Topik: Prolegnas

  • Naskah Pidato Kenegaraan Perdana Presiden Prabowo Subianto (bagian 3)

    Naskah Pidato Kenegaraan Perdana Presiden Prabowo Subianto (bagian 3)

    Jakarta (ANTARA) – Hadirin sekalian,
    Kami juga membangun sistem kesehatan yang lebih adil dan merata. Cek kesehatan gratis telah digunakan hari ini oleh lebih dari 18 juta warga, 66 rumah sakit di 66 kabupaten sedang kami tingkatkan kelasnya.

    Kawasan Ekonomi Khusus Sanur kami hadirkan sebagai pusat pelayanan medis bertaraf internasional agar orang Indonesia tidak harus berobat ke luar negeri. Kami tegakkan kedaulatan Indonesia di panggung dunia. Kami putuskan Indonesia bergabung dengan BRICS.

    Indonesia juga diundang di mana-mana menjadi kehormatan dalam perayaan kemerdekaan India dan Perayaan Hari Nasional Prancis. Kami juga berhasil menyelesaikan perundingan dagang Uni Eropa dengan Indonesia-CEPA, yaitu Comprehensive Economy Partnership Agreement yang sebenarnya adalah free trade agreement, di mana kita bisa akses pasar Eropa dengan tarif nol.

    Kita juga berunding dengan Amerika. Indonesia aktif memperjuangkan pengakuan Palestina dan memimpin pembahasan solusi dua negara. Saat ini juga dua pesawat Hercules kita sedang beroperasi di Timur Tengah menerjunkan bantuan-bantuan dari udara ke Gaza.

    Saudara-saudara sekalian,

    Kami bekerja untuk menegakkan hukum dan keadilan. Salah satu yang penting adalah dalam menegakkan hukum dan keadilan, gaji hakim harus dalam keadaan baik. Kami telah naikkan untuk beberapa hakim sampai dengan 280 persen peningkatannya.

    Kami juga tidak segan-segan membongkar kasus-kasus korupsi besar. Bersama TNI dan Polri, kami pastikan bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

    Saudara-saudara sekalian,
    Beberapa saat yang lalu beberapa tahun yang lalu kita mendapat laporan ada ribuan, ada jutaan perkebunan kelapa sawit yang melanggar hukum yang menyimpang regulasi. Ada yang membuat perkebunan di hutan lindung, ada yang tidak melaporkan luasnya perkebunan mereka, ada yang dipanggil BPKP tidak mau datang. Kami terbitkan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan dan pada hari ini saya melaporkan di majelis ini bahwa Pemerintah Republik Indonesia sudah menguasai kembali 3,1 juta hektare dari potensi lima juta hektare lahan sawit yang dilaporkan melanggar aturan tapi kita belum verifikasi.

    Yang sudah jelas, kita verifikasi melanggar aturan adalah 3,7 juta hektare dan dari 3,7 juta hektare, 3,1 juta (hektare) sudah dikuasai kembali.

    Saudara-saudara sekalian,
    Perlu saya laporkan juga di sini bahwa ada keputusan pengadilan yang sudah inkrah 18 tahun yang lalu yang memerintahkan ada kebun-kebun kelapa sawit yang harus disita tapi tidak ada penegak hukum waktu itu yang mau melaksanakannya.

    Saya tidak tahu kenapa, tetapi saya telah perintahkan dikuasai kembali oleh negara dan untuk itu kita telah menggunakan pasukan-pasukan TNI untuk mengawal tim-tim yang menguasai kebun-kebun tersebut karena sering terjadi perlawanan. Berani-berani melawan pemerintah NKRI, ya, kita hadapi saudara-saudara sekalian.

    Setelah ini, kita akan tertibkan tambang-tambang yang melanggar aturan. Saya telah diberi laporan oleh aparat aparat bahwa terdapat 1.063 tambang ilegal dan potensi kekayaan yang dihasilkan oleh 1.063 tambang ilegal ini dilaporkan potensi kerugian negara adalah minimal Rp300 triliun, saudara-saudara sekalian.

    Saya minta dukungan seluruh MPR, saya minta dukungan seluruh partai politik untuk mendukung ini demi rakyat kita, saudara sekalian.

    Dan saya beri peringatan apakah ada orang-orang besar orang-orang kuat, jenderal-jenderal dari manapun apakah jenderal dari TNI atau jenderal dari polisi atau mantan jenderal tidak ada alasan kami akan bertindak atas nama rakyat.

    Dan sebagai sesama pimpinan partai saya ingatkan anggota-anggota semua partai termasuk partai saya Gerindra. Cepat-cepat kalau Anda terlibat, Anda jadi justice collaborator. Anda laporan saja karena walaupun kau Gerindra tidak akan saya lindungi, saudara-saudara.

    Kalau ada yang berani, saya telah perintahkan Panglima TNI dan Kapolri, kalau Anda mau ke provinsi ini pakai pasukan dari provinsi lain, jangan-jangan ada anak buahmu di kebun-kebun itu.

    Saudara-saudara wakil rakyat sudah tahu keadaan yang sebenarnya, benar? Saya sudah lama jadi orang Indonesia. Segala ulah apalagi saya ini senior, mantan tentara. Jadi, junior-junior itu jangan macam-macam, ya.

    Kalau rakyat yang nambang, ya, sudah kita bikin koperasi. Kita legalkan, kita atur, kita legalkan, tapi jangan alasan, rakyat tahu-tahu nyelundup, nyelundup ratusan triliun, nyelundup.

