Topik: Prolegnas

  • Perundungan Kian Marak, HNW Dorong Perlindungan Anak Diperkuat

    Perundungan Kian Marak, HNW Dorong Perlindungan Anak Diperkuat

    Jakarta

    Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid (HNW) menyatakan keprihatinannya atas meningkatnya kasus perundungan anak yang kini dinilai sudah memasuki tahap darurat. Ia mendesak pemerintah, sekolah, keluarga, dan lembaga terkait untuk memperkuat pencegahan dan pengawasan agar kekerasan terhadap anak tidak terus berulang.

    HNW menegaskan negara harus hadir sejak tanda awal perundungan muncul, bukan setelah kasusnya membesar dan menimbulkan korban jiwa.

    Ia juga mendorong penguatan anggaran dan kewenangan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) serta Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) agar upaya perlindungan anak dapat berjalan lebih efektif di lapangan.

    Sebagai contoh, Komisi VIII bekerja sama dengan KPAI, lembaga yang dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan perlindungan anak sesuai amanat UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

    HNW menilai kasus kekerasan terhadap anak, khususnya perundungan, sudah berada pada tahap darurat karena terus berulang di berbagai sekolah.

    “Oleh karena itu harus ada penguatan pada pengawasan di lapangan, melalui KPAI dan KPAD, agar Negara hadir pada saat gejala awal perundungan terjadi, bukan hanya ketika sudah terjadi apalagi kejadiannya semakin parah dan menimbulkan luka berat hingga kehilangan nyawa anak-anak,” tambah HNW dalam keterangan tertulis, Rabu (19/11/2025).

    Sekolah dan pemerintah perlu segera turun tangan sejak awal perundungan, dengan KPAI dan KPAD mendampingi korban serta mengedukasi siswa dan orang tua pelaku agar eskalasi tidak berlanjut menjadi lebih parah.

    “Misalnya ketentuan Pasal 9 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak jelas menyebutkan bahwa Setiap Anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan Kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain,” sambung HNW.

    Pada 2025, KemenPPPA mendapat alokasi Rp300,5 miliar dan KPAI Rp17 miliar. Namun, pada 2026 anggaran keduanya turun tajam menjadi Rp214,1 miliar untuk KemenPPPA dan Rp5,7 miliar untuk KPAI.

    Padahal, KemenPPPA merupakan lembaga negara yang secara khusus disebut dalam konteks perlindungan anak. Sementara itu, KPAI adalah lembaga yang dibentuk langsung melalui Undang-Undang sejak UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak, diperkuat dengan perubahan di UU 35/2014, dan pengangkatannya dilakukan langsung oleh Presiden.

    HNW menekankan penguatan pencegahan dan pengawasan semakin mendesak di tengah darurat kekerasan terhadap anak, yang mencakup perundungan, kekerasan seksual, hingga kejahatan daring seperti pornografi dan TPPO.

    “Semoga dengan meningkatnya awareness kedaruratan ini, apalagi Presiden Prabowo juga sudah merespons (17/11), ada afirmasi terhadap lembaga pencegahan dan pengawasan khususnya dalam konteks kami di Komisi VIII melalui penguatan kewenangan dan anggaran bagi KemenPPPA dan KPAI,” lanjutnya.

    HNW mendorong agar penguatan regulasi perlindungan anak, termasuk mekanisme pencegahan, dimasukkan dalam Revisi UU Sisdiknas yang telah masuk Prolegnas Prioritas 2026.

    Dengan demikian, Sistem Pendidikan Nasional yang dirancang menuju Indonesia Emas menjadi sistem yang menolak dan mencegah segala bentuk kekerasan di lingkungan pendidikan, khususnya pada jenjang yang diikuti anak.

    HNW menegaskan menuju Indonesia Emas diperlukan keseriusan dalam mengatasi berbagai darurat anak, mulai dari perundungan, kejahatan seksual, hingga stunting. Ia mengingatkan bahwa cita-cita Indonesia Emas sulit tercapai jika anak-anak terus hidup dalam kecemasan akibat masalah tersebut.

    “Hanya oleh generasi Emas, yang bebas dari segala bentuk kekerasan sebagaimana amanat UU Perlindungan Anak, Indonesia Emas dapat tercapai,” pungkasnya.

    (prf/ega)

