Topik: Program Legislasi Nasional (Prolegnas)

  • Mensesneg: Ada kemungkinan status Kementerian BUMN turun menjadi badan

    Mensesneg: Ada kemungkinan status Kementerian BUMN turun menjadi badan

    Jakarta (ANTARA) – Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi mengatakan bahwa ada kemungkinan status Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) turun menjadi badan, seiring bergulirnya revisi undang-undang tentang perubahan keempat atas Undang-Undang BUMN di DPR RI.

    Sejauh ini, Prasetyo mengatakan bahwa fungsi operasional atas berbagai BUMN sudah lebih banyak dikerjakan Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara), sedangkan Kementerian BUMN saat ini lebih banyak sebagai regulator.

    “Ada kemungkinan kementeriannya mau kita turunkan statusnya menjadi badan. Ada kemungkinan seperti itu,” kata Prasetyo usai menghadiri rapat kerja komisi di kompleks parlemen, Jakarta, Selasa.

    Namun, kepastian perubahan nama atau status Kementerian BUMN itu menunggu pembahasan RUU yang dilakukan Komisi VI DPR RI.

    Prasetyo pun belum bisa menyebutkan secara pasti istilah lembaga tersebut nantinya.

    Menurut dia, RUU itu akan membahas opsi-opsi yang terbaik bagi Kementerian BUMN ke depannya, termasuk manajemen hingga nasib para pegawai aparatur sipil negara (ASN).

    “Kalau ada konsekuensi atau implikasi terhadap contoh tadi yang disebut, sekarang yang sudah berdinas di Kementerian BUMN itu bagian dari yang kita pikirkan nanti,” katanya.

    Mensesneg mengatakan bahwa pemerintah pun akan mendorong RUU BUMN itu tuntas sesegera mungkin.

    “Ya kita berharap lebih cepat, kalau bisa minggu ini selesai, minggu ini. Kalau bisa selesai sebelum reses, ya kita selesaikan,” katanya.

    Sebelumnya, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI telah tuntas mengevaluasi dan menyusun Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dan menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) Badan Usaha Milik Negara (BUMN) masuk Prolegnas Prioritas 2025

    Selain itu, Baleg DPR RI juga menyetujui RUU Daya Anagata Nusantara (Danantara) masuk Prolegnas Prioritas 2026.

    “Tahun 2026 ya (RUU Danantara),” kata Ketua Baleg DPR RI Bob Hasan di kompleks parlemen, Jakarta, Kamis (18/9).

    Meski sejumlah RUU menjadi prioritas pada 2025, menurut dia, beberapa RUU juga diluncurkan untuk dibahas pada 2026.

    Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
    Editor: Didik Kusbiantoro
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Ini Link Rapat Paripurna DPR, Sahkan APBN 2026 dan Calon Hakim Agung

    Ini Link Rapat Paripurna DPR, Sahkan APBN 2026 dan Calon Hakim Agung

    Bisnis.com, JAKARTA – DPR akan menggelar Rapat Paripurna pada hari ini Selasa (23/9/2025). Dalam jadwal acara, DPR bakal mengambil keputusan mengesahkan RUU APBN 2026 hingga penetapan calon hakim agung.

    Pengambilan keputusan terkait APBN 2026 dan calon hakim agung dilakukan di Ruang Rapat Paripurna, Gedung Nusantara II, pukul 10.00 WIB. 

    “Berdasarkan jadwal Acara Rapat DPR RI Masa Persidangan I Tahun Sidang 2025-2026, yang diputuskan dalam Rapat Konsultasi Pengganti Rapat Bamus antara Pimpinan DPR RI dengan Pimpinan Fraksi-Fraksi tanggal 22 September 2025, bersama ini kami beritahukan dengan hormat, bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia akan mengadakan Rapat Paripurna,” tulis surat yang diterima Bisnis, Selasa (23/9/2025).

    Dalam lampiran surat, anggota pria mengenakan pakaian sipil lengkap dan wanita menyesuaikan serta mengenakan lencana DPR RI.

    Jadwal Acara Rapat Paripurna APBN 2026:

    1. Pembicaraan tingkat II/pengambilan keputusan terhadap RUU APBN 2026.

    2. Laporan Badan Legislasi tentang perubahan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) RUU Tahun 2025-2029.

    3. Laporan Komisi III mengenai hasil uji kelayakan (fit and proper test) calon hakim agung dan hakim ad hoc HAM pada Mahkamah Agung.