    Saudara-saudara sekalian,
    Harus hitung waktu ini. Dengan geopolitik yang semakin tidak menentu Indonesia harus punya pertahanan yang kuat untuk menjaga kekayaan kita. Untuk itu tahun ini kita bentuk enam Komando Daerah Militer baru, 14 Komando Daerah Angkatan Laut, tiga Komando Daerah Angkatan Udara, satu Komando Operasi Udara, enam grup Komando Pasukan Khusus, 20 Brigadir Teritorial Pembangunan, satu Brigade Infantri Marinir, satu Resimen Korps Pasukan Gerak Cepat, 100 Batalyon Teritorial Pembangunan, lima Batalion Infanteri Marinir, dan lima Batalion Komando Korps Pasukan Gerak Cepat.

    Langkah ini sejalan dengan doktrin pertahanan kita, pertahanan dan keamanan rakyat semesta, sishankamrata, di mana seluruh warga negara dan sumber daya nasional didayagunakan secara total untuk kepentingan pertahanan dan keamanan kita.

    Saudara-saudara sekalian,
    Kita paham bahwa perang itu disruptif. Kita tidak mau perang. Kita harus hindari perang karena itu politik luar negeri yang saya jalankan dan saya umumkan adalah politik seribu kawan terlalu sedikit satu lawan terlalu banyak.

    Kami tetap dalam garis non-blok, garis non-aligned. Kami tidak akan berpihak kepada blok manapun. Ini kami sampaikan di mana-mana, bebas aktif, kita ingin damai dengan semua orang.

    Terutama dengan tetangga-tetangga kita. Kita ingin selesaikan semua masalah. Ada masalah kadang-kadang masalah garis perbatasan masalah ini adalah warisan dari kolonialis, warisan dari penjajah. Belanda datang dengan Inggris, dia bikin garis seenak jidatnya, dia bikin garis. Yang repot kita sekarang, ya, kan?

    Kita mau ditabrakkan sama Malaysia. Kita sahabat sama Malaysia, kita satu rumpun. Tapi selalu politik devide at impera itu selalu ada. Janganlah kita naif janganlah kita terus-menerus mau diadu domba.

    Saudara sekalian,
    Setiap elemen negara Indonesia marilah kita bekerja keras agar setiap anak Indonesia berangkat ke sekolah dan mendapat makanan yang baik.

    Kita ingin petani nelayan kita kembali bangga menjadi tulang punggung bangsa, menjadi produsen makanan, hidup petani dan nelayan kita harus baik, harus bagus. Untuk itu, kita akan bangun dalam waktu yang secepat ini tahun ini juga kita harus mulai 1.100 desa nelayan.

    Tiap desa lain terdiri dari kurang lebih 2.000 kepala keluarga. Berarti di situ akan hidup dua juta kepala keluarga kalau satu kepala keluarga terdiri dari bapak ibu dan tiga anak berarti lima juta, oh, 10 juta orang akan hidup dengan baik. Ini akan kita wujudkan dalam waktu dekat mereka juga akan membayar kembali investasi kita.

    Jadi, ini bukan BLT, bukan bagi-bagi uang kita pinjamin uang mereka akan bayar cicil kembali kepada pemerintah karena mereka akan menghasilkan nilai.

    Kita ingin guru-guru kita semangat mengajar karena dihargai, kita ingin rakyat kecil bisa tersenyum karena tidak lagi takut sakit dan tidak takut lapar dan tidak takut anaknya tidak bisa sekolah dan kita harus cari lapangan kerja yang sebesar-besarnya dan sebanyak-banyaknya. Tujuan kita, tujuan kemerdekaan kita adalah yen wong cilik iso gemuyu.

    Saudara-saudara sekalian,

    Untuk itu, saya memberi apresiasi kepada lembaga-lembaga negara atas kinerja mereka dalam menjalankan roda negara. MPR RI melalui visi besar “Rumah Kebangsaan. Pengawal Ideologi Pancasila dan Kedaulatan Rakyat” secara konsisten sosialisasikan Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.

    MPR konsisten turun ke rakyat, jelaskan Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Ini sangat penting karena pemahaman UUD 1945 bisa menyelamatkan ekonomi kita, bisa menyelamatkan demokrasi kita.

    DPR RI pada periode awal 2024-2029 telah membahas dan mengesahkan 14 RUU dan telah menetapkan Program Legislasi Nasional Tahun 2025 dan Jangka Menengah
    2025-2029 sehingga perencanaan, penyusunan dan pembahasan RUU berjalan secara terarah dan terukur.

    Pada pelaksanaan fungsi penganggaran, DPR RI telah membantu pemerintah mewujudkan “efisiensi berkeadilan” di APBN kita, yang merupakan mandat dari UUD 1945, serta membantu menyusun RAPBN 2026 yang akan saya sampaikan sore hari ini. DPR RI juga telah melaksanakan fungsi pengawasan yang luas melalui 26 Panitia Kerja Pengawasan dan tiga Tim Pengawasan.

    DPD RI telah menetapkan lebih dari 50 keputusan kelembagaan yang mencerminkan peran aktif dan strategis DPD dalam memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah di tingkat pusat.

    Lebih lanjut, DPD RI telah mendukung pembangunan berkelanjutan; aktif menjalankan fungsi pengawasan, pemberian pertimbangan anggaran, serta proaktif memantau dan mengevaluasi Raperda dan Perda untuk memastikan kesesuaian regulasi daerah dengan kebijakan nasional.

    BPK RI telah membuktikan integritasnya dan independensinya dalam pemeriksaan pengelolaan, dan tanggung jawab keuangan negara. Capaian BPK di tahun 2024, antara lain mendorong peningkatan akuntabilitas tata kelola keuangan negara serta kualitas pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran, sehingga kementerian dan lembaga yang telah mencapai status Wajar Tanpa Pengecualian mencapai 97,7 persen untuk tahun anggaran 2024; mengawal program prioritas nasional; meningkatkan efektivitas belanja APBN; serta penyelamatan puluhan triliun rupiah uang dan aset negara.

