Topik: Prolegnas

  • Komisi II tidak siapkan revisi UU Pemilu, tetapi fokus pada RUU ASN

    Komisi II tidak siapkan revisi UU Pemilu, tetapi fokus pada RUU ASN

    Ssubstansi perubahan yang hanya menyasar satu pasal, tetapi memiliki dampak besar pada prinsip desentralisasi dan otonomi daerah.

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua Komisi II DPR RI Zulfikar Arse Sadikin menegaskan bahwa saat ini pihaknya tidak sedang menyiapkan perubahan terhadap Undang-Undang tentang Pemilihan Umum, tetapi fokus pada revisi Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (ASN).

    Wakil rakyat yang membidangi penegakan hukum memegang peran penting dalam memastikan terciptanya keadilan, kepastian hukum, dan supremasi hukum ini mengatakan bahwa fokus utama Komisi II tahun ini pada Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas UU Aparatur Sipil Negara (ASN), sesuai dengan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025.

    “Kelihatannya pada hari jadi ke-17 itu teman-teman penyelenggara pemilu, terutama dari Bawaslu, terlihat resah soal masa depan kelembagaan mereka, apakah tetap permanen atau kembali ke bentuk ad hoc,” kata Zulfikar dalam Tasyakuran HUT Ke-17 Bawaslu RI di Kantor Bawaslu RI, Jakarta, Selasa.

    Zulfikar lantas berkata, “Saya ingin sampaikan bahwa informasi yang benar adalah Komisi II tidak sedang menyiapkan perubahan UU Pemilu … mohon maaf. Komisi II pada tahun ini, prolegnas tahun ini, diminta revisi UU ASN.”

    Ditegaskan pula bahwa saat ini Komisi II diarahkan untuk bahas revisi UU ASN meskipun dia tidak setuju terhadap rencana tersebut.

    “Saya tidak tahu kenapa harus diubah lagi? Padahal, belum lama ada perubahan Undang-Undang tentang Aparatur Sipil Negara. Saya pribadi tidak setuju karena ada semangat sentralisasi dalam perubahan ini,” ujar Zulfikar.

    Sebelumnya, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023.

    Ia menyoroti substansi perubahan yang hanya menyasar satu pasal, tetapi memiliki dampak besar pada prinsip desentralisasi dan otonomi daerah.

    Perubahan itu, kata dia, menyangkut pengangkatan, pemberhentian, dan pemindahan pejabat pimpinan tinggi yang ditarik langsung ke Presiden.

    “Ini menafikan negara kesatuan yang desentralisasi dan otonomi luas sebagaimana diamanatkan dalam UUD NRI Tahun 1945, termasuk menafikan kewenangan pejabat pembina kepegawaian di daerah,” jelasmya.

    Lebih lanjut dia menyatakan keberatannya secara pribadi dan akan berupaya agar perubahan itu tidak terjadi.

    “Saya termasuk yang tidak setuju, dan akan berusaha agar itu tidak disahkan. Mohon maaf … kalau sampai ini diketok oleh pimpinan DPR, apalagi oleh ketua umum partai,” ucap Zulfikar.

    Terkait dengan rencana perubahan UU Pemilu, Zulfikar menambahkan bahwa proses tersebut sebenarnya sedang digodok oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR RI. Namun, Komisi II sedang berupaya agar pembahasan itu dikembalikan ke ranah Komisi II sebagai mitra langsung penyelenggara pemilu.

    “Kami sudah melobi pimpinan DPR, dan terakhir saya bicara dengan Wakil Ketua DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, sudah ada sinyal positif untuk mengembalikannya ke Komisi II,” pungkasnya.

    Pewarta: Narda Margaretha Sinambela
    Editor: D.Dj. Kliwantoro
    Copyright © ANTARA 2025

  • Menteri Hukum Beberkan 8 RUU Prioritas Nasional 2025, Ada UU Amnesti hingga Hukuman Mati

    Menteri Hukum Beberkan 8 RUU Prioritas Nasional 2025, Ada UU Amnesti hingga Hukuman Mati

    Bisnis.com, JAKARTA – Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas memaparkan sejumlah produk hukum yang menjadi prioritas untuk dibahas pada 2025. Beberapa di antaranya berbentu rancangan undang-undang (RUU), serta rancangan peraturan pemerintah (RPP). 

    Supratman memerinci bahwa produk hukum dimaksud meliputi 8 RUU, serta 3 RPP yang merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang (UU) No.1/2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dan harus segera diselesaikan.

    “Timnya saya sudah meminta kepada Bapak Wamen [Eddy Hiariej] untuk memimpin langsung, menyangkut ketiga RPP yang sementara akan segera disusun dan juga beberapa undang-undang yg merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang No.1/2023,” jelas Supratman pada konferensi pers di Kantor Kementerian Hukum, Jakarta, Selasa (15/4/2025). 

