Topik: Prolegnas

  • RUU Haji dan Umrah, Komisi VIII Menunggu Surat dari Prabowo

    RUU Haji dan Umrah, Komisi VIII Menunggu Surat dari Prabowo

    Bisnis.com, JAKARTA — Anggota Komisi VIII DPR RI Fraksi PDI Perjuangan (PDIP), Selly Andriany Gantina menyebut revisi Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah kini telah mencapai tahapan penting.

    Dia mengatakan revisi UU ini resmi menjadi usul inisiatif DPR RI setelah diambil keputusan dalam Rapat Paripurna yang bergulir pada Kamis (24/7/2025). Terlebih, revisi UU ini juga memang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2025.

    “Tahap selanjutnya, kami menunggu terbitnya Surat Presiden atau Surpres, yang akan menunjuk kementerian atau lembaga pemerintah untuk mewakili pemerintah dalam pembahasan bersama DPR, khususnya di Komisi VIII,” kata Selly kepada Bisnis, Kamis (24/7/2025) malam.

    Dia meneruskan, bersamaan dengan itu, pemerintah juga akan menyampaikan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) kepada DPR. 

    DIM ini akan menjadi dasar pembahasan pasal demi pasal. Nantinya, Selly memastikan bahwa pembahasan akan mendengar masukan dari banyak pihak.

    Adapun, lanjutnya, alasan revisi ini memang harus dilakukan karena untuk kebutuhan hukum dalam menyempurnakan tata kelola penyelenggaraan ibadah haji supaya menjadi lebih modern, transparan, dan berpihak kepada jemaah.

    “Dinamika pelaksanaan haji terus berkembang, dan kita memerlukan aturan yang mampu menjawab tantangan terkait pelayanan, pengelolaan keuangan, hingga koordinasi lintas sektor dan yurisdiksi,” ucap Selly.

    Lebih jauh, legislator PDIP ini mengemukakan fraksinya masih terus melakukan kajian guna memastikan apakah kelembagaan haji nantinya berbentuk badan atau kementerian. Kajian ini pihaknya lakukan dengan prinsip kehati-hatian.

    “Saya pribadi menilai hal terpenting adalah menata sistemnya terlebih dahulu, mulai dari perencanaan, layanan, hingga pengelolaan dana haji, agar berjalan lebih efektif dan akuntabel,” pungkasnya.

    Sebagai informasi, Rapat Paripurna DPR RI ke-25 Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2024-2025 menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang perubahan atas UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah menjadi usul inisiatif DPR.

    Hal tersebut terjadi seusai Wakil Ketua DPR RI, Adies Kadir meminta persetujuan dari para anggota dewan yang hadir dalam Rapat Paripurna, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (24/7/2025).

    “Kami sampaikan kepada sidang dewan yang terhormat apakah RUU usul inisiatif Komisi VIII DPR RI tentang perubahan UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umroh dapat disetujui menjadi RUU usul DPR RI?” tanya Adies.

    “Setuju,” tutur para anggota dewan yang hadir.

  • Mendesak Reformasi Sistem Pemilihan Umum

    Mendesak Reformasi Sistem Pemilihan Umum

    Jakarta

    Tidak sedikit kawan-kawan saya yang berseloroh, “Demokrasi itu bukan tujuan, bukankah ia hanya jalan untuk mencapai kesejahteraan?”, lalu yang lain menyahut, “Ya betul, lihat Tiongkok, luar biasa bargaining position-nya di kancah global, dan tidak perlu repot-repot dengan demokrasi.”

    Obrolan itu bermula dari pembahasan hangat seputar pemilihan umum (pemilu), dengan konteks putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 135/2024 yang memisahkan pemilu nasional dan pemilu daerah.

    Namun, saya masih meyakini demokrasi sebagai jalan kehidupan berbangsa dan bernegara, mengutip Abraham Lincoln “No man is good enough to govern another man without that other’s consent.”

    Langkah untuk menjamin “persetujuan” tersebut memiliki legitimasi yang kuat melalui proses pemilu yang demokratis. Saya memahami mungkin sebagian dari kita telah jenuh, bosan, atau mungkin marah, dengan “janji manis” demokrasi yang tak kunjung datang.

    Beragam efek samping pemilu yang tidak diharapkan telah menimbulkan permasalahan, seperti maraknya politik uang (money politic) yang ikut menyumbang terjadinya korupsi, biaya tinggi dalam pemilu (pusat maupun daerah), dan lamban atau lemahnya institusionalisasi demokrasi.

    Nah, reformasi terbuka lebar melalui masuknya RUU Pemilu dalam prioritas prolegnas 2025, akan tetapi sayang sampai sekarang kita belum tahu kapan pembahasannya akan dilangsungkan.

    Urgensi Reformasi Pemilu

    Reformasi sistem pemilu kian mendesak untuk segera dilakukan di Indonesia. Terlebih, setelah keluarnya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) 135/2024 tentang pemisahan pemilu nasional dan pemilu daerah. Riuh rendah terkait putusan ini, terus saling bersahutan hingga saat ini. Namun, sepatutnya publik tidak boleh hanyut dalam kondisi ini.