    Mahkamah Konstitusi RI di sepanjang tahun 2024 hingga pertengahan 2025 telah menangani ratusan perkara pengujian undang-undang, perselisihan hasil pemilihan umum, dan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah dengan proses persidangan yang efektif, tepat waktu, dan menghasilkan berbagai putusan penting yang menjadi tonggak penguatan demokrasi dan perlindungan hak konstitusional warga negara.

    Mahkamah Agung RI secara serius dan berkelanjutan melakukan reformasi peradilan, modernisasi manajemen perkara, penyelesaian sengketa perdata secara cepat dan berorientasi perdamaian, serta penanganan perkara pidana dengan pendekatan restorative justice.

    Dengan sistem peradilan elektronik atau e-court di Mahkamah Agung, jumlah perkara yang didaftarkan di pengadilan tingkat pertama meningkat 30,84 persen dari tahun sebelumnya; penyelesaian sengketa perdata dengan nilai gugatan di bawah 500 juta rupiah meningkat 68 persen; dan tingkat keberhasilan penyelesaian sengketa melalui mediasi meningkat 28 persen.

    Capaian ini adalah bukti nyata kerja keras Mahkamah Agung untuk mewujudkan peradilan yang modern, cepat, berbiaya ringan, dan berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

    Komisi Yudisial RI memainkan peran strategis dalam kesejahteraan rakyat dan kemajuan Indonesia yaitu dengan menjaga integritas hakim dan meningkatkan kepercayaan publik terhadap integritas hakim.

    Sepanjang tahun 2024 sampai dengan periode Juli 2025, Komisi Yudisial telah melaksanakan seleksi calon Hakim Agung dan ad hoc yang menghasilkan sebanyak sembilan orang calon Hakim Agung dan tiga orang calon hakim ad hoc di Mahkamah Agung.

    Komisi Yudisial RI juga telah menerima 3.752 laporan masyarakat terkait dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, dan mengusulkan penjatuhan sanksi kepada 116 orang hakim.

    Selain itu, saya juga mengucapkan terima kasih kepada Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, Lembaga Penjamin Simpanan, Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, Ombudsman RI, Komnas HAM, dan lembaga-lembaga nasional lainnya yang telah berkontribusi untuk kemajuan bangsa sesuai peran dan kewenangannya.

    Terakhir, saya juga mau gunakan kesempatan ini untuk mengucapkan terima kasih kepada setiap pengusaha nasionalis yang telah membuka lapangan kerja di Indonesia, menanamkan modal di Indonesia, dan menyimpan hasil usahanya di Indonesia.

    Jangan salah, tidak semua pengusaha yang besar itu ikut dalam alam mazhab serakahnomics. Justru sebagian besar kita ajak untuk membangun Indonesia bersama. Saya sampaikan ke mereka, mereka harus menjadi bagian dari Indonesia incorporated. Indonesia incorporated adalah konsep pembangunan ekonomi, di mana semua stakeholder, semua pemain bergerak dalam satu kesatuan tim nasional. Yang kuat, yang besar punya peranan. Yang menengah punya peranan, yang kecil punya peranan kita bantu, yang miskin kita berdayakan, itu namanya Indonesia incorporated.

    Saya sampaikan kalau kita hilangkan kemiskinan kalau orang yang berada di bawah garis kemiskinan punya uang punya penghasilan mereka punya daya beli, mereka akan beli barang-barang dari pabrik-pabrik yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan besar itu yang kita namakan suatu ekonomi mata rantai yang saling memperkuat bukan saling menghancurkan.

    Saudara-saudara sekalian,
    Saya percaya dan saya yakin bahwa dengan kita bersatu, dengan kita bergotong-royong, dengan kita mencapai demokrasi sesuai dengan budaya kita, ekonomi sesuai dengan rancang bangun pendiri-pendiri bangsa kita, insyaallah Indonesia akan semakin kuat, semakin sejahtera.

    Kita memilih beberapa tonggak sebagai tema kita bersatu berdaulat rakyat sejahtera. Rakyat harus sejahtera kalau rakyat tidak sejahtera saya katakan kita gagal sebagai negara merdeka. Kita akan berhasil sebagai negara merdeka kalau rakyat kita sejahtera. Karena itu, marilah kita bekerja sama, kita berbeda-beda boleh tapi satu tujuan kita. Silakan yang berada di luar pemerintah tidak ada masalah terima kasih kita butuh koreksi, kita butuh pengawasan, kita butuh kritik walaupun kadang kritik itu menyesakkan juga ya. Tapi, tidak ada masalah, jangan berhenti kritik

    Saya juga minta dari koalisi kita tetap di dalam koalisi harus berani mengawasi harus berani koreksi. Tidak boleh ada yang merasa lebih kuat dari hukum, tidak boleh ada yang merasa tidak dapat diatur, tidak dapat diperiksa.

    Saya kira itu yang ingin saya sampaikan. Terima kasih Sidang Majelis yang terhormat. Dirgahayu Republik Indonesia ke-80. Mungkin inilah tandanya bahwa demokrasi kita kuat karena saya adalah Presiden ke-8 Republik Indonesia yang akan memimpin perayaan Hari Kemerdekaan yang kedelapan dasawarsa.

    Memang ditakdirkan untuk jadi Presiden ke-8. Dan saya adalah bukti bahwa demokrasi kita berjalan karena saya ikut pemilu lima kali. Alhamdulillah, empat kali kalah, tapi hari ini saya berdiri di depan majelis ini.