    4. Laporan Komisi XI tentang hasil uji kelayakan calon anggota dewan komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

    5. Laporan Komisi XII mengenai hasil uji kelayakan calon ketua dan anggota komite Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) untuk masa jabatan 2025-2029.

    Rapat paripurna bisa disaksikan secara daring melalui link YouTube:

  • Baleg DPR RI soroti sejumlah perbaikan pada Undang-Undang Pemilu

    Baleg DPR RI soroti sejumlah perbaikan pada Undang-Undang Pemilu

    Pascaputusan Mahkamah Konstitusi tentang pemisahan Pemilu nasional dan lokal, hal itu secara tidak langsung meminta kepada kita bersama untuk mengkaji ulang pelaksanaannya

    Padang (ANTARA) – Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Ahmad Doli Kurnia menyatakan pihaknya masih menyoroti sejumlah hal yang mesti diperbaiki dalam Undang-Undang Pemilihan Umum (Pemilu) untuk dibahas pada Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2026.

    “Pascaputusan Mahkamah Konstitusi tentang pemisahan Pemilu nasional dan lokal, hal itu secara tidak langsung meminta kepada kita bersama untuk mengkaji ulang pelaksanaannya,” kata Wakil Ketua Baleg DPR RI Ahmad Doli Kurnia di Padang, Senin.

    Hal tersebut disampaikan Wakil Ketua Baleg dalam diskusi bertajuk Desain Penegakan Hukum Pemilu dalam Kodifikasi RUU Pemilu yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas.

    Doli yang juga anggota Komisi II tersebut memiliki pandangan yang sama dengan Mahkamah Konstitusi bahwa Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, legislatif hingga pemilihan kepala daerah dilakukan secara terpisah.

    Namun, pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024 juga perlu kajian mendalam agar implementasinya melahirkan kualitas demokrasi yang lebih baik dari sebelumnya.

    Dalam diskusi tersebut, Doli turut menyinggung upaya menghilangkan praktik-praktik buruk pesta demokrasi lima tahunan seperti politik uang, kampanye hitam, politik transaksional dan lain sebagainya. Semua itu harus dibahas atau diatur secara tegas dalam RUU Pemilu.

    Selain itu, penerapan sistem digital atau elektronisasi dalam pemilu saat ini juga perlu dibahas lebih detail agar memiliki payung hukum yang jelas, sebab selama ini instrumen Sistem Informasi Rekapitulasi Pemilu (Sirekap) tidak tercantum dalam Undang-Undang Pemilu.

    “Makanya Sirekap itu kan jadi kebijakan yang gantung. Dia (Sirekap) perlu tapi tidak ada payung hukumnya,” ujar dia.

    Tidak hanya itu, RUU Pemilu juga harus membahas tentang penguatan fungsi dan kewenangan lembaga penyelenggara Pemilu, baik Komisi Pemilihan Umum (KPU), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP) maupun Bawaslu.

    “Penguatan ini supaya penyelenggara pemilu diisi orang yang punya integritas, independen, cakap serta punya kapasitas untuk mengurus pemilu,” ujar dia.

    Yang tidak kalah penting ialah mendorong pembentukan lembaga peradilan khusus pemilu saat RUU Pemilu dibahas pada 2026, serta mengkaji terkait mahalnya biaya penyelenggaraan Pilkada.

    Pewarta: Muhammad Zulfikar
    Editor: Edy M Yakub
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Baleg jelaskan isu krusial dalam pembahasan RUU Pemilu

    Baleg jelaskan isu krusial dalam pembahasan RUU Pemilu

    Padang (ANTARA) – Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Ahmad Doli Kurnia menjelaskan sejumlah isu krusial terkait pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu yang masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2026.

    “Ada beberapa isu klasik yang mesti segera dibahas dalam RUU Pemilu ini,” kata Wakil Ketua Baleg DPR RI Ahmad Doli Kurnia di Padang, Senin.

    Hal tersebut disampaikan Wakil Ketua Baleg dalam diskusi bertajuk Desain Penegakan Hukum Pemilu dalam Kodifikasi RUU Pemilu yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas.

