Topik: Program Legislasi Nasional (Prolegnas)

  • RUU Haji dan Umrah, Komisi VIII Menunggu Surat dari Prabowo

    RUU Haji dan Umrah, Komisi VIII Menunggu Surat dari Prabowo

    Bisnis.com, JAKARTA — Anggota Komisi VIII DPR RI Fraksi PDI Perjuangan (PDIP), Selly Andriany Gantina menyebut revisi Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah kini telah mencapai tahapan penting.

    Dia mengatakan revisi UU ini resmi menjadi usul inisiatif DPR RI setelah diambil keputusan dalam Rapat Paripurna yang bergulir pada Kamis (24/7/2025). Terlebih, revisi UU ini juga memang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2025.

    “Tahap selanjutnya, kami menunggu terbitnya Surat Presiden atau Surpres, yang akan menunjuk kementerian atau lembaga pemerintah untuk mewakili pemerintah dalam pembahasan bersama DPR, khususnya di Komisi VIII,” kata Selly kepada Bisnis, Kamis (24/7/2025) malam.

    Dia meneruskan, bersamaan dengan itu, pemerintah juga akan menyampaikan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) kepada DPR. 

    DIM ini akan menjadi dasar pembahasan pasal demi pasal. Nantinya, Selly memastikan bahwa pembahasan akan mendengar masukan dari banyak pihak.

    Adapun, lanjutnya, alasan revisi ini memang harus dilakukan karena untuk kebutuhan hukum dalam menyempurnakan tata kelola penyelenggaraan ibadah haji supaya menjadi lebih modern, transparan, dan berpihak kepada jemaah.

    “Dinamika pelaksanaan haji terus berkembang, dan kita memerlukan aturan yang mampu menjawab tantangan terkait pelayanan, pengelolaan keuangan, hingga koordinasi lintas sektor dan yurisdiksi,” ucap Selly.

    Lebih jauh, legislator PDIP ini mengemukakan fraksinya masih terus melakukan kajian guna memastikan apakah kelembagaan haji nantinya berbentuk badan atau kementerian. Kajian ini pihaknya lakukan dengan prinsip kehati-hatian.

    “Saya pribadi menilai hal terpenting adalah menata sistemnya terlebih dahulu, mulai dari perencanaan, layanan, hingga pengelolaan dana haji, agar berjalan lebih efektif dan akuntabel,” pungkasnya.

    Sebagai informasi, Rapat Paripurna DPR RI ke-25 Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2024-2025 menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang perubahan atas UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah menjadi usul inisiatif DPR.

    Hal tersebut terjadi seusai Wakil Ketua DPR RI, Adies Kadir meminta persetujuan dari para anggota dewan yang hadir dalam Rapat Paripurna, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (24/7/2025).

    “Kami sampaikan kepada sidang dewan yang terhormat apakah RUU usul inisiatif Komisi VIII DPR RI tentang perubahan UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umroh dapat disetujui menjadi RUU usul DPR RI?” tanya Adies.

    “Setuju,” tutur para anggota dewan yang hadir.

  • Rapat Paripurna setujui RUU Haji dan Umrah jadi usul inisiatif DPR

    Rapat Paripurna setujui RUU Haji dan Umrah jadi usul inisiatif DPR

    “Apakah RUU usul inisiatif DPR RI tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah dapat disetujui menjadi RUU usul DPR RI?”

    Jakarta (ANTARA) – Rapat Paripurna DPR RI Ke-25 Masa Sidang IV Tahun Sidang 2024-2025 menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Haji dan Umrah menjadi RUU usul inisiatif DPR RI.

    Pengambilan keputusan tersebut dilakukan di kompleks parlemen, Jakarta, Kamis, setelah seluruh fraksi menyampaikan pandangannya melalui pernyataan tertulis. Wakil Ketua DPR RI Adies Kadir pun kemudian meminta persetujuan kepada seluruh Anggota DPR RI yang hadir rapat paripurna.

    “Apakah RUU usul inisiatif DPR RI tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah dapat disetujui menjadi RUU usul DPR RI?” kata Adies yang dijawab setuju oleh hadirin.

    Setelah itu, dia pun mengetok palu sidang sebagai tanda dimulainya pembahasan RUU tersebut. Adapun RUU Haji dan Umrah akan dibahas oleh Komisi VIII DPR RI yang membidangi urusan keagamaan, sosial, hingga kebencanaan.

    Dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR RI, RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Haji dan Umroh masuk ke dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2025 yang diusulkan Komisi VIII DPR RI.

    Sebelumnya, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI Ahmad Iman Sukri membeberkan bahwa terdapat beberapa poin krusial pada RUU Haji, yakni menyerahkan kewenangan haji kepada Badan Haji dan Umrah, seperti peraturan presiden (perpres) yang dikeluarkan oleh Presiden Prabowo Subianto.

    Prabowo, kata dia, menginginkan urusan haji dan umrah dilaksanakan oleh badan baru tersebut supaya berbagai persoalan haji, yang hampir setiap tahun terjadi, seperti soal transportasi, makanan, kesehatan, dan lain sebagainya, tidak terulang lagi.

    Iman menekankan bahwa RUU Haji bukan merupakan aturan biasa, melainkan RUU yang sangat penting karena persiapan ibadah haji membutuhkan waktu satu tahun.

    Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
    Editor: Agus Setiawan
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • DPR Jawab Kritik Lambatnya Bahas RUU Perlindungan PRT: Sedang Kumpul Aspirasi

    DPR Jawab Kritik Lambatnya Bahas RUU Perlindungan PRT: Sedang Kumpul Aspirasi

    DPR Jawab Kritik Lambatnya Bahas RUU Perlindungan PRT: Sedang Kumpul Aspirasi
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Ketua Badan Legislasi (Baleg)
    DPR RI

    Bob Hasan
    menanggapi kritik terkait lambatnya pembahasan Rancangan Undang-Undang
    Perlindungan Pekerja Rumah Tangga
    (
    RUU PPRT
    ).
    Dia menegaskan bahwa proses yang berjalan saat ini bertujuan untuk menyerap semua aspirasi secara menyeluruh, sehingga materi muatan RUU tersebut benar-benar komprehensif.
    “Ini persoalannya kita berada di tengah. Ketika kita ingin benar-benar mengambil rasa, untuk dituangkan dan diakomodasikan dalam materi muatan, kita perlu penyerapan satu per satu. Perlu kerangka,” ujar Bob dalam rapat pembahasan RUU PPRT, Kamis (17/7/2025).
    Dia menyampaikan, DPR selama ini kerap dikritik karena dianggap tergesa-gesa dan tertutup dalam menjalankan proses legislasi.
    Namun, saat DPR sedang berupaya menyerap seluruh pandangan dan masukan, muncul tudingan bahwa pembahasan RUU berlangsung terlalu lambat.
    “Nah, ketika kita sekarang sedang mengumpulkan aspirasi atau mengakomodasi semua pendapat dan pikiran, kita dibilangnya terlalu lambat,” ucapnya.
    “Nah ini Pak, dilematis setengah kami ini sekarang ya kan,” sambungnya.
    Meski begitu, Politikus Gerindra itu menegaskan bahwa Baleg tidak akan mundur dalam menyelesaikan pembahasan RUU PPRT, walaupun mendapatkan tekanan kritik dari berbagai pihak.
    “Kami tidak akan kendur, tidak akan mundur. Karena kekuasaan kita masing-masing ada. DPR itu legislatif. Mahkamah, baik konstitusi maupun agung, itu yudikatif. Tidak bisa masuk ke dalam ranah kekuasaan legislatif. Begitu juga eksekutif,” tegasnya.
    Bob menambahkan, Baleg DPR berencana menyerap masukan dari kalangan akademisi di berbagai kampus di Indonesia.
    Dia berharap langkah ini dapat memperkaya pembahasan RUU PPRT.
    “Kita memang akan keliling ke akademisi, civitas akademik di kampus-kampus yang ada di Indonesia. Supaya betul-betul tertampung,” katanya.
    Dalam kesempatan itu, Bob juga menginformasikan bahwa Naskah Akademik (NA) RUU PPRT yang digunakan saat ini adalah versi terbaru.
    Dia pun mengeklaim bahwa berbagai masukan, termasuk dari kelompok masyarakat sipil pendukung RUU PPRT, telah menjadi catatan penting dalam proses penyusunan.
    “Contoh kayak tadi koalisi menyatakan yang penting persamaan hak. Sehingga harus ada perjanjian tertulis. Maka ini menjadi catatan buat kita,” pungkasnya.
    Sebagai informasi, RUU PPRT telah diajukan sejak 2004 dan dianggap mendesak sebagai payung hukum untuk melindungi pekerja di bidang rumah tangga.
    RUU PPRT juga selalu masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) setiap periode DPR, tetapi tidak juga berhasil disahkan hingga DPR periode 2019-2024 berakhir.
    Pada periode 2024-2029, DPR RI kembali membahas RUU PPRT dan menyatakan akan berupaya menyelesaikannya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • PSP UGM beberkan rekomendasi substansial untuk diatur dalam RUU BPIP