    Supratman lalu memaparkan bahwa 8 RUU itu meliputi di antaranya RUU tentang Narkotika dan Psikotropika. Dia menyebut RUU tersebut akan segera diajukan untuk dibahas di DPR setelah koordinasi lintas kementerian:

    “Akan segera kita ajukan setelah rapat antar kementerian dilakukan dan tercapai kesepakatan di antara semua lembaga dan kementerian untuk kita ajukan guna memaksimalkan upaya pemberantasan ataupun penindakan kejahtaan di bidang narkotika,” terang mantan Ketua Baleg DPR itu. 

    Selanjutnya, terdapat RUU Hukum Acara Perdata; RUU tentang Keamanan dan Ketahanan Siber; RUU tentang Kepailitan dan PKPU; RUU Jaminan Benda Bergerak; RUU tentang Grasi, Amnesti dan Abolisi; RUU Pelaksanaan Pidana Mati; serta RUU Penyesuaian Ketentuan Pidana dalam UU dan Peraturan Daerah. 

    Kemudian, RPP tentang Tata Cara dan Kriteria Penetapam Hukum yang Hidup dalam Masyarakat; RPP tentang Tata Cara Perubahan Pidana Penjara Seumur Hidup dan Pidana Mati; serta RPP tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana dan Tindakan. 

    Selain itu, Supratman menyebut terdapat 7 RUU, 8 RPP, 5 Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) serta 23 Rancangan Peraturan Menteri Hukum (Permenkum) dalam tahap penyusunan. 

  • Dukung Revisi UU Penyiaran Dibahas Lagi, KPI Tekankan Perlu Penyesuaian dengan Era Digital

    Dukung Revisi UU Penyiaran Dibahas Lagi, KPI Tekankan Perlu Penyesuaian dengan Era Digital

    Surabaya (beritajatim.com) – Revisi terhadap Undang-Undang Penyiaran No.32 Tahun 2002 resmi kembali masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas. Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Tulus Santoso, menyambut baik langkah DPR RI tersebut dan menyatakan dukungan penuh atas inisiatif pembaruan regulasi yang dinilai sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman.

    “Kami pastinya mendukung langkah legislatif untuk merevisi UU Penyiaran. Karena memang UU Penyiaran kita sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman. Sehingga perlu untuk disesuaikan,” ujar Tulus Santoso saat mengunjungi Radio Suara Surabaya, Jumat (11/4/2025).

    Sebagai Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran KPI Pusat, Tulus menyoroti pesatnya perkembangan teknologi yang berdampak langsung pada dinamika sektor penyiaran, terutama maraknya paparan konten audio visual melalui platform digital.

    “Kehadiran UU Penyiaran untuk menjaga agar pemanfaatan sumber daya publik, yakni frekuensi tidak menimbulkan dampak buruk bagi masyarakat. TV dan radio melalui UU Penyiaran tahun 2002 sudah diatur sangat ketat, tapi bagaimana dengan konten audio visual yang saat ini penetrasinya lebih masif dan hadir setiap waktu digenggaman masyarakat melalui gawai,” jelasnya.

    Menurut Tulus, pertanyaan dari masyarakat terkait konten di media digital semakin sering muncul saat KPI melakukan sosialisasi atau edukasi publik. Banyak masyarakat merasa terganggu dengan konten visual yang dinilai meresahkan, namun belum tersentuh oleh regulasi saat ini.

    Menanggapi kekhawatiran bahwa revisi UU Penyiaran bisa mengancam kebebasan pers dan ekspresi, Tulus menilai perlu ada ruang dialog terbuka agar tak terjadi salah persepsi antara publik dan pembuat undang-undang.

    “Menurut saya, kekhawatiran wajar muncul. Tapi spirit revisi inikan untuk perlindungan publik, termasuk industri tempat dimana insan pers bekerja. Sehingga, kita harus juga sama-sama mengawal dan berdialog dengan pembuat undang-undang. Sehingga persepsinya bisa sama. Pertaruhan yang bahaya menurut saya kalau DPR dan pemerintah ingin membungkam pers,” ungkapnya.

    Soal isu perluasan pengaturan terhadap konten di media sosial, Tulus menganggap bahwa penolakan sebagian pihak lebih disebabkan oleh belum seragamnya pemahaman publik soal batasan konten yang patut diatur.

    “Kalau kita sering membuat konten yang positif, edukatif, kemudian kita juga enggan dengan konten yang sekadar mempertontonkan sensualitas, maka seharusnya pengaturan itu menjadi baik,” katanya.

    Saat ditanya apakah negara mampu mengatur konten digital, Tulus mengakui tantangannya besar. Namun, ia menegaskan bahwa negara tidak bisa tinggal diam.

    “Banyak negara dipusingkan dengan perkembangan platform digital. Tapi apakah kemudian Indonesia hanya diam saja. Eropa bisa mengeluarkan Audio Visual Media Service Directive Act, 2018. Mereka mengatur konten audio visual. Tentu bentuk pengaturannya berbeda dengan Free To Air (FTA). Selain itu, kami juga tidak dalam posisi bahwa media baru harus diatur KPI. Kami memasrahkan pada pembuat Undang-Undang. Semangat kami adalah, bahwa negara harus hadir dan kita tidak boleh kebobolan jika memang ingin melindungi masyarakat,” tegas Tulus.