    Pertama, kata Doli, publik kerap membahas tentang sistem pemilu itu sendiri dimana saat ini Indonesia menerapkan sistem proporsional terbuka. Sistem pemilu dinilai penting dibahas pada RUU Pemilu untuk mendapatkan wakil rakyat serta demokrasi yang berkualitas.

    Doli mengatakan saat ini pihak-pihak terkait dalam tahap pembahasan penerapan sistem campuran atau menggabungkan antara proporsional terbuka dan tertutup. Kajian ini ditujukan untuk mendapatkan kualitas demokrasi yang jauh lebih baik dari sebelumnya.

    Isu kedua berkaitan dengan presidential threshold maupun ambang batas parlemen (parliamentary threshold). Meskipun Mahkamah Konstitusi sudah menghapuskan ambang batas presidential threshold, pihaknya memandang hal itu tetap perlu dikaji lebih jauh.

    Sebab, perintah Mahkamah Konstitusi secara implisit meminta kepada pembuat undang-undang untuk melakukan rekayasa konstitusi supaya calon presiden tidak banyak dan juga tidak sedikit.

    Begitu juga dengan ambang batas parlemen dimana Mahkamah Konstitusi juga meminta pembuat undang-undang merumuskan ulang secara implisit di bawah empat persen.

    Kemudian, RUU Pemilu juga penting membahas tentang besaran kursi per daerah pemilihan. Hal ini untuk menjawab bagaimana masyarakat mengetahui sosok yang akan dipilih pada hari pencoblosan.

    “Jadi dalam proses pencalonan itu dimungkinkan pemilih lebih mudah mengenal calon-calonnya sehingga besaran per daerah pemilihan kita persempit,” jelas dia.

    Terakhir, anggota Komisi II DPR RI tersebut mengatakan RUU Pemilu juga penting membahas metodologi penghitungan konversi suara ke kursi. Secara umum, RUU Pemilu sudah digaungkan sejak awal 2025. Namun, seiring berjalannya waktu tidak ada alat kelengkapan dewan (AKD) yang mengusulkan pembahasan RUU tersebut sehingga Baleg berinisiatif mengusulkan ulang dan masuk pada Prolegnas Prioritas 2026.

    Pewarta: Muhammad Zulfikar
    Editor: Hisar Sitanggang
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Formappi: Revisi UU Polri harus didahului evaluasi menyeluruh

    Formappi: Revisi UU Polri harus didahului evaluasi menyeluruh

    Jakarta (ANTARA) – Peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus meminta agar pembahasan revisi terhadap Undang-Undang (UU) tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) di DPR harus didahului dengan evaluasi secara menyeluruh terhadap institusi Korps Bhayangkara tersebut.

    Evaluasi itu, kata dia, perlu meninjau pelaksanaan UU Polri yang selama ini telah dilakukan. Menurut dia, publik pun menuntut agar kepolisian ke depannya lebih mengedepankan nilai-nilai sipil, berbudaya terbuka, dan tidak lagi menggunakan kekerasan.

    “Yang harus ditunjukkan DPR adalah keseriusan menjalani proses pembentukan legislasi yang benar dengan membuka ruang partisipasi publik yang bermakna,” kata Lucius saat dihubungi di Jakarta, Minggu.

    Dia pun memahami bahwa DPR dan Pemerintah ingin menunjukkan keseriusan dalam menjawab tuntutan publik dengan memasukkan RUU Polri ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025. Namun, dia tidak yakin bahwa RUU Polri akan serta merta selesai tahun ini.

    Menurut dia, RUU Polri merupakan ranah dari Komisi III DPR RI yang saat ini tengah menyelesaikan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dengan begitu, komisi tersebut masih memiliki beban yang berat.

    “Saya kira kalau mau realistis revisi UU Kepolisian dimasukkan dalam daftar RUU Prioritas 2026 saja,” kata dia.

    Di sisi lain, dia pun meminta agar DPR tidak terburu-buru dalam membahas RUU Polri. Pasalnya, dia menilai, RUU yang dibahas dengan cepat akan berpengaruh terhadap kualitas yang dihasilkan.

    “Seperti dalam memutuskan revisi UU Kepolisian masuk daftar Prolegnas 2025 tentu akan mengancam kualitas RUU untuk membangun institusi kepolisian sesuai dengan harapan publik,” kata dia.

    Sebelumnya, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI setuju menambah 12 Rancangan Undang-Undang (RUU) untuk masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025, termasuk RUU tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).

