pajak saat Ekonomi Lesu

    KALEIDOSKOP 2024: Semarak Diskon Pajak saat Ekonomi Lesu

    Bisnis.com, JAKARTA — Selama 2024, pemerintah mengumumkan sejumlah insentif perpajakan demi menstimulus perekonomian yang cenderung lesu atau sekadar merespons isu berkembang.

    Sepanjang tahun ini, kinerja perekonomian memang tidak bisa disebut memuaskan. Terdapat indikasi pelemahan daya beli masyarakat, penurunan jumlah kelas menengah, hingga terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di industri padat karya.

    Di tengah berbagai kondisi tak mengenakan tersebut, pemerintah berencana menaikkan tarif pajak pertambahan nilai atau PPN menjadi 12% pada 1 Januari 2025. Gelombang penolakan pun bermunculan.

    Akibatnya, pemerintah memutar otak agar masyarakat hingga pelaku pasar tidak semakin terpuruk. Sejumlah kebijakan diskon perpajakan pun dikeluarkan: mulai dari PPN ditanggung pemerintah (DTP) hingga tax holiday.

    1. PPN DTP Properti 

    Indikasi pelemahanan daya beli masyarakat hingga penurunan jumlah kelas menengah membuat pemerintah mengeluarkan kebijakan PPN DTP sektor properti.

    Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menunjukkan bahwa pengeluaran terbesar kedua dari kelas menengah berasal dari sektor properti. Tidak hanya itu, sambungnya, aktivitas ekonomi di sektor properti akan berdampak luas ke sektor lain.

    “Diharapkan ini [PPN DTP sektor properti] juga mendorong kemampuan daripada kelas menengah, mendorong sektor konstruksi. Kita tahu sektor konstruksi itu dan perumahan itu multiplier-nya [efek bergandanya] tinggi,” titip Airlangga di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat, Selasa (27/8/2024).

    Setidaknya ada tiga periode pemberian insentif PPN DTP sektor properti selama 2024. Pertama, periode 1 Januari—30 Juni 2024: PPN DTP sebesar 100% hingga Rp2 miliar untuk penyerahan rumah tapak dan satuan rumah susun dengan harga jual maksimal Rp5 miliar. 

    Kedua, periode 1 Juli—31 Agustus 2024: PPN DTP diturunkan menjadi sebesar 50%. Ketiga, periode 1 September—31 Desember 2024: PPN DTP kembali dinaikkan sebesar 100%.

    Terbaru, bahkan pemerintah kembali mengumumkan kebijakan PPN DTP sebesar 100% sampai dengan Rp2 miliar untuk pembelian rumah dengan harga maksimal Rp5 miliar akan diperpanjang untuk 2025.

    2. PPN & PPnBM DTP KBLBB 

    Untuk menjaga daya beli masyarakat akibat kenaikan PPN menjadi 12% pada tahun depan serta mempercepat transisi energi, pemerintah memberikan insentif PPN DTP dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) DTP untuk Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB).

    Insentif tersebut akan berlaku untuk tahun depan. Setidaknya ada empat jenis insentif yang akan diberikan untuk KBLBB.

    Pertama, PPnBM DTP sebesar 15% untuk KBLBB CKD (dalam keadaan utuh) dan CBU (dalam keadaan terurai lengkap). Kedua, PPN DTP sebesar 10% untuk KBLBB CKD

    Ketiga, bea masuk nol untuk KBLBB CBU. Keempat, PPnBM DTP sebesar 3% kendaraan listrik hybrid.

    3. PPh 21 DTP

    Besarnya jumlah PHK di sektor padat karya sepanjang tahun ini juga direspons pemerintah dengan memberikan diskon pajak. Pemerintah mengumumkan akan memberi insentif PPh 21 DTP untuk karyawan industri padat karya yang bergaji sampai dengan Rp10 juta pada 2025.