    Terima kasih, terima kasih saudara-saudara sekalian.

    Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

    Pewarta: Mentari Dwi Gayati
    Editor: Didik Kusbiantoro
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Ombudsman Usul Pengecer Dibantu jadi Pangkalan LPG, Ini Alasannya – Page 3

    Ombudsman Usul Pengecer Dibantu jadi Pangkalan LPG, Ini Alasannya – Page 3

    Sebelumnya, Ketua Ombudsman Republik Indonesia, Mokhammad Najih, menyayangkan lambatnya proses pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Ombudsman di DPR.

    Meskipun masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) periode 2024–2029, RUU Ombudsman masih berada di urutan yang rendah, yakni di atas angka seratusan.

    Hal ini mengindikasikan urgensi perubahan undang-undang tersebut belum menjadi prioritas. Najih mengungkapkan, fenomena ini bukan kali pertama terjadi.

    Pada periode sebelumnya, RUU Ombudsman pernah berada di posisi 108, kemudian naik ke angka 35, lalu ke 18, bahkan sempat masuk ke 10 besar prioritas. Sayangnya, perubahan undang-undang itu tetap belum berhasil disahkan hingga masa bakti DPR berakhir.

    “Untuk periode DPR sekarang 2024-2029, RUU ombudsman masuk prioritas, tapi masih di urutan angka seratusan. Angka di atas seratusan, dan ini memang mengulang sejarah sebelumnya dari angka 108 ke angka 35, kemudian ke angka 18, kemudian di akhir periode hampir masuk ke 10 besar prioritas,” kata Najih saat ditemui di Kantor Ombudsman, Jakarta, Jumat (11/7/2025). Ia juga menambahkan bahwa dalam proses legislasi, kontinuitas pembahasan harus dijaga agar tidak selalu dimulai dari awal.

    Menurut Najih, masuknya kembali RUU ini di posisi rendah pada DPR periode baru menunjukkan belum adanya komitmen konkret dari para legislator untuk memperkuat Ombudsman. Ia menegaskan pentingnya dorongan bersama agar pembahasan RUU tidak berulang dari nol dan dapat langsung dilanjutkan.

    “Jadi, sekarang ini masih kita istilahnya berangkat dari nol kembali begitu karena DPR-nya baru. Ini yang kita sayangkan gitu. Kita mendorong supaya tidak perlu ada berangkat dari nol karena sudah pernah dibahas di Paripurna maupun di Baleg,” ujarnya.

     

  • RI Segera Punya UU Khusus Ekonomi Syariah

    RI Segera Punya UU Khusus Ekonomi Syariah

    Jakarta

    Pemerintah RI tengah mempersiapkan Undang-Undang (UU) khusus untuk mendukung pengembangan ekonomi syariah. Wakil Presiden ke-13 RI KH Ma’ruf Amin mengungkapkan bahwa pembentukan UU Ekonomi Syariah telah masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
    Ma’ruf menilai regulasi ini penting untuk memperkuat ekosistem ekonomi syariah di Indonesia, mengingat mayoritas penduduk Indonesia merupakan muslim dan potensinya sangat besar.

    “Undang-Undang Ekonomi Syariah saat ini sedang digodok di DPR,” ujar Ma’ruf Amin saat ditemui di Universitas Paramadina, Trinity Tower, Jakarta Selatan, Selasa (5/8/2025).

    Ma’ruf menyampaikan bahwa dalam UU tersebut juga akan diatur pembentukan badan khusus yang menangani persoalan ekonomi dan keuangan syariah. Badan ini merupakan transformasi dari Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) yang sebelumnya berbentuk struktural.

    “Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah itu bentuknya struktural, terdiri dari presiden, menteri, dan unsur pemerintah lainnya. Agar lebih optimal dan bisa melibatkan unsur masyarakat lebih luas, maka dilakukan transformasi menjadi badan,” terangnya.

    Ma’ruf berharap badan baru tersebut bisa terbentuk pada bulan Agustus ini, meski proses pembentukan UU masih berjalan di DPR. Menurutnya, UU Ekonomi Syariah akan menjadi dasar hukum untuk seluruh kegiatan ekonomi syariah, termasuk kelembagaannya.

    “Kita tunggu saja. Kita harapkan Agustus ini badan tersebut bisa terbentuk. Tapi untuk undang-undangnya memang masih dalam proses di DPR. Itu nanti yang akan menjadi dasar dari semua kegiatan syariah, termasuk kelembagaannya,” ujar Ma’ruf.

    Sementara itu, Ekonom Senior Indef Didik Rachbini turut mengonfirmasi bahwa UU Ekonomi Syariah memang tengah dibahas di DPR. Ia menyebut informasi itu berasal langsung dari Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun.

    “Saya mendengar dari Mas Misbakhun, bahwa Undang-Undang Syariah sudah masuk Prolegnas. Nah kita dorong terus, kita tempel Pak Misbahun supaya ini berjalan dengan cepat ya,” kata Didik.

    Tonton juga Video Gibran: Indonesia Bisa Jadi Kekuatan Ekonomi Dunia Lewat Industri Halal

    (shc/rrd)

  • RUU Perampasan Aset Masuk Prolegnas 2025–2029, DPR Siap Ambil Alih Inisiasi

    RUU Perampasan Aset Masuk Prolegnas 2025–2029, DPR Siap Ambil Alih Inisiasi

    JAKARTA – Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas menyebutkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan mengambil alih inisiasi Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset.

    Dia mengatakan saat menjadi inisiasi pemerintah, RUU tersebut hingga kini belum juga selesai dibahas.