    PSP UGM beberkan rekomendasi substansial untuk diatur dalam RUU BPIP

    Jakarta (ANTARA) – Kepala Pusat Studi Pancasila (PSP) Universitas Gadjah Mada (UGM) Agus Wahyudi membeberkan sejumlah rekomendasi substansial yang perlu diatur dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).

    “Rekomendasi substansial terhadap RUU BPIP; pertama, kita perlu memikirkan transformasi peran BPIP. Jadi perubahan arah orientasi,” kata Agus dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dengan sejumlah narasumber tentang penyusunan RUU BPIP di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu.

    Menurut dia, BPIP perlu atau harus diposisikan sebagai fasilitator dialog ideologi nasional, bukan sekedar agen negara untuk pengawasan moral.

    “BPIP seharusnya mengembangkan forum ideologi publik, melibatkan warga dalam produksi makna Pancasila secara deliberatif,” ucapnya.

    Dia juga merekomendasikan RUU BPIP penting untuk mencantumkan prinsip dekolonialisasi pengetahuan dengan mengakui keberadaan beragam pengetahuan lokal, adat, dan tafsir minoritas terhadap nilai-nilai kebangsaan.

    “Pancasila bukan milik negara semata, dalam arti ini pemerintah, melainkan milik kolektif yang tumbuh dari sejarah dan pengalaman bersama,” ujarnya.

    Selain itu, dia menyebut dalam RUU BPIP perlu dipikirkan soal indikator keberhasilan pembinaan ideologi Pancasila yang mencakup dimensi kebebasan berpikir, inklusi sosial, solidaritas lintas identitas, perlawanan terhadap penindasan.

    Lalu, kata dia, RUU BPIP perlu memberikan perluasan ruang ekspresi kritik terhadap Pancasila dan menjamin bahwa kebebasan berpikir merupakan bagian dari cinta ideologi, sebagaimana pasal 28E UUD 1945 dan prinsip demokrasi konstitusional.

    “Kritik terhadap Pancasila atau praktik pembinaannya tidak boleh dikriminalisasi,” tuturnya.

    Terakhir, dia menyebut RUU BPIP perlu dan harus menyertakan pasal tentang penguatan PanPancasila dalam diplomasi global sebagai dasar bagi solidaritas transnasional, keadilan iklim, perdamaian dunia, dan kritik atas kapitalisme predatoris.

    “Pancasila harus diangkat sebagai kontribusi Indonesia terhadap etika global,” kata dia.

    RDPU tersebut turut dihadiri pula oleh sejumlah narasumber di antaranya, Wakil Kepala BPIP Rima Agristina, Mantan Asisten Teritorial Kepala Staf TNI Angkatan Darat (Aster Kasad) Mayjen TNI (Purn) Saurip Kadi, Guru besar filsafat moral Franz Magnis Suseno, hingga Wakil Ketua Komisi Kajian Ketatanegaraan (K3) MPR RI Dossy Iskandar Prasetyo.

    Adapun, RUU BPIP telah ditetapkan masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2025.

    Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
    Editor: Biqwanto Situmorang
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Ketua Baleg tepis RUU BPIP digulirkan karena alasan politis

    Ketua Baleg tepis RUU BPIP digulirkan karena alasan politis

    Jakarta (ANTARA) – Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Bob Hasan menepis pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) digulirkan di parlemen karena dilatarbelakangi alasan politis.

    “Enggak ada (politis), kita BPIP itu adalah kumpulan daripada negarawan, tidak ada ketika BPIP disusun kemudian ada kebijakan-kebijakan yang menjadi goal itu enggak ada,” kata Bob di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu.

    Terkait urgenitas pembahasan, dia beralasan RUU BPIP digulirkan pihaknya sebab telah ditetapkan masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2025.

    Selain itu, dia memandang penguatan ideologi Pancasila yang mengandung semangat persatuan perlu digalang agar setiap kebijakan di tanah air dapat terlaksana dan kondusif.