  • 5
                    
                        Benang Kusut Persoalan PPPK Jadi PNS
                        Nasional

    5 Benang Kusut Persoalan PPPK Jadi PNS Nasional

    Benang Kusut Persoalan PPPK Jadi PNS
    Mahasiswa Magister FIA UI
    TUNTUTAN
    untuk mengangkat tenaga kontrak – dahulu tenaga honorer, saat ini Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) – menjadi tenaga tetap (Pegawai Negeri Sipil) adalah kisah yang tidak ada habisnya dalam birokrasi kita.
    Belakangan, isu ini kembali mencuat tatkala DPR RI membuka wacana peralihan status PPPK menjadi PNS dalam revisi Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025 (
    Kompas.com
    , 31/10/25).
    Telah menjadi rahasia umum bahwa mandeknya penyelesaian penataan tenaga honorer berakar dari praktik nepotisme serta politik balas budi dalam proses rekrutmen tenaga non-ASN.
    Fenomena ini sebelumnya juga disinggung oleh Rini Widyantini, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB), dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi II DPR RI (5/3/2025).
    Ia menyampaikan bahwa pegawai non-ASN muncul salah satunya akibat ketidakdisiplinan instansi di dalam rekrutmen terutama karena Pilkada. Kepala daerah cenderung melakukan perekrutan tenaga honorer sebagai imbas dari proses pemenangan Pilkada. Hal ini juga berlaku kepada kementerian/lembaga dalam skala lebih kecil.
    Dalam kesempatan sama, Rini juga menyoroti bahwa “pelarangan rekrutmen tenaga honorer pada peraturan yang lalu tidak dilengkapi dengan sanksi yang kuat”.
    Akibatnya, seperti menimba air dengan ember bocor, meskipun telah dilakukan berbagai upaya penataan dan pengangkatan tenaga honorer secara bertahap menjadi pegawai tetap, praktik rekrutmen tenaga honorer baru terus berulang di waktu yang sama.
    Pemerintah sebenarnya telah berulang kali berupaya menyelesaikan problematika penataan tenaga honorer melalui berbagai kebijakan dan regulasi.
    Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 48 Tahun 2005 yang mengatur mekanisme pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS secara bertahap.
    Namun, regulasi tersebut belum sepenuhnya mampu menyelesaikan persoalan tenaga honorer sehingga menjadi warisan bagi pemerintahan berikutnya.
    Pada era Jokowi, kebijakan penataan tenaga non-ASN dilakukan melalui UU Nomor 20 Tahun 2023 yang secara tegas, dalam pasal 66, menyatakan bahwa penataan pegawai non-ASN atau sebutan lainnya wajib diselesaikan paling lambat Desember 2024, serta melarang instansi pemerintah untuk mengangkat pegawai non-ASN.
    Sebagai tindak lanjut dari amanat undang-undang tersebut, Kementerian PAN-RB kemudian merumuskan kebijakan rekrutmen PPPK yang diperuntukkan hanya untuk tenaga non-ASN yang telah bekerja di instansi pemerintah.
    Meskipun penataan tenaga non-ASN melalui pengangkatan menjadi PPPK telah terlaksana, kebijakan ini justru memunculkan permasalahan baru di kemudian hari.
    Hal tersebut disebabkan oleh manajemen PPPK yang belum memiliki jenjang karier, jaminan pensiun, serta mekanisme mutasi kerja yang setara dengan PNS.
    Kondisi ini menimbulkan rasa ketidakadilan di kalangan PPPK dan mendorong munculnya tuntutan agar status mereka dapat diubah secara otomatis menjadi PNS.
    Tuntutan tersebut tercermin dalam petisi berjudul “Jadikan PPPK Menjadi PNS Demi Keadilan dan Kepastian Karier” di platform Change.org, yang hingga artikel ini ditulis telah ditandatangani oleh 13.547 orang.
    Berlawanan dengan petisi tersebut, muncul pula “Petisi Tolak Pengalihan PPPK Menjadi PNS di Indonesia” yang sudah sudah memperoleh 12.232 tanda tangan.
    Reformasi birokrasi yang bergulir sejak era reformasi telah melahirkan prinsip
    meritokrasi
    dalam penyelenggaraan manajemen ASN. Namun, tanpa keberanian dan komitmen politik yang kuat, sistem merit hanya akan menjadi jargon kosong.
    Perjalanan panjang kebijakan penataan tenaga honorer yang telah dilakukan sejak 2005, tapi masih menyisakan polemik hingga hari ini, menunjukkan pemerintah belum sepenuhnya mengambil langkah berani.
    Selama ini, pemerintah cenderung memilih solusi jangka pendek guna menghindari gejolak politik, ekonomi, dan sosial.
    Hal ini tampak dari berbagai kebijakan yang justru menurunkan standar kompetensi dalam proses rekrutmen ASN melalui jalur khusus tenaga non-ASN.
    Misalnya, penetapan formasi afirmasi sehingga seleksi hanya menjadi formalitas; peniadaan
    passing grade;
    hingga penerbitan regulasi baru yang berulang untuk melonggarkan aturan.
    Kondisi ini seakan menunjukkan tunduknya kebijakan pemerintah pada jerat kepentingan di balik pengangkatan tenaga non-ASN.
    Padahal, jika pemerintah berkomitmen mewujudkan visi tata kelola pemerintahan kelas dunia, maka dibutuhkan keberanian untuk menerapkan rekrutmen berbasis kompetensi melalui proses seleksi yang objektif dan kompetitif.