    “Kami meminta persetujuan rapat apakah hasil evaluasi perubahan kedua RUU pada Prolegnas prioritas 2025 dan penyusunan Prolegnas RUU prioritas 2025 dapat diproses lebih lanjut sesuai peraturan perundang-undangan?” kata Ketua Baleg DPR RI Bob Hasan di kompleks parlemen, Jakarta, Kamis (18/9).

    Dengan penambahan itu, kini ada sebanyak 52 RUU yang masuk ke dalam prioritas untuk dibahas di sisa waktu tahun ini.

    Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
    Editor: Tasrief Tarmizi
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • DPR Usulkan Tax Amnesty Lagi, Menkeu Purbaya: Jadi Insentif buat Orang Bohong

    DPR Usulkan Tax Amnesty Lagi, Menkeu Purbaya: Jadi Insentif buat Orang Bohong

    Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menilai rencana untuk kembali melaksanakan program pengampunan pajak atau tax amnesty hanya akan memberikan insentif bagi wajib pajak (WP) yang suka berbohong. 

    Untuk diketahui, Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025. RUU itu merupakan usulan dari Komisi XI DPR. 

    Usai rapat dengan Presiden Prabowo Subianto, Jumat (19/9/2025), Purbaya mengatakan bahwa sebagai ekonom, dia memandang program itu bukan kebijakan yang tepat untuk memungut kewajiban pajak dan justru tidak memberikan sinyal yang bagus. Namun, dia tidak meyakini bisa menolak usulan tersebut. 

    “Saya lihat perkembangannya seperti apa. Cuma begini, kalau dua tahun ada tax amnesty, itu akan memberi insentif kepada orang-orang untuk kibul-kibul. Karena dia akan pikir, dua tahun lagi ada tax amnesty lagi,” jelasnya di Istana Kepresidenan, Jakarta, dikutip Sabtu (20/9/2025). 

    Namun demikian, Purbaya menyebut akan tetap memelajari proposal yang bakal diajukan menjadi rancangan UU. Dia mengatakan bahwa hal yang tepat dilakukan adalah dengan menjalankan program pemungutan pajak yang tepat, dan menerapkan sanksi bagi yang tidak mematuhinya. 

    “Tapi kita jangan meres gitu. Jadi harus perlakuan yang baik terhadap pembayar pajak. Dan kalau udah punya duit, ya dibelanjain kira-kira gitu,” ujarnya. 

    Sebelumnya, di kantor Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Purbaya juga sudah buka suara tentang sikapnya terhadap rancangan UU tersebut. Dia menilai program tax amnesty yang sudah dua kali sebelumnya dilakukan justru memberikan sinyal yang buruk bagi perekonomian. 

    “Semuanya, kan message-nya adalah, ‘Kibulin aja pajaknya, nanti kita tunggu dekat amnesti. Pemutihannya di situ.’ Itu yang enggak boleh,” terangnya kepada wartawan. 

    Adapun DPR dan pemerintah menyepakati RUU Tax Amnesty masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025. Berdasarkan Daftar Rancangan Undang-Undang Perubahan Kedua pada Prolegnas Prioritas Tahun 2025, terdapat 52 RUU yang masuk ke Prolegnas Prioritas tahun ini. Kemudian, ada juga 5 buah RUU Kumulatif Terbuka.

    Sementara itu, ada 67 buah RUU yang masuk Prolegnas Prioritas 2026 dan 5 RUU Kumulatif Terbuka.

    RUU Tax Amnesty menjadi usulan dari Komisi XI DPR, yang membidangi Keuangan. “Proses Penyusunan,” dikutip dari dokumen yang diterbitkan DPR, Jumat (19/9/2025).

  • Menkeu Purbaya Sebut Tax Amnesty Berulang Malah Dimanfaatkan ‘Tukang’ Kibul

    Menkeu Purbaya Sebut Tax Amnesty Berulang Malah Dimanfaatkan ‘Tukang’ Kibul

    JAKARTA – Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menyatakan kebijakan pengampunan pajak atau tax amnesty yang dilakukan secara berulang tidak ideal diterapkan.

    Purbaya mengatakan bahwa program tersebut justru dapat mendorong perilaku tidak patuh di kalangan wajib pajak.