    “Tentunya ini semuanya harus disusun bottom up, dari bawah ke atas. Jadi untuk itulah pembinaan ideologi Pancasila itu penting. Urgenitasnya itu,” ujarnya.

    Dia pun menepis pimpinan yang akan dilantik Presiden untuk menduduki jabatan strategis di BPIP terkait dengan motif politis, begitu pula kaitan penguatan kelembagaan BPIP melalui penyusunan RUU BPIP terkait upaya mengakomodasi partai politik (parpol) tertentu untuk merapat ke pemerintahan.

    Sebaliknya, Bob menegaskan bahwa nantinya struktur kepemimpinan BPIP yang ada saat ini akan dilakukan perombakan sebagaimana sejumlah perombakan esensial yang dilakukan dalam penyusunan RUU BPIP.

    “Besok diganti semuanya, besok harus dirubah kembali, itu tujuannya. Enggak ada tendensi kepada salah satu parpol, tendensi kepada keinginan politik apa gitu, tidak ada,” ucapnya.

    Dia lantas berkata, “Ini mau merombak, semuanya merombak. Ini merombak semua, esensi dari BPIP, dan segala macam.”

    Dia membeberkan salah satu perombakan esensial yang dilakukan dalam RUU BPIP ialah akan membuat garis pembeda jelas dengan RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang sebelumnya telah dikeluarkannya dari daftar Prolegnas Prioritas 2021.

    “Bedanya sudah jelas, itu kan Haluan Ideologi Pancasila, itu kan tentang doktrinasi. Kalau ini kan lembaga yang disuruh kerja, kerjanya apa, dibawa ke presiden,” tuturnya.

    Ketika ditanyakan apakah penguatan dasar hukum kelembagaan BPIP menjadi undang-undang dari yang sebelumnya berupa Peraturan Presiden (Perpres) akan mampu menguatkan pula internalisasi nilai-nilai Pancasila di tengah masyarakat, Bob menyebut hal tersebut bergantung pada mekanisme pengaturan yang masih akan diatur lebih lanjut.

    Sebab, lanjut dia, saat ini pihaknya masih terus menampung aspirasi dan masukan dari berbagai pihak terhadap penyusunan RUU BPIP.

    “Itu nanti tergantung regulasinya. Lembaga ini kan harus dibuat regulasinya, bagaimana sistematis pekerjaannya, aktivitasnya, giatnya. Tadi kan (dalam rapat) sudah disampaikan juga ada ide-ide dan gagasan, ada konsepsi pembinaannya, ada hal-hal yang di luar pada hal itu tentang menjaga konstitusi kita, atau menjaga Pancasila,” kata dia.

    Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
    Editor: Budi Suyanto
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Komisi II: Putusan MK dorong susun RUU Pemilu sesuai RPJPN 2025-2045

    Komisi II: Putusan MK dorong susun RUU Pemilu sesuai RPJPN 2025-2045

    Biarlah semua perdebatan itu kita tumpahkan kita ramu di penyusunan itu, termasuk nanti di pembahasan. Itu sesuai mekanisme, dan itu elegan

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua Komisi II DPR RI Zulfikar Arse Sadikin menilai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pemilu nasional dan daerah, menjadi dorongan untuk Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) yang akan berupa kodifikasi sesuai Undang-Undang Nomor 59 Tahun 2024 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2025-2045, agar segera disusun.

    “Kita menyesuaikan dengan kebijakan yang ada dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2025-2045 Nomor 59 Tahun 2024 yang menyatakan bahwa pembentukan Undang-Undang Pemilu itu adalah kodifikasi,” kata Zulfikar di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu.

    Jadi, katanya, DPR RI sendiri sedianya memang telah menggagas perubahan Undang-Undang Pemilu, perubahan Undang-Undang Pilkada, dan perubahan Undang-Undang Pemerintah Daerah dalam program legislasi nasional (prolegnas) yang disebut akan menjadi paket RUU Politik (kodifikasi), maka adanya putusan MK Nomor 135 itu menjadi momentum untuk segera menyusun UU Pemilu yang memang sudah diinisiasi untuk berubah.

    Dia lantas melanjutkan, “Biarlah semua perdebatan itu kita tumpahkan kita ramu di penyusunan itu, termasuk nanti di pembahasan. Itu sesuai mekanisme, dan itu elegan.”