    “Tapi kalau DPR yang ambil alih, maka bagus dong, berarti DPR sudah sudah berkeinginan untuk menyelesaikan itu,” ucap Supratman dalam wawancara khusus dengan ANTARA dikutip Selasa 5 Agustus.

    Untuk itu, dirinya menegaskan agar seluruh pihak bisa menunggu hasil evaluasi program legislasi nasional (prolegnas). Adapun RUU Perampasan Aset sudah masuk dalam Prolegnas Tahun 2025-2029.

    Apabila setelah dievaluasi DPR ingin menginisiasi RUU Perampasan Aset dan ingin memasukkannya ke dalam Prolegnas Prioritas 2026, maka Menkum tidak akan mempermasalahkannya.

    Dikatakan bahwa Prolegnas Prioritas 2026 nantinya akan disahkan sebelum Rancangan Undang-Undang (RUU) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026 disahkan.

    “Kalau DPR yang mengambil inisiasinya berarti entah nanti draf pemerintah yang kami kasih atau mereka lakukan drafting kembali. Tapi itu buat saya tidak penting,” ungkapnya.

    Pemerintah, kata Supratman, sudah menyelesaikan konsep RUU Perampasan Aset, sehingga tinggal menunggu langkah selanjutnya dari DPR karena masih terdapat konsolidasi di parlemen.

    Sejauh ini, dijelaskan ia bahwa Presiden Prabowo Subianto juga telah bertemu dengan para ketua umum partai politik guna membahas RUU Perampasan Aset.

    Sebelumnya, Anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil mengatakan bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perampasan Aset tidak akan sulit untuk dijadikan sebagai RUU prioritas tahunan.

    Dia menjelaskan bahwa DPR RI memiliki mekanisme jika suatu RUU yang sebelumnya tidak masuk dalam prioritas tahunan, kemudian bisa menjadi prioritas jika disetujui fraksi-fraksi dan diputuskan dalam Rapat Paripurna.

    Saat ini, menurut dia, RUU Perampasan Aset belum masuk prioritas 2025 karena termasuk dalam RUU jangka menengah

    “Itu dimasukkan dalam program legislasi lima tahunan, tapi itu bukan berarti istilahnya diabaikan,” kata Nasir dalam diskusi daring yang dipantau dari Jakarta, Kamis (12/6).

  • Menkum Sebut DPR Akan Ambil Alih Inisiasi RUU Perampasan Aset

    Menkum Sebut DPR Akan Ambil Alih Inisiasi RUU Perampasan Aset

    Jakarta, Beritasatu.com – Menteri Hukum (Menkum) Andi Agtas menyampaikan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berencana mengambil alih inisiatif pembahasan rancangan undang-undang (RUU) Perampasan Aset, yang sebelumnya diinisiasi oleh pemerintah.

    Menurut Supratman, hingga kini pembahasan RUU tersebut belum mengalami kemajuan berarti di tangan pemerintah. Oleh karena itu, jika DPR mengambil alih maka dinilai sebagai langkah positif.

    “Kalau DPR yang menginisiasi, itu justru bagus karena berarti ada niat kuat dari parlemen untuk menuntaskan pembahasan,” ujar Supratman di Jakarta, Senin (5/8/2025).

    Dia meminta semua pihak sebaiknya menunggu hasil evaluasi program legislasi nasional (Prolegnas). Saat ini, RUU Perampasan Aset telah tercantum dalam prolegnas periode 2025–2029.

    Apabila nantinya DPR memutuskan untuk mengusulkan RUU tersebut sebagai bagian dari prolegnas prioritas Tahun 2026, Supratman menyatakan tidak akan mempermasalahkan langkah tersebut.

    Ia menjelaskan bahwa prolegnas prioritas 2026 akan disahkan lebih dahulu sebelum pengesahan RUU Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026.

    “Kalau DPR yang mengambil inisiatif, bisa saja mereka menggunakan draf yang sudah disiapkan pemerintah, atau menyusun ulang dari awal tetapi bagi saya itu bukan hal yang utama,” tegasnya.

    Menurut Supratman pemerintah sebenarnya telah menyelesaikan konsep RUU Perampasan Aset. Kini tinggal menanti langkah lanjut dari DPR, mengingat masih ada proses konsolidasi internal di parlemen.

    Ia juga menyebutkan Presiden Prabowo Subianto telah mengadakan pertemuan dengan sejumlah ketua umum partai politik untuk membahas arah pembahasan RUU tersebut.

  • Membongkar Realitas Legislasi

    Membongkar Realitas Legislasi

    BANYAK masyarakat yang berasumsi bahwa dengan menjadi anggota Dewan Perwakilan GELORA.CO -BANYAK masyarakat yang berasumsi bahwa dengan menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), seseorang memiliki kekuasaan penuh untuk memperjuangkan kepentingan rakyat melalui pembentukan undang-undang. Namun, realitas politik dan mekanisme kelembagaan menunjukkan sebaliknya. Tulisan dari seorang mantan anggota DPR RI mengungkapkan bagaimana sistem yang berlaku saat ini telah mematikan idealisme wakil rakyat sejak awal proses legislasi.

    Tahapan yang Membungkam Idealisme

    Tulisan ini memaparkan secara rinci bagaimana seorang anggota DPR yang idealis harus menghadapi rangkaian hambatan struktural:

    Pertama, Restu Fraksi sebagai Syarat Mutlak. Meskipun dipilih langsung oleh rakyat, seorang anggota DPR secara formal adalah representasi partai politik. Setiap inisiatif legislasi harus memperoleh restu fraksi. Tanpa persetujuan fraksi, usulan RUU akan gugur sebelum sempat dipertimbangkan. Lebih jauh, keberanian melawan keputusan partai dapat berujung pada PAW (Pergantian Antar Waktu), karena kursi anggota DPR secara hukum dianggap milik partai, bukan milik individu.