    Sejauh ini, dalam pembahasan revisi tahun ini, sejumlah pemangku kepentingan sudah diundang kembali oleh DPR. Termasuk di antaranya asosiasi lembaga penyiaran yang menyuarakan keluhan soal ketimpangan regulasi antara media konvensional dan digital, yang dinilai membuat persaingan tidak seimbang. [beq]

  • Langkah-langkah Prabowo Memberantas Korupsi, Sudah Tepat?
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        9 April 2025

    Langkah-langkah Prabowo Memberantas Korupsi, Sudah Tepat? Nasional 9 April 2025

    Langkah-langkah Prabowo Memberantas Korupsi, Sudah Tepat?
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Presiden
    Prabowo
    Subianto berulang kali menegaskan komitmennya dalam pemberantasan
    korupsi
    di Tanah Air.
    Baru-baru ini, Prabowo mengaku geram dengan kasus korupsi yang terjadi dalam beberapa waktu belakangan.
    Dia pin mendukung beberapa langkah untuk membuat koruptor jera. Salah satunya adalah penyitaan aset koruptor.
    Hal tersebut disampaikannya dalam pertemuan dengan enam pemimpin redaksi di kediaman pribadinya, di Padepokan Garuda Yaksa Hambalang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Minggu (6/4/2025).
    “Ada soal memiskinkan (koruptor), saya berpendapat begini. Makanya, saya mau negosiasi, kembalikan uang yang kau curi. Tetapi, memang susah, ya kan? Karena, secara sifat, manusia enggak mau mengaku,” ujar Prabowo, dilansir dari
    Kompas.id
    , Senin (7/4/2025).
    “Jadi, pertama harus dikasih kesempatan. Apa kerugian negara yang dia timbulkan harus dikembalikan. Maka, aset-aset, pantas kalau negara itu menyita,” katanya lagi.
    Kendati demikian, menurut Prabowo, keadilan untuk anak dan istri koruptor tetap harus diperhatikan.
    Sebab, Prabowo mengatakan, dalam aset yang dimiliki seorang koruptor, bisa saja terdapat harta yang dimilikinya sebelum melakukan tindak pidana korupsi.
    “Nanti para ahli hukum suruh bahas. Apakah adil anaknya menderita juga? Kan, dosa seorang tua tidak boleh diturunkan ke anaknya. Tetapi, ini saya minta masukan dari ahli-ahli hukum,” ujar Prabowo.
    Di sisi lain, Menteri Hukum Supratman Andi Agtas mengatakan, rancangan undang-undang (RUU) Perampasan Aset resmi dimasukkan ke dalam program legislasi nasional (prolegnas) untuk periode 2025-2029.
    “Pemerintah itu komit mengusulkan, itu ada di daftar 40 RUU yang kami ajukan dalam prolegnas 2025-2029, dan RUU Perampasan Aset itu ada di urutan kelima,” ujar Supratman dalam rapat bersama Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Senin (18/11/2024).
    Langkah berikutnya, Prabowo akan menaikkan gaji semua hakim secara signifikan agar mereka tidak dapat disuap.
    Dalam waktu dekat, dia mengatakan, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani dan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi akan mendiskusikan hal tersebut.
    “Hakim harus dibikin begitu terhormat dan begitu yakin sehingga dia tidak bisa disuap. Saya juga beri petunjuk agar hakim punya rumah dinas yang layak. Ini sedang dikerjakan Menteri Perumahan. Kalau tidak salah, hakim kita di seluruh Indonesia tidak sampai 10.000 orang,” ujar Prabowo.
    Dalam kesempatan lain, Prabowo sempat meminta para hakim menghukum koruptor seberat-beratnya jika sudah jelas dan nyata merugikan negara.
    “Saya mohon ya kalau sudah jelas melanggar, jelas mengakibatkan kerugian triliunan, ya semua unsur lah, terutama juga hakim-hakim, vonisnya jangan terlalu ringan,” kata Prabowo di Gedung Bappenas, Menteng, Jakarta Pusat pada 30 Desember 2024.
    Pada momen tersebut, Prabowo bertanya langkah yang diambil Kejaksaan Agung atas ringannya vonis hakim terhadap salah satu koruptor.
    Kepala Negara tidak menyebutkan secara spesifik koruptor yang dimaksud, tetapi publik baru-baru ini dihebohkan dengan vonis ringan terhadap Harvey Moeis.
    Kejaksaan Agung pun akan melakukan banding atas vonis hakim.
    “Tolong menteri pemasyarakatan ya, Jaksa Agung. Naik banding enggak? Naik banding. Vonisnya ya 50 tahun begitu kira-kira, ya,” ujar Prabowo.
    Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Fakultas Hukum (FH) Universitas Gadjah Mada (UGM), Zaenur Rohman menilai bahwa
    Presiden Prabowo
    belum memahami secara menyeluruh akar persoalan korupsi di Indonesia.
    Menurut Zaenur, pernyataan Prabowo dalam wawancara dengan enam pemimpin redaksi itu menunjukkan bahwa belum memiliki peta jalan yang jelas untuk
    pemberantasan korupsi
    dalam lima tahun masa jabatannya.
    “Dari jawaban-jawabannya, saya melihat Presiden Prabowo tidak benar-benar paham akar masalah korupsi dan tidak punya rencana yang jelas bagaimana selama lima tahun pemerintahannya akan melakukan pemberantasan korupsi,” kata Zaenur, Senin (8/4/2025).
    Zaenur menilai, langkah-langkah yang disampaikan Presiden Prabowo belum menjawab tantangan utama dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi.
    Salah satu yang disorot adalah rencana Prabowo untuk menaikkan gaji dan memberikan rumah dinas bagi para hakim agar mereka tidak mudah disuap.
    Selain itu, Prabowo juga tampak ragu dalam mendukung upaya pemiskinan koruptor melalui pengesahan UU Perampasan Aset.
    Zaenur juga menyoroti soal dorongan Prabowo kepada jaksa agar mengajukan banding terhadap vonis ringan dalam perkara korupsi.
    Menurut dia, penyataan Kepala Negara dalam wawancara tersebut tidak memperlihatkan adanya arah yang jelas dalam pemberantasan korupsi selama lima tahun ke depan.
    “Ini tentu cukup meresahkan. Karena apa yang disampaikan beliau sebagai langkah-langkah pemberantasan korupsi itu bukan merupakan jawaban atas permasalahan-permasalahan utama korupsi di Indonesia,” ujar Zaenur.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Prabowo Soal RUU Polri: Polisi Harus Diberi Wewenang yang Cukup