    Seharusnya yang kita lakukan adalah mendesak agar DPR dan pemerintah, segera melakukan pembahasan terhadap revisi UU Pemilihan Umum (RUU Pemilu).

    Mengapa desakan itu penting? Setidaknya terdapat 2 (dua) putusan MK sebelumnya yang berharga bagi perbaikan pelaksanaan Pemilu 2029 mendatang. Pertama, putusan tentang penghapusan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden. Kedua, putusan soal ambang batas parlemen yang tidak lagi 4 persen. Sayangnya sampai dengan saat ini, belum jelas kapan RUU Pemilu akan dibahas.

    Siapa yang menjadi leading sector RUU Pemilu masih belum jelas, namun sepatutnya tidak perlu berebut siapa yang akan menjadi leading sector pembahasan RUU Pemilu. Apakah akan diserahkan kepada Komisi II, Badan Legislasi (Baleg) ataupun Panitia Khusus (Pansus)? Tidak jadi masalah, toh sama-sama DPR juga.

    Melemahnya Partai Politik

    Pemilihan anggota DPR baik pusat maupun daerah, semakin terpersonalisasi pada figur kandidat dari pada partai politik, terutama setelah diterapkannya proporsional daftar terbuka pada Pemilu 2009.

    Aspinall dan Berenschot (2020) menyebut fenomena tersebut menyebabkan terjadinya apa yang disebut sebagai free-wheeling clientelism (klientelisme gelindingan roda lepas), yang membuat partai politik terdegradasi perannya dalam proses pemilihan dibandingkan kandidat itu sendiri.

    Declaining partai politik terlihat dari semakin rendahnya party-id dari partai politik di Indonesia. Dari survei Politika Research & Consulting (PRC) sejak 2020 hingga 2024 menunjukkan bahwa orang yang merasa dekat dengan partai politik tertentu hanya berkisar 15,2 persen hingga 10,3 persen saja dari total pemilih. Hal ini menunjukkan bahwa perlu segera dilakukan perbaikan atas pelembagaan partai politik.

    Selain itu, melemahnya partai politik tercermin dari semakin berkurangnya jumlah pemilih yang mencoblos partai politik. Pemilih lebih cenderung mencoblos kandidat atau figur (caleg) dari pada partai politik. Apabila dibandingkan pada Pemilu 2019 dan Pemilu 2024, menunjukkan hampir semua partai politik mengalami penurunan jumlah pemilih yang mencoblos partai politik, kecuali hanya Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang mengalami peningkatan.

    Ketika mekanisme yang digunakannya adalah electoral threshold jumlah suara terbuang (tidak terkonversi menjadi kursi DPR) harusnya lebih kecil apabila dibandingkan dengan penerapan parliamentary threshold, namun ternyata tidak selalu demikian. Suara terbuang menjadi sumber kritik bagi pemerhati demokrasi di Indonesia.

    Semakin besarnya suara terbuang mencerminkan terjadinya disproporsionalitas di dalam sistem Pemilu kita yang menganut proporsionalitas.

    Pemilu pasca reformasi (1999-2024), berdasarkan data KPU RI menunjukkan bahwa suara terbuang terbesar terjadi pada Pemilu 2009 yang mencapai 19.047.481 suara atau setara dengan 18,3 persen total suara sah. Di sisi lain, suara terbuang terendah pada Pemilu di Indonesia terjadi pada tahun 2014 dengan 2.964.975 suara atau setara dengan 2,4 persen (sudah menggunakan parliamentary threshold).

    Namun sejak itu, jumlah suara terbuang kian meningkat 13.595.842 suara atau 9,7 persen (2019) dan 17.304.303 suara atau 11,4 persen (2024). Salah satu bukti empiris yang mendukung mengapa suara terbuang pada Pemilu 2014 relatif lebih sedikit adalah, karena partai politik peserta Pemilu relatif sedikit (12 partai politik) jika dibandingkan dengan periode Pemilu pasca reformasi lainnya.

    Menanti Arah Baru?

    Ambang batas pencalonan Pilpres yang sudah digugurkan, menandakan lahirnya sebuah baru dalam Pilpres di Indonesia. Artinya semua partai politik berhak mencalonkan presiden dan wakil presidennya. Sudah seharusnya momentum ini bisa dijadikan oleh partai politik untuk menggerakkan pendalaman demokrasi (deepening democracy) dan menciptakan sistem yang lebih inklusif.

    Sikap anti-partai politik yang selama ini seperti mewabah harus dilawan dengan gerakan nyata, dengan merebut hati rakyat. Bagaimanapun juga partai politik adalah pilar penting dalam demokrasi.

    Secara konseptual oleh Norris (2004) perdebatan tentang reformasi elektoral secara umum adalah perdebatan memilih di antara adversarial democracy dan consensual democracy. Indonesia sendiri lebih cenderung pada consensual democracy. Visi utama consensual democracy adalah menekankan pada pengambilan keputusan secara konsensus, tawar-menawar atau kompromi di antara beragam partai politik di parlemen, mendukung sistem elektoral proporsional yang mengurangi hambatan bagi partai minoritas, memaksimalkan partisipasi pemilih, dan parlemen yang mencerminkan keragaman.