    Dia pun mengaku tidak tahu menahu soal adanya pertemuan kembali fraksi-fraksi partai politik di parlemen dalam menyikapi putusan MK tersebut.

    Adapun, lanjut dia, pimpinan DPR RI bersama sejumlah menteri dan komisi terkait serta perwakilan masyarakat sipil melangsungkan rapat terakhir kali guna menyikapi putusan MK tersebut pada Senin (30/6).

    “Pertemuan pimpinan Komisi II, Komisi III, Baleg (Badan Legislasi), Menteri Dalam Negeri, Menteri Sekretaris Negara, Menteri Hukum, sudah (itu) terakhir,” tutur dia.

    Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi II DPR RI Aria Bima mengatakan bahwa penyusunan RUU Pemilu yang menyangkut banyak elemen politik ke depannya diwacanakan akan berupa kodifikasi.

    “Apalagi di dalam pembuatan Undang-Undang Pemilu ke depan, yang kami ingin Undang-Undang Pemilu itu nanti adalah kodifikasi karena menyangkut dari berbagai elemen politik kita yang harus satu sistem, satu hal yang holistik, enggak terpotong-potong,” kata Aria di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (14/7).

    Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
    Editor: Edy M Yakub
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Komisi I: Penyiaran radio dan digital idealnya tak digabung RUU Penyiaran

    Komisi I: Penyiaran radio dan digital idealnya tak digabung RUU Penyiaran

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua Komisi I DPR RI Sukamta menilai idealnya undang-undang yang mengatur tentang penyiaran melalui gelombang radio frekuensi dan penyiaran melalui platform digital tidak digabung menjadi satu dalam revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (RUU Penyiaran).

    “Memang idealnya undang-undang ini dipecah, enggak jadi satu (dalam RUU Penyiaran). Ada undang-undang penyiaran, ada undang-undang telekomunikasi, ada undang mungkin penyiaran digital sendiri, atau mungkin ada undang-undang mestinya selain keamanan cyber-nya,” kata Sukamta di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Senin.

    Hal itu disampaikan Sukamta dalam rapat dengar pendapat umum Panitia Kerja (Panja) RUU Penyiaran Komisi I DPR RI bersama Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Sahabat Peradaban Bangsa (SPB), dan Asosiasi Konten Kreator Seluruh Indonesia (AKKSI).

    Namun, dia mengkhawatirkan apabila undang-undang tersebut dipecah sendiri-sendiri maka produk legislasi tersebut tak kunjung disahkan sebab proses penyusunan suatu undang-undang memakan waktu yang tidak sebentar.

    “Undang-Undang Penyiaran ini kita revisi sudah sejak 2012, sampai hari ini belum kelar, Pak. Sudah ganti zaman, ganti teknologi, sudah usang banget undang-undang (tahun) 2002. Saya khawatir kalau ini kami pecah, nanti pecahnya nggak jadi (undang-undang), Pak. Betul-betul enggak jadi,” ujarnya.

    Untuk itu, Sukamta mengatakan demi kepraktisan maka tidak apa-apa jika sementara pengaturan terkait penyiaran maupun penyiaran digital digabung terlebih dahulu ke dalam RUU Penyiaran.

    “Memang jadi agak ada pemaksaan soal definisi (penyiaran) misalnya, memang agak kami memaksakan, isinya juga mungkin nanti agak dipaksakan antara penyiaran berbasis terestrial, penyiaran OTT, kemudian ada tadi konten kreator,” ucapnya.

    Wakil Ketua Komisi I DPR RI Dave Laksono juga mengamini bahwa lebih baik pengaturan terkait penyiaran melalui gelombang radio frekuensi dan penyiaran melalui platform digital digabung terlebih dahulu dalam RUU Penyiaran.

    “Undang-undang itu kan juga living document ya, Pak. Jadi, memang bilamana ke depannya dibutuhkan untuk pemisahan, ya bisa saja (nanti dipecah), tapi kalau tidak dimulai sekarang, nanti tidak ada ujungnya. Jadi, biar kami selesaikan ini (RUU Penyiaran), nanti ke depannya bisa ada penyempurnaan lagi,” katanya.

    Sementara itu, anggota DPR RI Junico Siahaan menilai pentingnya meredefinisi terlebih dahulu soal pemaknaan penyiaran itu dalam RUU Penyiaran, apakah sebatas pada penyiaran gelombang radio frekuensi atau mencakup pula platform digital.