    Kita patut mengambil pelajaran dari Vietnam tentang bagaimana mengambil kebijakan yang berani demi tujuan jangka panjang.
    Pada 2025, pemerintah Vietnam melakukan reformasi besar-besaran dengan memangkas sekitar 15–20 persen aparatur negara.
    Menurut Pemerintah Vietnam, badan atau lembaga negara tidak boleh menjadi tempat berlindung yang aman bagi para pejabat yang tidak kompeten. (
    Kompas.id
    , 18/2/2025)
    Restrukturisasi birokrasi besar-besaran tersebut diperkirakan akan memberikan dampak yang signifikan terhadap ekonomi politik Vietnam. (Nguyen Khac Giang, 2025).
    Meskipun sistem politik Vietnam berbeda dengan Indonesia yang menganut sistem multi-partai, komitmen dan keseriusan pemerintah Vietnam dalam meningkatkan efisiensi pemerintahan serta mengurangi hambatan birokrasi patut menjadi contoh yang layak ditiru, mengingat dampaknya yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi.
    Pemerintah perlu melakukan kajian komprehensif terhadap keberlanjutan skema PPPK dalam sistem kepegawaian nasional.
    Konsep PPPK yang saat ini dijalankan telah melenceng jauh dari desain awalnya, yang sejatinya dimaksudkan sebagai mekanisme untuk merekrut talenta unggul dari luar pemerintahan melalui sistem kontrak yang fleksibel.
    Momentum revisi UU ASN perlu dimanfaatkan sebaik mungkin untuk menata kembali manajemen kepegawaian.
    Jika pemerintah ingin mempertahankan keberadaan PPPK dalam kerangka UU ASN, maka diperlukan desain ulang terhadap skema PPPK, terutama dari aspek pengadaannya yang berbasis pada kebutuhan jabatan tertentu yang sesuai dengan karakteristiknya — bukan melalui rekrutmen massal yang menyamaratakan seluruh jabatan dapat diisi oleh PPPK seperti dilakukan saat ini.
    Paling penting, pelaksanaan rekrutmen PPPK harus dikembalikan pada filosofi awal untuk menarik talenta profesional dari luar instansi pemerintah.
    Selanjutnya, untuk memastikan terpenuhinya prinsip keadilan, desain manajemen PPPK yang baru turut memasukkan aspek pemberian jaminan pensiun serta peluang pengembangan karier yang disesuaikan dengan karakteristik kepegawaian PPPK.
    Sebaliknya, apabila pemerintah ingin menerapkan sistem kepegawaian tunggal yang hanya mengenal PNS, maka kebijakan tersebut harus diiringi dengan komitmen dan kedisiplinan tinggi dalam penyelenggaraan seleksi PNS yang berbasis sistem merit.
    Ide mengangkat PPPK menjadi PNS tanpa tes merupakan bentuk pengabaian terhadap sistem merit yang telah dibangun dengan susah payah.
    Pemerintah harus berani mengambil langkah tegas dengan menerapkan standar kompetensi yang jelas, sekaligus memastikan adanya mekanisme seleksi yang dapat menilai secara adil pengalaman berharga PPPK yang selama ini telah berkontribusi terhadap kinerja organisasi.
    Pemerintah dapat mengadaptasi langkah strategis yang telah ditempuh oleh Vietnam dalam upaya memangkas
    red tape
    dan menciptakan birokrasi yang lincah, yakni dengan berani mengurangi pegawai yang tidak memiliki kompetensi atau tidak menunjukkan kinerja memadai.
    Apabila terdapat PPPK yang tidak lulus seleksi, maka pemerintah harus berani mengambil keputusan untuk memberhentikan pegawai tersebut secara profesional, tanpa memandang pengaruh politik yang mungkin mendukungnya.
    Sebagai bentuk penghargaan atas dedikasi PPPK yang telah lama mengabdi, tapi belum lulus seleksi, guna menghindari gejolak berkepanjangan, pemerintah dapat menyediakan pemberian pesangon yang layak.
    Kebijakan seperti ini jauh lebih menguntungkan dalam jangka panjang dibandingkan mempertahankan pegawai yang tidak memenuhi kriteria maupun standar kompetensi.
    Proses rekrutmen merupakan tahap awal yang menentukan kualitas birokrasi. Pasalnya, manajemen kepegawaian mencakup siklus panjang mulai dari perencanaan kebutuhan, rekrutmen, pengembangan kompetensi, pemberian kompensasi baik finansial maupun nonfinansial, hingga pemenuhan hak atas jaminan pensiun.
    Kesalahan dalam proses rekrutmen akan berdampak fatal – bukan hanya menurunkan kinerja organisasi, tetapi juga membebani anggaran negara yang seharusnya dapat dialokasikan untuk kepentingan publik yang lebih produktif.
    Persis seperti apa yang dikatakan oleh Jim Collins dalam bukunya
    Good to Great
    (2014), orang yang tepat merupakan aset terpenting organisasi.
    Transformasi menuju organisasi yang hebat dimulai dengan upaya mencari dan menempatkan orang yang tepat. Sebab, sisi yang hebat sekalipun akan menjadi sia-sia tanpa kehadiran orang-orang hebat di dalamnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • UU KUHAP Disahkan, Menkum Bicara Nasib RUU Perampasan Aset yang Mandek 17 Tahun di DPR