    Artinya, gaji karyawan industri padat karya yang termasuk penerimaan manfaat tidak akan terpotong pajak penghasilan.

    4. Tax Holiday

    Pemerintah juga memperpanjang ketentuan pengurangan hingga pembebasan pajak korporasi atau tax holiday. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 130/2020, insentif pajak itu semestinya berakhir pada 9 Oktober 2024 tetapi kini telah diperpanjang hingga 31 Desember 2025.

    Menteri Investasi dan Hilirisasi Rosan Roeslani menjelaskan bahwa perpanjangan tax holiday tersebut baru saja disetujui oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 69/2024 tentang Perubahan atas PMK 130/2020 tentang Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan.

    Tax holiday ditujukan untuk perusahaan di industri pionir yaitu yang memiliki keterkaitan yang luas, memberi nilai tambah dan eksternalitas yang tinggi, memperkenalkan teknologi baru, serta memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional.

    Namun, dalam perpanjangan kali ini, terdapat sedikit peraturan, di antaranya tax holiday tidak berlaku untuk perusahaan asing atau korporasi multinasional. Pasalnya, pemerintah menerapkan pajak minimum global 15% atau pilar kedua OECD.

    5. Tax Amnesty Jilid III 

    Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengampunan Pajak resmi masuk ke dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025. Wacana pemberlakuan kembali program pengampunan pajak alias tax amnesty jilid III pun terkuak.

    Sebelumnya, kebijakan serupa sudah sempat diberikan pada 2016—2017 (jilid I) dan 2022 (jilid II).

    Ketua Komisi XI DPR Misbakhun merasa program pengampunan pajak perlu kembali diperlakukan untuk membiayai berbagai visi misi pemerintah baru Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

    Dia menyatakan bahwa DPR, terkhusus Komisi XI, akan turut membantu mengawal berbagai visi misi pemerintah Presiden Prabowo Subianto. Jika salah satu cara mencapai visi misi dengan tax amnesty maka Komisi XI akan mendukungnya.

    Misbakhun menjelaskan bahwa pemerintah dan DPR akan tetap terus berupaya melakukan pembinaan agar wajib pajak tetap patuh. Di saat yang bersamaan, sambungnya, mereka juga ingin memberi peluang kepada orang yang menghindari pajak agar ke depan bisa memperbaiki diri.

    “Jangan sampai orang menghindar terus dari pajak, tapi tidak ada jalan keluar untuk mengampuni, maka amnesty ini salah satu jalan keluar,” jelasnya di Kantor Bappenas, Jakarta Pusat, Selasa (19/11/2024).

    Dengan program tax amnesty, para pengemplang pajak bisa dibebaskan dari kewajiban setoran yang tidak dibayarnya namun dengan membayar sejumlah tarif.

  • Untung Buntung Pilkada Tak Langsung

    Untung Buntung Pilkada Tak Langsung

    Bisnis.com, JAKARTA — Presiden Prabowo Subianto berencana mengevaluasi sistem pelaksanaan pemilihan kepala daerah atau Pilkada. Dia menganggap sistem yang berlaku saat ini berbiaya tinggi alias boros. Prabowo ingin sistem pilkada bisa lebih efektif dan efisien.

    Ketua Umum Partai Gerindra itu kemudian melontarkan wacana mengembalikan sistem Pilkada langsung ke sistem Pilkada berdasarkan representasi di lembaga legislatif. “Mari kita berfikir. Mari kita bertanya. Apa sistem ini berapa puluh triliun habis dalam waktu sehari dua hari?,” ujar Prabowo saat memberikan sambutan dalam ulang tahun ke 60 Golkar, Kamis (12/12/2024).

    Gagasan Prabowo langsung memperoleh dukungan dari jajaran menterinya maupun partai yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju alias KIM Plus. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Kanavian, misalnya, mengemukakan bahwa, evaluasi sistem Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak memang dapat memberikan penghematan signifikan bagi anggaran negara.