    Namun di sisi lain, consensual democracy memiliki kelemahan karena menghasilkan hasil elektoral yang tidak tegas atau koalisi pemerintahan yang cenderung lemah, tidak efektif, dan tidak stabil, memungkinkan terjadinya permasalahan fragmentasi multi-partai, dan cenderung mendorong pengambilan keputusan yang lambat dan terlalu berhati-hati.

    Karena adanya kelemahan atau kelebihan itu barangkali yang membuat adanya usulan jalan ketiga, seperti usul tentang sistem pemilu campuran dalam pemilihan anggota legislatif. Hemat penulis, Indonesia harus bisa belajar dengan caranya sendiri. Apakah jalan yang dipilih adalah memberikan peluang yang lebih besar terhadap partai-partai kecil atau partai baru, namun disisi lain menimbulkan “bahaya” fragmentasi partai.

    Ada pula jalan lainnya, seperti mengurangi jumlah partai di level nasional, untuk mendorong penyederhanaan partai politik (multi-partai sederhana).

    Apapun langkah yang akan diambil oleh para pengambil kebijakan, RUU Pemilu mendesak untuk dilakukan pembahasan serta mengedepankan partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).

    Sudah saatnya momentum RUU Pemilu menjadi ajang konsolidasi sistem politik Indonesia untuk jangka panjang. Tidak ada sistem pemilihan yang benar-benar sempurna, tapi yang bisa kita lakukan adalah menentukan sistem pemilihan secara sadar yang paling menunjang agar bangsa Indonesia bisa bertumbuh.

    Faris Widiyatmoko. Dosen FISIP UPNV Jakarta dan Direktur Eksekutif Politika Research & Consulting.

    (rdp/rdp)

  • Rapat Paripurna setujui RUU Haji dan Umrah jadi usul inisiatif DPR

    Rapat Paripurna setujui RUU Haji dan Umrah jadi usul inisiatif DPR

    “Apakah RUU usul inisiatif DPR RI tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah dapat disetujui menjadi RUU usul DPR RI?”

    Jakarta (ANTARA) – Rapat Paripurna DPR RI Ke-25 Masa Sidang IV Tahun Sidang 2024-2025 menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Haji dan Umrah menjadi RUU usul inisiatif DPR RI.

    Pengambilan keputusan tersebut dilakukan di kompleks parlemen, Jakarta, Kamis, setelah seluruh fraksi menyampaikan pandangannya melalui pernyataan tertulis. Wakil Ketua DPR RI Adies Kadir pun kemudian meminta persetujuan kepada seluruh Anggota DPR RI yang hadir rapat paripurna.

    “Apakah RUU usul inisiatif DPR RI tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah dapat disetujui menjadi RUU usul DPR RI?” kata Adies yang dijawab setuju oleh hadirin.

    Setelah itu, dia pun mengetok palu sidang sebagai tanda dimulainya pembahasan RUU tersebut. Adapun RUU Haji dan Umrah akan dibahas oleh Komisi VIII DPR RI yang membidangi urusan keagamaan, sosial, hingga kebencanaan.

    Dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR RI, RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Haji dan Umroh masuk ke dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2025 yang diusulkan Komisi VIII DPR RI.

    Sebelumnya, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI Ahmad Iman Sukri membeberkan bahwa terdapat beberapa poin krusial pada RUU Haji, yakni menyerahkan kewenangan haji kepada Badan Haji dan Umrah, seperti peraturan presiden (perpres) yang dikeluarkan oleh Presiden Prabowo Subianto.

    Prabowo, kata dia, menginginkan urusan haji dan umrah dilaksanakan oleh badan baru tersebut supaya berbagai persoalan haji, yang hampir setiap tahun terjadi, seperti soal transportasi, makanan, kesehatan, dan lain sebagainya, tidak terulang lagi.

    Iman menekankan bahwa RUU Haji bukan merupakan aturan biasa, melainkan RUU yang sangat penting karena persiapan ibadah haji membutuhkan waktu satu tahun.

    Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
    Editor: Agus Setiawan
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • DPR Jawab Kritik Lambatnya Bahas RUU Perlindungan PRT: Sedang Kumpul Aspirasi

    DPR Jawab Kritik Lambatnya Bahas RUU Perlindungan PRT: Sedang Kumpul Aspirasi

    DPR Jawab Kritik Lambatnya Bahas RUU Perlindungan PRT: Sedang Kumpul Aspirasi
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Ketua Badan Legislasi (Baleg)
    DPR RI