    UU KUHAP Disahkan, Menkum Bicara Nasib RUU Perampasan Aset yang Mandek 17 Tahun di DPR

    RUU Perampasan Aset hingga saat ini belum juga disetujui oleh Parlemen. Meskipun telah lama dibahas, RUU ini semakin mendesak untuk diterapkan seiring dengan meningkatnya kasus korupsi di Indonesia.

    RUU Perampasan Aset pernah tercantum dalam prolegnas (Program Legislasi Nasional) prioritas untuk tahun 2023 dan 2024, namun sayangnya DPR belum juga membahasnya. Melihat ke belakang, RUU ini pertama kali diajukan pada tahun 2008 oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

    Terdapat dua pasal yang dianggap sangat penting, yaitu Pasal 2 yang menyatakan bahwa perampasan aset tidak perlu melalui proses pemidanaan pelaku, dan Pasal 3 yang mengatur bahwa perampasan aset tidak menghapus penuntutan bagi pelaku pencucian uang serta tidak dapat digugat. Selain kedua pasal tersebut, terdapat beberapa pasal lain yang juga dianggap krusial, antara lain Pasal 5, Pasal 7, Pasal 10, Pasal 12, dan Pasal 17.

    Panjang perjalanan RUU Perampasan Aset menunjukkan dinamika yang cukup kompleks sejak pertama kali diinisiasi. Pada tahun 2008, RUU ini dimulai oleh PPATK pada masa kepemimpinan Presiden SBY. Saat itu, RUU ini telah mengalami dua kali revisi draf akibat adanya pasal-pasal yang menuai kontroversi.

    Setelah itu, pada tahun 2010, draf RUU Perampasan Aset selesai dibahas oleh berbagai kementerian dan siap untuk diajukan kepada presiden agar dapat diserahkan ke DPR RI. Kemudian, pada tahun 2012, Badan Pembinaan Hukum Nasional ditunjuk untuk menyusun naskah akademik terkait RUU ini.

    Memasuki tahun 2015, DPR memasukkan RUU Perampasan Aset ke dalam Prolegnas jangka menengah. Namun, pada tahun 2019, RUU ini kembali dibawa ke DPR oleh pemerintah, tetapi sayangnya, pembahasan tidak kunjung dilakukan hingga tenggat waktu terlewati.

    Pada tahun 2021, Badan Legislasi (Baleg) DPR memutuskan untuk menghapus RUU Perampasan Aset dari daftar Prolegnas. Di tahun 2023, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengirimkan surat kepada Ketua DPR, Puan Maharani, untuk meminta dilanjutkannya pembahasan RUU ini. RUU tersebut akhirnya kembali masuk ke dalam Prolegnas, tetapi hingga akhir tahun 2023, pembahasannya masih belum terlaksana.

    Pada 6 Februari 2024, DPR menutup masa sidang tanpa membahas RUU Perampasan Aset sedikit pun. Pada 18 November 2024, RUU ini hilang dari daftar RUU yang diusulkan DPR untuk masuk dalam Prolegnas, menandakan ketidakpastian yang terus berlanjut.

  • Menkum sebut RUU Perampasan Aset tunggu aturan turunan dari KUHAP baru

    Menkum sebut RUU Perampasan Aset tunggu aturan turunan dari KUHAP baru

    Jakarta (ANTARA) – Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas mengatakan bahwa pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset akan menunggu terlebih dahulu aturan turunan dari Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru disetujui.

    Menurut dia, ada belasan aturan turunan atau Peraturan Pemerintah (PP) yang perlu diterbitkan menyangkut pelaksanaan KUHAP tersebut. Namun, kata dia, ada tiga aturan turunan mutlak yang harus segera diterbitkan.

    “Karena itu mengejar pemberlakuan tanggal 2 Januari, ada tiga PP yang mutlak harus diselesaikan,” kata Supratman di kompleks parlemen, Jakarta, Selasa.

    Selain itu, menurut dia, ada Rancangan Undang-Undang tentang Penyesuaian Pidana yang juga mendesak untuk segera disahkan.

    “Mudah-mudahan di akhir masa persidangan, undang-undang penyesuaian pidana itu sudah bisa diketok juga,” katanya.

    Sebelumnya, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI mengusulkan agar Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perampasan Aset dimasukkan ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas untuk dibahas pada tahun 2025.

    Ketua Baleg DPR RI Bob Hasan mengatakan RUU Perampasan Aset itu diusulkan untuk menjadi RUU usul inisiatif DPR RI. Sebelumnya, RUU itu masuk pada Prolegnas Jangka Menengah 2024-2029 sebagai usulan pemerintah.

    “Jadi perampasan aset tidak ada lagi perdebatan di pemerintah atau apa, tapi di DPR. Dan itu masuk ke 2025,” kata Bob Hasan saat membuka rapat evaluasi Prolegnas DPR RI dengan pemerintah di kompleks parlemen, Jakarta, Selasa.

    Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
    Editor: Hisar Sitanggang
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Anggota DPR Yakin RUU Pekerja Gig Jamin Upah Minimum Sektor Ekonomi Digital

    Anggota DPR Yakin RUU Pekerja Gig Jamin Upah Minimum Sektor Ekonomi Digital

    Anggota DPR Yakin RUU Pekerja Gig Jamin Upah Minimum Sektor Ekonomi Digital
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Wakil Ketua Komisi V DPR RI Syaiful Huda meyakini Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pekerja Gig akan mampu memberikan kepastian penghasilan minimum bagi pekerja di sektor ekonomi digital.
    “Salah satu poin penting dalam RUU
    Pekerja Gig
    ini adalah adanya jaminan penghasilan bersih bagi mitra pekerja. Jadi, nanti entitas pemberi kerja wajib menjamin kompensasi minimum yang menjadi penghasilan bersih bagi pekerja jika memenuhi syarat tertentu,” ujar Huda saat ditemui di Gedung DPR RI, Kamis (13/11/2025).
    Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu mengatakan, salah satu poin penting dalam
    RUU Pekerja Gig
    adalah pengaturan mengenai jaminan penghasilan bersih bagi mitra pekerja.
    Dia menjelaskan, selama ini para pekerja di sektor
    gig economy
    belum memiliki jaminan penghasilan minimum.
    Dikutip dari tulisan “Penguatan Perlindungan bagi Pekerja Gig” karya Luthvi Febryka Nola selaku analis legislatif ahli madya bidang kesejahteraan rakyat pada Badan Keahlian DPR, diakses di berkas DPR, pekerja gig adalah pekerja lepas yang bekerja berdasarkan proyek jangka pendek dan fleksibel melalui platform digital atau langsung dengan klien.
    Mereka tidak terikat kontrak kerja jangka panjang seperti karyawan tetap, dan umumnya bekerja sesuai permintaan untuk satu atau lebih klien.
    Contoh pekerjaan gig meliputi pengemudi ojek online (ojol), pengantar makanan, penulis lepas, desainer grafis, dan konsultan IT.
    Akibatnya, mereka tidak memiliki kepastian pendapatan dalam periode waktu tertentu.
    “Situasi ini juga dimanfaatkan oleh pemberi kerja untuk bertindak semaunya karena tidak ada kewajiban dari aturan perundangan agar mereka memberikan penghasilan minimum atau penghasilan bersih bagi mitra pekerja,” kata Huda.
    Menurut Huda, besaran penghasilan bersih nantinya akan didasarkan pada waktu keterlibatan atau
    time engagement
    , yang disepakati antara pekerja dan entitas pemberi kerja.
    “Nanti terkait waktu keterlibatan akan diatur dalam aturan turunan, bisa peraturan pemerintah atau peraturan menteri,” ucap Huda.