    “Ya, saya sependapat tentunya, kami melihat bagaimana besarnya biaya untuk pilkada. Belum lagi ada beberapa daerah yang kami lihat terjadi kekerasan, dari dulu saya mengatakan pilkada asimetris salah satunya melalui DPRD kan,” ujarnya kepada wartawan di Kantor Presiden, Senin (16/12/2024).

    Tito bahkan sesumbar bahwa evaluasi pilkada, termasuk wacana pilkada via DPRD tidak menyimpang dan mencederai mencederai demokrasi karena justru memfasilitasi pemilihan melalui perwakilan. Oleh sebab itu, Tito mengaku akan dengan serius membahas mengenai wacana tersebut ke depannya.

    “Mesti, pasti kita akan bahas. Kan salah satunya sudah ada di prolegnas. Di prolegnas kalau saya tidak salah, termasuk UU pemilu dan UU Pilkada. Nanti gongnya akan dicari tetapi sebelum itu kita akan adakan rapat,” pungkas Tito.

    Bukan Solusi

    Kendati demikian, wacana itu tetap memicu polemik. Ada yang bilang Indonesia kembali mundur karena pilkada melalui DPRD hanya akan menguntungkan elite. Selain itu, sistem Pilkada tidak langsung belum tentu menghapus money politics dalam pelaksanaan pesta demokrasi. “Biaya pilkada mahal itu akibat salah desain atau salah alokasi anggaran,” ujar Peneliti Perhimpunan Indonesia untuk Pembinaan Pengetahuan Ekonomi dan Sosial (BINEKSOS) Titi Anggraini.

    Tabel. Anggaran Pilkada

    Tahun
    Jumlah daerah
    Anggaran (Triliiun)

    2015
    269
    7,1

    2017
    101
    7,9

    2018
    171
    9,1

    2020
    270
    15,4

    2024
    514
    37,43

    Titi melanjutkan bahwa sejatinya pemerintah harus memiliki rancangan yang tepat dalam meracik aturan yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan pilkada yang demokratis. Sayangnya, dia melanjutkan sejauh ini pejabat lebih memilih mengkambing hitamkan pilkada dengan sebutan ‘mahal’ karena salah alokasi penganggaran yang mereka rancang.

    “Biaya [Pilkada] Rp37 Triliun itu sudah dievaluasi belum? Apakah dialokasikan dengan benar? Sudah efektif? Mengingat ada penyelenggara pemilu yang suka naik private jet. Lalu, kalau kunjungan dinas ke daerah, mobil dinasnya tidak cukup hanya satu sampai tiga,” tuturnya.

    Selain itu, pemborosan-pemborosan itu juga tampak misalnya dari pelaksanaanRapat Kerja Nasional (Rakernas), konsolidasi, hingga musyawarah besar juga seringkali dilakukan dengan cara-cara yang inefisien. Titi menilai bahwa mahalnya biaya kontestasi politik lebih bergerak di ruang gelap. Padahal, menurutnya laporan dana kampanye selama ini tidak mencerminkan politik yang mahal.

    Kalau mengacu data Komisi Pemilihan Umum atau KPU, PDIP tercatat sebagai partai politik dengan total penerimaan paling tinggi. Angka total penerimaannya adalah Rp183.861.799.000 (Rp183 miliar) dan total pengeluaran tertinggi pada Rp115.046.105.000 (Rp115 miliar). Di sisi lain, Partai Kebangkitan Nasional (PKN) tercatat sebagai partai politik dengan total pengeluaran paling rendah. PKN memiliki total penerimaan senilai Rp453 juta dan total pengeluaran Rp42 juta

    Sementara itu, berdasarkan laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat dari 103 paslon pilgub di Pilkada serentak 2024 rata-rata menerima dana sumbangan untuk kampanye sebesar Rp3,8 miliar yang berasal dari berbagai sumber. “Mahalnya karena jual-beli suara, mahal politik untuk jual-beli perahu, atau yang mana? Atau mahal karena jagoan atau titipan elite nasional tidak bisa menang pilkada atau seperti apa?” imbuh Titi.