    Kedua, Seleksi di Badan Legislasi (Baleg). Apabila fraksi menyetujui, langkah berikutnya adalah menyampaikan usulan ke Badan Legislasi DPR (Baleg). Namun, proses penilaian tidak didasarkan pada urgensi bagi rakyat atau kebutuhan hukum nasional, melainkan pada kepentingan partai, kesesuaian dengan program fraksi, dan minimnya potensi konflik politik. Di tahap ini, banyak RUU rakyat sering kali gugur karena tidak sesuai dengan agenda politik partai.

    Ketiga, Hambatan Masuk ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Prolegnas merupakan daftar RUU prioritas yang akan dibahas dalam satu periode DPR. Tanpa masuk ke daftar ini, pembahasan RUU tidak dapat dilakukan. Ribuan naskah usulan sering kali hanya berakhir sebagai dokumen digital tanpa tindak lanjut karena gagal masuk Prolegnas.

    Keempat, Pembahasan di Komisi dan Panitia Kerja (Panja). Jika berhasil masuk Prolegnas, pembahasan RUU dilanjutkan di tingkat komisi dan panitia kerja. Namun, pembahasan ini bukan arena idealisme, melainkan arena lobi, tarik-ulur kepentingan, dan revisi redaksional. Kepentingan sponsor, oligarki, dan investor kerap menjadi faktor penentu dalam menghapus atau menambahkan pasal tertentu.

    Kelima, Rapat Paripurna: Formalitas yang Sudah Diatur. Pada tahap akhir, meski seorang anggota DPR mempresentasikan RUU dengan argumentasi akademis, moral, dan pro-rakyat, hasil voting telah ditentukan sejak awal melalui instruksi fraksi. Keputusan kolektif bukanlah hasil deliberasi rasional, melainkan kepatuhan pada garis partai.

    Keenam, Minimnya Keterlibatan Publik. Proses legislasi berjalan tanpa partisipasi rakyat yang sesungguhnya. Akses publik terhadap dokumen resmi sangat terbatas, dan pembahasan dilakukan dengan bahasa hukum yang sulit dipahami masyarakat awam. Akibatnya, transparansi dan akuntabilitas menjadi semu.

    DPR dan MPR: Dari Perwakilan Rakyat ke Perwakilan Partai

    Tulisan ini mengkritik keras bagaimana DPR telah berubah fungsi menjadi Dewan Perwakilan Partai (DPP), dan MPR menjadi Majelis Permusyawaratan Partai (MPP). Kondisi ini terjadi akibat perubahan konstitusi pasca-reformasi yang menggeser orientasi lembaga legislatif dari kepentingan rakyat ke kepentingan partai.

    Situasi ini menunjukkan bahwa sistem politik Indonesia menghadapi krisis representasi. Pemilu hanya menjadi ritual legitimasi, sementara kebijakan publik tetap dikendalikan oleh elite partai dan kelompok kepentingan tertentu. Reformasi konstitusi yang memulihkan kembali peran rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi menjadi urgensi nasional.

    Tulisan ini tidak sekadar keluhan pribadi seorang mantan anggota DPR, tetapi menjadi refleksi kritis tentang rapuhnya demokrasi perwakilan di Indonesia. Ketika parlemen gagal menjadi institusi rakyat, maka gagasan untuk mengembalikan fungsi konstitusi sesuai amanat UUD 1945 yang asli harus menjadi agenda besar bangsa. Wallahu’alam bissawab. 

    *(Penulis adalah Purnawirawan TNI AL, pemerhati kebangsaan)

  • PKS: MPR Tak Perlu Turun Gunung Sikapi Putusan MK soal Pemisahan Pemilu
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        31 Juli 2025

    PKS: MPR Tak Perlu Turun Gunung Sikapi Putusan MK soal Pemisahan Pemilu Nasional 31 Juli 2025

    PKS: MPR Tak Perlu Turun Gunung Sikapi Putusan MK soal Pemisahan Pemilu
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Ketua Majelis Pertimbangan Pusat PKS Mulyanto menilai MPR tidak perlu ikut turun tangan menyikapi polemik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait
    pemisahan pemilu
    serentak nasional dan pemilu serentak lokal.
    Menurut Mulyanto, keterlibatan MPR dalam menafsirkan
    putusan MK
    justru dapat menimbulkan persoalan baru, yakni potensi terjadinya dualisme tafsir antarlembaga tinggi negara, yang pada akhirnya bisa menciptakan ketidakpastian hukum.
    “MPR RI tidak perlu turun gunung terkait perkara ini. Biarkan DPR dan Pemerintah membahas soal ini dalam kapasitas sebagai pembentuk UU,” kata Mulyanto dalam keterangannya, Kamis (31/7/2025).
    “Kita khawatir kalau MPR ikut membahas masalah ini maka dapat menimbulkan masalah baru, yakni dualitas tafsir antarlembaga tinggi negara, yakni antara MK dengan MPR RI, yang dapat berkembang dan memicu ketidakpastian hukum,” tambahnya.
    Mulyanto menegaskan bahwa secara konstitusional, kewenangan untuk menafsirkan Undang-Undang Dasar 1945 secara otoritatif berada di tangan MK, sebagaimana diatur dalam Pasal 24C UUD 1945.
    Karena itu, putusan MK bersifat final dan mengikat.
    “Hal tersebut dapat juga dipandang sebagai intervensi politik (MPR RI) terhadap kekuasaan kehakiman (MK), dan ini berpotensi melanggar prinsip pemisahan kekuasaan, yang sangat kita jaga,” tegas anggota DPR periode 2019-2024 itu.
    Putusan MK
    Nomor 135/PUU-XXII/2024 sebelumnya menuai polemik karena mengubah format pemilu serentak menjadi dua bagian: pemilu nasional (presiden, DPR, dan DPD) dan pemilu lokal (kepala daerah dan DPRD).
    Sebagian pihak menilai MK telah bertindak sebagai
    positive legislator
    karena dinilai membentuk norma baru, bukan sekadar menguji konstitusionalitas undang-undang.
    Mulyanto menyarankan agar pembahasan teknis terhadap dampak putusan tersebut dilakukan oleh pembentuk undang-undang, yakni DPR bersama pemerintah.