    Huda menambahkan, inisiatif RUU Pekerja Gig ini lahir karena selama ini terjadi kekosongan hukum dalam mengatur hubungan kerja antara mitra dan perusahaan aplikasi.
    Undang-Undang Ketenagakerjaan yang berlaku saat ini masih berorientasi pada sistem kerja konvensional dan belum mampu menjangkau model kerja digital.
    “Selama ini terjadi kekosongan hukum dalam mengatur hubungan kerja di sektor GIG. Undang-Undang Ketenagakerjaan yang ada masih berbasis sistem kerja konvensional sehingga tidak mengakomodasi model kerja berbasis platform digital,” ujar Huda.
    RUU Pekerja Gig resmi masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas DPR RI tahun 2026.
    Pengesahan daftar tersebut dilakukan oleh Ketua DPR RI Puan Maharani dalam rapat paripurna pada Selasa (23/9/2025).
    Syaiful Huda
    mengatakan, RUU yang diinisiasinya itu memiliki tiga tujuan utama, yakni memastikan perlindungan hak dasar dan fleksibilitas pekerja, memberikan kejelasan kewajiban bagi aplikator atau platform digital, serta menjamin keselamatan publik.
    “Kami sudah menyusun draf RUU Pekerja Gig yang memuat tiga tujuan besar, yakni perlindungan hak dasar dan fleksibilitas pekerja, memastikan kejelasan kewajiban bagi aplikator, dan memastikan keselamatan publik,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Rabu (12/11/2025).
    Huda menilai, pesatnya digitalisasi di Indonesia telah melahirkan gelombang baru pekerja
    ekonomi digital
    , mulai dari pengemudi transportasi daring hingga kreator konten.
    “Pertumbuhan paling menonjol terlihat di sektor transportasi online yang melibatkan jutaan mitra pengemudi di platform seperti Gojek, Grab, Maxim, Green SM, dan Lalamove. Selain itu, muncul pula profesi digital seperti influencer, content creator, YouTuber, hingga clipper dan pekerja kreatif lainnya,” kata Huda.
    Namun, Huda menegaskan, ketiadaan regulasi khusus membuat para pekerja gig berada dalam posisi yang rentan dan tidak terlindungi secara hukum.
    “Mereka bekerja keras, namun tanpa jaminan perlindungan sosial, hubungan kerja yang jelas, serta mekanisme penyelesaian sengketa yang memadai,” ujar Huda.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Wakil Ketua V DPR usulkan RUU Pekerja Gig guna kepastian pekerja lepas

    Wakil Ketua V DPR usulkan RUU Pekerja Gig guna kepastian pekerja lepas

    Selama ini terjadi kekosongan hukum dalam mengatur hubungan kerja di sektor Gig. Undang-Undang Ketenagakerjaan yang ada masih berbasis sistem kerja konvensional sehingga tidak mengakomodasi model kerja baru yang mayoritas berbasis platform digital

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua V DPR RI Syaiful Huda mengusulkan secara inisiatif Rancangan Undang-Undang (RUU) Pekerja Gig untuk memberi kepastian hukum terhadap pekerja lepas, menjamin hak dasar seluruh pihak yang terlibat, serta menciptakan hubungan kerja yang lebih setara.

    Secara umum, dia mengatakan bahwa RUU Pekerja Gig mengatur hak dan kewajiban dalam hubungan pekerja yang tidak diatur oleh Undang-Undang Ketenagakerjaan. Salah satu poin penting dalam RUU Pekerja Gig ini adalah adanya jaminan penghasilan bersih bagi mitra pekerja.

    “Jadi nanti entitas pemberi kerja wajib menjamin kompensasi minimum yang menjadi penghasilan bersih bagi pekerja jika memenuhi syarat tertentu,” kata Syaiful di kompleks parlemen, Jakarta, Kamis.

    Sejauh ini, dia mengategorikan ada 10 layanan yang masuk kategori pekerja gig dalam RUU tersebut. Adapun 10 layanan tersebut adalah bidang transportasi, pemeranan, kegiatan film, musik, estetika, penerjemahan, jurnalisme, perawatan dan pengobatan, perawatan paliatif, fotografi dan videografi.

    Rincian jenis-jenis pekerjaanya, yakni meliputi pengemudi berbasis aplikasi, kurir, aktor/aktris, kru film, penyanyi, musisi, komposer, penulis lirik, penata rias, penata rambut, penata gaya, juru bahasa isyarat, penerjemah, transkriber, jurnalis lepas, koresponden, konten kreator, YouTuber, podcaster, hingga fotografer dan videografer.