    “Kalau dua tahun ada tax amnesty, itu akan memberi insentif kepada orang-orang untuk kibul-kibul. Mereka akan pikir, dua tahun lagi ada tax amnesty lagi. Jadi itu bukan sinyal yang bagus,” ujarnya dilansir ANTARA, Jumat, 19 September.

    Meski demikian, Purbaya mengaku masih akan mempelajari setiap usulan yang muncul terkait pengampunan pajak

    “Tapi, saya akan pelajari seperti apa proposalnya. Tapi, sebagai ekonom untuk saya sih, tidak terlalu appropriate. Tidak terlalu pas lah,” katanya.

    Ia menekankan pentingnya pemerintah fokus pada pengelolaan pajak yang sehat dan penegakan hukum yang konsisten.

    “Jadi, yang pas adalah jalankan program-program pajak yang betul, collect yang betul, kalau nggak ada yang salah dihukum, tapi kita jangan meres gitu,” katanya.

    Purbaya juga mengingatkan penerimaan pajak seharusnya dimanfaatkan untuk kepentingan publik.

    “Kalau udah punya duit, ya dibelanjain,” ujarnya sambil menekankan perlunya kebijakan fiskal yang adil dan berkesinambungan.

    Sebelumnya, Badan Legislasi (Baleg) DPR bersama Kementerian Hukum dan HAM serta Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) DPD telah menuntaskan evaluasi Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2025.

    Dalam rapat di gedung DPR pada 17–18 September 2025, disepakati penambahan 23 RUU baru dan penghapusan 1 RUU, sehingga total daftar Prolegnas kini mencakup 198 RUU ditambah 5 RUU kumulatif terbuka.

    Untuk Prolegnas Prioritas 2025, Baleg juga menambah 12 RUU baru, terdiri atas tujuh usulan DPR dan lima usulan pemerintah, menjadikan total 52 RUU ditambah 5 daftar kumulatif terbuka.

    Salah satu yang tetap dipertahankan adalah RUU Pengampunan Pajak (Tax Amnesty), yang semula diusulkan Baleg DPR dan kemudian dikuatkan menjadi usulan Komisi XI melalui surat resmi agar tetap masuk agenda prioritas tahun depan.

  • Mensesneg Sebut Revisi UU Pemilu Bukan Hal Baru, Sudah Dibahas Sejak Era Jokowi
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        19 September 2025

    Mensesneg Sebut Revisi UU Pemilu Bukan Hal Baru, Sudah Dibahas Sejak Era Jokowi Nasional 19 September 2025

    Mensesneg Sebut Revisi UU Pemilu Bukan Hal Baru, Sudah Dibahas Sejak Era Jokowi
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) RI Prasetyo Hadi menyebut revisi undang-undang terkait pemilihan umum (pemilu) bukan hal yang baru.
    Menurut Prasetyo, rencana revisi ini juga sudah dibahas sejak era pemerintahan sebelumnya atau era Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi).
    “Menurut pendapat kami apa yang disampaikan di publik berkenaan dengan masalah sistem pemilu kita revisi undang-undang pemilu kita itu sebenarnya kan bukan sesuatu yang baru juga, jadi di masa pemerintahan sebelumnya juga itu sudah sempat dibahas juga,” kata Prasetyo di Kompleks Istana, Jakarta, Jumat (19/9/2025).
    Selain itu, wacana ini juga diusulkan oleh sejumlah forum partai politik yang mendorong adanya perbaikan sistem pemilu.
    “Kemudian di beberapa forum partai-partai politik juga menyampaikan hal tersebut sehingga kalau memang itu menjadi sebuah wacana, menjadi sebuah keharusan untuk kita memperbaiki atau mencari sistem pemilihan kita yang jauh lebih baik ya itu enggak ada masalah juga,” ucap dia.
    Namun, ia belum mengetahui soal poin apa saja yang akan direvisi terkait UU Pemilu.
    Tentunya, kata Prasetyo, pemerintah akan menjaring banyak masukan khususnya dari partai politik (parpol).
    “Ya nanti kita lihat, kita lihat kan dari evaluasinya seperti apa sih, enggak yang mau diperbaiki sampai sejauh mana tentunya, kita membutuhkan masukkan dari banyak terutama juga dari partai-partai politik yang selama ini memang menjalankan fungsi tersebut,” ujar dia.
    Prasetyo juga belum tahu apakah revisi UU Pemilu nantinya akan menjadi usulan pemerintah atau DPR RI.
    “Belum belum sampai ke situ,” kata Prasetyo.
    Diberitakan sebelumnya, Wakil Ketua Komisi II Aria Bima mengungkapkan, salah satu RUU yang masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2026 adalah revisi Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
    Menurut dia, pembahasan revisi aturan ini penting untuk menjawab harapan publik soal pelaksanaan Pemilu ke depan yang lebih baik dibandingkan sebelumnya.
    “Yang pertama, kami mengusulkan revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Ini kita usulkan kalau bisa langsung disetujui sebagai Prolegnas tahun 2026. Publik menunggu bagaimana Pemilu ke depan harus lebih baik daripada Pemilu 2024. Itu tidak bisa tidak harus bersandar pada aturan yang menjamin pelaksanaan Pemilu serta membangkitkan partisipasi publik,” kata Aria, di ruang rapat Baleg DPR RI, Rabu.
    Komisi II juga mengusulkan revisi UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
    Menurutnya, revisi tersebut diperlukan untuk memperjelas tindak lanjut atas Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135.
    Selain itu, Komisi II juga mengajukan revisi UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik.
    Dia berpandangan, banyak kritik terhadap partai politik belakangan ini yang perlu dijawab dengan pembaruan regulasi.
    “Saya kira perlu kita respons. Seperti apa langkah undang-undang supaya Parpol sebagai pilar demokrasi. Selain instrumen pelaksana KPU dan Bawaslu, kita harus berbenah agar partai mendapatkan trust, kepercayaan publik. Kita bagian organisasi yang dipercaya untuk pemimpin-pemimpin bangsa ini, baik eksekutif dan legislatif,” tutur Aria.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Ada Upaya Revisi UU, Tax Amnesty Gagal Tingkatkan Kepatuhan Wajib Pajak?