    Bob Hasan
    menanggapi kritik terkait lambatnya pembahasan Rancangan Undang-Undang
    Perlindungan Pekerja Rumah Tangga
    (
    RUU PPRT
    ).
    Dia menegaskan bahwa proses yang berjalan saat ini bertujuan untuk menyerap semua aspirasi secara menyeluruh, sehingga materi muatan RUU tersebut benar-benar komprehensif.
    “Ini persoalannya kita berada di tengah. Ketika kita ingin benar-benar mengambil rasa, untuk dituangkan dan diakomodasikan dalam materi muatan, kita perlu penyerapan satu per satu. Perlu kerangka,” ujar Bob dalam rapat pembahasan RUU PPRT, Kamis (17/7/2025).
    Dia menyampaikan, DPR selama ini kerap dikritik karena dianggap tergesa-gesa dan tertutup dalam menjalankan proses legislasi.
    Namun, saat DPR sedang berupaya menyerap seluruh pandangan dan masukan, muncul tudingan bahwa pembahasan RUU berlangsung terlalu lambat.
    “Nah, ketika kita sekarang sedang mengumpulkan aspirasi atau mengakomodasi semua pendapat dan pikiran, kita dibilangnya terlalu lambat,” ucapnya.
    “Nah ini Pak, dilematis setengah kami ini sekarang ya kan,” sambungnya.
    Meski begitu, Politikus Gerindra itu menegaskan bahwa Baleg tidak akan mundur dalam menyelesaikan pembahasan RUU PPRT, walaupun mendapatkan tekanan kritik dari berbagai pihak.
    “Kami tidak akan kendur, tidak akan mundur. Karena kekuasaan kita masing-masing ada. DPR itu legislatif. Mahkamah, baik konstitusi maupun agung, itu yudikatif. Tidak bisa masuk ke dalam ranah kekuasaan legislatif. Begitu juga eksekutif,” tegasnya.
    Bob menambahkan, Baleg DPR berencana menyerap masukan dari kalangan akademisi di berbagai kampus di Indonesia.
    Dia berharap langkah ini dapat memperkaya pembahasan RUU PPRT.
    “Kita memang akan keliling ke akademisi, civitas akademik di kampus-kampus yang ada di Indonesia. Supaya betul-betul tertampung,” katanya.
    Dalam kesempatan itu, Bob juga menginformasikan bahwa Naskah Akademik (NA) RUU PPRT yang digunakan saat ini adalah versi terbaru.
    Dia pun mengeklaim bahwa berbagai masukan, termasuk dari kelompok masyarakat sipil pendukung RUU PPRT, telah menjadi catatan penting dalam proses penyusunan.
    “Contoh kayak tadi koalisi menyatakan yang penting persamaan hak. Sehingga harus ada perjanjian tertulis. Maka ini menjadi catatan buat kita,” pungkasnya.
    Sebagai informasi, RUU PPRT telah diajukan sejak 2004 dan dianggap mendesak sebagai payung hukum untuk melindungi pekerja di bidang rumah tangga.
    RUU PPRT juga selalu masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) setiap periode DPR, tetapi tidak juga berhasil disahkan hingga DPR periode 2019-2024 berakhir.
    Pada periode 2024-2029, DPR RI kembali membahas RUU PPRT dan menyatakan akan berupaya menyelesaikannya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • PSP UGM beberkan rekomendasi substansial untuk diatur dalam RUU BPIP

    PSP UGM beberkan rekomendasi substansial untuk diatur dalam RUU BPIP

    Jakarta (ANTARA) – Kepala Pusat Studi Pancasila (PSP) Universitas Gadjah Mada (UGM) Agus Wahyudi membeberkan sejumlah rekomendasi substansial yang perlu diatur dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).

    “Rekomendasi substansial terhadap RUU BPIP; pertama, kita perlu memikirkan transformasi peran BPIP. Jadi perubahan arah orientasi,” kata Agus dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dengan sejumlah narasumber tentang penyusunan RUU BPIP di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu.

    Menurut dia, BPIP perlu atau harus diposisikan sebagai fasilitator dialog ideologi nasional, bukan sekedar agen negara untuk pengawasan moral.

    “BPIP seharusnya mengembangkan forum ideologi publik, melibatkan warga dalam produksi makna Pancasila secara deliberatif,” ucapnya.

    Dia juga merekomendasikan RUU BPIP penting untuk mencantumkan prinsip dekolonialisasi pengetahuan dengan mengakui keberadaan beragam pengetahuan lokal, adat, dan tafsir minoritas terhadap nilai-nilai kebangsaan.

    “Pancasila bukan milik negara semata, dalam arti ini pemerintah, melainkan milik kolektif yang tumbuh dari sejarah dan pengalaman bersama,” ujarnya.

    Selain itu, dia menyebut dalam RUU BPIP perlu dipikirkan soal indikator keberhasilan pembinaan ideologi Pancasila yang mencakup dimensi kebebasan berpikir, inklusi sosial, solidaritas lintas identitas, perlawanan terhadap penindasan.

    Lalu, kata dia, RUU BPIP perlu memberikan perluasan ruang ekspresi kritik terhadap Pancasila dan menjamin bahwa kebebasan berpikir merupakan bagian dari cinta ideologi, sebagaimana pasal 28E UUD 1945 dan prinsip demokrasi konstitusional.

    “Kritik terhadap Pancasila atau praktik pembinaannya tidak boleh dikriminalisasi,” tuturnya.

    Terakhir, dia menyebut RUU BPIP perlu dan harus menyertakan pasal tentang penguatan PanPancasila dalam diplomasi global sebagai dasar bagi solidaritas transnasional, keadilan iklim, perdamaian dunia, dan kritik atas kapitalisme predatoris.

    “Pancasila harus diangkat sebagai kontribusi Indonesia terhadap etika global,” kata dia.