    Sementara itu, Peneliti Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Siti Zuhro menilai masih rendahnya keseriusan dan komitmen para elit dan stakeholders partai politik (parpol) dalam menyukseskan pemilihan umum (pemilu) dan pemilihan kepala daerah (pilkada) yang berkualitas.

    Dia menilai bahwa sejauh ini atau secara umum skema atau format kontestasi politik. Mulai dari pemilu, pileg, pilpres, dan pilkada seharusnya bukan hanya tidak menjanjikan melembaganya demokrasi substansial yang terkonsolidasi, melainkan juga tidak melembagakan pemerintahan yang efektif dan sinergis.

    Menurutnya, selama ini format pemilu yang berlaku cenderung melembagakan pemerintahan hasil pemilu/pilkada yang tidak terkoreksi. Tidak mengherankan lika politik transaksional dalam pengertian negatif masih kental mewarnai relasi kekuasaan di antara berbagai aktor dan institusi demokrasi hasil pemilu/pilkada.

    “Hampir tidak ada perdebatan serius tentang agenda para calon pemimpin bagi masa depan daerah dan tentang arah dan strategi kebijakan seperti apa yang ditawarkan para kandidat kepala daerah dalam memajukan daerahnya,” pungkas Siti.

    Hemat Anggaran?

    Kepala Pusat Ekonomi Makro dan Keuangan Indef M Rizal Taufikurahman pun menilai bahwa evaluasi sistem Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak memang dapat memberikan penghematan signifikan bagi anggaran negara.  “Pada 2024, biaya Pilkada mencapai Rp36,61 triliun, dengan anggaran utama untuk logistik, pengamanan, dan operasional,” ujarnya kepada Bisnis, Senin (16/12/2024).

    Menurutnya, dengan mengganti mekanisme pemilihan, seperti melalui DPRD atau penggabungan pemilu nasional dan daerah, maka Negara mampu melakukan penghematan hingga 30% atau setara Rp10—12 triliun per siklus.

    “Hal ini akan mengurangi tekanan fiskal, terutama dalam konteks belanja negara yang mencapai Rp3.621,3 triliun pada 2025,” imbuhnya

    Selain itu, dia melanjutkan bahwa pemerintah dapat berhemat melalui reformasi subsidi energi. Dengan anggaran Rp525 triliun, subsidi berbasis target langsung kepada masyarakat miskin dapat mengurangi pemborosan hingga puluhan triliun.

    Bahkan, kata Rizal, Efisiensi juga dapat dilakukan pada belanja pegawai dengan digitalisasi dan optimalisasi sumber daya, yang berpotensi menghemat 5—10%. Pengelolaan dana transfer daerah (DAU/DBH) yang lebih ketat dapat mengurangi inefisiensi sebesar 2—5% dari alokasi.

    Strategi penghematan ini harus disertai pengawasan ketat dan reformasi struktural untuk memastikan dana dialokasikan pada prioritas pembangunan, seperti infrastruktur strategis dan pengentasan kemiskinan.

    Menurutnya, langkah ini tidak hanya meningkatkan efisiensi fiskal tetapi juga mendukung stabilitas ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, yang menjadi fokus utama APBN 2025.

  • Awal Mula PPN Naik jadi 12%: Dimulai di Era Jokowi, Dilanjutkan Prabowo

    Awal Mula PPN Naik jadi 12%: Dimulai di Era Jokowi, Dilanjutkan Prabowo

    Bisnis.com, JAKARTA — Masyarakat Indonesia telah menghadapi pungutan PPN 10% setidaknya selama 37 tahun atau sejak 1985 hingga 2022, sebelum akhirnya tarif pajak tersebut naik menjadi 11% per 1 April 2022. 