    Ada Upaya Revisi UU, Tax Amnesty Gagal Tingkatkan Kepatuhan Wajib Pajak?

    Bisnis.com, JAKARTA — DPR menginisiasi perubahan Undang-undang Pengampunan Pajak atau RUU Tax Amnesty. Usulan perubahan beleid itu kemudian masuk dalam Program Legislasi Nasional alias Prolegnas prioritas tahun 2025.

    Pembahasan RUU Tax Amnesty dilakukan Komisi XI DPR dan dalam proses penyusunan. “Keterangan: proses penyusunan,” demikian tertulis dalam dokumen Prolegnas yang dikutip Bisnis, Jumat (19/5/2025).

    Dalam catatan Bisnis, RUU Tax Amnesty itu adalah inisiatif DPR. Ketua Komisi XI DPR Misbakhun adalah satu pihak yang pernah mengemukakan pentingnya program tersebut.

    Dia merasa program pengampunan pajak alias tax amnesty perlu berlaku kembali untuk mengawal berbagai visi misi pemerintah baru Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

    Misbakhun menjelaskan bahwa Komisi XI secara resmi telah mengusulkan agar RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11/2016 tentang Pengampunan Pajak masuk ke dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025 DPR.

    Dia menjelaskan bahwa pembahasan RUU Tax Amnesty itu masih akan sangat panjang. Setelah disahkan masuk Prolegnas Prioritas 2025, sambungnya, pimpinan DPR masih akan menentukan RUU Tax Amnesty nantinya akan menjadi inisiatif pemerintah atau parlemen.

    Jika menjadi inisiatif DPR maka naskah akademik dan draf RUU Tax Amnesty akan disusun oleh Komisi XI. Sebaliknya, jika menjadi inisiatif pemerintah maka naskah akademik dan draf RUU Tax Amnesty akan disusun oleh Kementerian Keuangan.

    Oleh sebab itu, Misbakhun mengaku belum bisa menjelaskan substansi yang akan dibahas dalam RUU Tax Amnesty tersebut. Kendati demikian, tidak menampik bahwa akan ada Tax Amnesty Jilid III apabila beleid tersebut selesai dibahas.

    “Sektor apa saja yang akan dicakup di dalam tax amnesty itu, tax amnesty itu meliputi perlindungan apa saja, sektor apa saja, ya nanti kita bicarakan sama pemerintah,” ujarnya di Kantor Bappenas, Jakarta Pusat, Selasa (19/11/2024).

    TA Jilid 1 Tidak Efektif?