    RDPU tersebut turut dihadiri pula oleh sejumlah narasumber di antaranya, Wakil Kepala BPIP Rima Agristina, Mantan Asisten Teritorial Kepala Staf TNI Angkatan Darat (Aster Kasad) Mayjen TNI (Purn) Saurip Kadi, Guru besar filsafat moral Franz Magnis Suseno, hingga Wakil Ketua Komisi Kajian Ketatanegaraan (K3) MPR RI Dossy Iskandar Prasetyo.

    Adapun, RUU BPIP telah ditetapkan masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2025.

    Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
    Editor: Biqwanto Situmorang
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Ketua Baleg tepis RUU BPIP digulirkan karena alasan politis

    Ketua Baleg tepis RUU BPIP digulirkan karena alasan politis

    Jakarta (ANTARA) – Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Bob Hasan menepis pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) digulirkan di parlemen karena dilatarbelakangi alasan politis.

    “Enggak ada (politis), kita BPIP itu adalah kumpulan daripada negarawan, tidak ada ketika BPIP disusun kemudian ada kebijakan-kebijakan yang menjadi goal itu enggak ada,” kata Bob di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu.

    Terkait urgenitas pembahasan, dia beralasan RUU BPIP digulirkan pihaknya sebab telah ditetapkan masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2025.

    Selain itu, dia memandang penguatan ideologi Pancasila yang mengandung semangat persatuan perlu digalang agar setiap kebijakan di tanah air dapat terlaksana dan kondusif.

    “Tentunya ini semuanya harus disusun bottom up, dari bawah ke atas. Jadi untuk itulah pembinaan ideologi Pancasila itu penting. Urgenitasnya itu,” ujarnya.

    Dia pun menepis pimpinan yang akan dilantik Presiden untuk menduduki jabatan strategis di BPIP terkait dengan motif politis, begitu pula kaitan penguatan kelembagaan BPIP melalui penyusunan RUU BPIP terkait upaya mengakomodasi partai politik (parpol) tertentu untuk merapat ke pemerintahan.

    Sebaliknya, Bob menegaskan bahwa nantinya struktur kepemimpinan BPIP yang ada saat ini akan dilakukan perombakan sebagaimana sejumlah perombakan esensial yang dilakukan dalam penyusunan RUU BPIP.

    “Besok diganti semuanya, besok harus dirubah kembali, itu tujuannya. Enggak ada tendensi kepada salah satu parpol, tendensi kepada keinginan politik apa gitu, tidak ada,” ucapnya.

    Dia lantas berkata, “Ini mau merombak, semuanya merombak. Ini merombak semua, esensi dari BPIP, dan segala macam.”

    Dia membeberkan salah satu perombakan esensial yang dilakukan dalam RUU BPIP ialah akan membuat garis pembeda jelas dengan RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang sebelumnya telah dikeluarkannya dari daftar Prolegnas Prioritas 2021.

    “Bedanya sudah jelas, itu kan Haluan Ideologi Pancasila, itu kan tentang doktrinasi. Kalau ini kan lembaga yang disuruh kerja, kerjanya apa, dibawa ke presiden,” tuturnya.

    Ketika ditanyakan apakah penguatan dasar hukum kelembagaan BPIP menjadi undang-undang dari yang sebelumnya berupa Peraturan Presiden (Perpres) akan mampu menguatkan pula internalisasi nilai-nilai Pancasila di tengah masyarakat, Bob menyebut hal tersebut bergantung pada mekanisme pengaturan yang masih akan diatur lebih lanjut.

    Sebab, lanjut dia, saat ini pihaknya masih terus menampung aspirasi dan masukan dari berbagai pihak terhadap penyusunan RUU BPIP.

    “Itu nanti tergantung regulasinya. Lembaga ini kan harus dibuat regulasinya, bagaimana sistematis pekerjaannya, aktivitasnya, giatnya. Tadi kan (dalam rapat) sudah disampaikan juga ada ide-ide dan gagasan, ada konsepsi pembinaannya, ada hal-hal yang di luar pada hal itu tentang menjaga konstitusi kita, atau menjaga Pancasila,” kata dia.

    Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
    Editor: Budi Suyanto
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Komisi II: Putusan MK dorong susun RUU Pemilu sesuai RPJPN 2025-2045

    Komisi II: Putusan MK dorong susun RUU Pemilu sesuai RPJPN 2025-2045

    Biarlah semua perdebatan itu kita tumpahkan kita ramu di penyusunan itu, termasuk nanti di pembahasan. Itu sesuai mekanisme, dan itu elegan

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua Komisi II DPR RI Zulfikar Arse Sadikin menilai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pemilu nasional dan daerah, menjadi dorongan untuk Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) yang akan berupa kodifikasi sesuai Undang-Undang Nomor 59 Tahun 2024 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2025-2045, agar segera disusun.

    “Kita menyesuaikan dengan kebijakan yang ada dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2025-2045 Nomor 59 Tahun 2024 yang menyatakan bahwa pembentukan Undang-Undang Pemilu itu adalah kodifikasi,” kata Zulfikar di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu.