    Kenaikan tersebut nyatanya dimulai pada masa pemerintahan kedua Joko Widodo atau pada 2021. Kala itu, pemerintah ingin membuat Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang berisi soal kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) hingga pengampunan pajak atau tax amnesty.

    Rancangan tersebut pada akhirnya masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) pada Maret 2021, tetapi tak kunjung dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). 

    Hingga pada Mei 2021, Jokowi mengirimkan Surat Presiden (Surpres) Nomor R-21/Pres/05/2021 yang meminta agar DPR segera membahas dan merampungkan RUU KUP tersebut. 

    Akhirnya, pada penghujung Juni 2021, DPR mulai membahas RUU KUP yang dalam perjalanannya berganti nama menjadi RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). 

    Kurang dari enam bulan dan setelah mendapatkan restu dari Komisi XI, draft RUU HPP naik ke rapat paripurna bersama sejumlah agenda pembahasan lainnya. Mayoritas fraksi utamanya PDIP, Gerindra, Golkar, PAN, Partai Demokrat, Partai Nasdem, PKB, PPP, menerima draf tersebut. 

    Kecuali, PKS yang dengan tegas tetap menolak pengesahan beleid tersebut dalam rapat paripurna. Meski demikian, RUU HPP juga tetap resmi menjadi undang-undang (UU) per 7 Oktober 2021 karena mayoritas fraksi setuju. 

    Hasilnya, Jokowi kembali melaksanakan pengampunan pajak atau tax amnesty jilid II yang menghasilkan tambahan penerimaan senilai Rp61,01 triliun. 

    Selain itu, UU HPP juga menetapkan tarif PPN naik menjadi 11% per 1 April 2022 dan 12% mulai 1 Januari 2025 atau satu pekan lagi. 

    Presiden Prabowo Subianto yang kini menjabat pun manut dengan amanat UU HPP yang disahkan tiga tahun silam. Pemerintah kini, tidak ada intensi untuk menunda maupun membatalkan rencana tersebut. 

    Mirisnya, dalam UU HPP pemerintah juga menetapkan pajak karbon yang efektif 1 April 2022. Namun pada kenyataannya, kebijakan tersebut tak kunjung jalan dan tak ada kabar meski menjadi amanat Undang-Undang. Sementara tarif PPN, terus mengalami kenaikan.

    Pemerintah dalam hal ini Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Dwi Astuti berdalih kenaikan tarif PPN tidak akan mengganggu daya beli dan pertumbuhan ekonomi. 

    “Kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% tidak berdampak signifikan terhadap harga barang dan jasa,” ungkapnya dalam keterangan resmi, Sabtu (21/12/2024).

    Dalam perhitungan Ditjen Pajak, kenaikan tarif 1% tersebut hanya memberikan tambahan harga sebesar 0,9% bagi konsumen. 

    Misalnya, jika sebelumnya sebuah minuman seharga Rp7.000 dengan tarif 11% menjadi Rp7.770. Kini dengan tarif 12%, minuman tersebut menjadi Rp7.840 atau naik Rp70 atau setara 0,9%. 

    Meski demikian, ekonom dan masyarakat dari berbagai kalangan mendorong pemerintah untuk membatalkan kebijakan tersebut karena kondisi daya beli yang tengah lemah. Tercermin dari inflasi yang mencapai titik terendah sejak 2021. 

  • Pimpinan MA dan DPD Gelar Pertemuan untuk Perkuat Sinergi Lembaga Negara

    Pimpinan MA dan DPD Gelar Pertemuan untuk Perkuat Sinergi Lembaga Negara

    Jakarta, Beritasatu.com – Pimpinan Mahkamah Agung (MA) dengan DPD menggelar pertemuan sebagai langkah awal memperkuat sinergi antar lembaga negara. Ketua Mahkamah Agung (MA) yang baru saja dilantik, Sunarto, menginisiasi pertemuan perdana dengan Ketua DPD  Sultan B Najamudin dan jajarannya pada Senin (23/12/2024).