    Pemerintah pernah berulangkali menerapkan pengampunan pajak. Namun hasilnya tidak terlalu signifikan. Pelaksanaan TA Jilid 1, misalnya, selama sembilan bulan pelaksanaan kebijakan, pemerintah telah mengantongi data deklarasi harta senilai Rp4.884,2 triliun yang Rp1.036,7 triliun di antaranya berasal luar negeri. Selain itu, otoritas pajak juga mencatat adanya repatriasi aset senilai Rp146,7 triliun dan uang tebusan dari wajib pajak senilai Rp114,5 triliun.

    Kendati demikian, pengampunan pajak tak hanya menyisakan cerita manis. Bisnis mencatat, dibalik limpahan data ribuan triliun tersebut ada beberapa hal yang patut menjadi catatan. 

    Dari sisi tingkat partisipasi misalnya, jumlah wajib pajak yang ikut pengampunan pajak kurang dai 1 juta atau tepatnya hanya 973.426. Jumlah tersebut hanya 2,4% dari wajib pajak yang terdaftar pada tahun 2017 yakni pada angka 39,1 juta.

    Sementara itu untuk uang tebusan, dengan realisasi Rp114,5 triliun jumlah tersebut masih di luar ekspektasi pemerintah yang sebelumnya berada pada angka Rp165 triliun. Realisasi repatriasi juga sama, dari janji yang dalam pembahasan di DPR sebesar Rp1.000 triliun, otoritas pajak ternyata hanya bisa merealisasikan sebesar Rp146,7 triliun.

    Ilustrasi Kantor Ditjen Pajak./Ist

    Tak heran sebenarnya jika hampir 6 tahun pascapelaksanaan tax amnesty, tingkat kepatuhan WP juga masih jauh panggang dari api. Tak banyak berubah dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Apalagi data kepatuhan pajak menunjukkan rasio kepatuhan WP masih pada angka 83%. Angka itu masih di bawah standar yang ditetapkan OECD yakni pada angka 85%.

    Selain itu, tingkat kepatuhan wajib pajak orang pribadi non karyawan juga tidak melonjak signifikan. Kontribusi mereka ke penerimaan negara juga tidak lebih dari 1% dari total penerimaan pajak negara.

    Satu hal lagi, menurut data OECD, rasio pajak Indonesia juga jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara lainnya di Asia Pasifik. Apalagi rata-rata OECD yang bisa di atas 30% dari produk domestik bruto. Rasio pajak RI paling hanya di kisaran 10% sampai 11-an persen.

    Kepatuhan Formal Belum Beranjak

    Di sisi lain, kendati telah melakukan berbagai macam relaksasi, Tten rasio kepatuhan formal wajib pajak yang hanya di angka 71% menunjukkan bahwa tudingan bahwa Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak masih berburu di kebun binatang bukan isapan jempol semata.

    Sekadar catatan, Direktorat Jenderal Pajak melaporkan terjadi penurunan kepatuhan formal penyampaian surat pemberitahuan tahunan (SPT Tahunan) 2024 wajib pajak orang pribadi (WP OP).

    Setiap tahunnya, SPT Tahunan dilaporkan paling lambat pada 31 Maret untuk WP OP dan 30 April untuk WP Badan. Pada tahun lalu, realisasinya penyampaian SPT Tahunan 2023 mencapai 1.048.242 atau 1,04 juta untuk WP Badan (korporasi) dan 13.159.400 atau 13,15 juta untuk WP OP.

    Sementara pada tahun ini, realisasi penyampaian SPT Tahunan 2024 sebesar 1.053.360 atau 1,05 juta untuk WP Badan dan 12.999.861 atau 12,99 juta untuk WP OP.

    Artinya, ada penurunan penyampaian SPT Tahunan WP OP pada tahun ini sebesar 159.539 (-1,21%) dibandingkan tahun lalu. Padahal, penyampaian SPT Tahunan WP Badan pada tahun ini meningkat sebanyak 5.118 (+0,49%) dibandingkan tahun lalu.

    Pemerintah Belum Perlu

    Sementara itu, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menganggap bahwa penyelenggaraan program pengampunan pajak (tax amnesty) tidak perlu dilakukan secara rutin. Pemerintah akan fokus untuk mengoptimalkan regulasi-regulasi yang ada untuk meningkatkan penerimaan pajak.