    “Selama ini terjadi kekosongan hukum dalam mengatur hubungan kerja di sektor Gig. Undang-Undang Ketenagakerjaan yang ada masih berbasis sistem kerja konvensional sehingga tidak mengakomodasi model kerja baru yang mayoritas berbasis platform digital,” kata dia.

    Regulasi itu, kata dia, diharapkan dapat memberikan jaminan penghasilan bersih, akses jaminan sosial komprehensif (BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan), serta kepastian keselamatan dan kesehatan kerja bagi para pekerja.

    “RUU ini tetap mempertahankan fleksibilitas model kemitraan independen yang menjadi ciri khas sektor Gig, namun di sisi lain mewajibkan pemberi kerja atau platform memberikan perlindungan setara dengan hubungan kerja tradisional,” kata dia.

    Menurut dia, RUU itu akan didorong untuk masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dalam waktu dekat. Dia mengatakan bahwa RUU itu juga disusun untuk memperjelas hubungan kerja antara pekerja yang disebut mitra oleh pemberi kerja, salah satunya yakni ojek online.

    Terlebih lagi, kata dia, saat ini jumlah pekerja yang masuk ke dalam kategori pekerja gig di Indonesia itu tidak sedikit. Di samping itu, negara-negara lain juga sudah mengesahkan undang-undang yang melindungi pekerja gig.

    “Karena itu, diperlukan satu undang-undang khusus agar sektor usaha ini dapat berkembang secara sehat dan menjadi lini bidang kerja baru yang menopang pertumbuhan ekonomi nasional,” kata Huda.

    Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
    Editor: Tasrief Tarmizi
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Status BPIP Sudah Setingkat Kementerian, Tak Perlu Diubah

    Status BPIP Sudah Setingkat Kementerian, Tak Perlu Diubah

    Jakarta

    Mencuat usulan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) ditingkatkan menjadi kementerian. Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Fraksi NasDem Martin Manurung tak setuju dengan usulan tersebut.

    Martin menilai BPIP tidak perlu ditingkatkan menjadi kementerian. Menurut Martin, BPIP saat ini sudah memiliki kewenangan setingkat kementerian.

    “Tanpa perlu diubah menjadi kementerian, status BPIP saat ini pun juga sudah setingkat kementerian dan memiliki kewenangan untuk mengkoordinasikan pembinaan Pancasila di lintas kementerian,” kata Martin kepada wartawan, Kamis (13/11/2025).

    Diketahui usulan tersebut muncul saat Panitia Kerja (Panja) di Baleg DPR tengah membahas RUU tentang BPIP. Martin menerangkan revisi UU BPIP untuk memperkuat fungsi badan tersebut alih-alih menaikkan statusnya menjadi kementerian.

    “(Revisi UU BPIP) Ya supaya BPIP memiliki kedudukan yang lebih kuat dengan dasar hukum UU, sehingga mampu lebih maksimal menjalankan fungsinya secara khusus untuk melaksanakan pembinaan ideologi Pancasila kepada seluruh kalangan warga negara,” kata dia.

    Usulan BPIP Jadi Kementerian

    Dalam rapat Panja RUU BPIP di Baleg DPR, Selasa (11/11) lalu, anggota Panja DPR mulanya mendiskusikan soal nomenklatur RUU BPIP. Tenaga ahli DPR sempat menjelaskan nama RUU BPIP sudah disepakati dalam Prolegnas 2026.

    Dalam kesempatan itulah anggota Panja RUU BPIP, Benny K Harman, mengusulkan badan tersebut menjadi kementerian supaya koordinasinya jelas. Ia menilai, jika Pancasila dianggap penting, dijadikan kementerian saja.

    “Mohon maaf saja tidak ada maksud untuk badan ini tidak, kalo memang kita anggap penting Pak Pancasila ini, kenapa kita nggak usul aja bukan badan, kementerian. Menteri negara urusan khusus tentang Pancasila, itu lebih mantap lagi, jangan badan, kementerian saya usulkan Pak Ketua, bukan Badan Pembinaan Pancasila, Kementerian khusus urusan Pancasila supaya koordinasinya jelas,” kata Benny K Harman dalam rapat di ruang Baleg DPR, Senayan, Jakarta.

    Benny mempertanyakan soal tantangan pancasila di era saat ini. Benny mengaku belum menemukan alasan pendukung terkait badan khusus pengawalan ideologi pancasila.

    “Dari segi ilmu perundang-undangan, undang-undang P3 misalnya pertanyaan ini dijawab di bagian menimbang. Nah ini tidak kita temukan di menimbang yang tadi disampaikan oleh Beliau itu persis tantangan Pancasila kita saat ini apa? Sehingga dirasa penting ada badan khusus untuk menjaga mengawal dan sebagainya,” ungkapnya.

    Halaman 2 dari 2

    (fca/ygs)

  • IHSG ditutup menguat di tengah pasar cermati upaya redenominasi Rupiah

    IHSG ditutup menguat di tengah pasar cermati upaya redenominasi Rupiah

    Redenominasi bisa meningkatkan kepercayaan masyarakat dan investor terhadap mata uang bila dilakukan dalam kondisi ekonomi yang stabil,

    Jakarta (ANTARA) – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Rabu sore ditutup menguat di tengah pelaku pasar mencermati rencana redenominasi mata uang Rupiah.