    Prabowo Soal RUU Polri: Polisi Harus Diberi Wewenang yang Cukup

    Bisnis.com, JAKARTA – Presiden Prabowo Subianto mengaku akan mempelajari dan memberikan perhatian khusus terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Polri yang tengah disorot publik lantaran bakal memberikan wewenang yang lebih luas.

    Dalam wawancara eksklusif bersama tujuh jurnalis dari tujuh media nasional di kediamannya di Hambalang, Bogor, Jawa Barat, Minggu (6/4/2025), orang nomor satu Indonesia ini berpendapat sebenarnya bila polisi memang sudah diberikan kewenangan yang cukup untuk melaksanan tugasnya, tidak perlu ada penambahan lagi.

    “Pada prinsipnya polisi harus diberi wewenang yang cukup untuk melaksanakan tugas. Kalau dia sudah diberi wewenang cukup, ya kenapa harus ditambah? Jadi ini tinggal kita menilai secara arif gradasi itu,” katanya.

    Dia merincikan, wewenang yang cukup adalah ketika polisi bisa melaksanakan tugasnya dalam memberantas kriminalitas, penyelundupan narkoba dan sebagainya, serta melindungi masyarakat, dan menjaga kemanan ketertiban masyarakat.

    Prabowo menuturkan dirinya percaya sepenuhnya terhadap sistem yang ada di Menkopolkam, Polri, dan Kompolnas. Dia pun percaya akan sistem politik yang ada di Indonesia bahwa semua UU yang dibahas itu dilakukan oleh semua partai politik yang dipilih oleh rakyat.

    Lebih jauh, dia mengungkap bahwa dirinya memiliki nilai takaran sebelum menindak internal Polri. Bukan hanya dilihat dari banyaknya kasus yang menarik perhatian publik, tetapi juga keberhasilan Polri dalam menjalankan tugasnya menjadi penilaian tersendiri.

    “Saya umpamanya akan menilai apakah penyelundupan narkoba berkurang, kedua apakah penyelundupan barang-barang berkurang. Intinya itu yang saya sampaikan ke semua Aparat Penegak Hukum, narkoba harus kita perangi, sangat berbahaya untuk anak-anak kita, cucu-cucu kita. Very dangerous is narkoba,” urainya.

    Sebab itu, Prabowo mengatakan bahwa dirinya menangkap concern masyarakat soal RUU Polri tersebut. Dia juga mengaku akan berbicara dari hati ke hati.

    “Saya nangkep concern masyarakat dan saya akan bicara dari hati ke hati, keberhasilan negara yang kuat antara lain keberhasilan daripada tentara dan polisi menjadi baik menjadi unggul, negara itu jadi kuat,” ucapnya.

    Perlu diketahui, saat ini RUU Polri menjadi sorotan publik seusai RUU TNI disahkan pada beberapa waktu lalu. Meski demikan, RUU Polri nyatanya hingga kini belum resmi masuk dalam Prolegnas Prioritas yang siap dibahas di DPR.