    Jadi, katanya, DPR RI sendiri sedianya memang telah menggagas perubahan Undang-Undang Pemilu, perubahan Undang-Undang Pilkada, dan perubahan Undang-Undang Pemerintah Daerah dalam program legislasi nasional (prolegnas) yang disebut akan menjadi paket RUU Politik (kodifikasi), maka adanya putusan MK Nomor 135 itu menjadi momentum untuk segera menyusun UU Pemilu yang memang sudah diinisiasi untuk berubah.

    Dia lantas melanjutkan, “Biarlah semua perdebatan itu kita tumpahkan kita ramu di penyusunan itu, termasuk nanti di pembahasan. Itu sesuai mekanisme, dan itu elegan.”

    Dia pun mengaku tidak tahu menahu soal adanya pertemuan kembali fraksi-fraksi partai politik di parlemen dalam menyikapi putusan MK tersebut.

    Adapun, lanjut dia, pimpinan DPR RI bersama sejumlah menteri dan komisi terkait serta perwakilan masyarakat sipil melangsungkan rapat terakhir kali guna menyikapi putusan MK tersebut pada Senin (30/6).

    “Pertemuan pimpinan Komisi II, Komisi III, Baleg (Badan Legislasi), Menteri Dalam Negeri, Menteri Sekretaris Negara, Menteri Hukum, sudah (itu) terakhir,” tutur dia.

    Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi II DPR RI Aria Bima mengatakan bahwa penyusunan RUU Pemilu yang menyangkut banyak elemen politik ke depannya diwacanakan akan berupa kodifikasi.

    “Apalagi di dalam pembuatan Undang-Undang Pemilu ke depan, yang kami ingin Undang-Undang Pemilu itu nanti adalah kodifikasi karena menyangkut dari berbagai elemen politik kita yang harus satu sistem, satu hal yang holistik, enggak terpotong-potong,” kata Aria di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (14/7).

    Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
    Editor: Edy M Yakub
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • RUU PPRT: Menanti Keadilan dari Dapur