    Apalagi, saat ini Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu dan RUU Pilkada telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025.
    “Pimpinan lembaga tinggi perlu menghayati betul soal ini dan membahas serta mencari solusinya secara teknis di tingkat pembentuk UU, yakni DPR RI dan Pemerintah,” ungkapnya.
    Ia juga mengingatkan bahwa persoalan pemilu bukan hanya soal teknis pelaksanaan, tetapi juga menyangkut kualitas demokrasi secara keseluruhan.
    Karena itu, menurutnya, dibutuhkan sikap kenegarawanan dalam menyusun aturan main politik ke depan.
    “Jangan sampai demokrasi kita jalan di tempat, karena pemilu yang ruwet dengan politik uang dan menghasilkan pemimpin yang cenderung populis serta menomorduakan kompetensi,” ujar dia.
    “Hampir tiga puluh tahun Reformasi, namun masih dirasakan di sana-sini ketidakpuasan terhadap kualitas demokrasi kita. Kita membutuhkan banyak negarawan dalam pembentukan UU ini,” sambungnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • DPR: Evaluasi MK Bagian dari Pengawasan, Bukan Cawe-Cawe – Page 3

    DPR: Evaluasi MK Bagian dari Pengawasan, Bukan Cawe-Cawe – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Anggota Komisi III DPR RI Hinca Panjaitan menegaskan tidak ada jadwal pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) yang bergulir di parlemen imbas terjadinya polemik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu daerah.

    Sebab, kata dia, revisi UU MK tidak masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas tahunan DPR RI.

    “Kalau revisi Undang-Undang MK itu sampai hari ini kan masih tetap Undang-Undang MK-nya, di dalam prolegnas juga enggak ada, tidak ada jadwal untuk mengubah MK itu karena harus ada di prolegnas atau putusan Mahkamah Konstitusi sendiri untuk diajukan. Sampai kemarin belum ada,” kata Hinca di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin.

    Meski demikian, dia menekankan bahwa DPR RI memiliki kewenangan fungsi pengawasan untuk dapat melakukan evaluasi terhadap MK agar tugas, pokok, dan fungsi yang dijalankannya tidak keluar dari konstitusi.

    “Yang kami lakukan adalah dalam konteks ketatanegaraan kita agar semua lembaga yang dibentuk di republik ini, baik karena konstitusi maupun undang-undang, setia lah dia pada tupoksi-nya, setia lah dia pada jabatan dan fungsinya,” ucapnya.

    Untuk itu, dia menepis apabila ada evaluasi yang dilakukan Komisi III DPR RI terhadap kinerja MK sebagai bentuk cawe-cawe.

    “Kalau kemudian MK lari atau keluar dari fungsinya, siapa yang ngawasi dia? Kan enggak boleh, setiap lembaga harus ada yang mengawasinya, setidak-tidaknya dirinya. Nah, ketika dirinya enggak lagi bisa ngawasinya, maka masyarakat lah yang mengawasinya. Nah, masyarakat mengawasinya siapa? Wakilnya adalah DPR, itu lah yang mewakili masyarakat,” tuturnya.

    Dia lantas berkata, “Karena itu kami bersuara, suara kami ini adalah suara kita semua agar MK setia lah pada jalurnya on the track itu.”

    Dia pun menilai evaluasi yang dilakukan DPR tak melulu harus dikonotasikan negatif, tetapi dapat pula dipandang sebagai jalan keluar sekaligus pengingat apabila terdapat kesalahan yang dilakukan oleh lembaga negara.

    “Ketika ada yang salah dievaluasi, itu jalan keluarnya itu keniscayaan. Jadi kalau kami bersuara keras untuk mengingatkan MK, nah itu fungsi kami untuk mengingatkan itu. Tidak berarti kami di atasnya MK, tapi semua kita saling mengingatkan lah,” ujarnya.

    Dia kemudian melanjutkan, “Apakah DPR akan bereaksi? Sudah bereaksi. Kami akan ingatkan ini agar (MK) tetap lah di jalurnya.”

     

    Pemerintah saat ini tengah membahas soal putusan Mahkamah Konstitusi yang memisahkan pelaksanaan pemilihan umum nasional dan daerah mulai 2029. Menurut Menkopolkam, Budi Gunawan, putusan itu akan membawa sejumlah dampak.

  • Anggota Komisi III tegaskan tak ada jadwal pembahasan revisi UU MK

    Anggota Komisi III tegaskan tak ada jadwal pembahasan revisi UU MK

    Jakarta (ANTARA) – Anggota Komisi III DPR RI Hinca Panjaitan menegaskan tidak ada jadwal pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) yang bergulir di parlemen imbas terjadinya polemik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu daerah.

    Sebab, kata dia, revisi UU MK tidak masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas tahunan DPR RI.

    “Kalau revisi Undang-Undang MK itu sampai hari ini kan masih tetap Undang-Undang MK-nya, di dalam prolegnas juga enggak ada, tidak ada jadwal untuk mengubah MK itu karena harus ada di prolegnas atau putusan Mahkamah Konstitusi sendiri untuk diajukan. Sampai kemarin belum ada,” kata Hinca di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin.