    IHSG ditutup menguat 22,06 atau 0,26 persen ke posisi 8.388,57. Sementara kelompok 45 saham unggulan atau indeks LQ45 naik 4,22 poin atau 0,50 persen ke posisi 846,91.

    “Redenominasi bisa meningkatkan kepercayaan masyarakat dan investor terhadap mata uang bila dilakukan dalam kondisi ekonomi yang stabil,” ujar Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas Nafan Aji Gusta dalam kajiannya di Jakarta, Rabu.

    Dari dalam negeri, Rancangan Undang- Undang (RUU) Redenominasi Rupiah telah memasuki Prolegnas Jangka Menengah 2025-2029 sebagai inisiatif pemerintah.

    Di sisi lain, Bank Indonesia (BI) menekankan akan tetap fokus menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan mendukung pertumbuhan ekonomi selama proses redenominasi berlangsung.

    Dari mancanegara, meredanya perang tarif antara Amerika Serikat (AS) dengan China dan sinyal berakhirnya government shutdown (penutupan pemerintahan) AS direspon positif oleh pelaku pasar.

    Senat AS meloloskan RUU untuk mendanai pemerintah federal hingga Januari 2025, dan mengakhiri penutupan terpanjang dalam sejarah AS. RUU tersebut, yang disahkan dengan suara 60-40 persen dan didukung sebagian senator Partai Demokrat dan hampir semua senator Republik, akan dikirim ke DPR.

    Apabila lolos di DPR, RUU akan diserahkan kepada Presiden AS Donald Trump untuk ditandatangani menjadi UU.

    Dibuka menguat, IHSG betah di teritori positif sampai penutupan sesi pertama perdagangan saham. Pada sesi kedua, IHSG masih betah di zona hijau hingga penutupan perdagangan saham.

    Berdasarkan Indeks Sektoral IDX-IC, tujuh sektor menguat yaitu dipimpin sektor infrastruktur yang naik sebesar 1,78 persen, diikuti oleh sektor properti dan sektor barang konsumen primer yang masing-masing naik sebesar 1,61 persen dan 1,54 persen.

    Sedangkan tiga sektor melemah yaitu sektor kesehatan turun paling dalam sebesar 0,53 persen, diikuti oleh sektor energi dan sektor teknologi yang masing-masing turun 0,50 persen dan 0,31 persen.

    Saham-saham yang mengalami penguatan terbesar yaitu TRON, BELL, KBLV, PJHB, dan MORA. Sedangkan saham-saham yang mengalami pelemahan terbesar yakni KOBX, DART, NAYZ, CASH, dan AEGS.

    Frekuensi perdagangan saham tercatat sebanyak 2.682.641 kali transaksi dengan jumlah saham yang diperdagangkan sebanyak 51,32 miliar lembar saham senilai Rp22,34 triliun. Sebanyak 343 saham naik, 323 saham menurun, dan 147 tidak bergerak nilainya.

    Bursa saham regional Asia sore ini antara lain indeks Nikkei menguat 247,07 poin atau 0,49 persen ke 51.090,00, indeks Hang Seng menguat 226,32 poin atau 0,85 persen ke 26.922,73, indeks Shanghai melemah 2,62 poin atau 0,07 persen ke 4.000,14, dan indeks Strait Times menguat 18,84 poin atau 0,41 persen ke 4.561,04.

    Pewarta: Muhammad Heriyanto
    Editor: Abdul Hakim Muhiddin
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • DPR: Kebijakan Ekonomi Harus Kredibel sebelum Lakukan Redenominasi Rupiah

    DPR: Kebijakan Ekonomi Harus Kredibel sebelum Lakukan Redenominasi Rupiah

    Bisnis.com, JAKARTA — Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) mewanti-wanti berbagai syarat yang harus pemerintah penuhi sebelum melakukan redenominasi rupiah, sebagaimana yang tertuang pada Rencana Strategis Kementerian Keuangan (Renstra Kemenkeu) 2025—2029. 

    Untuk diketahui, pengusulan RUU tersebut masuk ke dalam Rencana Strategis Kementerian Keuangan (Renstra Kemenkeu) 2025—2029. RUU tersebut menjadi inisiatif Kemenkeu atas usulan Bank Indonesia (BI), dan ditargetkan lolos menjadi UU pada 2027.

    Anggota Komisi XI DPR sekaligus Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Martin Manurung menjelaskan bahwa apabila pemerintah menargetkan RUU itu diselesaikan pada 2027, maka biasanya baru akan diusulkan secara resmi untuk menjadi Prolegnas Prioritas pada 2026.

    Martin menerangkan, bahwa secara teknis RUU itu biasanya baru akan dibicarakan pada 2026 apabila ingin dituntaskan pada 2027. Sebab, long list Prolegnas disusun sampai dengan 2029.

    Pemerintah dan Baleg DPR setiap tahunnya akan melakukan rapat bersama untuk menentukan apa saja RUU yang akan menjadi prioritas untuk dibahas pada tahun tersebut.

    “Kalau menurut saya, dari sisi teknis, kalau mau [tuntas] 2027, ya, itu nanti saja pas rapat [tahunan dengan pemerintah] ngapain sekarang? Itu kan nanti bisa menimbulkan ketidakpastian, karena untuk melakukan redenominasi perlu banyak syarat-syarat secara teknis. Pertumbuhan ekonomi sudah harus bagus, inflasinya harus terkendali, pemerintahnya juga harus highly credible dari sisi kebijakan ekonomi,” terang Martin kepada Bisnis, dikutip pada Selasa (11/11/2025).