  • Pembuatan UU di DPR bukan ditentukan oleh satu atau dua orang

    Pembuatan UU di DPR bukan ditentukan oleh satu atau dua orang

    Arsip Foto – Gedung Nusantara DPR atau Gedung Kura-Kura di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (19/5/2022). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/foc

    IPR: Pembuatan UU di DPR bukan ditentukan oleh satu atau dua orang
    Dalam Negeri   
    Editor: Widodo   
    Selasa, 01 April 2025 – 13:19 WIB

    Elshinta.com – Direktur Indonesia Political Review (IPR) Iwan Setiawan menilai terlalu berlebihan jika menyebutkan bahwa pembuatan dan pembahasan rancangan undang-undang (RUU) di DPR dikendalikan oleh satu atau dua orang saja, melainkan selalu melibatkan pemerintah dan delapan fraksi di DPR.

    “Iya, agak berlebihan itu. Saya yakin, mekanisme (pembuatan UU) di DPR juga pasti berjalan kok, bukan karena satu atau dua orang,” kata Iwan saat dikonfirmasi ANTARA di Jakarta, Selasa.

    Iwan merespons pemberitaan salah satu media nasional yang menyebutkan bahwa pembuatan dan pembahasan RUU di DPR dikendalikan oleh satu orang saja di Senayan. Bahkan, disebutkan juga bahwa disetujui atau tidak suatu RUU disahkan, tergantung satu atau dua saja, padahal proses legislasi merupakan proses kolektif.

    Dia mengatakan pembuatan atau pembentukan UU di DPR tidak ujug-ujug diputuskan oleh satu atau dua orang dalam waktu yang singkat. Menurutnya, pembentukan UU di DPR itu harus melalui beberapa tahap hingga akhirnya disahkan menjadi UU.

    “Tahap awal, Inisiatif. Pembahasan UU dimulai dengan inisiatif dari pemerintah, DPR, atau masyarakat. Selanjutnya dilakukan Pengajuan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemerintah atau DPR mengajukan RUU kepada DPR dan dimasukkan ke dalam program legislasi nasional atau Prolegnas,” ujarnya.

    Kemudian, sambung dia, tahap berikutnya adalah pembahasan dan pimpinan DPR akan menunjuk komisi terkait atau Badan Legislasi untuk membahas RUU tersebut. Setelah itu, dibentuk Panitia Kerja yang akan menyerah aspirasi publik terkait RUU tersebut.

    “Tahap selanjutnya, pembahasan di Badan Musyawarah (Bamus). Jadi, hasil pembahasan di komisi dibahas di Bamus.

    Lalu, hasil pembahasan di Bamus dibahas di sidang pleno DPR. Setelahnya, DPR mengambil keputusan tentang RUU dan mengesahkan dengan UU jika RUU tersebut disetujui dalam Rapat Paripurna DPR. Dan tahap akhir, yakni penandatanganan UU oleh Presiden dan pengundangan UU di mana UU diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia,” jelas Iwan.

    Ia menilai proses pembuatan dan pembentukan UU selama ini sudah berjalan sesuai dengan mekanisme pembuatan peraturan perundang-undangan. Karena itu, tidak benar jika disebutkan pembuatan UU tersebut hanya ditentukan oleh satu atau dua orang karena faktanya diputuskan oleh 2 lembaga pembuat UU, yakni Pemerintah dan DPR serta melibatkan semua fraksi di DPR.

    “Soal pengaruh orang perorangan, saya kira itu biasa dalam politik. Tapi kalau mekanisme demokrasi sampai dipangkas, perlu ditelusuri lebih jauh lagi,” pungkas dia.

    Sumber : Antara

  • IPR: Pembuatan UU di DPR bukan ditentukan oleh satu atau dua orang

    IPR: Pembuatan UU di DPR bukan ditentukan oleh satu atau dua orang

    Jakarta (ANTARA) – Direktur Indonesia Political Review (IPR) Iwan Setiawan menilai terlalu berlebihan jika menyebutkan bahwa pembuatan dan pembahasan rancangan undang-undang (RUU) di DPR dikendalikan oleh satu atau dua orang saja, melainkan selalu melibatkan pemerintah dan delapan fraksi di DPR.

    “Iya, agak berlebihan itu. Saya yakin, mekanisme (pembuatan UU) di DPR juga pasti berjalan kok, bukan karena satu atau dua orang,” kata Iwan saat dikonfirmasi ANTARA di Jakarta, Selasa.

    Iwan merespons pemberitaan salah satu media nasional yang menyebutkan bahwa pembuatan dan pembahasan RUU di DPR dikendalikan oleh satu orang saja di Senayan. Bahkan, disebutkan juga bahwa disetujui atau tidak suatu RUU disahkan, tergantung satu atau dua saja, padahal proses legislasi merupakan proses kolektif.

    Dia mengatakan pembuatan atau pembentukan UU di DPR tidak ujug-ujug diputuskan oleh satu atau dua orang dalam waktu yang singkat. Menurutnya, pembentukan UU di DPR itu harus melalui beberapa tahap hingga akhirnya disahkan menjadi UU.