    “Karena kalau dibilang siaran, definisinya kan sebuah one-to-many. Sementara hari ini platform tidak merasa bahwa mereka menyiarkan. Jadi, ini kita harus re-definisi sampai ketemu betul-betul,” kata Nico Siahaan, sapaan karibnya, dalam rapat tersebut.

    Sebab terlepas dari medium penyiarannya apakah melalui gelombang radio frekuensi atau platform digital, dia memandang secara substansi yang ingin diatur dan dilindungi dalam RUU Penyiaran adalah sama-sama terkait dengan konten yang disiarkannya.

    “Sementara ke depan tantangannya akan ada AI, ada Starlink, kita enggak tahu nyebutnya apa nanti karena tidak pakai frekuensi. Entah apalagi nanti teknologi ke depan, tapi bentuknya adalah sebenarnya konten itu yang mau kita kawal sama-sama,” tutur dia.

    Sebelumnya, Komisi I DPR RI menggelar rapat dengar pendapat dengan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), Lembaga Penyiaran Publik (LPP) TVRI, LPP RRI, hingga Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) ANTARA dalam rangka panitia kerja membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penyiaran di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (10/3).

    Adapun RUU tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menjadi RUU yang masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas yang diusulkan Komisi I DPR RI.

    Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
    Editor: Didik Kusbiantoro
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • KPK: Aturan Penyadapan di RUU KUHAP Bakal Mereduksi Tugas Penyelidik

    KPK: Aturan Penyadapan di RUU KUHAP Bakal Mereduksi Tugas Penyelidik

    KPK: Aturan Penyadapan di RUU KUHAP Bakal Mereduksi Tugas Penyelidik
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Komisi Pemberantasan Korupsi (
    KPK
    ) menilai, aturan
    penyadapan
    dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bakal mereduksi tugas
    penyelidik KPK
    .
    Pasalnya, dalam draf
    revisi KUHAP
    , disebutkan bahwa penyadapan baru dimulai saat tahap penyidikan dan harus melalui izin pengadilan daerah setempat, tidak selaras dengan tugas dan fungsi KPK yang melakukan penyadapan sejak tahap penyelidikan.
    “Artinya kan ada reduksi kewenangan dari penyelidik ya, karena penyelidik dalam
    RUU KUHAP
    itu hanya berwenang untuk mencari peristiwa tindak pidananya. Sedangkan penyelidik di KPK bahkan sampai untuk mencari sekurang-kurangnya dua alat bukti,” kata Juru Bicara KPK
    Budi Prasetyo
    di Gedung Merah Putih, Jakarta, Senin (14/7/2025).
    Budi juga menyampaikan bahwa KPK memiliki kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan penyelidik.
    Dia menjelaskan, penyelidik di KPK tidak hanya bertugas untuk menemukan peristiwa tindak pidana, melainkan juga sampai menemukan sedikitnya dua alat bukti.
    “Sedangkan dalam pembahasan di RUU Hukum Acara Pidana, penyelidik hanya untuk mencari peristiwa tindak pidana,” ujar Budi.
    Berdasarkan hal tersebut, KPK akan menyampaikan masukan yang telah dibahas di internal kepada pemerintah.
    “Oleh karena itu, KPK akan menyampaikan masukan-masukan yang saat ini masih berproses dibahas di internal nantinya kepada pemerintah,” ucap Budi.
    Sebagai informasi, RUU KUHAP adalah salah satu prioritas legislasi DPR pada masa sidang ini, dan telah ditetapkan sebagai Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2025.
    DPR menargetkan pembahasan rampung sebelum 2026 seiring dengan berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Komisi I: Penyiaran radio dan digital idealnya tak digabung RUU Penyiaran

    Komisi I DPR gelar RDPU dengan sejumlah pihak bahas RUU Penyiaran

    Jakarta (ANTARA) – Komisi I DPR RI melalui Panitia Kerja (Panja) Revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (RUU Penyiaran) menggelar rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan sejumlah pihak, yaitu Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Sahabat Peradaban Bangsa (SPB), dan Asosiasi Konten Kreator Seluruh Indonesia (AKKSI).