    Menurut Purbaya, penyelenggaraan tax amnesty secara berulang dapat berdampak negatif pada upaya pemerintah meningkatkan penerimaan pajak. Kebijakan pengampunan pajak yang dilakukan berulang kali juga berpotensi merusak kredibilitas pemerintah dalam penegakan pajak.

    “Pandangan saya, kalau (tax amnesty) berkali-kali, gimana kredibilitas amnesty? Itu memberikan sinyal ke pembayar pajak bahwa boleh melanggar. Nanti ke depan-depannya ada amnesti lagi,” katanya dalam konferensi pers di Kantor Kementerian Keuangan, Jumat (19/9/2025).

    Dia menambahkan, sepanjang tahun ini pemerintah juga telah menggelar tax amnesty sebanyak dua kali. 

    Purbaya menuturkan, pengadaan tax amnesty yang dilakukan berulang kali dapat membuat wajib pajak dapat berpikir praktik penghindaran pajak akan terus ditoleransi.

    “Message yang kita ambil dari adalah begitu. Tahun ini kita sudah mengeluarkan ini sudah dua kali, nanti tiga (kali), empat, lima, dan seterusnya. Pesannya nanti kibulin aja pajaknya, nanti kita tunggu di tax amnesty, pemutihannya disitu. Itu yang enggak boleh,” jelasnya.

    Dia menambahkan, jika tax amnesty kembali dijalankan dalam jangka pendek, wajib pajak justru akan memanfaatkan celah tersebut.

    “Kalau tax amnesty setiap berapa tahun, yaudah semuanya menyelundupkan uang. Tiga tahun lagi dapat tax amnesty. Jadi, pesannya kurang bagus untuk saya sebagai ekonom dan Menteri,” ujar Purbaya.

  • Tak Perlu Ubah Batas Utang

    Tak Perlu Ubah Batas Utang

    Jakarta

    Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa buka suara terkait Revisi Undang-undang (RUU) Keuangan Negara yang masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2026. Revisi tersebut merupakan usulan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.

    Purbaya mengatakan tidak ada rencana pemerintah untuk melakukan perubahan batasan defisit APBN yang saat ini maksimal 3% terhadap produk domestik bruto (PDB).

    “Anda pasti pikir saya mau melanggar 3%? Nggak ada,” ujar Purbaya kepada wartawan di kantornya, Jakarta Pusat, Jumat (19/9/2025).

    Purbaya menilai program pemerintah yang tepat dapat mendorong perekonomian nasional dan penerimaan negara. Dengan demikian, menurutnya tidak perlu mengandalkan pembiayaan dalam bentuk utang hingga menaikkan batas defisit.

    “Kalau ekonominya bagus, misalnya jurus saya berhasil, harusnya sih ekonominya akan lebih bergairah dan pendapatan pajaknya lebih tinggi juga. Harusnya kita nggak perlu mengubah undang-undang untuk menaikkan defisit atau batas utang,” tuturnya.

    Meski begitu, Purbaya menilai penetapan batas utang kala itu kurang berdasar. Batas tersebut muncul dari kebanyakan negara maju seperti Amerika Serikat (AS) dan Eropa yang menganggap bisa menjadi indikator suatu negara membayar utang, namun kini dilanggar sendiri oleh mereka.

    “Jadi nggak usah takut dengan batas-batas itu, semuanya dilanggar sekarang. Hampir semua negara Eropa melanggar. AS berapa? Hampir 100% juga. Defisitnya mungkin 6%, rasio utang ke PDB-nya di atas 100%,” ujar Purbaya.

    Indonesia, kata Purbaya, masih jauh dari batas aman dan tidak pernah mengalami gagal bayar utang. “Kita selama ini tidak pernah default. Kekayaan kita juga cukup,” tambahnya.

    Indonesia sendiri pernah melebarkan defisit ketika pandemi COVID-19 sampai 5,07% PDB, seiring dengan kebutuhan pembiayaan yang tinggi. Seandainya hal yang sama terjadi, maka tidak menutup kemungkinan akan menjadi opsi pemerintah.

    “Seandainya kita kepepet, seandainya ya, kenapa mereka boleh, kita nggak boleh?,” imbuhnya.

    Lihat juga Video: Purbaya soal Rp 200 T Buat Bank: Mereka Orang Pintar, Selama Ini Malas

    (kil/kil)