    “Tahap awal, Inisiatif. Pembahasan UU dimulai dengan inisiatif dari pemerintah, DPR, atau masyarakat. Selanjutnya dilakukan Pengajuan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemerintah atau DPR mengajukan RUU kepada DPR dan dimasukkan ke dalam program legislasi nasional atau Prolegnas,” ujarnya.

    Kemudian, sambung dia, tahap berikutnya adalah pembahasan dan pimpinan DPR akan menunjuk komisi terkait atau Badan Legislasi untuk membahas RUU tersebut. Setelah itu, dibentuk Panitia Kerja yang akan menyerah aspirasi publik terkait RUU tersebut.

    “Tahap selanjutnya, pembahasan di Badan Musyawarah (Bamus). Jadi, hasil pembahasan di komisi dibahas di Bamus.

    Lalu, hasil pembahasan di Bamus dibahas di sidang pleno DPR. Setelahnya, DPR mengambil keputusan tentang RUU dan mengesahkan dengan UU jika RUU tersebut disetujui dalam Rapat Paripurna DPR. Dan tahap akhir, yakni penandatanganan UU oleh Presiden dan pengundangan UU di mana UU diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia,” jelas Iwan.

    Ia menilai proses pembuatan dan pembentukan UU selama ini sudah berjalan sesuai dengan mekanisme pembuatan peraturan perundang-undangan. Karena itu, tidak benar jika disebutkan pembuatan UU tersebut hanya ditentukan oleh satu atau dua orang karena faktanya diputuskan oleh 2 lembaga pembuat UU, yakni Pemerintah dan DPR serta melibatkan semua fraksi di DPR.

    “Soal pengaruh orang perorangan, saya kira itu biasa dalam politik. Tapi kalau mekanisme demokrasi sampai dipangkas, perlu ditelusuri lebih jauh lagi,” pungkas dia.

    Pewarta: Narda Margaretha Sinambela
    Editor: Tasrief Tarmizi
    Copyright © ANTARA 2025

  • IPR: Mekanisme Pembuatan UU di DPR Bukan Ditentukan Satu atau Dua Orang – Halaman all

    IPR: Mekanisme Pembuatan UU di DPR Bukan Ditentukan Satu atau Dua Orang – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Direktur Indonesia Political Review (IPR) Iwan Setiawan menilai terlalu berlebihan jika menyebutkan pembuatan dan pembahasan rancangan Undang-undang (RUU) di DPR RI dikendalikan oleh satu atau dua orang saja. 

    Menurut Iwan, pembuatan, pembahasan hingga pengesahan RUU selama ini, selalu melibatkan pemerintah dan 8 fraksi di DPR.

    Hal ini disampaikan Iwan merespons pemberitaan salah satu media nasional  yang menyebutkan bahwa pembuatan dan pembahasan RUU di DPR dikendalikan oleh satu orang saja di Senayan. 

    Bahkan, disebutkan juga bahwa disetujui atau tidak suatu RUU disahkan, tergantung satu atau dua saja, padahal proses legislasi merupakan proses kolektif.

    “Iya, agak berlebihan itu. Saya yakin, mekanisme (pembuatan UU) di DPR juga pasti berjalan kok, bukan karena satu atau dua orang,” ujar Iwan kepada wartawan, Senin (31/3/2025).

    Iwan mengatakan, pembuatan atau pembentukan UU di DPR tidak ujug-ujug diputuskan oleh satu atau dua orang dalam waktu yang singkat. 

    Menurut dia, pembentukan UU di DPR itu harus melalui beberapa tahap hingga akhirnya disahkan menjadi UU. 

    “Tahap awal, Inisiatif. Pembahasan UU dimulai dengan inisiatif dari pemerintah, DPR, atau masyarakat. Selanjutnya dilakukan Pengajuan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemerintah atau DPR mengajukan RUU kepada DPR dan dimasukkan ke dalam program legislasi nasional atau Prolegnas,” jelas dia.

    Kemudian, kata Iwan, tahap berikutnya adalah pembahasan dan pimpinan DPR akan menunjuk komisi terkait atau Badan Legislasi untuk membahas RUU tersebut. Setelah itu, dibentuk Panitia Kerja yang akan menyerah aspirasi publik terkait RUU tersebut.

    “Tahap selanjutnya, pembahasan di Badan Musyawarah (Bamus). Jadi, hasil pembahasan di komisi dibahas di Bamus.

    Lalu, hasil pembahasan di Bamus dibahas di sidang pleno DPR. Setelahnya, DPR mengambil keputusan tentang RUU dan mengesahkan dengan UU jika RUU tersebut disetujui dalam Rapat Paripurna DPR. Dan tahap akhir, yakni penandatanganan UU oleh Presiden dan pengundangan UU di mana UU diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia,” beber Iwan.

    Iwan menilai, proses pembuatan dan pembentukan UU selama ini sudah berjalan sesuai dengan mekanisme pembuatan peraturan perundang-undangan. 

    Karena itu, tidak benar jika disebutkan pembuatan UU tersebut hanya ditentukan oleh satu atau dua orang karena faktanya diputuskan oleh 2 lembaga pembuat UU, yakni Pemerintah dan DPR serta melibatkan semua fraksi di DPR.