    Politisi Partai Nasdem itu menyampaikan bahwa pemerintah perlu menjaga kepastian dan stabilitas dalam mengusulkan rencana redenominasi rupiah itu. Dia memastikan ada berbagai proses yang harus dijalani sebelum RUU disahkan dalam rapat paripurna.

    Martin menyebut RUU yang ingin dibahas harus masuk ke dalam Prolegnas. Nantinya, pemerintah dan Baleg DPR akan menyepakati apabila RUU tertentu akan ditetapkan sebagai prioritas, maupun menjadi usulan DPR atau pemerintah.

    “Apakah itu menjadi usulan Komisi XI DPR, pemerintah atau baleg bisa saja kan? Artinya masih jauh,” pungkasnya.

    Di sisi lain, Wakil Ketua Komisi XI DPR Mohamad Hekal irit bicara soal RUU tersebut. Dia mengatakan RUU itu masih dalam long list Prolegnas usulan pemerintah, belum masuk ke daftar Prolegnas Prioritas.

    Politisi Partai Gerindra yang memimpin Komisi Keuangan DPR itu juga enggan mengungkap apabila nantinya parlemen akan memberikan dukungan kepada upaya pemerintah dalam mengubah harga rupiah itu.

    “Terlalu jauh. Diusulkan saa belum. Engga perlu spekulasi lah,” ujarnya kepada Bisnis, Senin (10/11/2025).

    Sebelumnya, Kepala Departemen Komunikasi BI Ramdan Denny Prakoso menjelaskan, upaya redenominasi rupiah adalah langkah strategis untuk meningkatkan efisiensi transaksi, memperkuat kredibilitas rupiah, dan mendukung modernisasi sistem pembayaran nasional.

    Prosesnya nanti direncanakan secara matang dan melibatkan koordinasi erat antarseluruh pemangku kepentingan. Saat ini, RUU itu telah masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Jangka Menengah Tahun 2025—2029.

    “Selanjutnya, Bank Indonesia bersama Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat akan terus melakukan pembahasan mengenai proses redenominasi,” terang Ramdan melalui siaran pers, Senin (10/11/2025).

    Berdasaran Renstra Kemenkeu 2025—2029 yang tertuang pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70/2025, urgensi pembentukan RUU Redenominasi Rupiah yakni di antaranya efisiensi perekonomian dapat dicapai melalui peningkatan daya saing nasional.

    Kemudian, urgensi lainnya adalah untuk menjaga kesinambungan perkembangan perekonomian nasional, menjaga nilai rupiah yang stabil sebagai wujud terpeliharanya daya beli masyarakat, serta meningkatkan kredibilitas rupiah.

    “RUU tentang Perubahan Harga Rupiah (Redenominasi) merupakan RUU luncuran yang rencananya akan diselesaikan pada tahun 2027,” dikutip dari PMK yang diteken Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa itu pada Oktober 2025 lalu.

  • Waketum NasDem: Revisi UU Pemilu dalam kajian internal partai

    Waketum NasDem: Revisi UU Pemilu dalam kajian internal partai

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua Umum Partai NasDem Saan Mustopa mengatakan partainya akan menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait revisi Undang-Undang Pemilihan Umum (UU Pemilu) lewat kajian internal.

    “Itu kan nanti dibicarakan, akan kita tindaklanjuti apa yang menjadi putusan Mahkamah Konstitusi itu pada saat pembahasan Undang-Undang Pemilu,” kata Saan usai acara HUT Ke-14 Partai NasDem di Jakarta, Selasa.

    Selama ini, menurut dia, Partai NasDem selalu mengusulkan ambang batas parlemen atau parliamentary threshold (PT) tujuh persen terkait revisi UU Pemilu.

    Ia mengatakan pembahasan UU Pemilu itu juga akan didiskusikan lebih lanjut dengan fraksi-fraksi dan partai-partai di DPR.

    “Dan nanti kita diskusikan, kita bicarakan dengan partai-partai dan fraksi-fraksi yang lain terkait dengan ambang batas parlemen karena memang juga terkait dengan revisi Undang-Undang Pemilu belum dimulai,” ujarnya.

    Revisi UU Pemilu, kata Saan, masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2026. Untuk itu, Partai NasDem saat ini sedang dalam tahap pengkajian revisi UU tersebut.

    “Misalnya kayak NasDem, tentu NasDem melakukan kajian terkait dengan nanti revisi Undang-Undang Pemilu. Poin-poin apa saja yang nanti NasDem sampaikan, akan tawarkan kepada fraksi-fraksi yang lain dan tentu juga dengan pemerintah,” ucapnya.

    Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi II DPR RI Zulfikar Arse mengungkapkan pembahasan revisi atau Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pemilu akan mulai bergulir pada tahun 2026 setelah Badan Legislasi DPR RI memutuskan RUU tersebut masuk ke Prolegnas Tahun 2026.

    Menurut dia, Komisi II DPR pun akan menjadi pihak yang menginisiasi pembahasan itu. Dengan dibahas pada 2026, menurut dia, DPR memiliki waktu yang panjang untuk mempersiapkan penyusunan RUU tersebut.

    “Kita akan bisa lebih fokus, kita akan bisa lebih memperbincangkan secara lebih mendalam soal perubahan undang-undang pemilu tersebut,” kata Zulfikar di kompleks parlemen, Jakarta, Selasa (7/10).

    Pewarta: Benardy Ferdiansyah/Muhammad Rizki
    Editor: Laode Masrafi
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.