    RUU PPRT: Menanti Keadilan dari Dapur

    RUU PPRT: Menanti Keadilan dari Dapur
    Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
    DI RUANG
    yang tak pernah tampil di podium kekuasaan, mereka bangun paling pagi dan tidur paling larut.
    Pekerja rumah tangga
    — yang sering kali disebut “asisten rumah tangga” atau “mbak”— hadir dalam keseharian kita, tetapi absen dalam kebijakan negara.
    Di balik setiap seragam putih yang disetrika, lantai yang disapu, dan sarapan yang tersaji, ada wajah yang tak dikenali hukum, tak dihormati undang-undang, dan terlalu sering didiamkan negara.
    RUU Perlindungan
    Pekerja Rumah Tangga
    (PPRT) sesungguhnya bukan barang baru. Diperjuangkan sejak 2004, disuarakan oleh banyak pihak, dan terus dijanjikan oleh para pengambil kebijakan, tetapi dua dekade berselang, ia tetap mandek.
    Tertahan di ruang-ruang rapat Baleg, tertimbun di laci birokrasi, dan tak kunjung menjadi hukum positif.
    Negara, yang seharusnya hadir sebagai pelindung yang adil, justru membiarkan para pekerja domestik berjalan tanpa payung hukum. Seakan rumah tangga adalah ruang privat yang tak perlu diintervensi keadilan.
    Jumlah
    pekerja rumah tangga
    di Indonesia diperkirakan mencapai 4-5 juta orang. Sebagian besar perempuan.
    Sebagian besar hidup dalam relasi kuasa yang timpang. Upah rendah, beban kerja tak terbatas, tanpa jaminan sosial, tanpa cuti, dan tanpa kontrak tertulis. Mereka bekerja, tetapi tak dianggap sebagai pekerja.
    Ketiadaan perlindungan ini bukan semata kelalaian administratif, melainkan bentuk pembiaran struktural. Bahkan Mahkamah Konstitusi dalam berbagai putusannya telah menegaskan bahwa setiap warga negara — tanpa kecuali — berhak atas perlindungan hukum yang adil.
    Namun, bagi para pekerja rumah tangga, konstitusi seolah hanya berlaku di ruang sidang, bukan di ruang makan.
    JALA PRT mencatat lebih dari 3.300 kasus kekerasan terhadap pekerja rumah tangga sejak 2021. Komnas Perempuan mencatat 56 kasus sepanjang 2024.
    Kekerasan fisik, verbal, ekonomi, hingga kekerasan seksual. Banyak yang tak melapor karena takut. Banyak yang dipaksa diam karena tak tahu ke mana harus meminta keadilan.
    Negara diam. DPR lamban. Sementara para PRT terus bekerja, meski tak diakui.
    Maret 2023,
    RUU PPRT
    disahkan sebagai inisiatif DPR dan sempat masuk Prolegnas prioritas. Publik sempat berharap. Namun harapan itu segera dikecewakan: masa jabatan DPR periode 2019–2024 berakhir tanpa pengesahan. RUU kembali ke titik nol.
    Kini, DPR 2024–2029 membawa janji baru. Ketua DPR menyatakan bahwa RUU PPRT akan menjadi prioritas pasca-Hari Buruh 2025.
    Presiden Prabowo Subianto bahkan menyebut pengesahan sebagai komitmen moral. Baleg telah memulai RDP dan RDPU. Tapi publik tahu, proses legislasi bukan soal niat semata — melainkan soal keberanian untuk melawan kepentingan.
    Kepentingan siapa yang menolak RUU ini? Mungkin mereka yang nyaman dengan status quo. Mereka yang mempekerjakan tanpa tanggung jawab. Mereka yang melihat pekerja rumah tangga bukan sebagai subjek hukum, melainkan sekadar “bagian keluarga”.
    Padahal dalam logika hukum ketenagakerjaan, relasi kerja domestik tetaplah kerja. Hak tetaplah hak. Dan martabat tak bisa dikaburkan oleh tembok rumah.
    RUU PPRT seharusnya menjadi tonggak peradaban hukum ketenagakerjaan Indonesia. Draf yang telah dibahas memuat sejumlah terobosan.
    Pertama, pengakuan PRT sebagai pekerja formal, setara dengan profesi lain. Bukan sebagai “keluarga”, bukan sekadar “pembantu”, tetapi sebagai subjek hukum dengan hak dan kewajiban jelas.
    Kedua, perjanjian kerja tertulis yang meliputi hak atas upah layak, cuti, jaminan sosial, dan jam kerja manusiawi. Termasuk ketentuan mengenai larangan kekerasan dan perlindungan dari penyalur ilegal.
    Ketiga, penyalur wajib berizin, tidak boleh menahan dokumen, memungut biaya, atau mengeksploitasi calon PRT.
    Keempat, pengawasan oleh pemerintah daerah, termasuk pendataan, pelatihan, dan penyelesaian sengketa berbasis mediasi.
    Dengan semua itu, RUU PPRT bukan hanya produk hukum, tetapi wajah keberpihakan. Ia mengoreksi sejarah ketimpangan dan memanusiakan profesi yang selama ini dibungkam oleh domestifikasi.
    Dalam sistem hukum kita, UUD 1945 Pasal 28D ayat (1) secara eksplisit menyebut: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil.”
    Apakah PRT bukan “setiap orang”? Apakah mereka harus terus menunggu pengakuan dari negara yang katanya berdasarkan hukum?
    Pembiaran berlarut terhadap RUU PPRT adalah bentuk pelanggaran terhadap prinsip konstitusional itu sendiri. Negara tidak boleh tunduk pada tekanan sosial budaya atau status quo relasi kuasa. Negara harus berdiri tegak sebagai pelindung, bukan penonton.
    DPR dan Pemerintah tak bisa terus berdalih menunggu waktu yang tepat. Setiap hari yang ditunda adalah risiko baru yang dihadapi para PRT. Satu hari tanpa payung hukum bisa berarti satu nyawa hilang tanpa perlindungan.
    Keadilan yang ditunda — sebagaimana dikatakan William E. Gladstone — adalah keadilan yang ditolak.
    RUU PPRT adalah cermin. Ia mencerminkan apakah bangsa ini benar-benar percaya pada keadilan sosial. Apakah negara ini hanya melindungi yang lantang bersuara di Senayan atau juga yang diam di dapur sempit tanpa serikat.
    Dari dapur itulah, keadilan kini sedang ditunggu. Ia tak berteriak, tapi mendidih perlahan. Ia tak bersuara, tapi mendesak. Menanti untuk disambut oleh negara, bukan dengan janji, melainkan dengan keberanian legislasi.
    Jika negara tak segera mengetuk palu pengesahan, maka yang dikhianati bukan hanya para PRT, tetapi juga nurani konstitusi itu sendiri.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Komisi I: Penyiaran radio dan digital idealnya tak digabung RUU Penyiaran

    Komisi I: Penyiaran radio dan digital idealnya tak digabung RUU Penyiaran

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua Komisi I DPR RI Sukamta menilai idealnya undang-undang yang mengatur tentang penyiaran melalui gelombang radio frekuensi dan penyiaran melalui platform digital tidak digabung menjadi satu dalam revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (RUU Penyiaran).

    “Memang idealnya undang-undang ini dipecah, enggak jadi satu (dalam RUU Penyiaran). Ada undang-undang penyiaran, ada undang-undang telekomunikasi, ada undang mungkin penyiaran digital sendiri, atau mungkin ada undang-undang mestinya selain keamanan cyber-nya,” kata Sukamta di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Senin.

    Hal itu disampaikan Sukamta dalam rapat dengar pendapat umum Panitia Kerja (Panja) RUU Penyiaran Komisi I DPR RI bersama Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Sahabat Peradaban Bangsa (SPB), dan Asosiasi Konten Kreator Seluruh Indonesia (AKKSI).

    Namun, dia mengkhawatirkan apabila undang-undang tersebut dipecah sendiri-sendiri maka produk legislasi tersebut tak kunjung disahkan sebab proses penyusunan suatu undang-undang memakan waktu yang tidak sebentar.

    “Undang-Undang Penyiaran ini kita revisi sudah sejak 2012, sampai hari ini belum kelar, Pak. Sudah ganti zaman, ganti teknologi, sudah usang banget undang-undang (tahun) 2002. Saya khawatir kalau ini kami pecah, nanti pecahnya nggak jadi (undang-undang), Pak. Betul-betul enggak jadi,” ujarnya.