    “Soal pengaruh orang perorangan, saya kira itu biasa dalam politik. Tapi kalau mekanisme demokrasi sampai dipangkas, perlu ditelusuri lebih jauh lagi,” pungkas Iwan.

  • Media Publik Jadi Media Negara: Langkah Mundur?

    Media Publik Jadi Media Negara: Langkah Mundur?

    loading…

    Yohanes Widodo. Foto/Istimewa

    Yohanes Widodo
    Dosen Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

    SEJAK November 2011, wacana penggabungan Lembaga Penyiaran Publik (LPP) seperti TVRI dan RRI telah mencuat, ditandai dengan masuknya Rancangan Undang-Undang (RUU) Radio Televisi Republik Indonesia (RTRI) ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2015, meskipun akhirnya tidak terealisasi.

    Baru-baru ini, usulan konsolidasi LPP kembali mengemuka. Anggota DPR Rahayu Saraswati Djojohadikusumo menyuarakan dukungannya untuk menggabungkan RRI, TVRI, dan LKBN Antara menjadi satu entitas media negara yang komunikatif, efisien, dan efektif.

    Sebelumnya, anggota Komisi VII DPR Eric Hermawan mengusulkan transformasi TVRI, RRI, dan Antara dari lembaga publik dan badan usaha milik negara menjadi media negara. Tujuannya adalah menciptakan media yang menjunjung tinggi kepentingan nasional dan mendukung pemerintah, berfungsi sebagai corong pemerintah di bawah lembaga komunikasi kepresidenan.
    Dalam rapat dengar pendapat mengenai efisiensi program kerja tahun 2025, anggota DPR Evita Nursanty (Fraksi PDI-P) menekankan bahwa karena anggaran TVRI dan RRI berasal dari negara, independensi mereka seharusnya tidak menjadi alasan untuk tidak mengutamakan kepentingan pemerintah.

    Anggota Komisi I DPR RI Yulius Setiarto juga menekankan pentingnya mengubah status LPP RRI dan TVRI menjadi Lembaga Penyiaran Negara. Menurutnya, perubahan ini akan memungkinkan kedua lembaga tersebut berperan lebih efektif sebagai pengawal kepentingan negara.

    Di sisi lain, Direktur Utama Perum LKBN Antara Akhmad Munir menilai bahwa dengan penggabungan tersebut, negara akan memiliki entitas media yang lebih kuat dan bersifat multiplatform, sehingga mampu meningkatkan produktivitas serta efektivitas, sekaligus menekan efisiensi.

    Direktur Utama LPP TVRI Iman Brotoseno juga mendukung usulan penggabungan TVRI, RRI, dan Antara. Ia menambahkan bahwa penggabungan ini penting untuk menjadikan media penyiaran publik di Indonesia sebagai media negara yang lebih kuat dan efisien.

    Usulan transformasi Lembaga Penyiaran Publik (LPP) menjadi media negara menimbulkan kekhawatiran terkait independensi dan kebebasan pers. Perubahan status ini dapat mengurangi kemampuan media dalam menjalankan fungsi kontrol sosial dan menyajikan informasi yang berimbang kepada masyarakat.

    Kebebasan pers adalah hak asasi warga negara yang dijamin oleh Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, dan esensial bagi demokrasi. Namun, jika media berada di bawah kendali pemerintah, ada risiko bahwa media tersebut akan kehilangan fungsinya sebagai pengawas jalannya demokrasi dan cenderung menjadi alat propaganda pemerintah. Oleh karena itu, penting untuk mempertimbangkan dampak transformasi ini terhadap independensi media dan kebebasan pers.

    Aspek Kepemilikan dan Kontrol EditorialPerbedaan mendasar antara media negara, media pemerintah, dan media publik terletak pada aspek kepemilikan, kontrol editorial, dan tujuan operasional. Pemahaman mengenai perbedaan ini penting untuk menilai sejauh mana media dapat menjalankan perannya dalam masyarakat demokratis.

  • 8 Pasal RUU Polri yang Dinilai Berbahaya dan Kontroversial, Begini Dampaknya

    8 Pasal RUU Polri yang Dinilai Berbahaya dan Kontroversial, Begini Dampaknya

    PIKIRAN RAKYAT – Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (RUU Polri) tak kalah memicu polemik besar di kalangan masyarakat.

    Belum kering ‘luka’ pengesahan UU TNI dibuktikan dengan masih banyaknya aksi unjuk rasa, kini muncul polemik RUU TNI. Apa saja pasal yang dinilai berbahaya?

    Pada Selasa, 28 Mei 2024, rapat paripurna DPR RI resmi menetapkan RUU ini sebagai usul inisiatif DPR. Sebagaimana pola pengesahan UU TNI, proses pembentukan RUU Polri juga dinilai terburu-buru. Bahkan aturan ini tidak termasuk dalam Prolegnas 2020-2024.