    “Jadi ini dari surat yang kami terima dari Kadin, temanya itu persamaan perlakuan industri penyiaran dengan penyelenggara platform penyiaran. Dari SPB, temanya konten penyiaran positif oleh penyelenggara penyiaran multiplatform Indonesia, dan dari AKKSI mengenai etika penyelenggaraan penyiaran multiplatform di Indonesia,” kata Wakil Ketua Komisi I DPR RI Dave Laksono saat memimpin jalannya rapat di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin.

    Dia menyebut sejauh ini RUU Penyiaran yang mulai bergulir sejak tahun 2012 telah mengalami perubahan ketiga sebab terus dilakukan penyesuaian terhadap sejumlah perkembangan yang terjadi, termasuk regulasi hukum menyangkut penyiaran yang masuk dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker).

    “Kenapa RUU-nya belum selesai-selesai tapi sudah berubah tiga kali? Karena ada aturan induknya, terakhir dengan RUU Ciptaker. Ada sejumlah hal yang berkaitan dengan multiplexing yang tadinya diatur di dalam RUU ini akan tetapi dikeluarkan, diatur di dalam Undang-Undang Ciptaker. Nah, namun masih ada substansi yang juga tak kalah pentingnya yang perlu kita putuskan di RUU penyiaran ini,” ujarnya.

    Meski belum memberi target secara detail, dia pun berharap RUU Penyiaran dapat segera rampung oleh DPR RI periode 2024-2029.

    “Kami memang menargetkan di periode ini bisa segera rampung. Timeline-nya memang kami belum tetapkan,” ujarnya.

    Sebelumnya, Komisi I DPR RI menggelar rapat dengar pendapat (RDP) dengan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), Lembaga Penyiaran Publik (LPP) TVRI, LPP RRI, hingga Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) ANTARA, dalam rangka panitia kerja (panja) membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penyiaran di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (10/3).

    Adapun RUU tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menjadi RUU yang masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas yang diusulkan oleh Komisi I DPR RI.

    Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
    Editor: Hisar Sitanggang
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Komisi III sebut masyarakat boleh menginap di DPR pantau revisi KUHAP

    Komisi III sebut masyarakat boleh menginap di DPR pantau revisi KUHAP

    Sumber foto: Antara/elshinta.com.

    Komisi III sebut masyarakat boleh menginap di DPR pantau revisi KUHAP
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Jumat, 11 Juli 2025 – 21:57 WIB

    Elshinta.com – Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman mengatakan bahwa masyarakat boleh menginap di Gedung DPR, bila diperlukan untuk memantau proses revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

    Sebab, dia kebingungan terkait adanya anggapan bahwa tahapan revisi tersebut ditutup-tutupi. Menurut dia, hal tersebut demi memenuhi unsur transparansi dalam proses pembahasan revisi KUHAP.

    “Saya minta bisa nggak nih kawan-kawan, nginap di sini bareng-bareng kalau misalnya sampai malam, di atas atau di bawah juga nggak apa-apa. Silakan yang mau teman-teman mengikuti proses ini,” kata Habiburokhman di kompleks parlemen, Jakarta, Jumat.

    Selain itu, menurut dia, pihaknya juga bakal menyiapkan konsumsi untuk orang-orang yang memantau proses revisi KUHAP hingga malam. Dia pun menegaskan bahwa tidak ada hal yang ditutup-tutupi dalam revisi tersebut.

    Bahkan, kata dia, rapat Tim Perumus dan Tim Sinkronisasi yang biasanya tidak terbuka, kini terbuka dan disiarkan secara langsung di kanal YouTube milik DPR RI.

    “Silakan nanti konsumsi kami sediakan, kalau uang lembur minta ke bos ya. Tapi konsumsi, teh, kopi, gorengan, kami siapkan,” katanya.

    Menurut dia, Komisi III DPR RI juga telah bersepakat agar seluruh rapat tahapan revisi KUHAP digelar hanya di DPR RI dan tidak digelar di tempat lain, guna menghindari kecurigaan dari publik.

    Adapun Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau KUHAP kini tengah dalam proses pembahasan di Komisi III DPR RI, sebagai RUU prioritas 2025 dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).

    Komisi III DPR RI telah selesai menempuh tahapan pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU KUHAP yang berjumlah 1.676 poin pada Kamis (10/7). Saat ini, tahapan revisi sudah masuk ke di Tim Perumus dan Tim Sinkronisasi guna memproses sejumlah perubahan yang telah dibahas dalam tahap sebelumnya oleh DPR dan Pemerintah.

    Sumber : Antara