    “Ini tradisi baik yang diinisiasi oleh pimpinan Mahkamah Agung. Sebagai sesama lembaga negara, kita bersilaturahmi. Ini akan menjadi konvensi yang ideal untuk negara demokrasi sebesar Indonesia, di mana lembaga-lembaga negara harus terus mengikuti perkembangan yang terjadi,” ungkap Ketua DPD Sultan B Najamudin, seusai pertemuan yang digelar di gedung DPR, Jakarta. 

    Pertemuan tersebut bersifat silaturahmi tanpa membahas agenda lain, sebagai kelanjutan dari pelantikan Ketua MA Sunarto yang baru saja dilaksanakan pada Oktober lalu. “Saya selaku pimpinan lembaga negara yang baru dilantik, ingin berkunjung ke senior saya, karena beliau lebih dulu dilantik. Tidak ada agenda lain yang dibicarakan, hanya yang tak kenal maka tak sayang,” ujar Sunarto sambil bergurau. 

    Namun, meskipun pertemuan tersebut tidak membahas agenda formal, kedua pimpinan lembaga sepakat untuk memastikan kelanjutan hubungan harmonis antarlembaga negara, yang dianggap sangat penting bagi kelangsungan negara. 

    Sultan menjelaskan, kesepahaman antarlembaga negara memudahkan untuk mendapatkan dukungan masyarakat, yang pada akhirnya dapat memperkuat dukungan di tingkat akar rumput, seperti di daerah, perguruan tinggi, dan kampus-kampus. 

    “Seperti yang disampaikan oleh Yang Mulia Ketua MA, tujuan bernegara kita sama. Semua institusi lembaga negara, termasuk masyarakat Indonesia, memiliki harapan yang sama, yakni menjadikan negara ini maju, sesuai dengan cita-cita yang tertulis di Pembukaan UUD 1945. Kita tidak boleh mencampuri tugas masing-masing lembaga, namun kolaborasi dan silaturahmi antarlembaga sangat penting,” kata Sultan. 

    Dalam kesempatan tersebut, Sultan juga mengungkapkan pencapaian signifikan DPD, yakni disahkannya empat RUU dalam prolegnas prioritas pada bulan lalu. Keempat RUU tersebut meliputi RUU Pengelolaan Iklim, RUU Masyarakat Adat, RUU Pemerintah Daerah, dan RUU Lautan. Lebih lanjut, Sutan menyatakan saat ini hubungan antara DPD dengan DPR dan lembaga eksekutif semakin membaik. 

  • KPU usul UU Pemilu dan UU Pilkada disatukan

    KPU usul UU Pemilu dan UU Pilkada disatukan

    Apa pun bunyi dan poin evaluasi kita harus datang dengan kajian terlebih dahulu. Poin saya itu sih termasuk dari sisi penyelenggara

    Jakarta (ANTARA) – Ketua KPU RI Mochammad Afifuddin mengusulkan Undang-Undang Pemilu dan Pilkada dapat dijadikan satu.

    Hal itu disampaikan Afifuddin merespons adanya wacana revisi aturan pemilu, terutama UU Pilkada harus bersamaan dengan UU yang berkaitan dengan pemilu lainnya.

    “Mumpung mau ada aturan Undang-Undang Pemilu dan Pilkada, kalau bisa dijadikan satu. Itu juga menjadi concern kita. Kenapa? Karena kalau itu juga dilakukan, maka ada transisi lagi nanti soal masa akhir jabatan dan selanjutnya,” kata Afifuddin di Jakarta, Jumat.

    Dia menjelaskan bahwa pemilu diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017. Sementara pilkada diatur pada UU Nomor 10 Tahun 2016.

    Menurutnya, Pilkada Serentak 2024 yang dilakukan di tahun yang sama dengan pilpres dan pileg terasa sangat melelahkan.