    Untuk itu, Sukamta mengatakan demi kepraktisan maka tidak apa-apa jika sementara pengaturan terkait penyiaran maupun penyiaran digital digabung terlebih dahulu ke dalam RUU Penyiaran.

    “Memang jadi agak ada pemaksaan soal definisi (penyiaran) misalnya, memang agak kami memaksakan, isinya juga mungkin nanti agak dipaksakan antara penyiaran berbasis terestrial, penyiaran OTT, kemudian ada tadi konten kreator,” ucapnya.

    Wakil Ketua Komisi I DPR RI Dave Laksono juga mengamini bahwa lebih baik pengaturan terkait penyiaran melalui gelombang radio frekuensi dan penyiaran melalui platform digital digabung terlebih dahulu dalam RUU Penyiaran.

    “Undang-undang itu kan juga living document ya, Pak. Jadi, memang bilamana ke depannya dibutuhkan untuk pemisahan, ya bisa saja (nanti dipecah), tapi kalau tidak dimulai sekarang, nanti tidak ada ujungnya. Jadi, biar kami selesaikan ini (RUU Penyiaran), nanti ke depannya bisa ada penyempurnaan lagi,” katanya.

    Sementara itu, anggota DPR RI Junico Siahaan menilai pentingnya meredefinisi terlebih dahulu soal pemaknaan penyiaran itu dalam RUU Penyiaran, apakah sebatas pada penyiaran gelombang radio frekuensi atau mencakup pula platform digital.

    “Karena kalau dibilang siaran, definisinya kan sebuah one-to-many. Sementara hari ini platform tidak merasa bahwa mereka menyiarkan. Jadi, ini kita harus re-definisi sampai ketemu betul-betul,” kata Nico Siahaan, sapaan karibnya, dalam rapat tersebut.

    Sebab terlepas dari medium penyiarannya apakah melalui gelombang radio frekuensi atau platform digital, dia memandang secara substansi yang ingin diatur dan dilindungi dalam RUU Penyiaran adalah sama-sama terkait dengan konten yang disiarkannya.

    “Sementara ke depan tantangannya akan ada AI, ada Starlink, kita enggak tahu nyebutnya apa nanti karena tidak pakai frekuensi. Entah apalagi nanti teknologi ke depan, tapi bentuknya adalah sebenarnya konten itu yang mau kita kawal sama-sama,” tutur dia.

    Sebelumnya, Komisi I DPR RI menggelar rapat dengar pendapat dengan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), Lembaga Penyiaran Publik (LPP) TVRI, LPP RRI, hingga Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) ANTARA dalam rangka panitia kerja membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penyiaran di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (10/3).

    Adapun RUU tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menjadi RUU yang masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas yang diusulkan Komisi I DPR RI.

    Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
    Editor: Didik Kusbiantoro
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • KPK: Aturan Penyadapan di RUU KUHAP Bakal Mereduksi Tugas Penyelidik

    KPK: Aturan Penyadapan di RUU KUHAP Bakal Mereduksi Tugas Penyelidik

    KPK: Aturan Penyadapan di RUU KUHAP Bakal Mereduksi Tugas Penyelidik
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Komisi Pemberantasan Korupsi (
    KPK
    ) menilai, aturan
    penyadapan
    dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bakal mereduksi tugas
    penyelidik KPK
    .
    Pasalnya, dalam draf
    revisi KUHAP
    , disebutkan bahwa penyadapan baru dimulai saat tahap penyidikan dan harus melalui izin pengadilan daerah setempat, tidak selaras dengan tugas dan fungsi KPK yang melakukan penyadapan sejak tahap penyelidikan.
    “Artinya kan ada reduksi kewenangan dari penyelidik ya, karena penyelidik dalam
    RUU KUHAP
    itu hanya berwenang untuk mencari peristiwa tindak pidananya. Sedangkan penyelidik di KPK bahkan sampai untuk mencari sekurang-kurangnya dua alat bukti,” kata Juru Bicara KPK
    Budi Prasetyo
    di Gedung Merah Putih, Jakarta, Senin (14/7/2025).
    Budi juga menyampaikan bahwa KPK memiliki kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan penyelidik.
    Dia menjelaskan, penyelidik di KPK tidak hanya bertugas untuk menemukan peristiwa tindak pidana, melainkan juga sampai menemukan sedikitnya dua alat bukti.
    “Sedangkan dalam pembahasan di RUU Hukum Acara Pidana, penyelidik hanya untuk mencari peristiwa tindak pidana,” ujar Budi.
    Berdasarkan hal tersebut, KPK akan menyampaikan masukan yang telah dibahas di internal kepada pemerintah.
    “Oleh karena itu, KPK akan menyampaikan masukan-masukan yang saat ini masih berproses dibahas di internal nantinya kepada pemerintah,” ucap Budi.
    Sebagai informasi, RUU KUHAP adalah salah satu prioritas legislasi DPR pada masa sidang ini, dan telah ditetapkan sebagai Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2025.
    DPR menargetkan pembahasan rampung sebelum 2026 seiring dengan berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.