    Meski demikian, dia menekankan bahwa DPR RI memiliki kewenangan fungsi pengawasan untuk dapat melakukan evaluasi terhadap MK agar tugas, pokok, dan fungsi yang dijalankannya tidak keluar dari konstitusi.

    “Yang kami lakukan adalah dalam konteks ketatanegaraan kita agar semua lembaga yang dibentuk di republik ini, baik karena konstitusi maupun undang-undang, setia lah dia pada tupoksi-nya, setia lah dia pada jabatan dan fungsinya,” ucapnya.

    Untuk itu, dia menepis apabila ada evaluasi yang dilakukan Komisi III DPR RI terhadap kinerja MK sebagai bentuk “cawe-cawe”.

    “Kalau kemudian MK lari atau keluar dari fungsinya, siapa yang ngawasi dia? Kan enggak boleh, setiap lembaga harus ada yang mengawasinya, setidak-tidaknya dirinya. Nah, ketika dirinya enggak lagi bisa ngawasinya, maka masyarakat lah yang mengawasinya. Nah, masyarakat mengawasinya siapa? Wakilnya adalah DPR, itu lah yang mewakili masyarakat,” tuturnya.

    Dia lantas berkata, “Karena itu kami bersuara, suara kami ini adalah suara kita semua agar MK setia lah pada jalurnya on the track itu.”

    Dia pun menilai evaluasi yang dilakukan DPR tak melulu harus dikonotasikan negatif, tetapi dapat pula dipandang sebagai jalan keluar sekaligus pengingat apabila terdapat kesalahan yang dilakukan oleh lembaga negara.

    “Ketika ada yang salah dievaluasi, itu jalan keluarnya itu keniscayaan. Jadi kalau kami bersuara keras untuk mengingatkan MK, nah itu fungsi kami untuk mengingatkan itu. Tidak berarti kami di atasnya MK, tapi semua kita saling mengingatkan lah,” ujarnya.

    Dia kemudian melanjutkan, “Apakah DPR akan bereaksi? Sudah bereaksi. Kami akan ingatkan ini agar (MK) tetap lah di jalurnya.”

    Sebelumnya, Selasa (8/7), Wakil Ketua DPR RI Adies Kadir menegaskan bahwa DPR RI tidak akan menggulirkan pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) imbas terjadinya polemik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu daerah.

    Sebab, kata dia, pembahasan revisi UU MK telah digulirkan oleh DPR RI periode 2019-2024.

    “Undang-Undang MK tidak ada revisi. Kan itu sudah direvisi periode anggota DPR lima tahun yang lalu,” kata Adies di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.

    Dia menyebut pembahasan revisi UU MK yang bergulir kala itu telah sampai pada pengambilan persetujuan Tingkat I untuk dibawa ke paripurna guna disetujui menjadi undang-undang, namun revisi UU MK akhirnya menjadi RUU operan atau carry over untuk dibahas oleh DPR RI periode 2024-2029.

    “Itu sudah tinggal Rapat Paripurna Tingkat II saja, tinggal paripurna. Jadi kita tinggal tunggu saja, bamus (badan musyawarah), tapi sampai saat ini belum ada pembicaraan dari pimpinan, kalau ada kan dia di rapim (rapat pimpinan), kemudian dibamuskan, tapi belum ada terkait dengan (revisi UU MK), belum ada pembicaraan,” kata dia.

    Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
    Editor: Hisar Sitanggang
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • RUU Ketenagakerjaan 2025 Jadi Harapan Baru Pekerja Ojol – Page 3

    RUU Ketenagakerjaan 2025 Jadi Harapan Baru Pekerja Ojol – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Institute for Demographic and Affluence Studies (IDEAS) menilai langkah paling realistis untuk memperbaiki nasib pekerja ride hailing atau ojek online saat ini adalah dengan memasukkan klausul pekerja daring ke dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan Ketiga atas UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang saat ini sedang proses pembahasan di DPR RI.

    Pilihan ini dinilai lebih memungkinkan dibanding dua alternatif lainnya, yakni pembentukan undang-undang baru atau penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).

    Peneliti IDEAS Muhammad Anwar,pembentukan undang-undang baru sebagai payung hukum komprehensif memang ideal secara substansi. Namun prosesnya sangat panjang, melewati tahapan politik yang kompleks serta bergantung pada komitmen dan konsensus lintas fraksi di parlemen.

    “Persoalannya, isu pekerja digital atau transportasi daring tidak termasuk dalam Prolegnas Prioritas 2025, bahkan tidak masuk waiting list. Artinya, peluang politiknya saat ini sangat kecil,” ujar Anwar, dalam keterangan tertulisnya, Minggu (27/7/2025).

    Opsi kedua, yaitu mendorong Presiden mengeluarkan Perppu, juga dinilai sangat berat secara konstitusional. Meski Perppu memiliki keunggulan sebagai instrumen hukum lintas sektor dan respons cepat atas kondisi darurat hukum, syarat penerbitannya sangat ketat.

    Berdasarkan Pasal 22 UUD 1945 dan putusan Mahkamah Konstitusi, Perppu hanya bisa dikeluarkan jika terdapat kegentingan yang memaksa yang tak bisa diselesaikan melalui prosedur legislasi biasa.

    “Dalam praktik politik maupun tafsir MK, kekosongan hukum atau ketimpangan relasi saja belum cukup memenuhi syarat konstitusional kegentingan. Harus ada ancaman nyata terhadap kepentingan umum secara luas. Dalam konteks pekerja daring, pemerintah dan DPR cenderung belum melihatnya sebagai kondisi krisis nasional,” jelas Anwar.