    Tak hanya itu, dirinya mengakui KPU belum sempat melakukan evaluasi atas penyelenggaraan pilpres dan pileg, akan tetapi sudah harus berhadapan dengan Pilkada 2024.

    “Sebagian orang mungkin membayangkan mungkin waktu untuk pileg, pilpres agak digeser, seperti 2 tahun, misalnya, gitu. Nah itu tentu berdampak terhadap riset keserentakan yang sudah diputuskan Mahkamah Konstitusi,” ujarnya.

    Meski begitu, ihwal tersebut masih bersifat usulan, pandangan, dan wacana. Hal ini pun masih harus dibahas lebih dalam, karena apa pun yang akan dibahas serius di DPR harus melalui kajian mendalam dulu.

    “Apa pun bunyi dan poin evaluasi kita harus datang dengan kajian terlebih dahulu. Poin saya itu sih termasuk dari sisi penyelenggara,” jelas Afifuddin.

    Afif juga menyebut dalam evaluasi penyelenggaraan pemilihan itu sebaiknya dituangkan dalam sebuah aturan dan tidak hanya menjadi sebuah diskursus.

    “Rekayasa atau engineering yang baik itu jangan hanya berhenti di diskursus. Masukkan dalam aturan. Diskursus kita berbusa-busa di aturan nggak terlalu akomodasi enggak akan bisa direalisasikan. Baik oleh peserta, baik oleh penyelenggara,” tambahnya.

    Sebelumnya, Senin (18/11), Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Ahmad Doli Kurnia mengatakan dari hasil rapat panja disepakati UU Pemilu dan UU Pilkada bakal masuk ke dalam prolegnas prioritas.

    Pasalnya, penyempurnaan terhadap sistem demokrasi dimulai dari sistem pemilu.

    “Apalagi sebenarnya kita akan lebih nyaman, lebih bebas gitu ya, lebih objektif kalau Undang-undang Pemilu itu dibahas di awal Pemilu, di awal pemerintahan, supaya tidak ada bias pada saat nanti menjelang pemilu,” kata Doli di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin.

    Ia menilai dua UU tersebut perlu dibahas dan dimatangkan segera agar DPR memiliki waktu yang cukup untuk melakukan sosialisasi sebelum Pemilu berikutnya.

    Pewarta: Narda Margaretha Sinambela
    Editor: Chandra Hamdani Noor
    Copyright © ANTARA 2024

  • Dukung Pilkada Lewat DPRD, Bayu Golkar: Hemat Biaya

    Dukung Pilkada Lewat DPRD, Bayu Golkar: Hemat Biaya

    Surabaya (beritajatim.com) – Politisi muda Partai Golkar Jawa Timur, Bayu Airlangga, memberikan dukungan penuh terhadap gagasan Presiden Prabowo Subianto soal pemilihan kepala daerah (Pilkada) melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

    Ia menyebut usulan ini sebagai langkah maju untuk menciptakan efisiensi sekaligus meningkatkan kualitas kepala daerah yang terpilih.

    Menurut Bayu, usulan Presiden Prabowo yang juga didukung Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia, relevan dengan situasi dan kondisi yang dihadapi Indonesia saat ini.

    “Pemilihan melalui DPRD bisa menjadi solusi untuk mengurangi biaya politik yang tinggi tanpa mengabaikan prinsip konstitusional,” ujarnya di Surabaya, Kamis (19/12/2024).

    Ia menambahkan, pembahasan terkait mekanisme Pilkada melalui DPRD dapat dimasukkan ke dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Paket Politik yang mencakup pemilu, pilkada, dan partai politik. RUU ini diharapkan menjadi prioritas dalam program legislasi nasional (Prolegnas) tahun 2025.

    Bayu menjelaskan, bahwa efisiensi dalam konteks ini bukan hanya soal penghematan anggaran, tetapi juga memastikan proses politik berjalan lebih efektif.