    Koalisi Masyarakat Sipil menilai revisi RUU ini justru akan melanggengkan impunitas dan menjauhkan Polri dari prinsip demokrasi dan perlindungan hak asasi manusia.

    RUU ini menimbulkan kekhawatiran akan konsentrasi kekuasaan yang berlebihan di tangan Polri, serta kurangnya pengawasan yang memadai untuk mencegah penyalahgunaan kewenangan.

    Kritik terhadap RUU ini semakin memperlihatkan adanya kebutuhan untuk desain yang lebih adil dan transparan dalam pengaturan institusi Polri.

    Intinya, keputusan tersebut menuai kritik sebab substansi RUU dianggap akan menjadikan Polri sebagai lembaga “superbody” dengan kewenangan yang berlebihan.

    Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian, yang dipublikasikan oleh PSHK, mengungkapkan bahwa RUU ini gagal merancang perbaikan fundamental di institusi Polri dan justru memperluas kekuasaan Polri secara tidak proporsional.

    Berikut adalah rincian pasal-pasal dalam RUU yang menjadi kontroversi:

    1. Pengawasan Ruang Siber

    Sorotan: Pasal 14 Ayat 1 Huruf b dan Pasal 16 Ayat 1 Huruf q

    RUU ini memberikan kewenangan kepada Polri untuk mengawasi dan mengamankan ruang siber, termasuk penindakan, pemblokiran, atau perlambatan akses.

    Hal ini berpotensi mengancam kebebasan berekspresi dan privasi warga di dunia digital.

    “Kewenangan atas Ruang Siber tersebut disertai dengan penindakan, pemblokiran atau pemutusan, dan memperlambat akses Ruang Siber untuk tujuan keamanan dalam negeri,” demikian bunyi laporan PSHK, dikutip Jumat, 28 Maret 2025.

    2. Penggalangan Intelijen oleh Polri

    Sorotan: Pasal 16A dan 16B

    Polri diberi kewenangan untuk melakukan penggalangan intelijen, yang berpotensi disalahgunakan karena tidak ada definisi jelas mengenai “kepentingan nasional”.

    Selain itu, Polri juga dapat memeriksa aliran dana dan meminta bahan keterangan dari kementerian dan lembaga lain, yang bisa tumpang tindih dengan lembaga seperti BIN dan PPATK.

    3. Kewenangan Penyadapan Tanpa Izin

    Sorotan: Pasal 14 Ayat 1 Huruf o

    Pasal ini memberikan kewenangan kepada Polri untuk melakukan penyadapan tanpa mekanisme perizinan yang jelas, berbeda dengan KPK yang wajib meminta izin dari Dewan Pengawas. Hal ini dikhawatirkan bisa membuka celah pelanggaran hak asasi manusia.

    4. Intervensi terhadap Penyidikan Lembaga Lain

    Sorotan: Pasal 14 Ayat 1 Huruf g dan Pasal 16 Ayat 1 Huruf n, o, dan p.

    Polri diberi kewenangan untuk membina teknis PPNS dan penyidik lembaga lain, termasuk KPK, serta memberikan petunjuk dan rekomendasi dalam penyidikan. Ini berpotensi melemahkan independensi lembaga seperti KPK.

    5. Penguatan Pam Swakarsa

    Sorotan: Pasal 14 Ayat 1 Huruf g

    RUU ini mengatur pembinaan pengamanan swakarsa oleh Polri, yang dikhawatirkan bisa membuka ruang bagi komersialisasi keamanan dan represifitas sipil, mengingat sejarah kelam Pam Swakarsa di masa lalu.

    6. Perpanjangan Usia Pensiun

    Sorotan: Pasal 30 Ayat 2 dan 3

    Pasal ini menetapkan usia pensiun anggota Polri hingga 60 tahun, dan 62 tahun bagi yang memiliki keahlian khusus, bahkan bisa mencapai 65 tahun untuk pejabat fungsional.

    Hal ini dinilai memperlambat regenerasi di internal Polri dan tidak menyelesaikan masalah penumpukan perwira tinggi.

    7. Kewenangan Hukum Nasional dan Smart City

    Sorotan: Pasal 14 Ayat 1 Huruf e dan Ayat 2 Huruf c

    Polri diberi tugas untuk turut serta dalam pembinaan hukum nasional, yang berpotensi tumpang tindih dengan tugas BPHN.

    Selain itu, Polri juga diberi kewenangan untuk menyelenggarakan smart city bersama pemerintah pusat dan daerah, yang dinilai lebih mengutamakan pendekatan keamanan.

    8. Minimnya Mekanisme Pengawasan

    Sorotan: Pasal 35 hingga Pasal 39

    RUU ini tidak secara tegas memperkuat mekanisme pengawasan eksternal terhadap Polri.

    Dalam Pasal 35 hingga Pasal 39, peran Komisi Kode Etik dan Kompolnas disebut namun tetap diatur lewat Peraturan Presiden atau Peraturan Kepolisian.

    Kedua dasar hukum itu dianggap tidak efektif dalam memberikan sanksi tegas terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh anggota Polri. ***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News