    “Biaya besar dalam Pilkada langsung sering menjadi beban bagi calon kepala daerah. Dengan pemilihan lewat DPRD, kita bisa meminimalkan itu sambil tetap menjaga kualitas pemimpin yang terpilih,” tegasnya.

    Ia juga menekankan bahwa usulan ini tetap berada dalam koridor konstitusi dan demokrasi. Menurutnya, mekanisme pemilihan melalui DPRD tidak akan mengurangi semangat demokrasi jika dilakukan dengan transparan dan akuntabel.

    Gagasan ini tentu memunculkan beragam pendapat di tengah masyarakat. Sebagian kalangan menilai Pilkada langsung memberikan ruang lebih besar bagi rakyat untuk menentukan pemimpinnya.

    Namun, di sisi lain, biaya politik yang tinggi sering kali menimbulkan masalah baru, seperti korupsi atau praktik politik uang.

    Bayu percaya bahwa usulan ini bisa menjadi bahan diskusi yang konstruktif di tingkat nasional. “Yang terpenting adalah bagaimana kita bersama-sama mencari solusi terbaik untuk masa depan demokrasi Indonesia,” tutupnya.

    Dengan wacana ini, langkah reformasi politik tampaknya akan menjadi salah satu fokus penting dalam pemerintahan mendatang.  [tok/aje]

  • Baleg Tunggu Usulan Resmi soal Kepala Daerah Dipilih DPRD

    Baleg Tunggu Usulan Resmi soal Kepala Daerah Dipilih DPRD

    Jakarta, CNN Indonesia

    Ketua Baleg DPR Bob Hasan menyatakan pihaknya dalam posisi menunggu usulan resmi terkait wacana kepala daerah dipilih oleh DPRD yang dilempar Presiden Prabowo Subianto.

    Bob menjelaskan usulan resmi tersebut bisa saja diinisiasi oleh pihak Pemerintah atau DPR. Namun, Ia mengatakan belum ada usulan resmi yang masuk.

    “Pokoknya inisiatif itu bisa datang dari mana saja, dari DPR, dari Pemerintah, tetapi hari-hari ini kan di Baleg belum ada gambaran atau arahan yang masuk,” kata Bob di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (17/12).

    Di sisi lain, Bob menegaskan rencana revisi undang-undang paket politik belum akan dilakukan pada 2025. Sebab, kata dia, revisi undang-undang paket politik tak masuk ke dalam prolegnas prioritas 2025.

    “Revisi UU politik itu sekarang ada prioritas ada yang jangka menengah, sampai hari undang undang politik belum ada yang prioritas,” jelas dia.

    Lebih lanjut, Bob enggan menanggapi lebih lanjut terkait pandangan yang mengemuka ihwal wacana kepala daerah dipilih DPRD dinilai mengebiri demokrasi.

    Ia mengklaim Baleg akan berupaya melibatkan partisipasi publik dalam melakukan pembahasan wacana tersebut jika telah diusulkan.

    “Silakan saja kalau ada pandangan. Baleg itu melihatnya nanti kalaupun ada pembahasan terhadap pembahasan UU politik tersebut diperlukan pembahasan meaningful partisipasi publik kita juga akan dengar FGD-FGD atau keterangan dari publik,” ujar dia.

    Sebelumnya, wacana tersebut dilempar oleh Prabowo saat berpidato di puncak perayaan HUT ke-60 Partai Golkar di Sentul, pada Kamis (12/12).

    Ia menilai Pilkada melalui DPRD lebih efisien. Ia mengambil contoh sejumlah negara tetangga yang dinilai telah berhasil mempraktikan hal tersebut.

    “Saya lihat negara-negara tetangga kita efisien, Malaysia, Singapura, India, sekali milih anggota DPRD, sekali milih, ya sudah DPRD itulah yang milih gubernur, milih bupati,” kata Prabowo.

    (mab/dmi)

    [Gambas:Video CNN]